Kamis, 26 September 2013

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL



Istilah pengembangan dalam konteks pendidikan Islam multikultural, setidaknya memiliki dua makna, yakni pengembangan secara kuantitatif  dan kualitatif. Secara kuantitatif, bagaimana menjadikan pendidikan Islam yang mengakomodasi semangat atau nilai-nilai multikulturalisme dapat menjadi lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan secara umum, termasuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Adapun secara kualitatif, bagaimana menjadikan pendidikan Islam multikultural agar menjadi lebih baik, berkualitas dan lebih maju sejalan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.
Secara kuantitatif, strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan pendidikan Islam multikultural, di antaranya adalah:
1.         Memperbanyak referensi atau bahan bacaan tentang pengembangan pendidikan Islam multikultural. Referensi atau bahan bacaan perlu disusun dengan memperhatikan sasaran pembaca. Bahan bacaan multikulturalisme yang ada saat ini lebih banyak ditujukan untuk kalangan akademis dengan bahasa atau kalimat yang akademis pula. Bagi pembaca di tingkat siswa atau masyarakat awam, bahan bacaan seperti ini tentu saja kurang bisa dimengerti, sehingga dapat menghambat proses sosialisasi atau internalisasi.
2.         Memperbanyak kegiatan sosialisasi mengenai konsep dan urgensi pendidikan Islam multikultural, baik secara lisan maupun tertulis. Pelaksanaan sosialisasi hendaknya menjadi prioritas sebagaimana sosialisasi program lain yang dianggap penting. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemasangan spanduk, brosur, poster, baliho atau yang sejenis dengan menggunakan bahasa yang simpatik, tidak provokatif dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan yang terprogram, seminar, dan sebagainya. Sasarannya bisa lebih luas, tidak hanya dilingkungan pendidikan tetapi juga masyarakat secara umum.
3.         Membuat forum-forum atau kelompok-kelompok yang konsern terhadap gerakan multikulturalisme, terutama di lembaga pendidikan Islam. Sejauh ini memang sudah ada beberapa PTAI yang membentuk forum dengan semangat multikulturalisme, seperti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Banjarmasin. Usaha ini perlu terus ditingkatkan dan dilakukan oleh PTAI lainnya, termasuk di tingkat sekolah. Karena melalui forum, kelompok atau pusat kajian yang demikian, akan dapat lebih memperluas dan meningkatkan sosialisasi bahkan internalisasi semangat multikulturalisme dalam dunia pendidikan Islam.
4.         Membangun kultur yang didasari semangat multikulturalisme, baik melalui lembaga pendidikan Islam maupun forum-forum pendidikan Islam di masyarakat. Secara institusional, hendaknya setiap lembaga pendidikan Islam dapat membuat visi yang mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme secara jelas dan kemudian dari visi tersebut dapat dibangun semacam corporate culture (budaya organisasi) yang menjadikan visi tersebut sebagai arah kegiatan bagi seluruh komponen yang terdapat dalam lembaga pendidikan. Adapun di masyarakat, membangun kultur dengan semangat multikulturalisme dapat dilakukan dengan memanfaatkan forum atau media pendidikan Islam yang ada di masyarakat itu sendiri, seperti melalui kegiatan ceramah agama, khutbah jum’at, majelis ta’lim, acara-acara kemasyarakatan dan sebagainya.
Adapun secara kualitatif strategi  yang dapat dilakukan, di antaranya adalah:
1.      Membangun landasan teori (epistemologi) pendidikan Islam multikultural yang lebih mapan. Untuk saat ini, teori-teori tentang pendidikan multikultural masih banyak didominasi oleh pemikir-pemikir Barat. Teori-teori yang telah ditawarkan tersebut pada satu sisi memang banyak membantu terutama dalam hal konsep maupun praktek. Namun di sisi lain, konsep pendidikan multikulturalisme Barat yang berangkat dari filsafat post-modernisme, tidak semua aspek dapat dikonsumsi sebagai referensi. Dengan kata lain, diperlukan sikap kritis dan usaha penguatan konsep yang berangkat dari sumber-sumber Islam itu sendiri, yakni melalui al-Qur’an dan as-Sunnah.
2.      Mempertajam nilai-nilai multikulturalisme dalam kurikulum, baik ditingkat sekolah atau perguruan tinggi. Kurikulum di tingkat sekolah yang ada saat ini, belum betul-betul mengakomodasi semangat multikulturalisme. Hal ini dapat dilihat dari ketidak jelasan dalam bentuk apa multikulturalisme akan diajarkan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan pada wilayah kurikulum, yakni kurikulum yang mengakomodasi multikuturalisme secara lebih jelas. Materi multikulturalisme bisa saja diwujudkan dalam mata pelajaran tersendiri. Namun konsekuensinya, harus dapat secara rinci diuraikan dalam sebuah buku materi ajar. Kalaupun tidak melalui materi pelajaran tersendiri, paling tidak harus ditegaskan dalam topik pembahasan dalam suatu mata pelajaran, terutama dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
3.      Meningkatkan pemahan dan kemampuan para pendidik terhadap materi-materi multikulturalisme. Karena harus diakui, di kalangan pendidik sendiri masih banyak yang belum memahami betul tentang konsep-konsep multikulturalisme. Tidak sedikit di antara para pendidik yang masih berpikiran sempit mengenai dinamika keragaman dan perbedaan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan kepada kelompok pendidik tersebut, baik melalui pelatihan, bahan bacaan serta ruang kreatifitas untuk menulis tentang pendidikan multikultural, atau yang lainnya. Upaya ini harus terprogram dan diusahakan bersifat keharusan bagi mereka. Selain dalam proses pendidikan atau pengajaran, guru juga diharuskan untuk membuat program-program yang dapat mengarahkan siswa memahami dengan baik persoalan multikulturalisme. Mengadakan kunjungan ke tempat-tempat ibadah agama lain, tempat-tempat bersejarah atau lainnya, yang hakikatnya terdapat nilai-nilai multikuturalisme di dalamnya.
4.      Pengembangan budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai moral serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam perlu dilakukan. Secara konkret dapat dilakukan dengan memberdayakan siswa untuk mengadakan penelitian walaupun bersifat sederhana, field note, paper, karya tulis dan sejenisnya yang kemudian harus dapat dipublikasikan. Selain itu, bisa juga dengan ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan masyarakat atau acara-acara budaya lokal yang terdapat pada masyarakat tertentu. Khusus untuk kalangan mahasiswa, program penelitian dan pengabdian masyarakat yang sudah include dalam kurikulum pendidikan, perlu dibekali nilai-nilai yang terkait dengan multikulturalisme secara lebih jelas. Penelusuran tidak hanya terbatas pada budaya yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, termasuk budaya lokal yang masih belum jelas kedudukannya dalam Islam-pun, justru perlu dikaji oleh mahasiswa.
5.      Penguatan dari sisi kebijakan dan pembiayaan (anggaran), yang dalam hal ini berhubungan dengan pihak-pihak yang berwenang atau para pembuat kebijakan. Perlu alokasi yang jelas untuk mengembangkan pendidikan Islam multikultural.
Pengembangan pendidikan Islam berbasis multikultural bisa menggunakan pendekatan estetik. Dengan pendekatan ini peserta didik memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Dalam pendekatan ini, pendidikan agama tidak didekati secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai estetis. Sedangkan pendekatan berperspektif gender adalah pendekatan yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis kelamin.
Pendekatan lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan berwawasan multikultural adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat, dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan kebersamaan, kerjasama, dan keragaman masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.
Kecuali itu, pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat diterapkan pada beberapa aspek, yakni: orientasi muatan (kurikulum), orientasi siswa, serta orientasi reformasi unit pendidikan. Pada pengembangan yang berorientasi pada muatan, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: pertama, pendekatan kontributif, di mana tujuan utama pendekatan ini adalah memasukkan materi-materi tentang keragaman kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultur masyarakat). Kedua, pendekatan aditif, yaitu melakukan penambahan muatan-muatan berupa konsep-konsep baru ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya.
Dengan pendekatan ini, pendidikan Islam dapat memanfaatkan muatan-muatan khas  multikultural sebagai pemerkaya bahan ajar, konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama yang akan memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state of mind” (pemikiran) para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi agama-agama lain, serta tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling menghargai dan memahami. Hal senada juga diungkapkan Tilaar, ia menyebutkan bahwa rancang bangun untuk melaksanakan pendidikan multikultural adalah sedikitnya berdasarkan susunan piranti sebagai berikut: reformasi kurikulum, pengajaran prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi multikultural, dan pelaksanaan pendidikan kesetaraan.
Pada aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah penanaman sikap non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara maksimal. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman agama dan budaya di masyarakat.
Tentu saja berbagai pengembangan tersebut harus bersifat integratif, dan komprehensif. Artinya nilai-nilai multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains dan teknologi, pendidikan jasmani, kesenian atau pendidikan moral sehingga mampu  menghasilkan sebuah perubahan. Sementara pada pengembangan pada aspek  orientasi reformasi unit pendidikan, diharapkan setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang lain yang berbeda.

Senin, 09 September 2013

MENIMBANG BENTURAN PERADABAN BARAT DAN ISLAM




Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?

Kritik atas Tesis Huntington
Huntington mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,” katanya, “sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”
Secara lebih luas, Huntington mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Kelima, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi (Huntington, 2002:ix-x).
Dari premis-premis itu, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di atas secara otomatis akan menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, Huntington melakukan dua hal; pertama, memetakan muara kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban, yaitu : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Premis di atas berimplikasi pada semakin lebarnya perbedaan antar peradaban yang akan semakin menyulitkan kompromi antar peradaban itu untuk sampai pada saling pengertian. Maka, ujung-ujungnya akan terjadi benturan antar peradaban. Namun pertanyaan kemudian, peradaban mana, vis a vis mana yang nantinya akan saling berbenturan? Ia menjawab pertanyan ini pada langkah kedua, meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa mendatang bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antar Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius (ibid, x).
Sejak awal, teori “benturan antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan cibiran, daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang fantastis, teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan.

Sisi lemah Tesis Huntington

Akbar S. Ahmed (1992), salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat.
Kelemahan lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slav/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu.
Selain itu, sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.

Benturan Kepentingan
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang (Fawaz, 2000:30). Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri Malaysia Datuk Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.
Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme. Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Cendekiawan terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri (1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada Muhammad V University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interensts)
Kepentingan global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan. Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.

Melawan Hegemoni

Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia. Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif - umat Islam Islam - terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa. Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.

Khotimah

Terdapat beberapa point penting terkait relasi Islam dan Barat yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga, dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang. Ketiga, Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat #

MEGAHNYA GEDUNG PENGADILAN TAK MENJAMIN TEGAKNYA KEADILAN



Belakangan ini wacana keadilan kembali ramai dibincangkan orang, terutama pasca mencuatnya kejadian-kejadian norak di dunia hukum dan peradilan kita, mulai dari banyaknya penegak hukum yang melanggar hukum, penerapan standart ganda bagi kelompok elit dan alit, dimana koruptor kakap dengan mudahnya divonis bebas sementara nenek-nenek yang diduga mencuri dua biji kakau untuk mengisi perutnya yang sekian lama keroncongan langsung divonis 4 bulan kurungan penjara tanpa ampun,. Juga kasus hukum bank century yang merugikan Negara 6,7 trilyun yang hingga kini mbulet ndak karu-karuan, soal kasus cicak versus buaya, soal makelar kasus (Markus), dan kini ditambah lagi soal buaya versus gerombolan buaya, kiranya telah melengkapi ketidak percayaan rakyat akan tegaknya keadilan di negeri ini, sayang sekali, semakin banyak dibangun gedung dan lembaga peradilan, ternyata semakin sedikit ditegakkan keadilan.
Antara Keadilan Dan Kebencian
Mempertemukan keadilan dan kebencian dalam sebuah tulisan rasanya tidak terlalu sulit, kita tinggal menulis dan mengulas kedua kata-kata itu. Tetapi mempertemukan keduanya dalam hati dan perbuatan sungguh tidaklah mudah. Padahal dapat dipastikan bahwa keadilan akan menguap jika kebencian menguasai hati seseorang. Dari sinilah sesunggunya akar penyakit penegakkan hukum di negeri kita ini, di samping kitab hukumnya masih menggunakan produk Londo, juga rasa cinta atau benci pada seseorang atau suatu kaum dapat menjadi penghalang bagi tegaknya keadilan. Ditambah lagi dengan kesaksian palsu yang semakin sering dilakukan oleh beberapa pihak demi kepentingan tertentu. Sepertinya kejujuran kian menipis bahkan mulai langka dalam jiwa bangsa ini, sebab hampir disetiap sektor kehidupan sudah dianggap lumrah tipu-menipu, suap menyuap dan kepalsuan lainnya.
Adalah sulit bagi seorang hakim yang menyimpan kebencian terhadap terdakwa untuk memutuskan vonis secara adil, kecuali yang bersangkutan termasuk orang-orang beriman yang bertaqwa kepada Allah swt, sebab bagi orang yang beriman dan bertaqwa pasti memiliki keasadaran mendalam bahwa apapun yang ia putuskan akan dimintai pertanggung jawab di akhirat kelak. Dan Allah maha mengetahui segala yang dikerjakan oleh hamba-Nya, termasuk yang tersembunyi sekalipun. Maka, sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan seseorang Allah swt akan membalasnya, dan sekecil apa pun keburukan yang dilakukan seseorang, Allah pasti membalasnya juga.
Disinilah perbedaan yang mendasar antara Islam dan demokrasi ala barat. Demokrasi secara fisik menyuarakan bahwa keadilan demi rakyat. Padahal sesungguhnnya dengan kekuasaan di tangan seorang penguasa (yang minus keimanan) akan dengan leluasa mengibuli rakyatnya. Seorang hakimyang demikian akan leluasa mempermainkan hukum karena yang ditakuti bukan Tuhan yang maha mengetahui dan maha membalas, melainkan hanya lembaga hukum seperti komisi pemberantasan korupsi (yang kadangkala juga perlu diberantas karena juga sering melakukan korupsi dengan menerima komisi) atau atasan (yang perlu juga diatasi) atau penegak hukum lain (yang sejatinya perlu dihukum). 
Maka, seharusnya syarat seorang hakim adalah orang-orang yang beriman yang memutuskan sesuatu karena Allah, seorang jaksa dan polisi seharusnya juga orang yang beriman yang melakukan tuntutan dan penyidikan karena Allah. Bila bukan itu yang dijadikan bingkai, niscaya sampai kapanpun keadilan tidak akan pernah tegak, sebab keadilan selalu dipersepsi berbeda-beda tergantung sudut pandang, (atau lebih tepat : sudut kepentingan masing-masing). Karena itulah Jangan pernah mengharapkan keadilan jika aparat hukum kita masih orang-orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Jangan mengharap keadilan jika mata kita masih silau melihat harta dan tahta.
Demikian juga seorang saksi semestinya juga adalah orang yang beriman, yang menyampaikan kesaksiannya semata-mata karena Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu elemen pokok dalam penegakkan keadilan adalah saksi. Peran saksi sangat signifikan dan berpengaruh besar bagi tegaknya keadilan. Bukankah keputusan hakim sangat tergantung pada kesaksian para saksi? Bukankah banyak kesaksian telah memalingkan hakim dari kebenaran? Bukankah banyak saksi yang telah mengubah kesaksiannya hanya karena ditekan, diancam, atau dibungkam dengan alat yang bermacam-macam.
Itulah sebabnya, dalam ayat keadilan (Qs. 5 : 8) Allah memulai seruanNya dengan menggunakan kata ”Hai orang-orang yang beriman”, artinya baik penyidik, penuntut, pengadil dan –terutama- saksi  dalam melakukan proses pengadilan, diperintahkan untuk menegakkan keadilan semata-mata karena perintah Allah, bukan karena yang lain. Bukan karena kebencian atau kecintaan kepada seseorang atau kaum tertentu, bukan juga  karena kekayaan dan kekuasaan atau kemiskinan dan kejelataan si terdakwa. Hal ini penting ditegaskan karena faktanya hal-hal diatas tak jarang membuat pelaku hukum berbuat nista, bersaksi dusta dan memutar balikkan fakta, karena dibungkam dengan uang, karena takut ancaman, atau karena iba dan kasihan. Sungguh, tendensi tertentu dalam usaha menegakkan keadilan dan kesaksian hanya akan membuat semakin rancu keadilan itu sendiri. Maka Allah swt mengecam orang-orang yang berbuat demikian, dan Dia maha mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak satu pun yang dapat bersembunyi dari penglihatanNya.
Dampak ketidak adilan
Tatanan masyarakat harmonis hanya dapat terwujud dengan baik manakala keadilan ditegakkan di berbagai sektor kehidupan, karena itu banyak sekali ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk berlaku adil dalam keadaan apapun dan terhadap siapapun. Berlaku adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional. Seseorang dapat disebut adil, manakala dirinya maju tak gentar membela yang benar bukan maju tak malu membela yang bayar, pemimpin yang adil  adalah pemimpin yang menata rakyatnya diatas landasan kesetaraan, pemerataan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu.
Penegakan supremasi hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa tebang pilih merupakan sesuatu yang strategis dan fundamental, sebab dengan tegaknya keadilan akan terwujud kehidupan yang damai dan bersih dari berbagai bentuk kecemburuan dan kesenjangan sosial, karena itu Allah swt sangat mencintai orang yang berlaku adil (Qs. 49 : 9).
Sebaliknya, dalam banyak fakta ditemukan bahwa ketidak adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial dalam memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Ketidak adilan merupakan faktor utama bagi timbulnya keributan kemanusiaan. Kasus-kasus kemanusiaan seperti : di Singkawang, Palangkaraya, Pontianak dan Sampit beberapa tahun lalu adalah contoh nyata dari pelampiasan emosional karena kecemburuan sosial ekonomi, Jika para pejabat terus menaikkan gaji dan tunjangannya ditengah megap-megapnya rakyat jelata yang tengah berjuang mempertahankan hidup, maka normal jika terjadi keresahan dan kerusuhan dimana-mana, hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari tindakan ketidak adilan. Itulah sebabnya jauh-jauh sebelumnya dalam  Qs. 5 : 8 Allah swt menyeru : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
Keadilan dalam perspektif Sufi
Dalam perspektif sufi, yang paling ditakuti justru keadilan Tuhan. Saya ingin mengupasnya melalui sebuah kisah, suatu ketika seorang santri  bertanya  kepada Gus (putra kiai) yang kebetulan baru pulang dari program doktor (PhD) di luar negeri,  konon Gus tersebut disana adalah seorang aktivis hukum dan HAM serta pejuang keadilan.
Menurut pandangan Gus, apa yang paling penting dilakukan untuk mengantarkan masyarakat negeri ini pada kesejahteraan ?, dengan mantap sang Gus menjawab : menegakkan supremasi hukum  dan  keadilan untuk semua pihak tanpa pandang bulu, hanya dengan keadilan negara ini akan di kasihi Tuhan.
Tetapi menurut Kiai sepuh (ayah anda) dalam pengajian tadi malam tidak begitu, potong si santri kebingungan.  Gimana dawuh Abi, tanya Gus penasaran ?
 Menurut  beliau justru  yang paling kita takutkan dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila Tuhan betul-betul menerapkan keadilanNya, rasanya sedikit sekali manusia yang bakal masuk sorga. Ada hadits yang menyatakan “ tidak akan  pernah masuk  sorga seseorang yang dalam hatinya ada  takabbur walau sebesar debu”, Realitasnya takabbur kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung, padahal sebesar debu saja dihararamkan masuk sorga. Ada pula hadits yang menyebutkan “ Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”. Bila sesuap saja akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa hari jika yang masuk ke perutnya  dua milyar suap ? Jika memperhatikan hadits-hadits itu, rasanya kita semua akan masuk neraka.
Jika Allah dengan keadilannya membalas kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua amal kita, maka celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita, tentu sangat tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya, seperti riya’ dan ujub.  Dalam hadits qudsi disebutkan jika seluruh hidup manusia digunakan seluruhnya untuk berbakti dan beramal kepada Allah niscaya itu belum sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah pada mahluknya. Dalam riwayat yang lain ditegaskan “Seorang masuk sorga bukan karena amalnya,tetapi karena kasih sayang (rahmat) Allah ta’ala. (Hr. Muslim)
Apalagi  prilaku sebagian kita yang sangat keterlaluan. Korupsi muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam hitungan hari di negeri ini. Belum kering airmata menangisi kasus Hambalang, muncul kasus simulator SIM, belum usai gonjang ganjing kasus cebongan dan eyang Subur, kasus impor daging sapi mengguncang PKS, belum tuntas kasus perbudakan di Tengerang dan Lampung, menyusul lagi kasus yang melibatkan Fathonah mengenai pencucian uang  dan gratifikasi seks yang melibatkan puluhan wanita-wanita cantik.  Kasus-kasus itu tidak hanya membuat spesies manusia yang terperanjat, alampun ikut tergoncang, mereka muntahkan banjir di berbagai tempat, gunung terusik dan meletus, kebakaran terjadi hampir tiap hari,....Ada apa ini ?, pertanda apa ini ?    Tidak hanya manusia yang bereaksi, alam, bumi dan air juga unjuk gigi, bahkan api dan udarapun turut mengamuk dengan aksi kebakaran dan semburan awan panas mematikan. Dan kabar terkini, beberapa gunung berapi di Indonesia juga mulai berancang-ancang untuk ambil bagian dalam mengingatkan ketersesatan kita.
 Keserakahan, keingkaran, dan kemaksiatan adalah penyebabnya. Karena maksiat, barokah tertahan, karena maksiat, bencana berdatangan. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an : Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan manusia, (lalu Allah peringatkan mereka),  supaya merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka, sehingga mereka menyadari dan  kembali  pada jalan yang benar. (Qs. 30 : 41)
Sulit dibantah bahwa telah sekian lama sebagian warga negara diberbagai lapisan berlomba menggarong kekayaan negara. Mencederai rakyat dengan korupsi, mengelapkan uang pajak serta memperjual belikan hukum & keadilan. Disisi lain, hutan-hutan digunduli, pasir-pasir di keruk tanpa batas, udara terus diracuni dengan polusi dan zat-zat kimia yang berbahaya, bumi di bor sampai kedalaman yang membahayakan, hewan-hewan ditangkapi demi tujuan bisnis. Akibatnya alam rusak parah, musim tidak lagi beraturan, ozon kian menipis, limbah polusi mulai menyerang udara, air dan bumi kita. Dari sini sebetulnya upaya mengundang bencana secara sengaja sedang dimulai.
Belum lagi dengan ilmu pengetahuan modern yang lebih cenderung pada pemenuhan hawa nafsu dibanding meredamnya, ketika sebagian orang terkena penyakit kelamin, solusi yang ditawarkan adalah kondom, bukan cara mencegahnya. Bila para orang tua risau oleh prilaku seks bebas anak-anaknya, jalan keluar yang ditawarkan adalah obat anti hamil, bukan cara mencegah atau menghindari seks bebas itu. Akhirnya apa ? kemaksiatan semakin merajalela, dan sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud,  Baginda Nabi saw bersabda : Bila semarak kemaksiatan maka akan muncul kegoncangan
Tetapi semoga saja Allah swt tidak sedang murka kepada kita, melainkan hanya mengingatkan kita agar kembali pada jalan yang benar. Sebab kalau Allah murka, barangkali tidak  sekedar sejumlah masalah dan kasus atau bencana alam yang ditimpakan kepada kita, mengingat persyaratan untuk kita dihancur leburkan selebur-leburnya sudah sempurna  kita miliki. Ukuran kemaksiatan, kedurhakaan dan kesalahan kita selama ini dari sudut aqidah, syariah dan ahlak, dari sudut individu dan sosial sungguh tidak lebih rendah dibanding kedurhakaan kaum Nabi Nuh as yang kemudian ditelan air bah raksasa. Sungguh penderitaan yang kita alami akibat perbuatan kita jauh belum sepadan dengan kebusukan hati, kebobrokan moral dan penghianatan yang kita lakukan selama ini baik secara individu maupun secara kolektif.
Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu.  #.