Senin, 29 April 2013

PERLU FAKULTAS KETAQWAAN JURUSAN KEJUJURAN



Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah menengah pertama, berikuit pernik-perniknya  telah berakhir. Sebagaimana dirilis oleh beberapa media, dibanding tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian kali ini juah lebih buruk.
Unas bukan hanya memakan ongkos material yang besar, tetapi juga biaya immaterial, berupa kecemasan, kecurangan, mental nigatif dan ketidak jujuran. Dari sisi  biaya ujian ini menelan dana hingga trilyun rupiah lebih. Dari sisi pihak yang terlibat, selain perguruan tinggi juga ada aparat keamanan dari kepolisian di seluruh Indonesia. Belum lagi beban psikis para pengelola di sekolah. Ada guru yang teledor tidak mengisi berita acara kecurangan harus berurusan dengan pihak keamanan, bahkan diancam  pidana. Andai saja pihak penyelenggara di sekolah bisa dipercaya sehingga ujian benar-benar memberikan hasil yang objektif, maka keterlibatan perguruan tinggi dan lebih-lebih aparat kepolisian,  sama sekali tidak diperlukan.  Kenyataannya, kendati pengawasn sudah begitu ketat semangat guru untuk ‘membantu’ siswanya masih saja terjadi. Di benak guru mungkin terlintas beban yang berat jika sampai ada anak didiknya yang tidak lulus, apalagi penyebabnya adalah mata pelajaran yang dia ajarkan. Secara psikologis, ini akan menjadi beban berat.
Kegiatan yang murni akademik ini kemudian menjadi polemik berkepanjangan di kalangan para praktisi, pakar, dan pengelola pendidikan sejak beberapa tahun terakhir. Pasalnya, kendati banyak pihak menghendaki ujian nasional ditiadakan, pemerintah tetap berpendirian menyelenggarakan ujian nasional dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah untuk mengukur tingkat kemampuan rata-rata anak secara nasional sebagai bahan kebijakan pembangunan nasional lebih lanjut. Yang kontra  beranggapan bahwa ujian nasional tidak memberi kesempatan kepada para pengelola pendidikan, terutama guru untuk mengevaluasi sendiri hasil didikannya.  Selain itu, dengan ujian nasional sepertinya guru tidak begitu dipercaya oleh pemerintah, lebih-lebih ketika pemerintah meminta  perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia untuk terlibat dalam pengawasan ujian dan distribusi sosial.
Dampak langsung dari ujian nasional adalah banyak sekolah yang tidak siap menyelenggarakan ujian nasional sehingga angka ketidaklulusan tinggi. Akibatnya, sekolah yang demikian tidak memperoleh kepercayaan masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun jumlah muridnya berkurang, hingga akhirnya tutup.  Tidak sedikit sekolah yang mengalami nasib harus tutup karena tidak ada murid yang mendaftar, terutama sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat.  Masyarakat sendiri yang akan menilai kelayakan apakah sebuah satuan pendidikan bermutu atau tidak. Karena itu, ujian nasional menjadi peringatan bagi setiap pengelola satuan pendidikan untuk selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikannya, tidak melalui praktik kecurangan saat ujian dengan memberikan jawaban soal kepada siswa dan membocorkan naskah ujian, tetapi melalui proses belajar mengajar yang baik.
Sayangnya, ujian nasional dua tahun terakhir semangat ‘curang’ tersebut masih tampak, sehingga keterlibatan perguruan tinggi dan aparat kemananan masih diperlukan. Saya berharap suatu saat ujian nasional tidak diperlukan lagi, sehingga para penyelenggara pendidikan merasa hak-haknya dihargai. Mereka bisa mengajar dan menilai sendiri hasil pengajarannya. Dengan ujian sendiri, keterlibatan perguruan tinggi dan aparat keamanan tidak diperlukan lagi. Namun, syaratnya adalah semua penyelenggara pendidikan berlaku jujur dalam menilai anak didik, sehingga diperoleh hasil seobjektif mungkin yang bisa dipakai untuk mengukur standar hasil belajar secara nasional.
Sekolah harus menjadi institusi pengembang nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan kearifan. Ini semua dimulai dari perilaku para pendidiknya. Bagaimana mungkin sekolah berharap anak didiknya menjadi pribadi jujur, sementara pendidiknya sendiri tidak memberikan tauladan kejujuran?. Karena itu, selama kejujuran belum bisa didapatkan di sekolah, selama itu pula  kepercayaan masyarakat belum diperoleh. Dan, untuk itu harus dibayar mahal. Saya kira perguruan tinggi perlu membuka fakultas ketaqwaan jurusan kejujuran.....

MENGKRITISI KARAKTERISTIK UNAS




Selama ini unas cenderung dikemas sebagai sistem evaluasi yang menggunakan asumsi pendidikan behavioristik. Dalam tradisi behaviorisme, evaluasi prestasi siswa dilakukan dengan melihat level hierarki prestasi, dan menekankan benar atau salah (lihat Gardner, 2006: 55).  Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching), menyempurnakan (completion), dan salah atau benar (true or false). Tes objektif dijadikan pilihan karena praktisi pendidikan behavioris memandang kekuatan menghafal siswa adalah sesuatu yang dipandang sangat penting.
Dalam melihat hierarki prestasi siswa, mereka yang berada di bawah standar karena banyak kesalahan dalam jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan, dinyatakan tidak lulus. Mereka diberi kesempatan memperbaiki pada mapel yang kurang atau tidak lulus tes formatif maupun sumatif, melalui program remedial. Pemerintah menyiapkan paket C, semacam remedial bagi mereka yang tidak lulus unas.
Dari Dimensi Kognitif ke Metakognitif
Unas tak dapat dimungkiri bukan hanya memakan ongkos material yang besar, tetapi juga biaya immaterial. Hampir bisa dipastikan, peningkatan standar kelulusan ujian nasional akan mendorong peningkatan kecemasan banyak pihak. Ancaman tidak lulus kian jadi momok. Siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, bahkan penyelenggara unas itu sendiri, akan mengalami tekanan psikologis yang semakin besar.
Seharusnya tekanan psikologis seperti itu dihadapi dengan semakin meningkatkan proses dan motivasi belajar. Namun, praktiknya tekanan psikologis itu justru dihadapi dengan sejumlah praktik perilaku menyimpang. Setiap tahun selalu muncul kasus pencurian soal, perjokian, kepala sekolah membuat tim sukses, mengajari anak-anak didiknya sendiri bekerja sama, bukan dalam kebaikan, tetapi ketika mengerjakan soal unas. Dengan ongkos sebesar itu, unas faktanya hanya mengukur satu dimensi kecerdasan, yaitu dimensi kognitif saja dari sekian multidimensi intelegensia siswa. Walaupun unas masih mensyaratkan siswa harus lulus di ujian sekolah, betapapun bagusnya nilai ujian sekolah tidak bisa dijadikan kompensasi terhadap nilai unas yang berada di bawah standar kelulusan.
Para ahli pendidikan konstruktivistik memandang dimensi kognitif belum cukup dijadikan dasar untuk menghadapi kehidupan yang kompleks. Dimensi kognitif memang menjadikan siswa cerdas dan pintar. Namun, seperti yang digagas penganut pendidikan konstruktivistik, untuk dapat menghadapi kehidupan yang kompleks ini, siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, afektif maupun motorik. Kehidupan yang kompleks ini tidak bisa dihadapi dengan kecerdasan tunggal, dalam hal ini kognitif saja.
Kehidupan yang kompleks membutuhkan respons berpikir secara divergent. Logika Jawa mengatakan, “pinter” saja tidak cukup, tetapi dalam menghadapi kehidupan ini orang harus “pinter-pinter”. Menggunakan istilah Mary James, cerdas kognitif saja tidak cukup, tetapi hidup ini memerlukan kecerdasan metacognitive, yakni perpaduan antara kecerdasan afektif, kognitif, maupun motorik. Kecerdasan itulah yang memungkinkan lahirnya resilience behavior, yakni perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.
Dengan resilience behavior yang baik, siswa dapat menentukan arah hidupnya sendiri (self-directing) dalam membangun masa depan. Siswa juga dapat memonitor sendiri (self-monitoring) dengan senantiasa bersikap kritis terhadap apa yang selama ini dia lakukan. Siswa juga bisa melakukan penataan dan antisipasi sendiri (self-regulation) dalam memecahkan masalah.
Bandingkan dengan model evaluasi yang diterapkan dalam unas yang memilih memakai sistem tes objektif. Pemerintah sebagai penyelenggara unas memang diuntungkan karena pekerjaan evaluasi terhadap siswa dapat dilakukan dengan gampang. Mereka dapat menggunakan komputer untuk melakukan skoring hasil tes objektif siswa dengan cepat. Namun, siswa hanya diuntungkan dalam menguasai dan menghafal pengetahuan yang dirancang kurikulum dan silabus.
Dalam sistem tes objektif kemampuan siswa menggunakan kecerdasan kreatif mengantisipasi kehidupan nyata yang kompleks ini tidak termonitor secara pasti. Masalahnya, siswa hanya belajar apa yang ada dalam kurikulum dan silabus, tidak belajar apa yang ada dalam hidup dan kehidupan. Padahal, apa yang ada dalam hidup dan kehidupan sungguh lebih kompleks daripada apa yang ditulis dalam kurikulum, silabus maupun bahan-bahan ajar.
Perlu Penilaian Otentik
Hanya dengan mengajari siswa tentang hidup dan kehidupanlah, output dan outcome pendidikan kita akan menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten sehingga menjadikan ilmu pengetahuannya bermakna. Sistem evaluasi yang menggunakan objective test seperti yang dipakai unas sangat tidak memadai untuk dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berkompeten, yang dapat menjadikan ilmu pengetahuan yang diperoleh bermakna untuk dirinya dan sesama.
Seperti yang dikatakan Wiggins (1998), sistem evaluasi akan efektif jika didasarkan prinsip-prinsip penilaian otentik. Penilaian dalam hal ini dilakukan dalam konteks pembelajaran yang nyata. Lantas di dalamnya disusun model evaluasi yang mendorong siswa mampu melakukan konstruk dan rekonstruksi pengetahuan secara otentik, menumbuhkan disiplin mencari informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Bukan hanya memecahkan masalah di sekolah, tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolah.
Model penilaian otentik ini tidak mengandalkan pemberian tanda dan skoring, salah atau benar, melainkan menilai kondisi mentalitas kepribadian yang dilakukan dalam setting yang nyata, seperti penyelesaian tugas tertentu. Misalnya, dalam menyelesaikan tugas membuat desain arsitektural, pemahaman dan pemanfaatan sumber daya alam tertentu, membaca perilaku anak jalanan, membaca akar kekerasan berikut pemecahannya, perilaku ekonomi politik komunitas tertentu, dan sebagainya.
Strategi penilaian otentik tidak mengedepankan tes objektif, melainkan lebih mengedepankan model evaluasi terfokus sehingga diketahui intensitas perkembangan pembelajaran siswa dalam periode tertentu, melihat profil siswa, membuat jurnal dan portfolio pembelajaran siswa, contoh-contoh penyelesaian tugas, penilaian kawan baya dan sekaligus self-evaluation siswa itu sendiri. Jika strategi evaluasi menggunakan model penilaian otentik seperti itu, lebih bisa diharapkan pendidikan menghasilkan manusia yang benar-benar kompeten, baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun dalam membangun kehidupan bermakna bagi dirinya serta sesama.

Rabu, 24 April 2013

CARUT MARUT UJIAN NASIONAL


                                                                      Hefni Zain
Lagi-lagi seperti tahun-tahun sebelumnya penyelenggaraan ujian nasional kembali diwarnai sengkurat dan persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, contek massal, naskah soal tertukar hingga penundaan pelaksanaannya di berbagai wilayah tanah air. Dan tahun ini sengkurat ujian nasional (UN) benar-benar mencapai puncaknya. Bukan saja tertundanya UN untuk tingkat SMA/SMK dan sederajat di 11 provinsi, penjadwalan ulang UN di 11 provinsi itupun berlangsung sporadis. Di Kalimantan Timur misalnya dari 333 sekolah hanya 155 sekolah yang mendapatkan naskah soal UN.  Atas berulang-ulangnya kejadian  ini, publik meminta pelaksanaan UN dievaluasi kembali untuk melihat baik buruknya bagi pendidikan di Indonesia. Bahkan, Presiden SBY dan Wapres Budiono meminta pihak terkait untuk mencari ide-ide baru, cara-cara baru, contoh-contoh baru, dan belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih maju (RRI, 20/4/2013).
Persoalan mendasar dan terbesar dari UN ialah masih dijadikannya UN sebagai indikator yang menentukan kelulusan siswa. Itulah yang menyebabkan UN menjadi hantu yang sangat menakutkan. Tidak mengherankan bila banyak siswa melakoni perbuatan irasional demi lulus UN. Mengunjungi dan meminta restu ke makam hanyalah satu contoh perbuatan yang dilakukan sejumlah siswa menjelang UN. Sungguh ironis, pendidikan yang semestinya memupuk rasionalitas sebagai manusia justru memicu lahirnya irasionalitas lantaran ketakutan berlebihan terhadap UN. Menyontek juga merupakan efek buruk dari ketakutan tidak lulus UN. Itulah bentuk penjungkirbalikan esensi pendidikan yang semestinya menciptakan manusia jujur, tetapi justru menghasilkan manusia curang.
UN telah membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil, bukan proses. UN telah menciptakan sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan ketimbang kecerdasan rasio, kejujuran, dan kerja keras.Itulah sebabnya beberpa waktu lalu masyarakat melalui citizen lawsuit melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung atas pelaksanaan UN. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan UN dihentikan sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. Tetapi pemerintah tetap saja bandel, meskipun diprotes berbagai kalangan, pemerintah tetap melaksanakan UN, mereka  berkilah dengan berbagai dalih dan dalil disertai setumpuk ulasan dan alasan. Bahkan, alokasi anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tiap tahun bertambah.
Penempatan ujian nasional sebagai ujian kelulusan sejatinya hanya akan menyempitkan kurikulum, melanggengkan pengajaran berbasis soal ujian, dan pembelajaran bersifat hafalan. Sudah saatnya mengembalikan fungsi UN sebagai uji diagnostik pemetaan kualitas layanan pendidikan, itulah inti dari tuntutan para guru besar di perguruan tinggi dan pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Damai Reformasi Pendidikan itu tertuang dalam Petisi Reformasi Pendidikan di Jakarta.
Mestinya pemerintah konsisten bahwa UN  hanya sebagai alat pemetaan. Dan ketika UN berfungsi sebagai pemetaan, pelaksanaannya tidak harus tiap tahun, tetapi secara periodik 3-5 tahun dengan pengambilan sampel. Jika menjadi ujian kelulusan, ujian nasional (UN) justru mematikan kreativitas siswa dan membuat siswa jenuh belajar. ”Untuk ujian kelulusan, lakukan saja ujian sekolah karena guru dan sekolah yang mengetahui secara persis kondisi siswanya.
Publik khawatir bahwa fokus berlebihan pada UN sebagai ujian kelulusan berisiko menghilangkan keinginan belajar siswa. Menurut  Prof Dr. H. Babun Suharto, MM. ketua STAIN Jember, mahasiswa sekarang makin sulit diajak berdialog karena tidak memahami persoalan. Ini berawal dari kebiasaan guru yang hanya mengajarkan materi atau soal-soal UN saja. ”Akibatnya, siswa hanya meng- hafalkan materi pelajaran tanpa memahami konsep.  Pemerintah memang selalu mengatakan UN dilakukan oleh pendidik, dengan menunjuk sejumlah anggota BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang direkrut dari kalangan pendidik. Tapi dalam hal ini konteksnya beda, karena pendidik yang dimaksud dalam UU Sisdiknas adalah pelaku otonom di sekolah bersangkutan, bukan pendidik yang dianggap mewakili guru di BSNP. Menurut  Prof  Dr. H. Babun Suharto, yang dimaksud dengan pendidik yang berwenang melakukan evaluasi hasil belajar sekaligus menentukan kelulusan peserta didik sebagaimana dimaksud Pasal 58 ayat 1 adalah pendidik pada satuan pendidikan atau di sekolah tempat guru tersebut melakukan kegiatan pembelajarannya dan bukan pendidik yang ditunjuk oleh pemerintah atau pihak lain yang tidak melakukan pembelajaran pada satuan pendidikannya.
Memang di sejumlah negara lain, kendali mutu pendidikan nasional sangat bergantung pada kemandirian dan profesionalisme badan standardisasi atau lembaga pengujiannya, ini berbeda dengan keberadaan BSNP di Indonesia.   Lembaga semacam ini di Malaysia bernama Lembaga Peperiksaan Malaysia (Malaysian Examinations Syndicate/MES), di Inggris disebut Cambridge Local Examinations Syndicate atau Oxford Delegacy of Local Examinations, di Hongkong disebut Hong Kong Examinations and Assessment Authority, di Selandia Baru bernama New Zealand Qualifications Authority.
Pengamat pendidikan Mudji Sutrisno juga menilai, UN menjadi tembok besar yang menghalangi anak untuk mampu berpikir logis, tidak hafalan, dan kritis bertanya. ”Dengan bentuk UN yang sekarang, hilang semua itu. Kini sejumlah pihak mendesak pemerintah agar mengembalikan UN sebagai pemetaan pendidikan, bukan seperti saat ini, yakni sebagai penentu kelulusan.

AGAR PARA KORUPTOR JERA



Ust.Hefni Zain

Pernyataan perang terhadap korupsi yang dikobarkan termasuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tak menakutkan para koruptor. Bak pepatah mati satu tumbuh seribu, selalu saja ada pejabat negara yang ditangkap karena menilap duit rakyat. Penjara ternyata tidak efektif membuat para koruptor jera ...dan sepertinya  mereka semakin berani dan  nekad atau bahkan kehilangan akal sehat.   Walau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) hampir  setiap pekan menangkap pejabat negara yang diduga terlibat korupsi, tetap saja mereka tak berhenti meniti buih dan bermain api.
Kita tak habis pikir karena, meski semakin banyak pejabat negara yang ditangkap KPK, hal itu tidak juga membuat penyelenggara negara jera. Penjara ternyata tak cukup membuat mereka jera. Jumlah pejabat negara yang diringkus terus bertambah. Buktinya, kemarin KPK menangkap tangan Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher. Selain politikus Partai Demokrat itu, KPK juga menangkap seorang stafnya.Penangkapan Iyus merupakan kelanjutan operasi tangkap tangan pada Selasa (16/4) malam. Bertempat di rest area Sentul, Bogor, KPK menangkap 7 orang. Mereka ialah pengusaha, staf Pemerintah Kabupaten Bogor, serta calo tanah. Di lokasi penangkapan, KPK juga menyita uang dalam kantong sebesar Rp 850 juta serta dua mobil. Kini 9 orang dalam genggaman KPK. Mereka diduga terlibat kasus pembebasan tanah di Tanjungsari, Bogor untuk lokasi pemakaman mewah.
Penangkapan Ketua DPRD Kabupaten Bogor menambah panjang daftar pejabat negara yang tersandung korupsi. Penangkapan itu mestinya mendorong pemerintah dan DPR agar kian kreatif membuat peraturan untuk menebas tabiat para pejabat yang suka mengeruk uang rakyat. Bukan malah mengebiri KPK dengan menanggalkan senjata pamungkas yakni hak menyadap. Kita prihatin karena gelora memberantas korupsi justru mendapat perlawanan dari dalam pemerintah sendiri. Pejabat negara seolah berlomba menyiasati peraturan dengan melakukan transaksi ilegal semata untuk mengeruk uang rakyat. Karena itu hukuman yang efektif agar para koruptor jera harus segera dicari secara radikal dan serius.
Sejatinya telah banyak yang mengusulkan mengenai model hukuman yang dapat membuat jera para koruptor, mulai dari hukuman gantung, hukum pancung,
pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik.
Kenapa korupsi di Republik ini begitu sulit diberangus? Banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Namun, yang paling pokok ialah minimnya ketegasan para penegak hukum. Memang, di era reformasi amat banyak perampok uang negara bertopeng pejabat yang dijebloskan ke penjara. Yang jadi soal, kebanyakan cuma dihukum ringan. Hukuman ringan itu bukan saja tidak efektif menimbulkan efek jera bagi koruptor tetapi juga merangsang munculnya embrio baru bagi pembiakan calon koruptor.
Penegak hukum masih suka berbaik hati kepada pelaku korupsi. Mereka lebih suka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat mereka yang muaranya cuma menghasilkan vonis enteng dan berhenti pada pelaku utama. Padahal, negara ini sudah memiliki perangkat hukum untuk menebas kanker korupsi sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan undang-undang itu, jaksa dan hakim bisa menelikung koruptor dan pihak lain yang terlibat dengan hukuman berat. Lebih dari itu, negara dapat leluasa menelusuri, mengusut, dan menyita aset hasil korupsi sekaligus memiskinkan mereka.
UU Pencucian Uang yang berprinsip follow the money ialah senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya, senjata itu jarang digunakan. Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Sebut saja Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika dalam kasus pajak. Dari tangan terpidana Gayus, misalnya, negara menyita Rp74 miliar, sementara harta Bahasyim senilai Rp60,9 miliar dan US$681.146 dirampas untuk negara. Ada pula M Nazaruddin dan Wa Ode Nurhayati.
Kita mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian rajin menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang ketika KPK membeberkan aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo senilai lebih dari Rp100 miliar. Terakhir, UU Pencucian Uang diterapkan ke mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam perkara suap impor daging sapi.
Selain Undang-Undang Pencucian Uang yang semakin sering diterapkan KPK, juga perlu segera direalisasikan Undang-Undang Pembuktian Terbalik serta Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Jika semua perangkat undang-undang itu ada, ruang gerak koruptor kian sempit. Para penyelenggara negara pun akan berpikir seribu kali sebelum menggerogoti uang negara.
Kalau semua itu belum membuat mereka jera, Seorang teman bernama Chotib menawarkan  bagaimana kalau dicoba model petrus seperti jaman pak harto atau model eksekusi seperti yang dilakukan anggota kopasus di LP anggota Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Tapi motifnya bukan balas dendam, solidaritas teman atau korp, tapi betul-betul solidaritas rakyat jelata. Teman yang satunya bernama Hafidz nyeletuk, itu kan menegakkan hukum sambil melanggar hukum, itu model hukum rimba boy.... Menurut saya sebaiknya tatkala koruptor tega hidup mewah dengan memiskinkan dan menyengsarakan rakyat, negara harus menjawabnya dengan memiskinkan mereka. Itulah hukuman yang pas agar para penggasak uang rakyat jera.  Tetapi Chotib ngotot, itu belum cukup.... Korupsi di negeri ini sudah betul-betul meraja laila....(maksudnya : meraja lela)