Selasa, 13 Agustus 2013

MENUSANTARAKAN ISLAM ATAU MENGISLAMKAN NUSANTARA*




Pendahuluan
Sebelumnya ada buku dengan judul “Menusantarakan Islam” ditulis oleh seorang dosen di STAIN Ponorogo. Judul buku diatas banyak memunculkan musykil. Menusantarakan Islam seakan mengandung arti Islam diakulturasi oleh Nusantara sehingga Islam menjadi melebur atau mungkin hilang, dan yang ada adalah Nusantara. Apakah benar penulis buku ini menginginkan Islam hilang dan yang nampak dan dominan adalah kultur atau budaya atau peradaban Nusantara, atau sebenarnya ingin menawarkan suatu metode bagaimana Islam dapat diterima di Nusantara ? Kenapa bukan Mengislamkan nusantara yang mengandung arti Islamisasi peradaban atau budaya yang dikenal dengan Nusantara sehingga akhirnya peradaban Nusantara menjadi bagian peradaban Islam.
Terminologi Kekerasan
Dalam buku tersebut disampaikan tentang pergumulan Islam dengan agama lain, realitas sosial, sesama wacana atau penganut agama Islam yang berbeda aliran, dan antara Islam dan penjajah. Dalam kesimpulannya Islam pada awalnya berwajah damai mampu berdialog dengan secara damai dengan agama-agama yang telah ada. Dialog damai ini terjadi ketika Islam masih dalam tahap mencari ruang bereksistensi. Namun demikian, ketika sudah mapan dan mendominasi, wajah Islam berubah drastis. Hal ini terjadi setelah Islam bergandeng tangan dengan politik. Disebutkan, Abu Bakar memerangi pembayar Zakat dan pengaku Nabi, Utsman mengukuhkan keluarganya dalam kekuasaan sehingga akhirnya terbunuh, Ali mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan kekerasan dalam perang Jamal dan Shiffin, Mu’awiyah merebut kekuasaan politik Ali dengan membunuh para pengikut Ali.
Hal yang sama juga terjadi di Nusantara, ArRaniri dengan penguasa baru menindas Hamzah Fansuri, Walisongo dengan penguasa Demak melakukan tindakan kekerasan kepada Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri terhadap tarekat Syatariah, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyul, pemaksaan syariat Islam seperti label halal-haram, pengesahan Kompilasi Hukum Islam, dan pemberlakuan undang-pornografi.
Apakah benar ketika sudah mapan wajah Islam berubah keras dan melakukan tindakan pemaksaan agama? Di sini terlihat kerancuan pikiran penulis dalam cara membaca kekerasan. Kekerasan yang dinisbatkan kepada para Khalifah diatas tidak ada hubungannya dengan pemaksaan agama. Tidak ada peristiwa yang bisa diungkap oleh penulis bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Mu’awiyah telah menindas orang Kristen, Yahudi dan agama lain karena tidak mau masuk Islam. Tidak ada juga kisah pelarangan non-muslim melakukan ibadahnya. Begitu juga konflik antara ArRaniri dengan Hamzah Fansuri, Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan tarekat Syatariah, apalagi Muhammadiyah, pelabelan halal-halal haram, kompilasi hukum Islam, dan undang-undang pornografi, tidak ada yang berkaitan dengan pemaksaan agama Islam kepada non-muslim.
Abu Bakar sebagai pemimpin suatu Negara tentu wajib mengambil keputusan kenegaraan ketika terjadi pembangkangan kepada Negara. Zakat merupakan instrumen utama fiskal pada waktu itu, jika penolakan pembayaran zakat dibiarkan, hal ini tentu akan membuat ketidakstabilan perekonomian. Utsman memilih keluarganya dalam pemerintahan, tentu ini merupakan keputusan politis dan managerial beliau. Begitupun juga Ali, sebagai pemimpin Negara tentu harus memberangus setiap pemberontakan. Tentu aneh jika pemerintah pasrah dan membiarkan pemberontakan terjadi. Begitu juga Mu’awiyah ketika ingin mencapai kekuasaannya menggunakan cara militer. Peristiwa-peristiwa ini sangat politis, dan tentu tidak tepat untuk mengatakan bahwa Islam ketika dominan melakukan tindakan kekerasan.
Membaca konflik antara Ar-Raniri dengan Hamzah Fansuri, Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan tarekat Syatariah juga harus dilakukan secara bijak. Hal ini merupakan permasalahan internal Islam dan tidak ada hubungannya dengan penindasan Islam terhadap agama lain. Islam sebagai agama tentu mepunyai konsep-konsep pokok yang mana dengannya disebut sebagai Islam. Tanpa itu tidak akan bisa dibedakan mana Islam dan mana yang bukan, mana yang “Haq” dan mana yang “Bathil”, mana yang “mustaqim” dan mana yang “Dhal”. Ketika terjadi penyimpangan terhadap konsep-konsep pokok tersebut, maka akan terjadi proses dialogis. Ketika proses ini mengalami jalan buntu, tentu harus ada kejelasan mana yang sesat dan mana yang tidak sesat. Hal ini sangat logis, karena logika tidak akan menerima jika semua benar, atau semua salah.
Dalam konteks Nusantara saat ini, penulis memilih beberapa kelompok Islam untuk kemudian dituduh melakukan tindak kekerasan, dan memaparkan beberapa kelompok yang dianggap tertindas melakukan tindakan sebaliknya. Kelompok yang secara langsung disebut adalah FPI dengan tindakan kekerasannya, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyulnya, MUI dengan fatwa-fatwa sesatnya, PKS, FKAWJ, FUI, MMI, KPPSI, Laskar Jihad, HTI, dan JI dengan perasaan paling benarnya. Adapun NU dianggap moderat walaupun nantinya juga tidak luput dari serangan penulis. Kelompok-kelompok ini dikategorikan sebagai Islam transnasional yang mana merupakan gerakan Islam beraliran formalis atau skripturalis yang lahir dari Timur tengah. Atau jika dibandingkan dengan dua kategori berikutnya, unsur esensial ajarannnya berasal dari Arab, nabinya, tempat diterima wahyunya dan kitab sucinya.
Adapun kelompok-kelompok yang mendapat pujian “damai” dari penulis buku ini adalah JIL, Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah. Ahmadiyah dikategorikan sebagai Islam Transnasional non-mainstream, dimana unsur esensial ajarannya lahir dari Negara luar Arab, baik nabinya, tempat menerima wahyunya, kitab sucinya maupun ajarannya. Adapun Salamullah dan al-Qiyadah al-Islamiyah masuk kategori Islam lokal, karena unsur esensial ajarannya seluruhnya bersifat Nusantara, baik nabinya, tempat turun wahyunya, maupun kitab sucinya. Menarik untuk ditanyakan, JIL masuk kategori yang mana? Siapa Nabinya, apa kitab sucinya.
Lagi-lagi, penisbatan “kekerasan” dan “damai” kepada kelompok-kelompok di atas sangat rancu dan terlihat seperti tuduhan dan bukan berdasarkan fakta-fakta sejarah. PKS yang dianggap kelompok yang merasa benar sendiri menunjukkan bagaimana cara berdemo damai. Adapun JIL yang dianggap representasi kelompok Islam “damai” telah melakukan cacian yang luar biasa terhadap MUI, penginjakan lafadz Allah yang menyakiti perasaan umat Islam, bahkan Quran yang sangat umat Islam sucikanpun dihujat. Apakah ini bukan kekerasan? Intinya, siapapun yang umat Islam yang menonjolkan keberislamannya akan terkena tuduhan kekerasan penulis buku ini. Hatta umat Islam yang ingin dapat memilih makanan halal pun tak luput dari tuduhan tersebut.
Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah yang dikategorikan Islam lokal menurut penulis mendapat penindasan oleh Islam karena dituduh “sesat”. Bagi umat Islam tentu hal ini sangat jelas, bagaimana aliran yang beda nabinya, beda ajarannya, beda kitab sucinya dapat dikatakan Islam? Ibarat sebuah keluarga, kemudian ada orang yang mengaku anggota keluarga tapi mengatakan berbeda ayah ibu, berbeda aturan keluarga. Apakah salah jika keluarga tersebut mengatakan kepadanya bahwa kamu bukan bagian keluarga kami. Analogi lebih jelas, jika dalam Negara Indonesia, kemudian muncul kelompok yang mengatakan mempunyai ideologi yang berbeda, aturan hukum berbeda, pemimpin yang berbeda, salahkah Indonesia jika tidak menganggapnya pemberontak dalam Negara, dan haruskah Indonesia membiarkannya dan mendukungnya. Dari sini tentu muncul pertanyaan: siapa yang sebenarnya melakukan kekerasan? Kelompok tersebut atau Indonesia, Ahmadiyah atau Islam?.
Dari sini, kita dapat melihat betapa rancunya pembacaan kekerasan penulis buku ini. Menklaim menggunakan pendekatan sejarah dan pengetahuan sosial, padahal hanya ingin menyatakan bahwa Umat Islam yang meyakini kebenaran agamanya akan mengantarkan kepada pemaksaan idenya. Seakan-akan umat Islam tidak mempunyai konsep toleransi beragama dan tidak mungkin dapat menyebarkan kedamaian di muka bumi. Seakan-seakan Umat Islam tidak pernah mempunyai sejarah yang menebarkan kedamaian di muka bumi.
Bukan hanya rancu dalam membaca kekerasan, penulis buku ini juga rancu dalam memahami Islam. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang disebut dengan Islam.
Framework
Untuk menghilangkan umat Islam yang merasa benar sendiri dan akhirnya akan mengantarkan kepada pemaksaan ideologi, penulis buku ini memberikan tawaran solusi. Pertama adalah otonomisasi  agama dan kedua adalah paradigma nalar nusantara. Yang pertama adalah pelepasan agama secara epistimologis dari bayang-bayang budaya Arab, aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan mainstream. Maksudnya adalah pertama, individu mempunyai otoritas penuh dalam membaca gagasan Tuhan dalam agama. Kedua, dibedakannya agama dengan wacana agama. Agama adalah legislasi Tuhan, adapun hasil intrepretasi atas agama, baik yang dilakukan Muhammad maupun para sahabat, dan mujtahid adalah wacana agama. Ketiga mengikut tiga prinsip berfikir: (1) lima prinsip moral, seperti kejujuran, kemenyeluruhan, kesungguhan, rasionalitas, dan pengendalian diri; (2) konsep “praduga epistimologis”; (3) “nalar ekslusif”.
Setelah terlepas secara estimologis, penulis buku ini menawarkan paradigma nalar Islam Nusantara. Inti dari paradgima nalar Islam Nusantara adalah nalar Islam Antroposentris-transformatif. Paradigma antroposentris menjadikan manusia sebagai pusat eksistensi, dan manusia dipandang tujuan hakiki ajaran Islam. Dari sini, penafsiran dan wacana tafsirnya harus mengarah pada pembebasan manusia dari kekangan paradigma lama yang acapkali mengebiri manusia demi memberikan otoritas penuh pada Tuhan. Adapun nalar Islam trasnformatif berarti suatu nalar Islam yang bercorak praksis dan bertujuan menggerakkan manusia secara aktif dan revolusioner dalam menjalani kehidupan di dunia fana’.
Dengan nalar Islam Nusantara ini, pesan agama yang terdapat dalam kitab suci harus dilihat dengan menggunakan kacamata manusia. Hal ini dilakukan agar dapat ditemukannya pesan yang berbicara mengenai manusia, dan apa yang diberikan agama pada manusia. Metode pembacaan manusiawi terhadap agama ini disebut Hermenuetika . Tindak ingin menghilangkan tafsir dan takwil, penulis buku ini menawarkan pemaduan ketiganya .
Kalau diperhatikan secara seksama tawaran solusi di atas, kita dapat melihat bahwa sebenarnya penulis buku ini  sedang menawarkan faham relatifisme, faham humanisme, dan metode pembacaan Hermeneutika. Otonomisasi agama intinya adalah bagaimana seorang Muslim tidak merasa paling benar dan harus melepas dari otoritas apapun karena kebenaran itu adalah relatif. Inti nalar antropesentris adalah humanisme. Adapun nalar transformatif hanya bisa dilakukan dengan hermeneutika.
Penutup
Islam sebagai Agama telah sempurna dan disempurnakan sejak diturunkannya. Konsep-konsep pokok sebuah agama seperti konsep Tuhan, agama, Ibadah, manusia dan lainnya telah jelas dalam Islam sedari awalnya. Para ulama Ulama sebagai penerus para nabi kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep tersebut tanpa merubah konsep awalnya. Maka dalam Islam telah jelas mana yang Islam dan mana yang tidak Islam, mana yang “haq” dan mana yang “bathil”, mana yang “mustaqim” dan mana yang “dhalal”. Memaksakan Islam mengakui kebenaran di luar Islam merupakan hal konyol. Sebagaimana Islam juga tidak memaksakan siapapun untuk menerima Islam sebagai kebenaran “lakum dinukum wali al-din”; “la ikraha fi al-din”.
Dari sini, memaksakan lagu lama Nisetzche tentang relatifisme dan nihilisme kepada Islam merupakan tindakan “kekerasan”. Jargon yang absolut hanya Allah, tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah, maka Islam yang dibangun Nabi Muhammad diteruskan kemudian oleh para Ulama adalah hanya wacana Islam yang relatif merupakan pernyataan membingungkan. Islam menjadi relatif, tidak mempunyai kriteria keIslaman, lalu bagaimana umat Islam bisa berIslam.
Ujung akhirnya adalah agama baru yang disebut “humanisme”, segalanya tentang manusia, manusia menggeser Tuhan sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu. Maka tidak mengherankan kalau dalam fiqh dikatakan bahwa Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, makamaslahah manusia lebih penting dari pada SyariatSyariat harus tunduk kepada kemanusiaan, akhirnya teks harus tunduk kepada konteks. Maka tidak heran kalau Muslim liberal menghalalkan kawin antar sejenis. Karena manusia telah berubah dan menginginkan hal tersebut. Konteks telah berubah, kemanusiaan telah berubah, teks harus menyetujui dan merestui, karena manusia adalah segala-galanya.
Lagi-lagi, hal ini tidak mungkin dapat dilakukan kepada Islam, selama Umat Islam masih menggunakan nalar Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad dan para Ulama. Tafsir dan takwil yang dipergunakan untuk memahami Al-Quran tidak akan dapat menerima faham relatifisme dan humanisme tersebut. Untuk itu, perlu digunakan metode baru yang dapat membongkar Quran, sehingga dapat tunduk kepada keinginan dan hawa nafsu manusia. Metode ini adalah hermeneutika. Lengkap sudah tawaran penulis buku ini untuk menjadikan Umat Islam seperti Umat Kristen di Eropa, di mana ajaran Kristen sudah tidak diendahkan, dan Ateisme berkembang dengan pesat. Akhirnya, menusantarakan Islam bukan hanya akan membuat Islam hilang dan digantikan oleh Nusantara, tapi akan membuat Nusantarapun akan hilang, dan tergantikan dengan Nusantara yang terbaratkan.
Islam agama yang sudah sempurna, Islam menjamin maslahah manusia selama manusia tunduk dan pasrah sebagai hamba dan khalifah Allah. Dengan berpasrah dan melakukan syariat Islam manusia akan selalu bergerak dalam koridor fitrah penciptaannya dan di situlah kemaslahatan berada. Maka saat ini tidak mengherankan, apabila banyak cendekiawan Muslim yang menyelesaikan doktor bidang ekonomi di Barat, menemukan banyaknya problem kemanusiaan pada teori dan sistem ekonomi barat. Sehingga, mereka beramai-ramai ingin kembali kepada Islam, untuk kemudian dapat mengembangkan ilmu ekonomi yang dapat menjadi maslahah bagi manusia dan bukan sebagian kecil manusia. Akhirnya yang tepat bukan menusantarakan Islam, tapi mengIslamkan Nusantara.
Ala kulli hal, apa yang dikemukakan buku diatas menurut saya bukan bertolak dari kekokohan epistimologis, melainkan hanya berangkat dari kekecewaan psikologis dan problem emosional yang sublim dan meletup-letup.


 
*  Diadaptasi dari tulisan M Khairul Umam