Senin, 03 Juni 2013

JIHAD DAN PERDAMAIAN




Pertanyaan yang paling tajam tentang jihad dalam wacana keIslaman adalah : bagaimana mungkin Islam menyatakan diri sebagai agama perdamaian   rahmatal lil ‘alamin tetapi masih melegitimasi atau bahkan mewajibkan jihad ? Apakah bukan sebuah paradoks, bila disatu sisi menginginkan perdamaian tetapi disisi lain mewajibkan peperangan ? bukankah peperangan  selalu bertentangan dengan tujuan perdamaian, bertentangan dengan hak asasi manusia terutama menyangkut kebebasan dan kemerdekaan beragama dan berkepercayaan ? Inilah propaganda yang nyaring dilontarkan musuh-musuh islam untuk membenarkan tuduhan bahwa islam adalah agama perang.
Proganda ini muncul akibat mereka gagal memahami jihad dalam arti yang sesungguhnya. Telah dsinggung sebelumnya bahwa jihad tidak identik dengan qital (perang), Perang hanyalah salah satu instrument kecil dari universalitas jihad, itupun dimaksudkan untuk sebuah pembelaan karena diperangi, dianiaya, dirampas hak-haknya, difitnah dan diperkosa. Itu semua kalau tidak segera disikapi, jelas akan dapat mengancam niulai-nilai kemanusiaan, akan terjadi kerusakan di muka bumi dan ujungnya kebajikan sedikit demi sedikit akan tenggelam oleh semaraknya kemungkaran dan kekacauan, jadi kendati kita mau mengartikan jihad sebagai perang, mesti dalam konteks artikulasi yang semacam ini. Sebab perdamaian adalah hidup berdampingan secara terhormat, sementara penyerahan (terhadap kedzoliman, ketidak adilan, fitnah dan penindasan) adalah kenistaan, oleh karena itu maka jelas tidak sama antara peperangan yang agresi dan peperangan melawan agresi. Tidak sama peperangan untuk menjajah dan peperangan untuk membela kemerdekaan, juga tidak sama peperangan karena nafsu dan peperangan mempertahankan kehormatan dan harga diri (terutama harga diri agama dan kemanusiaan).
Disinilah dapat difahami firman Allah dalam Qs. Al-anfal : 60 : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

Orientasi   Jihad  dalam Islam
Sesungguhnya Islam adalah sebuah proklamasi bagi kemerdekaan manusia dimuka bumi ini, pembebesan system penghambaan manusia atas manusia dan pembebasan manusia atas hawa nafsunya. Ini  proklamasi rububiyah yang berarti mengembalikan kekuasaan Allah yang hendak dirampas serta menghalau para perampasnya yang menghukumi manusia dengan hukum mereka sendiri sehingga mereka menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan kecil, sementara manusia lainnnya yang berada dalam kekuasannya berstatus sebagai hamba-hambanya, ini disinggung Allah dalam Qs At-tawbah : 31Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. Paahal dalam Qs. Yusuf : 40 Allah swt menegaskan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Dengan demikian maka jihad adalah upaya rehumanisasi sekaligus upaya menuju revolusi social untuk mengikis habis orang-orang yang menjadi tuhan kecil dan menguasai manusia dengan segala tipu dayanya. Dengan kata lain jihad adalah system universal yang hendak menumbangkan semua system bathil yang terjadi di muka bumi. Proklamasi tentang kemerdekaan manusia dari segala kekuasannya yang bukan kekuasaan Allah adalah etos dan semangat jihad yang paling substansial dalam Islam. Yang pada tataran operasionalnya biasa mengambil bentuk harakah (gerakan) untuk menghadapi musuh-musuh Allah dan kemanusiaan, dan tentu saja dalam hal ini tidak selalu identik dengan pedang  melainkan yang lebih penting adalah dengan hujjah dan pencerahan.
Islam adalah gerakan revolusioner berskala global yang bertujuan membawa manusia kearah yang ideal, dan untuk mewujudkan gasasan ideal tersebut, diatas pundak setiap muslim terpikul kewajiban jihad sebagai bakti universal kepada agama dan kemanusian. Gerakan tersebut dimaksudkan memunculkan sebuah masyarakat yang mempunyai persamaan mutlak dan tidak mentolelir setiap pembagian kelas secara diskriminatif. Disamping itu jihad dalam Islam berorientasi kepada sebuah sosialisasi dan internalisasi amar ma’ruf nahi mungkar yang dalam Islam merupakan kewajiban agama bukanlah sesuatu yang pasif atau sekedar sebuah derivasi, melainkan harus bersikap aktif dan mengandung upaya keras demi terwujudmnya kebaikan umat manusia di muka bumi ini.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dalam Islam jihad dimaksudkan menentang segala bentuk kemungkaran, mengembalikan manusia pada kedudukannya semula yang dengan ini perdamaian dan kebajikan umat manusia dapat ditegakkan secara baik, Rasululloh saw bersabda : Senantiasa ada segolongan umatku yang tegak membela kebenaran hingga datang kepada mereka keputusan Allah dan mereka menang.
Dengan bahasa lain, sasaran inti jihad adalah agar manusia hanya mengabdi kepada Allah semata dan membebaskan manusia dari segala tindakan yang melampaui batas, serta menghilangkan  segala tindak kerusakan dan keonaran di muka bumi, Allah swt berfirman dal Qs al-baqarah : 193Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Dan dalam ayat lain ditegaskan Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang  telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar (Qs. 8 : 73)
Dari uraian diatas dapat disebutkan bahwa jihad “dalam Islam” sama sekali tidak paradok dengan tujuan perdamaian, bahkan sebaliknya jihad dimaksudkan untuk menumpas perusak-perusak perdamaian  seperti para tiran, taghut, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. Dalam pelaksanaannya, upaya perdamaian dalam arti yang sesungguhnya tetap harus didahulukan, akan tetapi jika mereka mengingkari maka tidak ada jalan lain kecuali perlawanan atau peperangan. Misalnya ketika kaum muslimin terus dijajah dan diperangi dalam segala bentuknya, maka merupakan kehinaan jika ia terus pasrah dan tidak melakukan perlawanan. Sungguh sangat berbeda antara peperangan karena nafsu menjajah dengan peperangan karena mempertahankan kehormatan dan harga diri. Kita memang tidak setuju dengan bom bunuh diri  tetapi lebih tidak setuju dengan pembantaian manusia secara besar besaran yang terus terjadi dihadapan  kita dengan dalih  yaang mengada-ada. Maka kendati islam mencintai perdamaian, tapi islam lebih mencintai kemerdekaan.
Yang paling penting diperhatikan adalah jihad dilakukan semata-mata demi tujuan kemanusiaan dan demi menegakkan kalimah Allah, bukan karena alasan subjektif atau bahkan karena hawa nafsu, dan itu harus dimulai dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu Rasul saw pernah bersabda bahwa jihad yang paling besar adalah jihad an-nafs, yakni perang melawan dirinya sendiri, dan mujahid yang paling agung adalah mereka yang mampu memenangkan peperangan melawan dirinya sendiri. #

ISLAM DAN DAULAH ISLAMIYAH




” Kedaulatan tidak berada ditangan siapapun selain Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mena’ati siapapun kecuali Dia, inilah yang dimaksud dengan jalan yang lurus” (Qs. 12: 40).

Daulah Islamiyah atau Islamic state meski merupakan wacana klasik tetapi masih aktual dan markettable untuk didiskusikan, apalagi ketika bangsa ini tengah bertekad menjalankan demokratisasi dalam berbangsa dan bernegara. Perdebatan panjang sering terjadi ketika muncul pertanyaan : Bagaimana Islam seharusnya menempatkan diri dalam sistem sosial politik ?. Bagaimana hubungan Islam dengan negara? Apakah : An-nizham al-Islam merupakan gagasan yang viable untuk memecahkan masalah-masalah kaum muslimin dalam hal kenegaraan dan politik? Betulkah Islam memiliki konsep yang kongkrit tentang negara, ? Atau pertanyaan yang lebih ekstrim : Apakah dalam Islam ada anjuran untuk membentuk Daulah Islamiyah ?  Apakah untum membentuk tatanan masyarakat Islami, diperlukan sebuah “Negara Islam” (legal formal) sebagai sarananya ? lalu apa dasar pijak epistimologis dan idiologisnya ?, Bagaimana karakteristiknya? Negara mana yang betul- betul merupakan prototype dari apa yang disebut negara Islam? Serta bagaimana implikasinya terhadap inklusifitas Islam yang sejak awal memproklamirkan diri sebagai ramat bagi sekalian alam? Ataukah negara Islam hanyalah sebuah impian ideal kelompok tertentu yang tidak realistik menghadapi zamannya ?
            Kontroversi polemikal tentang pertanyaan-pertanyaan diatas dalam realitasnya tidak hanya bersifat bipolar, tetapi juga multipolar. Dan kalau disederhanakan, sesungguhnya hanya berputar-putar pada empat paradigma dasar. Pertama Islam dan negara tidak bersifat dikhotomik, ia menyatu dan tidak dapat dipisahkan (integrated). Domaian Islam juga domaian negara, kepala negara menjalankan kekuasaannya atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), paradigma ini dianut oleh kaum syi’ah dengan konsep imamah, ismah, bay’ah dan wilayah, termasuk ibnu Kholdun juga menerima paradigma ini. Kedua : Memandang hubungan Islam dan negara bersifat simbiotik (timbal balik dan saling memerlukan), Al- Ghazali dan Al-Mawardi cendrung mendekati konsep ini. Dan ketiga : Memandang hubungan Islam dan negara bersifat strukturalistik (Islam atau Agama terpisah sama sekali dengan politik, dan begitu juga sebaliknya). Pandangan ini menolak pendasaran negara pada Agama, atau setidaknya menolak deternimasi agama akan bentuk tertentu daripada negara. Menurut paradigma ini urusan agama adalah urusan manusia, individu yang paling asasi dan tidak perlu diatur atau diformalkan oleh negara. Sebab ketika negara mengatur agama, maka bearti ia telah mendistorsi kebebasan manusia yang paling asasi, dan bahkan bisa jadi agama menjadi alat unutk tujuan- tujuan politik negara yang non agamis Ali Abdur Roziq (dalam risalahnya “Al- Islam wa usul al hukum” jelas- jelas menunjukkan hal tersebut) dan paradigma keempat, Diwakili oleh kelompok yang menafsirkan bahwa dalam Islam terkandung doktrin (meski implisit) perlunya membentuk negara Islam, Abu A’la Al- Maududi adalah salah satu tokoh dalam kelompok ini.

Konsep Islam tentang Negara
Telah disadari bersama, bahwa Islam bukan sekedar kumpulan dogma dan ritual saja, ia merupakan jalan hidup paripurna penjelmaan tuntunan Ilahi untuk semua bidang kehidupan umat manusia baik yang bersifat individualistik maupun kolektif , baik dibidang politik, ekonomi, sosial, kultural, moral maupun hukum dan keadilan. Islam merupakan ideologi yang mencakup segalanya untuk kebaikan manusia tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, tidak berdasar  pihak-pihak yang mengklaim bahwa Islam tidak punya konsep yang jelas tentang politik dan Negara, yang benar adalah memang Islam tidak menerangkan secara rinci dan detail tentang konsep-konsep itu, hal itu karena Al- Qur’an lebih bersifat simbolik dari pada deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reintrepetasi simbol-simbol tersebut sesuai dengan dinamika perubahan situasi ruang dan waktu. Akan tetapi secara general Al-Qur’an dan Sunnah telah secara jelas memberikan seperangkat prinsip etis normatif yang relevan dengan cara mengatur negara dan mekanisme pemerintahannya, trem- trem politik dan prinsip dasar kehidupan bermasyarakat seperti : syura, adl (keadilan), egalitarianisme (musawah) tolong menolong dan sebagainya adalah prinsip dasar politik dalam bernegara dan bermasyarakat yang telah diprktekkan dalam tradisi politik Islam dimasa Rasululllah saw.

Perlukah Negara Islam?
Dalam hal ini pemikir muslim berihtilaf, satu pihak menegaskan perlu menegakkan negara Islam, sementara pihak yang lain menganggap hal itu bukan bagian dari dogma Islam. Argumentasi kelompok pertama menyebutkan bahwa kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Seperti berijtihad, berbuat adil, menolong mustad’afin dan menerapkan hudud, tidak bisa efektif dilakukan tanpa di back up kekuasaan dan pemerintahan  bahkan lebih tegas Ibn Tamiyah mengatakan “ Inna al shultan zhill Allah fi al ard (sesungguhnya shulton adalah bayangan Allah dimuka bumi).
Oleh karena itu, menurutnya menegakkan pemerintahan merupakan kewajiban agama yang paling mendasar. Hal tersebut dimaksudkan guna mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Allah berfirman “Barang siapa menegakkan dan memutuskan satu masalah tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka mereka ini termasuk kedalam golongan orang- orang kafir” (Qs. 5 : 44).  Dengan demikian maka menurut kelompok ini negara harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia, agar tujuan kemanusiaan dapat terwujud secara optimal (Qs. 57 : 25). Untuk membuktikan bahwa Islam menganjurkan perlunya dawlah islamiyah, kelompok ini mengangkat argumentasi : pertama, Islam menggunakan idiom kekhilafan dan bukan kedaulatan. Dan kedua, Bahwa kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin (Qs. 24 : 55).
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa Ibnu Taimiyah, Al-Maududi, Al-Mawardi, dsb adalah tokoh-tokoh Islam yang mengatakan dengan tegas bahwa “ Al-Islam ad dien ad daulah” (Islam adalah agama sekaligus negara), oleh karena itu bagi mereka hubungan agama dengan politik atau negara bersifat organik. Simbiotik dan fungsional bukan diametral atau paradoksial. Hal ini bertolak dari satu pemahaman teologis, bahwa sesuai dengan watak holastiknya, Islam telah menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Termasuk konsep negara dan sistem pemerintahan.
Lebih jauh ketika berbicara tentang pelunya negara Islam. Ibnu Tamiyah mengatakan pemerintahan (wilayah organisasi politik) bagi kehidupan kolektif umat Islam merupakan keperluan agama yang terpenting, yakni dalam rangka mewujudkan secara efektif terselenggaranya kewajiban- kewjiban agama, seperti : Amar ma’ruf nahi munkar. Menolong mustad’afin, menegakkan keadilan, persamaan dan hukum- hukum yang lain. Disini kita melihat bahwa penegakan negara bukanlah sebagai tujuan, tetapi lebih sekedar instrumen atau sarana untuk merealisasikan ajaran Islam sebebas dan seoptimal mungkin.
Namun demikian, harus diakui secara jujur bahwa kelompok ini sulit sekali menemukan rujukan konsepsional yang konkrit sebagai landasan teologis atau epistimologis baik dalam Al- Qur’an, hadits maupun historis Islam, kecuali yang interpretabel, sebab term “ dawlah” memang tidak pernah ditemukan dalam Al- Qur’an. Meskipun terdapat bebagai istilah dalam Al- Qur’an yang seolah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, Akan tetapi sifatnya hanya insidentil. Namun begitu tidak bisa kita katakan bahwa Islam tidak punya konsep tentang negara dan masyarakatan, sebab banyak sekali doktrin Islam baik Al- Qur’an Hadist maupun sejarah yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia, seperti : syura, keadilan, persamaan, persaudaraan, kebebasan dan demokratisasi.
Sementara kelompok kedua berargumentasi bahwa kalau memang Nabi menghendaki berdirinya sebuah “Negara Islam” mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan “Bermusyawarahlah kalian dalam persoalan ini” Masalah seurgen ini bukannya dilembagakan secara konkrit, melainkan cukup dengan satu diktum saja “masalah mereka harus dimusyawarahkan antara mereka sendiri”. Mana ada bentuk Negara seperti itu.
            Oleh karena itu bagi kelompok ini, mendirikan sebuah negara Islam (dalam pengertian legalitistik dan formalistik) sesungguhya tidak begitu ugen, yang terpenting bagi mereka adalah negara (apapun) dapat menjamin tumbuhnya demokratisasi, keadilan, persamaan, dan kebebasan bagi masyarakat, karena dengan demokrasi otomatis akan menempatkan kelompok masyarakat politik seara proporsional dan (yang terpenting) di peroleh dengan melalui mekanisme yang rasional, sehat, dan legitmate.
Dengan kata lain demokrasi dengan sendirinya akan mencerminkan representativeness go vernment, dan ini memberi keuntungan kepada keompok mayoritas. Berbeda dengan Ali Abdul Rozak, yang menolak anggapan bahwa Al-Islam Ad-dien Ad-Dawlah. Menurutnya Dien adalah sesuatu yang immutble sedangkan Dawlah adalah sesuatu yang mutable sesuai dengan dinamika ruang dan waktu. Baginya watak holistik Islam tidak serta merta mengharuskan pencampuran antara yang sakral dan profan. Meski Islam menolak dikotomisasi antara kedua domain ini, tapi keduanya harus dibedakan, penempatan yang tidak proporsional akan hal ini membuat rancu struktur hirarki nilai-nilai Islam.
Karena itu bagi Abdul Rozak tidak ada perintah dalam islam untuk menegakkan negara Islam, tidak ada landasan yang refresentatif bagi hal itu, bahkan sebutan negara Islam (yang fomalistik ) tidak pernah digunakan., baik oleh Nabi maupun penggantinya selama berabad-abad. Sebab Nabi tidak bermaksud mendirikan negara theokratik, yang diajarkan Nabi adalah konsensus kemasyakatan yang bersifat global, seperti keadilan dan kebebasan. Yakni kebebasan yang dilakukan didalam dan untuk semua masyarakat. Artinya masyarakat di bebaskan oleh masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tetapi merupakan implikasi logis dari kebebasan untuk semua.
Dengan demikian yang terpenting adalah subtansinya bukan formalitasnya. Apa gunanya sebuah negara Islam yang formalistik kalau masyarakatnya tidak Islami, dan biasanya yang legalistik formalistik berkecendrugan ekslusif, sehingga memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang heterogen, disamping saja berpeluang melahirkan otoritarian dan hegimonik baru. Lalu dimana letak persesuaiannya dengan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin ? Karena Al- Qur’an dan Hadits tidak memuat secara eksplisit perintah mendirikan Negara, melainkan hanya konsep-konsep ad hoc yang berkaitan dengan  prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat, maka wajar jika umat Islam kebingungan mencari model kongkrit tentang Negara Islam, apalagi tidak pernah ada konsensus mengenai apa yang disebut Negara Islam.
Alasan lain yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah bahwa sesungguhnya baik Al- Qur’an maupun Hadits Nabi tidak pernah ada penyebutan khilafah, ide tentang khalifah sebenarnya dibuat oleh kitab- kitab fiqih yang disusun oleh fuqoha’ beberapa abad setelah wafatnya Rasul Saw. Oleh karena itu, “Islamic state” atau daulah Islamiyah bukan merupakan ajran yang orisinil Islam. Jadi tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Dan tentu saja untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, berlaku adil dan sebagainya tidak harus di back up oleh negara, atau harus mendirikan negara Islam. Bahkan sejarah telah mencatat As-Shulton cendrung pada kedholiman. Ini sejumlah persoalan utama dalam kontek Islam dan negara, karena itu sebelum persoalan-persoalan tersebut tertuntaskan, maka keinginan terbentuk negara Islam hanyalah sebuah imajenasi utopistik, paling banter sampai pada tingkat retorik belaka atau idialistik teoritik saja.

Catatan Penutup
Tentu saja upaya mendirikan daulah Islamiyah adalah didasari oleh kehendak yang baik, Tetapi yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan kehendak yang baik itu, malainkan apakah kehendak itu harus diwujudkan secara eksklusif atau inklusif. Maka sekali lagi perlu ditegaskan bahwa untuk melahirkan masyarakat Islami tidak harus dengan mendirikan negara Islam, melainkan yang lebih penting adalah memperkokoh kekuatan masyarakat (empowering society), mencerahkan melalui proses pemberdayaan yang sistematis, metodologis dan sungguh- sungguh. Piagam madinah mengajarkan prinsip- prinsip seperti ini secara rinci dan mendetail. #

KRISIS SIFAT MALU




Malu adalah sebagian daripada iman (HR. Muttafaqun Alaihi) Jika kamu sudah tidak punya rasa malu, berbuatlah sekehendak hatimu (HR. Tirmidzi)


Moqoddimah
Ketika kita menyaksikan perilaku kehidupan lawakan sosial, hukum dan politik dinegeri ini, misalnya: ditengah krisis ekonomi yang kian mencekik mayoritas wong cilik, ada sebagian diantara kita yang tanpa rasa malu menghamburkan dana ratusan juta rupiah hanya untuk merayakan perta ulang tahun di Bali, dan pesta pernikahan di Arab Saudi. Disaat masyarakat bawah sulit mencari sesuap nasi, ada sebagian pimpinannya yang tanpa merasa sungka/berdosa memborong mobil mewah, membangun rumah bertahtakan pualam atau ada juga pelesiran keluar kota bersama keluarga (atas nama dinas) dengan dana yang tidak sedikit. Maka pertanyaanya “apakah kita masih punya rasa malu? Patut dikedepankan.
Pertanyaan sederhana ini kian mendesak untuk dijawab, tatkala semakin tak terhitung para pembesar yang melakukan tindak kemungkaran berupa korupsi, mencoleng uang rakyat, gratifikasi seks, mafia pajak, penjahat kelamin, yang dengan santai cengengesan di depan kamera, seakan tiada malu sedikitpun.  Sekali lagi masihkah kita punya rasa malu terhadap dirinya, orang lain dan lebih-lebih terhadap Tuhannya.
Malu adalah salah satu instrumen amat penting bagi manusia. Ia adalah alat penjagaan setiap manusia untuk memelihara kemanusiaannya. Bila binatang dapat melakukan apa saja dalam situasi apa saja, tanpa memikirkan sapa saja, maka manusia yang normal harus memikirkan dan memperhitungkan situasi untuk melakukan sebuah aktifitas. Tanpa rasa malu, seseorang adalah bentuk lain dari binatang, yang dalam bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka. Jika semakin banyak orang yang tidak punya rsa malu (karena mungkin dianggap biasa melakukan sesuatu yang memalukan) sehingga malu-maluin, maka perlahan-lahan komunitas itu akan berubah menjadi masyarakat binatang.
Dalam sebuat hadits Rasulullah bersabda: “istahyu minalloh haqqal haya’i". (hendaklah kamu sekaliah malu kepada Allah dengan sebenar- benarnya malu). Istahyu berasal dari kata  istahya yang berarti “hendaklah kamu malu”., misalnya ada kalimat innallaha layastahyi an yadriba matsalan…. (sesungguhnya Allah tidak malu menciptakan perumpamaan….) ketika bercerita tentang fir’aun, Allah berfirman: “yudzabbihuuna abna’ahum wayastahyuuna nisa’ahum” (menyembelih anak laki-laki mereka dan menghidupkan atau mempermalukan anak perempuan mereka).

Korelasi antara  haya’ (malu)  dan  hayat (hidup)
Yang menarik ditelusuri adalah korelasi antara malu (haya’) dan hidup (hayat), Seperti dimaklumi dalam term bahas Arab, selalu ada munasabah antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya’ (malu) sama dengan kata hayat (hidup) ?. Setelah dilacak ternyata hidupnya kemanusiaan itu tergantung pada rasa malunya (jangan baca kemaluannya), artinya ketika rasa malu itu sudah hilang dari seseorang, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah kehilangan kamanusiannya, akhirnya dia hidup seperti binatang.
Dengan kata lain kehidupan manusia ditandai dengan rasa malunya, bila rasa malu tidak ada, sebetulnya ia tidak lagi dihitung hidup sebagai manusia, karena itu Rasulullah bersabda: jika engkau sudah tidak punya malu, berbuatlah apa saja sekehendak hatimu (hadits). Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apa saja tanpa pertimbangan apapun sebagaimana binatang. Kalau sudah demikian ia tidak dihitung sebagai hidup atau juga tidak dihitung sebagai manusia. Itulah sebabnya kata hanya’ (malu) dan hayat (hidup) berasal dari satu simantik yang mempunyai korelasi sangat erat.

Malu yang sebaranya
Lalu apa yang dimaksud degan sebenar-benarnya malu? Menurut Rasulullah sebenar-benar malu kepada Allah adalah: (1) Bila engkau menjaga kepalamu dan apa yang disimpannya. (2) Bila engkau menjaga perut dengan segala isinya, dan  (3) Bila engkau mengingat mati dengan siksanya.
Menyimpan, dalam bahasa Arab disebut wara’. Jadi menjaga kepala dan apa yang disimpannya, bermakna menjaga peta kognisi dari pengetahuan dan informasi yang tidak layak, menjaga dari berfikir nigatif, mencuci otak dari berfikir terpola, sebab sikap dan pandangan seseorang akan ditentukan oleh perbendaharaan yang ada dikepalanya.
Karena itulah, sebenar-benar malu kepada Allah adalah apabila eksistensi dan domain otak (struktur fikir), dan peta kognisi seseorang sudah tercerahkan. Kedua, engkau jaga perut kamu dan apa yang dikandungnya, maksudnya janganlah anda menjadikan perut anda sebagai gudang dari hak-hak orang lain. Sebab setiap sesuap barang haram yang anda konsumsi, maka empat puluh hari do’a anda tidak akan ditermia, jika berpuluh-puluh tahun anda terbiasa mengkonsumsi barang haram, jika berhektar-hektar tanah rakyat engkau rampas, jika air mata engkau kumpulkan dalam perut anda, lalu berapa lama (sampai kapan) dosa anda akan terkabul?
Ketiga, ingatlah engkau akan kematian. Orang yang selalu ingat mati, akan temotivasi untuk hidup wara’, sebab dia tahu bahwa segala sesuatu yang ia lakukan pasti akan mendapat balasan yang setimpal pula. Hal tersebut dapat mengendalikan manusia agar tidak serakah dan menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuannya. Ia akan berlomba mengumpulkan amal shaleh sebagai bekal dalam kehidupan yang sebenarnya diakhirat kelak.
Terakhir, simaklah sebuah sajak “Hari Rusli” Aku malu menjadi diriku, Aku malu mempunyai pemimpin seperti mereka, Aku malu menjadi rakyat Indonesia, Jadilah engkau figur yang dapat kami banggakan,bukan figur yang selalu berbuat memalukan. #