Sabtu, 29 September 2012

ZIONISME ISRAEL : MAHLUK TUHAN PALING BIADAB



Ust. Hefni Zain

A. Kebiadaban Zionisme Israel Tak terlukiskan
Sungguh sangat sulit menggambarkan dengan kata-kata kebiadaban zionis Israel atas bangsa Palestina, sebab kemaha biadaban, ektra brutal dan super sadis yang mereka lakukan atas penduduk Palestina tidak  lagi  berada dalam ukuran “manusia”, kemaha sadisan itu dilakukan oleh IDF (Angkatan bersenjata zionis Israel) yang telah kehilangan watak kemanusiaannya. Maka sebagaimana  disampaikan James Rohn (seorang profesor sosiologi pada John Hopkins University), bahwa siapapun yang masih merasa sebagai manusia yang menyaksikan kekejian itu tidak terperanjat dan spontanitas mengutuknya, pastilah ia bukan manusia kendati berbentuk manusia.
Chris Hedges, seorang kepala biro Timur Tengah The Times dalam wawancaranya dengan NPR menyebutkan “Saya pernah melihat  anak-anak dibrondong peluru di Sarajevo, saya juga telah melihat tentara kematian membantai keluarga-keluarga di Aljazair dan di El Salvador, namun saya belum pernah melihat kebiadaban tentara mencincang anak-anak dan bayi, menelanjangi para wanita dan memperkosanya beramai-ramai, lalu mereka membunuhnya untuk sebuah kesenangan. Mereka juga membongkar dengan bayonet perut wanita hamil dan mempermainkan oroknya yang penuh darah, bahkan ada seorang pria tak bersenjata yang sudah menyerah, kepalanya dibrondong dengan 47 peluru. Bagi Hedges, krisis Gaza merupakan kebiadaban terdahsyat dalam sejarah bentrok Israel Palestina sejak tahun 1967.
Dalam sebuah berita berjudul “Israeli Army Accused of Atrocities, The Los Angeles Times melaporkan bahwa mustahil menyebut angka pastinya, tapi ratusan warga sipil Gaza termasuk anak-anak dan perempuan telah dibantai dengan super sadis, bagi tentara zionis Israel, seluruh rakyat Palestina adalah sasaran. Mereka tidak peduli apakah orang-orang yang mereka temui itu anak-anak, perempuan, atau orang berusia lanjut. Para zionis menganggap pembersihan etnis seperti ini sebagai hal penting untuk mendirikan negara Israel. Setiap saat bertemu dengan warga gaza, tentara zionis berseru “Laktasour Otem,” yang berarti “Bereskan mereka!” lalu para maniak itu  mulai membantai dengan penuh kesenangan. Maka tidak heran bila di Gaza hari ini kita menyaksikan pemandangan yang sungguh menggetarkan, tubuh-tubuh tak berkepala, anak-anak yang dipotong-potong badannya, dan perut wanita yang terburai. Di Gaza hari ini, hampir mustahil menemukan sebuah keluarga yang tidak kehilangan anggota keluarganya karena peluru Israel, belum lagi yang lumpuh atau cacat. Dan yang paling menyakitkan, tatkala tentara-tentara zionis yang maniak itu berjingkrak sambil terkekeh-kekeh di atas ratusan mayat yang baru saja mereka bantai.
Gideon Levy, seorang penulis untuk surat kabar Israel Ha’aretz menyebutkan, Menurut ideologi  zionis, tidak boleh ada unsur asing apa pun di “tanah terjanji.” Oleh karena itu tidak ada halangan membunuh anak-anak atau bayi sekalipun dalam buaiannya. Heilburn, mantan walikota Tel Aviv, menyatakan "Kita harus membunuh semua orang-orang Palestina kecuali mereka tunduk tinggal di sini sebagai budak." Karena itu hampir tidak ada hari tanpa darah tertumpah dari orang yang tak bersalah di Gaza. Tentara zionis Israel secara terencana menghancurkan penduduk Gaza. Desa-desa dibom, rumah-rumah dimusnahkan, dan ladang-ladang dibakar. Sementara kekejaman ini muncul di media internasional dari waktu ke waktu. Tetapi sungguh menyedihkan, para pemimpin dunia hingga kini masih belum cukup bertindak.

B. Doktrin yang disalah tafsirkan
Bangsa Yahudi awalnya boleh jadi merupakan bangsa yang terhormat, mereka adalah penghuni tanah para Nabi, namun  karena wataknya yang arogan, merasa spisies unggul pilihan Tuhan, dan selalu ingin bermusuhan dengan yang lain, maka sejak 700 tahun SM mereka selalu terusir dan dijadikan budak belian, bahkan akhirnya menjadi korban pembantaian besar-besaran Adolf Hitler Jerman. Karena itu mereka selalu memimpikan negeri nenek moyang sebagaimana dijanjikan dalam kitab Talmut. Kemudian sejak tahun 1882 mulailah mereka melakukan migrasi ketanah yang dijanjikan (Promised land) Palestina dan tahun-tahun berikutnya para pendatang yahudi (aliya) jumlahnya terus bertambah.
Menurut Yousef Haikal Salah satu penyebab kemaha biadaban zionis Israel terhadap penduduk Gaza dan dan Palestina pada umumnya adalah bersumber dari watak arogan yang didukung oleh doktrin ideologi zionis yang keblinger. Mereka mendasarkan tindakan brutalnya pada kitab Yosua yang sudah diputar balikkan, berdasarkan kitab  diatas mereka menganggap diri mereka sebagai (1) orang-orang pilihan (2) orang-orang yang unggul, dan (3) orang-orang yang dilebihkan dari etnis lainnya.
Memang dalam Al-Qur'an disebutkan “Hai Bani Israil, ingatlah akan ni'mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS.2 : 47), Juga pada Qs. 45 :16 “ Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Tetapi ayat-ayat ini tidaklah menyiratkan "orang pilihan" seperti yang dipahami orang-orang Yahudi radikal. Ayat-ayat tersebut menunjukkan kenyataan bahwa banyak nabi-nabi yang datang dari keturunan ini, dan bahwa orang-orang Yahudi memerintah di daerah yang luas pada saat itu. Ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa dengan berkat kedudukan kekuasaan mereka, mereka "lebih diutamakan di atas semua manusia lain." Tetapi tatkala mereka menolak Isa, keutamaan itu pun berakhir.
Al-Qur'an menyatakan bahwa orang yang terpilih tersebut adalah para nabi dan orang-orang beriman yang Allah tunjuki kepada kebenaran. Ayat-ayat tersebut menyebutkan bahwa para nabi itu telah dipilih, ditunjuki jalan yang benar, dan diberkati (Qs.19 : 58),  Namun orang-orang Yahudi radikal, meyakini "orang yang terpilih" sebagai ciri kebangsaan sehingga mereka menganggap setiap orang Yahudi terlahir unggul dan bahwa Bani Israil selamanya dianggap unggul dari semua manusia lainnya. Semakin parah, tatkala “perasaan unggul” tsb dijadikan motivasi untuk melakukan kekejaman atas bangsa lain." Untuk tujuan ini, para Zionis membenarkan perilaku mereka melalui kebencian-kebencian turun-temurun yang bisa ditemukan dalam Talmud. Menurut pandangan ini, hal yang lumrah bagi orang-orang Yahudi untuk menipu orang-orang non-Yahudi, untuk merampas hak milik mereka, bahkan jika diperlukan, membunuh mereka, termasuk wanita dan anak-anak.
Disamping itu ajaran zionis juga menyebutkan bahwa kembalinya orang Yahudi ke Palestina merupakan sebuah “tujuan suci” dan perang yang dilancarkan mereka untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebuah “perang suci.”  Rabbi Shlomo Goren peminpin Rabbi (pemuka agama yahudi) untuk kelompok Ashkenazic (Yahudi Eropa barat) di Israel berfatwa bahwa tindakan tentara zionis atas penduduk Palestina merupakan tugas suci keagamaan yang sesuai dengan  halakha (hukum agama Yahudi) dan perintah Yahweh (Tuhan agama yahudi). Kitab kita mengajak dengan penuh kebanggaan untuk melakukan tindakan kejam oleh Bani Israel, dibawah pimpinan Yosua atas pribumi Palestina.
Dalam karya klasiknya The Case of Israel: A Study of Political Zionism, Garaudy menyebutkan bahwa Kitab Yosua, seringkali dijadikan propaganda oleh para rabbi dalam menganjurkan perang suci bagi tentara zionis untuk melakukan pemusnahan atas penduduk yang ditaklukkan, menumpas dengan “mata pedang” segala sesuatu “baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda,” (Yosua, 6:21), Propaganda turun temurun dari para pemuka agama yahudi ini, ditambah lagi dengan ungkapan bahwa “orang-orang terpilih Israel adalah spesies unggul dari Nil hingga Eufrat” telah membentuk dasar-dasar ideologi Zionisme Israil. Perlakuan brutal tentara Israel atas warga Palestina adalah akibat langsung  dari ajaran ini.
 
C. Pembantaian itu harus dihentikan
Pembantaian zionis Israil  atas warga Palestina sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak zionisme pertamakali dibawa ke dalam agenda dunia di akhir abad ke sembilan belas oleh Theodore Herzl (seorang wartawan Yahudi asal Austria),  Tetapi yang populer dari catatan sejarah pembataian warga Palestina oleh zionis Israel adalah  (1) pembantaian King David, tahun 1946 yang menewaskan 920 orang (2) Pembantaian Baldat Al-Shaikh, Yehida, Khisas dan Qazaza tahun 1947 menewaskan hampir 2000 orang, termasuk anak-anak yang tak berdosa (3) Di tahun 1948 puluhan ribu warga Palestina tewas oleh pembantaian tentara zionis di Hotel Semirami,  Naser al-Din,  Tantura,  Masjid Dahmash, Dawayma,  Houla,  Salha, dan Deir Yassin, (4) di Tahun 1956  ribuan warga Palestina tewas oleh pembantaian tentara zionis di  Kafr Qasem,  Khan Yunis dan Gaza, (5) Tahun 1981 ribuan warga Palestina tewas oleh Zionis di Fakhani, (6) Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, tahun 1994 : 2500 warga sipil tewas (7), Pembantaian di Qana, tahun 1996 : 509 tewas (8) tahun 1994 pembantaian terjadi lagi di Sabra dan Shatilla yang menewaskan ribuan warga sipil palestina, Mereka di tahun 1994 juga membantai 4000 anak-anak dengan membagi-bagikan coklat yang sudah diracuni.  Bahkan dikatakan sejak September hingga desember 2007 sebanyak 936000 orang Palestina tewas, angka-angka ini belum termasuk yang hilang tanpa bekas .
Melihat kekejian ini, saya kira umat Islam tidak boleh berdiam diri, sebab menurut Nabi saw, persaudaraan kaum muslimin ibarat sebuah bangunan, yang satu harus menguatkan yang lainnya. Kita mesti merespon teguran Allah” Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan membela orang- orang lemah”. (Q.S. 4 : 75). Saat ini layak ditanyakan dimana gerangan para laskar jihad yang sering terlihat garang di negeri sendiri itu ? dimana pula para kyai yang hobi istighosah itu ? Kenapa MUI lebih suka mengeluarkan fatwa tentang rokok daripada ini ?. Pertanyaan serupa juga mesti segera diajukan kepada Amerika atau Dunia, Mengapa untuk kekejian ini, mereka tidak ngomel tentang terorisme ?.
Wahai saudaraku, mesti disadari, kendati kita mencintai perdamaian, akan tetapi ketika saudara kita diperangi. Maka Allah mengizinkan kita berperang dalam segala bentuknya (Q.S. 22 : 39). Boleh jadi anda mencibir oang-orang yang keras meneriakkan jihad sebagai pihak yang menjadikan Agama sebagai alat politik, tapi anda jangan lupa bahwa membiarkan pembantaian manusia secara besar-besaran adalah perbuatan dosa yang anda juga menanggungnya.
Kini bukan saatnya berseminar, ber talkshow atau berdiskusi sebab yang dibutuhkan saudara kita di Gaza bukan hasil seminar. Jangan hanya musuh yang dikecam, sebab umat Islam sendiri atau negara mayoritas muslim yang karena kepecikan dan ketergantungannya telah membuka jalan bagi kemenangan musuh dan kebinasaan diri sendiri. Inilah yang disebut Nabi saw sebagai : Al-Ujara’ dan Al-Mutahawwinun (Orang yang menjual dirinya kepada musuh Islam) dan (orang- orang yang tidak ambil pusing terhadap kejadian-kejadian yang sedang melanda kemanusiaan),.Padahal sangat jelas sabda Nabi saw yang menyebutkan “Barang siapa diantara kaum muslimin yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin yang lain, maka mereka bukan termasuk golongan umat ku". #

Kamis, 27 September 2012

MERENDA DAMAI DI BLOK KRAMAT

Ust. Ach. Hefni Zain


I
Ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama masih saja terjadi. Agama, yang semestinya bersemangat menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Banyak faktor yang menjadi pemicunya, antara lain, pertama ketika masing-masing kelompok agama menganggap kelompok lain sebagai sesat dan berbahaya yang harus dimusnahkan, kedua, Sikap apriori dan praduga teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat oleh para elit agama dengan landasannya masing-masing. Ketiga, kegagalan penganut agama dalam memahami prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip. Keempat, faktor ketidak adilan, bias pribadi dan profokasi pihak-pihak tertentu yang menjadikan agama sebagai bungkus dan alat untuk mencapai tujuan subjektif tertentu.
Faktor-faktor diatas pada gilirannya berimplikasi pada terabaikannya  misi agama untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan  diantara penganut agama, bahkan sebaliknya faktor-faktor diatas justru menjadi embrio bagi munculnya benih-benih kebencian diantara umat beragama, yang pada gilirannya berdampak pada disharmonisasi hubungan antar umat beragama.  Wilayah agama memang merupakan wilayah yang paling sensitif sebab ia berhubugan erat dengan pandangan hidup, spirit dan ideologi. Karena itu isu agama bila diekploitasi akan menjadi hal yang sangat peka memunculkan berbagai konflik, lebih-lebih dalam masyarakat majemuk seperti Indoensia. Agama disatu sisi dapat mejadi suatu faktor pemersatu (uniting factor) namun disisi lain agama juga dapat dengan mudah disalah gunakan sebagai alat  pemisah dan pemecah belah. (deviding dan devising factor).  
Di Indonesia, sesungguhnya secara yuridis undang-undang yang melindungi kebebasan beragama telah ada sejak lama, tetapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda paham. Tapi, penyerangan itu tetap terjadi,”Itu semua karena pemerintah tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

II
Untuk kasus di Indonesia, sebagian pihak menuding bahwa Islam fiqhi dan Islam siyasi memiliki peran terhadap embrio munculnya kekerasan bernuansa agama. Bagi Islam fiqhi yang kurang faham akan fiqh ikhtilaf memang cenderung fanatik dan hitam putih. Pada umumnya mereka hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,”. Kondisi ini jauh berbeda dengan perilaku para fuqaha pada abad ke 2 hijriyah, sebut saja Imam al-Syafi'i, al-Auza'i di kawasan Syam Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, Malik bin Anas di Madinah, dan Ahmad bin Hambal di Baghdad. Bagi mereka Li Kulli Ro'sin Ro'yun. Lain kepala lain pendapat, karenanya fenomena beda pemahaman adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam koleksi fatwanya (majmu' fatawa) mengatakan, monvonis kafir kepada seorang muslim itu dilarang, baik disebabkan kriminalitas yang diperbuat, atau kesalahan yang dilakukannya, selama masih dalam koridor beda pendapat hukum antar umat Islam.  Masalahnya, maukah kita mengkritisi diri sendiri, berlapang dada dan bisa mengambil faidah keilmuan dari orang lain?
Setelah itu berkembang Islam siyasi atau Islam politik yang menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, kelompok ini memandang perlunya perjuangan merebut kekuasaan untuk menegakkan negara Islam, dan syariat Islam, mereka menyebutkan bahwa kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban-kewajiban agama lainnya, seperti berbuat adil, menolong mustad’afin dan menerapkan hudud, tidak bisa efektif tanpa back up kekuasaan dan pemerintahan, bahkan lebih tegas dikatakan “ Inna al shultan zhill Allah fi al ard” (sesungguhnya shulton adalah bayangan Allah dimuka bumi). Oleh karena itu, mengakkan negara Islam merupakan kewajiban agama yang paling besar. Hal itu dimaksudkan guna mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Mereka menyitir firman Allah “Barang siapa menegakkan dan memutuskan satu masalah tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka mereka ini termasuk kedalam golongan orang- orang kafir” (Qs. 5 : 44). Menurut kelompok ini negara harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia, agar tujuan kemanusiaan dapat terwujud secara optimal (Qs. 57 : 25). Dari faham yang demikian, segera memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang heterogen, disamping saja berpeluang melahirkan otoritarian dan hegemonik baru.

III
Dari Islam fiqhi dan Islam siyasi mestinya mengantarkan kita pada Islam madani, dimana semua agama bisa bertemu, mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika Islam fiqhi itu berkutat pada urusan fiqh dan Islam siyasi pada politik, maka Islam madani berpusat pada karakter dan akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Bagi Islam Madani, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya. Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Bagi model ini, semua model pemahaman ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.
Misi utama Islam madani adalah terwujudnya persatuan dalam keragaman, sebab persatuan merupakan langkah awal menuju kejayaan umat.  Dr M. Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh al-Siroh nya menjelaskan bahwa tidak ada satu negarapun yang bangkit dan maju tanpa berasaskan kesatuan umat dan saling bekerjasama.  Selanjutnya, kata dia,  kebersamaan dan kesatuan itu tidak dapat dicapai kecuali dimulai oleh dorongan kecintaan antar sesama.
Kini, Islam siyasi tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus. Islam fiqhi juga masih bertahan dan eksis lewat  organisasi keagamaan.  Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi madani dalam kehidupan global. Paham madani juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.
Kegagalan penganut agama memahami secara konprehensip prinsip-prinsip asasi agamanya kadang berawal dari sini, sehingga mereka hanya memperoleh pemahaman parsial.  Padahal pemahaman parsial atas agama sering menjadikan peran agama bergeser dari fungsinya membela kaum lemah menjadi elitis, agama telah menjadi alat dan justifikasi bagi pihak pihak tertentu untuk bertindak kejam pada sejumlah komunitas masyarakat yang lain, ditangan mereka, agama telah dikurung dalam ruang teologis yang kering dan hampa, ditangan mereka agama kini sama sekali tidak menyentuh realitas, ia hanya menjadi berhala yang menina bobokkan rakyat tak berdaya, agama semakin berdiri di pentas megah dan menjadi fetishisme, ritual agama juga digencarkan seakan akan menjadi tempat singgah Tuhan untuk memberikan solusi  atas semua masalah publik  sehingga membuat banyak orang terbius.
Nah untuk menyudahi peran naif agama kita perlu mendekatkannya pada sengketa sosial. Ibadah agama tidak sekedar sholat, tetapi juga perlu melakukan ibadah advokasi, pembelaan serta ibadah melawan ketidak adilan. Tuhan rasanya setuju jika agama tidak diparkir hanya untuk memuji-mujiNya, tetapi juga bertindak untuk membela umatnya yang lemah.
Maka agama madani menjadi relevan dikembangkan di Indonesia, sebab model ini dapat menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan kita,” dari sini Agama diharapkan dapat mewujudkan masyarakat madani dan bukan meddeni masyarakat

PENGUASA & MANZHAB KEMEWAHAN



 Ust. Hefni Zain
Ratusan tahun yang lampau, jauh sebelum filosof Inggris, John Edward, terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” Amirul mukminin Ali bin Abi Tholib, dalam peringatannya kepada salah seorang gubernurnya, telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif kekuasaan. Ketika khalifah Ali mendapat laporan bahwa seorang gubernurnya bernama Usman bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang penguasaha kaya di Basrah, sang khalifah segera menyampaikan pesan peringatan :
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai kepadaku sebuah kabar, bahwa seorang konglomerat kota Basrah mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian… Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.”
Fenomena penguasa menghadiri undangan konglomerat, bagi banyak orang adalah wajar dan mungkin dianggap sepele,  tetapi tidak bagi khalifah Ali bin Abi Tholib ra.  Dalam konteks ini yang menjadi fokus Ali bukan soal seseorang menghadiri undangan orang lain, tetapi soal penguasa yang berdekat-dekat dengan kemewahan. Bagi Ali penguasa yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai  kepercayaan rakyat, juga berpotensi besar bagi terjadinya praktek korupsi. Adalah rumus umum bahwa tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi korupsi akan semakin besar.
Karena kemewahan hanya dikendalikan oleh logika hasrat (logic of desire), maka penganutnya pasti menderita maniak rakus, dengan kata lain, dalam pelukan kemewahan, kekuasaan pasti mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”, dan bila kerakusan menguasai seseorang, maka yang bersangkutan akan memburunya kemanapun dan dengan cara apapun. Itulah sebabnya bagi penganut manzhab kemewahan, prinsip yang dipegang hanya satu, yakni “kutahu yang kumau bukan kutahu yang kubutuhkan”. Akibatnya kemewahan mengaburkan pandangannya dari segala sesuatu yang ada disekelilingnya, ia akan menelan habis kesadaran si penguasa atau membuatnya buta dan tuli terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan adalah "tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang"?  Lalu apa yang bisa diharapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan?, Inilah hal substansial yang dikhawatirkan Ali Bin Abi Tholib.
Sesungguhnya penganut manzhab kemewahan, adalah para pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas mereka amatlah bergantung kepada seberapa banyak kepemilikan rumbai-rumbai harta benda. Maka, bila para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak berguna dan tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu para penguasa, pejabat, politisi, atau siapa pun yang tidak percaya diri karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.
Dari penguasa penghamba kemewahan ini lalu kita dipertontokan pada hal-hal yang ganjil,  pertama, kebijakan simplistik yang mengarah kepada pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini sejatinya merupakan korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan bergerak dalam kecepatan tinggi, akibatnya, mereka benar-benar lumpuh -terutama secara paradigmatik- untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan solutif yang berpihak pada rakyat,  Mereka miskin alternatif dan seringkali terjebak dalam kebijakan-kebijakan reduktif, misalnya sekedar mengikuti prosedur yang normatif.  Biasanya, penguasa jenis ini menganggap bahwa segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘simbolik’ (misalnya peresmian proyek, atau pencanangan program) telah selesai dilaksanakan, padahal, pekerjaan-pekerjaan seremonial semacam itu minim sekali menyentuh hajat rakyat banyak.  
Kedua adalah hiper-kriminalitas, yakni ketika kebejatan perilaku justru dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Nalar kita, misalnya, seakan-akan tak kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira polisi bisa melakukan tindakan pencucian uang ?  bagaimana mungkin anggota DPR yang terhormat berulangkali melakukan perbuatan tidak terhormat ?, bagaimana mungkin para gebenur, bupati, wali kota yang notabene berpenghasilan lebih dari cukup masih melakukan tindak korupsi ?.  Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan, baik dalam logika hukum ataupun moral, kecuali logika hasratlah yang mencabik-cabik kesadaran dan moralitas mereka karena berlomba dalam kemewahan, simbol dan status.
Ketiga adalah ketidak berpihakan kepada rakyat dan kebenaran. Para penguasa yang telah mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari (tidak berpihak kepada) kebenaran dan keadilan, sebab untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi mereka terlalu getir, pahit, dan berat untuk dihadapi, diperlukan keringat, air mata, dan bahkan darah untuk memperjuangkannya. Karenanya, mereka lebih memilih menikmati beragam ilusi yang disajikan kemewahan, mereka lebih mementingkan kepuasan kaum elit ketimbang rakyat kebanyakan, mereka lebih suka memanipulasi realitas melalui iklan, retorika, seremoni-seremoni, dan lain sebagainya, bahkan mereka  menutup diri terhadap rakyat kebanyakan dengan cara menetapkan protokoler yang njelimet yang tak akan pernah terraih oleh tangan-tangan layu rakyat jelata.
Maka, jangan pernah berharap mereka melakukan perubahan-perubahan yang radikal bagi kepentingan orang-orang lemah karena bukankah, “Pohon-pohon di padang tandus lebih kuat batangnya sedangkan yang hijau menawan jauh lebih lunak. Demikian pula kayu pepohonan di tempat-tempat gersang lebih kuat nyala apinya dan lebih lambat padamnya,” atau “Bukankah. unta akan hidup tenang beristirahat bila telah penuh perutnya? Demikian pula domba bila merasa kenyang setelah makan rerumputan?” demikian ungkap sayyidina Ali, sang  putra ka’bah.
Jelaslah bahwa yang dikecam Ali bukanlah dunia fisik atau jasad tempat ruh kita bersemayam, bumi tempat kita berpijak, dan lingkungan sosial tempat kita berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu memarjinalkan manusia bukan saja dari persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran diri.
“Dunia kemilau” inilah yang dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai penegak hukum, pengemban amanah rakyat, mahasiswa, pelajar, guru besar, kyai, tokoh agama dan aktivis pro demokrasi, maka kini, masyarakat semakin sulit membedakan antara penegak hukum dengan pelanggar hukum, politikus dengan prilaku tikus,  guru besar dengan pelacur intelektual,  mahasiswa dengan preman pasar,  agamawan dengan penghasut, aktivis pro-demokrasi dengan penyuap, dan bahkan antara “manusia dengan monster”.
Kini tampaknya kita harus mulai berhati-hati dan merasa kasihan terhadap mereka semua, namun tentu saja, kita tak mungkin memaksa para “bapak-bapak” kita itu untuk melakukan self-denial  ala sayyidina Ali yang “Tiada secuil emas atau perak dari dunia kalian ini pernah kusimpan. Tiada sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku yang lusuh. Tiada sejengkal tanah pun yang kumiliki. Tiada kuambil bagi diriku lebih daripada makanan seekor keledai yang renta.”
Yang kita minta mungkin hanyalah hal-hal sepele misalnya dapatkah Bapak keluar dari istana Bapak yang megah itu lalu memperhatikan adakah di sekitarnya gubuk-gubuk liar yang setiap saat diliputi kecemasan dan ketakutan atas ancaman penggusuran dan pengusiran terhadap tempatnya berteduh dari hujan dan terik, makanan yang habis, uang yang menipis, anak yang meringis dan menangis karena sibapak gagal mengemis, atau sesekali relakah Bapak meninggalkan mobil-mobil mewah Bapak lalu menaiki bus-bus umum atau kereta-kereta api yang penuh sesak dan sumpek, yang para penumpangnya seringkali harus cemas apakah ongkos mereka cukup atau jika cukup, masihkah ada pada tempatnya, yang kondekturnya menghitung keping demi keping uang recehan sembari bertanya dalam hati adakah ini cukup untuk membayar setoran, seraya berharap semoga tidak ada pungli atau tidak kena tilang yang berbuntut ‘uang damai’.  Hal-hal di atas mungkin sesuatu yang remeh, yang tidak akan berbuah kompensasi seperti jika anggota parlemen “berstudi banding” ke luar negeri. #

Rabu, 26 September 2012

MALAIKATPUN DISUAP




Ust. Hefni Zain

*
Soal suap menyuap di negeri ini sepertinya telah dianggap lumrah dan menjadi budaya yang mengakar kuat di hampir seluruh segmen kehidupan, mulai dari tingkat yang paling atas hingga yang paling bawah, mulai yang paling besar hingga yang paling sepele. Jangankan soal tender proyek yang bernilai milyaran rupiah, soal bocah masuk TK atau soal ngurusi surat keterangan domisili ke ketua  RT saja yang nilainya tiga ribu perak tak luput dari praktek maksiat ini. Modusnyapun bermacam-macam, termasuk juga sebutannya, ada yang menyebut  biaya administrasi, biaya transport, ganti pulsa hingga yang tidak bernama.  
Anehnya, minoritas orang yang tidak mau melakukan budaya suap seperti diatas dalam kehidupannya akan disebut aneh dan dianggap melawan arus oleh kebanyakan orang.  Seorang pejabat yang tidak mau menerima suap atau tidak mau melakukan korupsi akan dianggap aneh oleh masyarakat yang biasa korup. Seorang kyai yang tetap bertahan hidup sederhana juga akan dianggap aneh oleh komunitas yang biasa hedonistik, Seorang tokoh Islam akan dianggap aneh bila tidak ikut menyesatkan kelompok lain yang berbeda faham.  Jadi pada budaya kita saat ini minoritas orang yang masih waras akan dianggap aneh oleh komunitas masyarakat  “yang sudah gila”.  Inilah yang diprediksi Rasulullah saw lewat sabdanya “fatuuba lil ghurabaa’ ” (berbahagialah orang-orang aneh atau dianggap aneh)” Siapakah al-ghuraba’ ?, Menurut Rasul mereka adalah orang-orang yang konsisten dan istiqomah menghidupkan sunnah Rasul, tatkala begitu banyak manusia yang berupaya mematikannya.
Dan yang lebih lucu lagi, sebagian orang menganggap bukan hanya pejabat, kyai, polisi, jaksa, hakim, guru, mucikari atau spesies manusia lainnya yang bisa disuap, malaikatpun dianggapnya dapat disuap. Statemen ini sepertinya mengada-ada, tetapi ketahuilah fakta inilah yang kita saksikan di lingkungan kita hari-hari ini.  Sebagai contoh kecil, suatu ketika seorang mucikari yang kaya raya bertanya pada pengasuh pesantren di ibu kota,  Ustadz...! saya ini penuh dosa dan bergelimang harta haram, bisakah dosa saja terhapus bila kami sumbangkan  sebagian harta saya pada pesantren ini atau pada yatim  piatu ?
Contoh serupa juga terjadi dikalangan sebagian kaum seleberitis, para pejabat, broker politik, pengusaha hitam dan semacamnya yang superkaya, yang ketika pulang kampung tampak alim, dermawan dan beramai-ramai bersedekah kemana-mana, membantu pesantren, masjid dan royal pada anak yatim bahkan sering bolak balik melakukan umrah dan haji, padahal uang yang didapat  adalah hasil dari melacur, honor film porno dan tari erotis yang mengundang syahwat, hasil mengkorupsi uang  rakyat, hasil makelaran politik, hasil “ngipas “ penguasa dan pengusaha, dan semacamnya.  Mereka berasumsi bahwa seolah-olah sorga dapat dibeli dan malaikat bisa disuap dengan uang haram –atau minimal- subhat  dari harta kekayaan  mereka.
Kwalitas dagelan itu kian tinggi  ketika mereka mengatakan “berbuat demikian itu adalah lebih baik daripada tidak sama sekali". Karena itu, para pejabat sedikitpun tidak malu mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, para artis tidak malu mempertontonkan “sitratul muntahanya” sebebas-bebasnya, atau mereka dengan tanpa beban melakukan apapun yang paling keji sekalipun, toh sebesar apapun dosa mereka akan dapat ditebus dengan aksi “menyuap malaikat” dengan melakukan umrah, haji atau membangun masjid-masjid, menyumbang pesantren atau menyantuni para yatim dan orang-orang yang tidak mampu. Dan tingkat dagelan itu mencapai puncaknya ketika mereka seakan tidak berhenti mengharap sorga dengan terus melakukan tindak maksiat.

**
Suatu hari sayidina Ali bin Abi Tolib ra ditanya oleh seorang sahabat, “Ya Amirul Mu’minin, mengapa do’a kami tidak diijabah ? Padahal Allah berfirman dalam Al qur’an, “Ud’uuni astajiblakum” (berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu).   Sayidina Ali menjawab, “Sesungguhnya hatimu telah berkhianat kepada Allah dengan enam hal, yakni :

  1. Engkau beriman kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya, maka, tidak ada mamfaatnya keimananmu itu.
  2. Engkau mengatakan beriman kepada Rasul-Nya, tetapi engkau tidak melaksanakan sunnahnya.
  3. Engkau membaca Alqur’an, tetapi engkau tidak mengamalkannya.
  4. Engkau menginginkan syurga, tetapi setiap waktu engkau melakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari syurga, maka mana bukti keinginanmu itu?
  5. Setiap saat sengkau merasakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah, tetapi tetap engkau tidak bersyukur kepada-Nya.
  6. Engkau jadikan cacat atau kejelekkan orang lain di depan mata, tetapi kau sendiri orang yang sebenarnya lebih berhak dicela daripada dia.

Nah, bagaimana mungkin do’amu diterima, padahal engkau telah menutup seluruh pintu dan jalan do’a tersebut. Bertaqwalah kepada Allah, shalihkan amalmu, bersihkan batinmu, dan lakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nanti Allah akan mengijabah do’amu itu.
Ketika Sayyidina Ali membaca ”Wamaa anfaqtum min syai in fahuwa yukhlifuhuu, wahuwa khairun raaziqin" (Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang sebaik-baiknya), (QS. Saba [34] : 39). Lalu beliau menjelaskan : Akan kukabarkan kepadamu, Insya Allah seandainya engkau menta’ati Allah atas apa yang diperintahkan-Nya kepadamu, maka Allah akan mengijabah do'amu. Adapun engkau berinfak tetapi tidak melihat hasilnya, itu karena harta yang engkau infakkan berasal dari harta yang tidak halal, atau hatimu tidak ihlas, Jika engkau mencari harta yang halal, kemudian engkau infakkan harta itu di jalan yang benar, maka tidaklah infak satu dirhampun, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih banyak.
Pernyataan Sayyidina Ali diatas menegaskan bahwa Allah swt hanya dapat didekati oleh hati yang suci, amal yang suci, harta yang suci dan proses yang suci. Para malaikat tidaklah dapat disuap dan sorga tidaklah dapat dibeli , apalagi dengan uang haram. Disebutkan dalam alqur’an ”Akan datang suatu hari, dimana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-Syu'araa': 88-89). Dalam sebuah hadits juga ditegaskan harta kita akan dimintai pertanggung jawaban  dalam dua hal, yakni dari mana atau dengan cara apa diperoleh dan untuk untuk apa dipergunakan (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah ra).
Sebagian pihak yang beramal untuk mendapatkan sorga dengan menyuap malaikat dan membeli sorga lebih-lebih dengan uang haram, bukan saja tidak digubris oleh Allah, melaikan juga akan dikecam, karena telah melecehkan Allah dan para malaikat yang dianggapnya materialistik dan dapat disuap dengan harta benda.
Dalam hadits qudsi malah ekstrim dikatakan bahwa orang yang mengandalkan amal sholehpun  tidak layak memperoleh anugerah Allah, sebab anugerah Allah memang tidak dapat dibeli dengan apapun, apalagi dengan uang hasil maksiat, anugerah Allah hanya dapat diperoleh dengan kesucian, keridlaan, cinta dan tawakkal, yakni orang yang senang dan ridlo dengan segala keputusan Allah, karena ia senang terhadap apapun yang menjadi keputusan Allah terhadap dirinya, menyebabkan Allah swt juga senang kepadanya, bila dirinya ridlo pada Allah, maka Allahpun  ridlo kepadanya.
Memang sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah bangga dengan diri sendiri, kita merasa sudah banyak beramal  dan karena itu merasa berhak untuk memperoleh segala anugerah Allah, dengan hanya sering memberi angpao ke pesantren atau bolak balik umroh, kita merasa telah berhak mendapatkan pertolongan Allah, seakan kita menganggap Allah berkewajiban melayani kita.  Ketika pertolongan Allah tidak segera datang, kita marah kepadaNya sambil berkata “ Apa belum cukup semua pengorbanan yang telah aku berikan ? Dalam QS. Al Mudatsir ayat 6 Allah swt berfirman “Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak”. 
Secara batiniyah, merasa telah berbuat banyak pada Allah, akan menyebabkan tirai gelap yang menutup karunia Allah, sebab ia telah mengendalkan amalnya dan meremehkan pemberian Allah, itu artinya, ia sebenarnya masih berkutat dengan dirinya sendiri, ia tidak berjalan menuju Allah, ia hanya berputar putar disekitar egonya sendiri, ia tidak mencari ridlo Allah, ia mengejar ridlo dirinya sendiri.
Rasululloh saw mengajarkan doa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu”.

***
Lihatlah !, bila sekelas Rasululloh saja masih tidak berani mengandalkan amalnya, apalagi kita, sungguh kita ini menggelikan, sudah merasa cukup beramal hanya karena sering menyumbang ke yayasan yatim piatu, dan yang lebih gila lagi, bila kita menganggap malaikat dapat disuap dan sorga dapat debeli, termasuk dengan menggunakan uang haram.
Nampaknya, lakon-lakon menggelikan seperti diatas masih akan terus berlangsung di negeri ini dan bahkan tingkat kelucuannya semakin tinggi. Setelah sebelumnya, sulit dibedakan antara penegak hukum dan pelanggar hukum, antara pejabat dan penjahat, antara porno dan estetika, antara kyai dan politikus, antara wakil rakyat dan perampok rakyat, kini dagelan itu wilayahnya semakin meluas, bukan saja para pejabat, polisi, jaksa, hakim, guru (yang masih manusia) yang kita suap,  jin, iblis, bahkan malaikatpun  kita suap juga. 
Suap oh suap, kau memang mahluk Tuhan yang paling sexy...... !