Jumat, 29 Maret 2013

TUHAN YANG SEBENARNYA



Ust.Hefni Zain

Seorang Kyai menjelaskan bahwa Tuhan adalah maha pengasih, maha penyayang, mempunyai 20 sifat wajib dan mempunyai 99 nama.
Santrinya yang cerdas mengkritik, pak Kyai, katanya Tuhan itu absolut dan tidak terbatas, bagaimana mungkin yang tak terbatas didefinisikan sebagai begini dan begitu ? bagaimana mungkin yang tak terbatas digambarkan dengan kata kata manusia yang sangat terbatas ? bukankah setiap pendefinisian berarti reduksi dan simplifikasi ?
Ketahuilah pak Kyai, bahwa Tuhan dalam konsep, ide atau gagasan kita sesungguhnya bukan Tuhan yang sebenarnya, Sebab Tuhan yang sebenarnya berada diluar konsep dan ide manusia. Tuhan dalam konsep dan ide adalah Tuhan yang kita ciptakan sendiri dalam benak dan krangkeng fikir kita, Tuhan yang sebenarnya sesungguhnya tidak dapat diungkap dengan kata kata, sebab tidak ada satu bahasa atau kata apapun yang representatif menggambarkan Tuhan yang sebenarnya.
Dari mana kamu  tahu itu semua,  rasanya aku tak pernah mengajarkan yang seperti itu padamu….guman sang kyai, heran…


KEKUASAAN BAGI KAUM  SUFI

Suatu saat Kholifah al Mantsur bermaksud mengangkat seorang Qodi, Lalu diincarlah empat  ulama’ besar yang hidup dimasa tersebut,  yakni : Abu Hanifah,  Sofyan Tsauri, Mis’ar bin Qidam dan Syuraih. Merekapun dipanggil ke istana.  Sebelum berangkat, keempat ulama’ tersebut  sepakat untuk menolak permintaan kholifah, tetapi mesti dengan cara yang tidak menyinggung perasaan Beliau, sebab  bila sampai menyinggung perasaan Kholifah, pasti resikonya akan sangat besar. Memang Kholifah Al Mantsur terkenal sebagai penguasa yang sangat keras. Lalu  keempat ulama’  itu menyusun cara masing masing  guna menghindari kekuasaan yang ditawarkan sang Kholifah.
Sofyan Tsauri memilih melarikan diri ke luar negeri, berangkat diam diam di malam buta meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk  dapat menghindari sebuah jabatan.  Mis’ar  bin  Qidam berpura pura gila, dengan pakaian dan sikap yang aneh ia tampil kemuka menyalami Kholifah  seraya berkata : Wahai  Kholifah.... Bagaimana kabarmu dan kabar anak anakmu serta hewan ternak piaraanmu? Mis’ar mengatakan hal itu tanpa sopan santun sedikitpun, ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan diluar kesadarannya. “Keluarkan orang ini !  ia tidak waras”,  kata Kholifah.
Lalu  al Mantsur berkata pada Abu Hanifah, Karena Sofyan Tsauri melarikan diri dan Mi’tsar mengalami gangguan jiwa, maka Engkaulah yang harus menjadi qodi,! Abu hanifah menjawab.  Wahai Amirul Mukminin…, Aku hanya orang Persi  bukan  orang Arab. Peminpin arab tidak akan menerima keputusan qodi seperti Aku. Karena itu jangan Aku. 
Kholifah berkata, jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan atau etnis,  yang  dibutuhkan  adalah keahlian  dan  profesionalitasmu. Engkaulah Ulama’ paling terkemuka di wilayah kekuasaanku saat ini.  Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya  dan mengatakan bahwa dirinya tidak pantas untuk jabatan yang agung itu.  Kholifah dengan nada kesal berkata : alasanmu hanyalah kebohonan untuk menutupi ketidak sediaanmu. Abu Hanifah berkata, jika Engkau menganggapku pembohong, maka tidak dibenarkan jabatan qodi dipercayakan kepada seseorang pembohong atau seseorang yang engkau anggap pembohong. Al hasil Abu hanifah berhasil mengelak dari jabatan tersebut dan dengan cepat segera pergi dari tempat itu.
Kini tinggal  Syuraih. Jika demikian kata Kholifah, tidak ada alternatif Iain, Syuraih harus mau menduduki jabatan tersebut. Syuraih menyampaikan beberapa alasan keberatan, sambil berharap ia dapat keluar dari jabatan kekuasaan yang ditawarkan Kholifah. Tetapi Kholifah mulai hilang kesabaran, lalu menggunakan kekerasan, dia memaksa Syuraih .
Engkau hanya ada dua pilihan : bersedia menjadi qadi atau kupenggal kepalamu. Syuraih dihadapkan pada dua pilihan yang sangat dilematis. Dengan sangat terpaksa Syuraih bersedia menerima jabatan tinggi tersebut. Sejak itu,  Abu Hanifah, Sofyan Tsauri dan Mis’ar bin qidam tidak pernah lagi berbicara kepada Syuraih sepatah katapun dan tak pernah mengunjunginya hingga kematian mereka.
Demikianlah, bagaimana para ulama’ besar  terdahulu berusaha menolak jabatan tinggi di pusat kekuasaan. Mereka bersedia melakukan apa saja demi menjauhi kekuasaan dan pemerintahan.  Kok beda ya dengan ulama sekarang ? Iya sih sufinya juga beda, sekarang SUFI itu adalah Suka Film India...

CARA EFEKTIF MENGHALAU SYETAN.
Suatu hari Fariduddin Attar ditanya orang tua tak dikenal, hai Attar bagaimana cara anda menghalau syetan? Saya akan melawan setiap bujuk rayunya, jawab Attar singkat. Jika kawanan syetan turus menbujukmu dari segala arah, apa yang akan kau lakukan? Aku akan tetap melawannya hingga titik darah yang penghabisan.
Lalu kapan kau beribadah kepada Allah dan berbakti untuk kemanusiaan bila waktumu dihabiskan untuk terus melawan syetan yang menggodamu dari segala arah dan segala waktu?  Attar bingung, menurutmu apa yang harus aku lakukan . tanya Attar ?
Orang tua berkata, bila kau seorang gembala dengan domba yang banyak, lalu datang seringala ganas menyerang dombamu dari segenap arah, dengan caramu yang tadi, selain engkau akan kehabisan waktu, juga kau tidak akan mempu menghalau semua srigala itu. Cara yang paling efektif adalah : engkau mohon kepada pemilik srigala itu agar segera memerintahkan srigala piaraannya tidak menyerang dombamu. beres kan !

SUMBANGAN IBLIS

Para Malaikat bertanya kepada kawanan iblis, kenapa kalian tidak mematuhi perintah Tuhan untuk sujud kepada adam ? kami melakukannya untuk  memelihara hukum alam Tuhan, jawab mereka.. Maksudnya gimana selidik malaikat ? Iblis yang paling senior menjelaskan: Tuhan telah menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan, itu hukum alam Tuhan, Artinya, bila ada kebaikan pasti ada keburukan, sama seperti bila ada sorga pasti ada neraka, ada malaikat ridwan juga ada malaikat malik, ada siang ada malam, ada pria ada wanita, ada tinggi ada rendah dan begitu seterusnya.
Seandainya kami bersujud pada Adam, maka pasti yang ada hanya kebaikan, ini bisa merusak hukum alam Tuhan. Lalu apa tugas  dan keberadaan malaikat malik, bila tak ada satupun mahluk yang  menghuni neraka ? singkatnya, sesuatu disebut baik karena ada perbandingan yang disebut buruk. Bila salah satu tiada maka berarti semuanya tiada.  Itulah sumbangan terbesar kami, kami rela dijadikan tumbal sebagai simbol nigatif, demi mempertahankan metabolesme hukum alam Tuhan.

SYETAN   IKUT   ZIKIR

Suatu saat seorang murid mengeluh pada  gurunya, wahai guruku, berilah saya nasehat,  saya sudah sholat malam sekian lama, tetapi tidak berhasil khusu’, saya sudah lima kali naik haji tetapi tak kuasa menahan godaan syetan untuk berbuat mungkarat,  saya juga telah banyak membaca dzikir, tetapi syetan tetap saja menggodaku ? 
Sang guru berkata bila kamu  di pinggir jalan, lalu ada anjing  mengganggumu dan kamu  membentaknya, mungkin anjing itu akan lari.  Tetapi bila disekitar kamu terdapat  banyak  tulang tulang makanan anjing, maka anjing itu tidak akan pergi walau kamu telah membentaknya. Kalaupun dia pergi, paling hanya sebentar dan kemudian mengintai lagi menunggu kamu lengah.
Artinya, dzikir kamu itu seperti sebuah gertakan terhadap syetan, zikir baru efektif bila hati kamu bersih dari makanan syetan, tetapi jika hati kamu masih penuh dari berbagai jenis makanan syetan, zikir sebanyak apapun tidak akan sanggup mengatasirnya, bahkan bisa bisa syetan akan ikut berzikir dalam hati kamu.
Karena itu jika  ingin dzikirmu mempunyai daya dan kekuatan, sebelumnya kamu harus membersihkan hatimu dari berbagai jenis makanan syetan.

JELEK TAPI PINTAR

Al kisah disebuah dusun terpencil hidup seorang filosuf bernama Tauhidi, ia berwajah jelek tetapi pintar, ia tidak memiliki keindahan lahiriyah  tetapi kaya keindahan bathiniyah.
Suatu hari seorang cewek cantik  tetapi bodoh takjub dan tergila gila kepadanya, tetapi Tauhidi tidak takjub kepada kecantikan cewek itu. Memang ketika selera seseorang  sudah sampai pada keindahan bathiniyah, keindahan lahiriyah menjadi tidak menarik.
Cewek itu datang kepada Tauhidi menawarkan dirinya dengan mengatakan “ Mas…I have a very good idea, bagaimana kalau kita menikah ? dengan bersatunya saya dan kamu,  kelak akan lahir anak kita  secantik saya dan sepintar kamu, mari kita gabungkan dua jenis keindahan kita, ucap si cewek penuh harap !
Tanpa diduga, si Tauhidi menolaknya dengan mengatakan “tidak, saya malah takut kelak anak kita akan sejelek saya dan sebodoh kamu”.




MODEL PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN



Hefni Zain
      
Kendati telah dirintis berbagai upaya dan langkah reformasi pendidikan Islam, namun sulit dipungkiri ia belum mampu keluar secara signifikan dari berbagai kelemahan mendasar yang melilitinya sehingga kondisinya hingga detik ini belum juga membanggakan.
Seperti diketahui  alqur’an  hadits yang notabene merupakan landasan dan dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya, hal ini diakibatkan oleh  minimnya pakar --di Indonesia-- yang secara khusus mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam perspektif pendidikan Islam, akibatnya proses pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Dalam ranah konseptual tidak sulit kita melihat bahwa visi, misi  dan tujuan pendidikan Islam seringkali hanya diorientasikan untuk menghasilkan manusia – manusia siap pakai  dan menguasai ilmu Islam saja, belum siap hidup dan berkarekter Islami, sehingga lulusan pendidikan Islam acapkali  terpinggirkan dalam ranah kompetisi global dan konteks ruang yang lebih kompleks.
Problema ini kian diperparah oleh belum tersedianya tenaga pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu yang diajarkannya secara baik dan benar, juga mampu mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para  peserta didik. Mesti diakui saat ini para pendidik muslim secara umum belum dapat dikatakan profesional, hal ini dikarenakan sumber daya pendidik muslim yang ada tidak berasal dari lembaga-lembaga keguruan, mereka  direkrut menjadi tenaga pendidik karena alasan kebutuhan atau alasan-alasan lain yang sifatnya jauh dari pertimbangan akademik dan kompetensi profesional. Demikian juga berbagai upaya untuk meningkatkan kompetensi profesionalitas pendidik melalui diklat, work shop, penataran dan sebagainya belum menunjukkan hasil yang diharapkan, mengingat dalam aras riil berbagai kegiatan tersebut sering lebih  “bersemangat proyek“ sehingga tak jarang melenceng dari tujuan dan sasaran yang diharapkan.

ISU- ISU STRATEGIS 
Bertolak dari realitas tersebut, dewasa ini terdapat berbagai isu strategis yang perlu dikembangkan dalam pendidikan Islam, antara lain :
Pertama, penataan aspek fondasional, (a) perlu keberanian untuk melakukan berbagai rekonstruksi paradigmatik oleh para pakar pendidikan Islam yang secara khusus mendalami alquran hadits dalam perspektif pendidikan Islam, sehingga proses pendidikan Islam betul betul berjalan diatas landasan ajaran Islam orisinil. (b) perlu perubahan paradigma, bahwa pendidikan Islam bukan sekedar transformasi  materi dan  informasi keIslaman dari guru ke peserta didik, tetapi bagaimana  menghidupkan ghirah Islam dalam setiap jiwa peserta didik. (b) perlu dikembangkan pendidikan model yang tidak hanya berorientasi pada pemaparan teori melainkan pada contoh teladan yang kongkrit. (c) perlu dikembangkan aplikasi pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, dan idealistik. (d) perlu dikembangkan model pendidikan Islam yang menerapkan trio cerdas bagi peserta didik secara sinergis, yakni kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ)  dan kecerdasan spiritual (SQ). 
Kedua, penataan aspek operasional, meliputi (a) kontektualisasi kurikulum, artinya  kurikulum harus didesain berdasarkan kebutuhan stakeholder melalui serap aspirasi, (b) pengembangan strategi pembelajaran selain harus dioreientasikan pada konsep pembelajaran aktif, kreatif, Inovatif, efektif dan menyenangkan (PAKIEM), juga harus berbasis cinta, sehingga peserta didik diposisikan seperti anaknya sendiri . (c) perlu diupayakan secara terus menerus peningkatan profesionalitas dan kompetensi guru yang betul betul berbasis keguruan. (d) rekrutmen peserta didik mesti dilakukan secara selektif sehingga terjaring bibit unggul potensial, dan (e) kelengkapan sarana prasarana serta fasilitas pembelajaran mesti terpenuhi agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal.
Ketiga, penataan aspek menejerial, yang mendesak dikembangkan adalah meliputi (a) implementasi organisasi yang efektif dan efisien, (b) perencanaan pendidikan yang visioner dan marketable, dan (c) upaya  pengembangan net working yang luas  serta bersifat sibiosis mutualistik.

TAWARAN MODEL PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN 
Dalam upaya mengejar ketertinggalan pendidikan Islam di segala bidang, terdapat beberapa tawaran model pendidikan Islam masa depan, antara lain :
Model pendidikan Islam berbasis humanistik demokratik.
Proses informatisasi yang begitu cepat sebagai konsekwensi dari revolusi tehnologi telah membuat horizon kehidupan di planit bumi ini semakin meluas sekaligus mengerut, hal ini berarti masalah masalah  kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak tidaknya  tidak dapat dilepaskan dari  pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain.  Rontoknya sistem otoriter yang menindas nilai nilai hakiki manusia dewasa ini menunjukkan keinginan umat manusia untuk memperoleh kehidupan kemerdekaan yang sejati, usaha ini dalam pendidikan telah melahirkan kembali pendekatan yang mementingkan pengembangan kreatifitas dan kepribadian anak.
Gerakan humanisasi ini menuntut reformasi mendasar ranah pendidikan di segala bidang, kecenderungan demokratisasi global juga telah memaksa perubahan konsep pendidikan Islam yang sebelumnya sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah  demokratik transparan berbasis partisipatoris, model ini berorientasi dan menjadikan “manusia” sebagai titik pusat dan titik tolaknya, inilah yang kemudian dikenal dengan pendidikan humanistik demokratik, yakni model pendidikan dari, oleh dan untuk peserta didik, yang dimaksudkan mencegah terjadinya dehumanisasi. Konsederasi yang dapat digunakan bagi model ini adalah bahwa setiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka, karena itu  kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan kemerdekaan sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari berbagai bentuk ketidak berdayaan disegala bidang.
Sifat dari pendidikan model ini  antara lain :  Fleksibel, open minded, menolak berbagai bentuk otoritarian dan absolutisme, liberal (Bahwa manusia sejak awal memiliki kebebasan & kemampuan untuk eksis dalam setiap perubahan), maka tugas utama  pendidikan jenis ini adalah mengoptiimalkan keberlangsungan dan kontinoitas perkembangan potensi awal  (fitrah) manusia tersebut. Bagi model ini, pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai esensi humanisme yang  memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan   kestabilan dan arah yang jelas. Model  ini merupakan reaksi terhadap gaya hidup yang mengarah pada hal hal materialistik, positivistik dan duniawiyah semata.
Proses pendidikan Islam dapat disebut humanistik demokratis apabila memenuhi beberapa karakter dasar sebagai berikut :  (a) Ia bertolak dari, oleh dan untuk peserta didik, ia ditopang oleh prinsip dasar bahwa setiap menentukan sesuatu harus atas dasar musyawarah mufakat secara bebas, wajar, terbuka dan bertanggung jawab, (b) Menekankan pengakuan kesederajatan paedagogis dan  menempatkan peserta didik sebagai individu yang unik, hidup dan memiliki bakat, minat, kecerdasan, skill dan sikap yang berbeda satu sama lainnya, karenanya ia mesti menggunakan tratmen yang berbeda pula sesuai dengan karakter mereka masing masing. (c) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam semua proses pedidikan serta mengacu pada continous progress dalam meningkatkan percepatan achievement dan pemberian kebebesan bagi akselerasi kreatifitas para peserta didik. (d) Mencerminkan bahwa belajar adalah prakarsa peserta didik, pengakuan akan hak hak peserta didik untuk memperoleh sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkannya. Dan (e) Berupaya membebaskan peserta didik dari berbagai bentuk penindasan, dehumanisasi, budaya verbal, mikanik dan dangkal, serta membebaskan peserta didik dari berbagai problem kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Maka itu, strategi tehnis yang perlu dilakukan dalam spirit model ini antara lain adalah : (1) Melaksanakan reformasi, redefinisi dan reorientasi landasan teorik konseptual proses pendidikan Islam yang mampu menumbuh kembangkan totalitas jati diri peserta didik. (2) Menciptakan pluralisme dan variasi pendidikan, terutama menyangkut strategi pembelajaran. (3) Menyediakan lingkungan belajar  yang bebas untuk melakukan pilihan pilihan tindakan belajar yang mendorong peserta didik terlibat secara emosinal, rasional dan fisikal guna memunculkan kegiatan yang kreatif dan produktif. (4) Adanya kesepakatan bersama melalui kontrak pembelajaran tentang model, strategi, materi , tujuan serta evaluasi pembelajaran.
Model pendidikan humanistik demokratik dalam tata kerjanya memiliki beberapa indikator konkrit, antara lain : (a) Teacher pupil planning, bahwa proses pendidikan dipilih  dan ditentukan bersama oleh peserta didik dan guru, (b)  Cooperative learning, belajar bersama antar peserta didik, saling memberi dan menerima dengan tujuan saling melengkapi satu sama lain, (c), Individual learning dan independent learning,  adanya kebebasan individu untuk mengaktualisir diri  dengan memilih cara , bahan dan tujuan yang dibutuhkan, (d) Group discussion,  memecahkan masalah bersama, mengambil kesepakatan bersama dengan saling mendengarkan dan menghargai pikiran semua anggota kelompok, dan (e) Teacher is fasilitator, Guru bertindak sebagai fasilitator yang berposisi sebagai salah satui sumber informasi dan bukan satu satunya sumber informasi.
Dengan demikian maka maksud  primer pendidikan Islam humanistik demokratik ini  adalah:  (a) sebagai penguatan (empowering) peserta didik melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan efektif menuju perbaikan kondisi kehidupan mereka. (b) bersama peserta didik menemukan dan memahami masalah riil dan kritis yang dihadapinya sekaligus mencari solusi pemecahannya. (c) mewujudkan partisipasi pembangunan peserta didik  dalam menangani
 persoalan-persoalan aktual yang dihadapi mereka

 akibat globalisasi Internasional. (d) mewujudkan peserta didik yang sejahtera, berdaulat, cerdas, terorganisir, memiliki kemampuan mengelola sumberdaya mereka secara bertanggung jawab serta memanfaatkannya secara bijaksana untuk melawan ketidak adilan budaya, politik, pendidikan dan ekonomi global. Tujuan paling utama dari pendidikan humanistik adalah terwujudnya manusia yang manusiawi.
Ali Syariati ketika  memberi nasihat kepada putra putranya mengatakan “Wahai putra putraku! Kalian boleh menjadi insinyur, guru besar, ulama’, pedagang, atau apa saja. Tapi yang paling mendasar dan jangan sampai kalian lupa, Jadilah kalian manusia!.  Menjadi manusia adalah hal yang paling penting, tidak ada gunanya seseorang menjadi profesor, ulama, birokrat atau konglomerat, bila ia masih berada dalam derajat binatang.
Model pendidikan Islam integralistik.
Pendidikan integralistik adalah model pendidikan yang  memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh, kesatuan jasmani, sukmawi dan rohani, kesatuan intelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pribadi dan sosial . Oleh karena itu pendidikan masa depan tidak boleh hanya focus pada education for the brain, tetapi juga pada education for the heart, sebab faktanya pengembangan kreatifiats rasional semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional terbukti menyeret manusia pada jurang demartabatisasi yang membuat mereka kehilangan identitas serta mengalami kegersangan psikologis, mereka hanya meraksasa dalam tehnik tapi terus merayap dalam etik. Tujuan pendidikan model ini adalah untuk menghindari split personality pada diri manusia, juga disintegrasi personal , sosial, kultural dan spiritual dalam kehidupan manusia.
Globalisasi, disatu sisi memang telah berhasil mengantarkan manusia pada puncak kebangkitan tehnologi, tetapi disisi lain --disadari atau tidak-- telah menyeret manusia pada pelbagai kegelisahan psikologis, syndrom aleinasi dan kecemasan yang tak kunjung usai, karena itulah, ia disamping disebut sebagai the age of tehnology  juga dikenal sebagai the age of anxiety . Adalah hukum alam, bahwa pembangunan yang berkembang begitu cepat akan selalu seiring dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan, berdirinya real estate dan departemen store dipelbagai tempat akan seiring dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona zona kejahatan, bila konglomerat bertambah maka demikian juga dengan orang melarat dan orang jahat. Perkembangan daya nalar yang tidak seimbang dengan daya spiritual hanya akan melahirkan manusia yang split personality, kian banyak sosok pandai tapi kian langka sosok jujur, kian membludak sosok yang pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu merekayasa kosmik tetapi tidak mampu mengendalikan diri sendiri, alhasil  globalisasi telah mengantarkan manusia pada pucuk popularitas tetapi sekaligus menjadikannya mengalami krisis kemanusiaan yang kronis.
Disaat banyak manusia mengalami kecemasan dan keresahan yang tak berkesudahan, maka reoreintasi pola hidup perlu segera dilakukan,  jalan hidup yang tidak “melulu ngakal” perlu segera dicari, sebab secara empirik dalam kehidupan yang terus menua, dunia tidak saja memerlukan manusia pinter, tapi yang lebih penting adalah munculnya manusia suci dan benar, maka dalam konteks yang seperti itu “pola hidup ngati” adalah sesuatu yang niscaya. Pola hidup ngati kiranya menjadi alternatif solutif sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi pihak pihak yang mengalami kegoncangan psikologis dan kegersangan spiritual juga dalam rangka membentuk prilaku zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup serakah, materialistik dan hedonistik.
Maka tidak heran, di barat sendiri dalam beberapa dekakde terakhir ini  jalan hidup ngati (baca : jalan hidup sufi ) mengalami kebangkitan yang luar biasa, Hakim Chisthi dalam risetnya menemukan bahwa di barat tatkala kemajuan IPTEK kian dipacu, justru semakin bermunculan tarekat tarekat sufi, terutama di kawasan Manhattan seperti tarekat bookstore, halvatiye Jarrahi dan semacamnya, bahkan di New york tarekat silmani yang dipelopori Javad Nourbakhsh, dengan super aktif menerbitkan karya karya sufistik kedalam berbagai bahasa, semua itu menandakan bahwa sejumlah masyarakat di barat sendiri sudah masuk pada “tahap muak” dengan pola hidup hipokrit hedonis yang justru memperbesar munculnya kekacauan dihampir semua aspek kehidupan.
         
Model pendidikan Islam Pragmatik.
Sejatinya pendidikan  berfungsi sebaga alat untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya dimasa yang akan datang. Sedangkan kehidupan mendatang akan ditandai oleh perubahan-perubahan yang amat dahsyat sebagai konsekwensi logis dari perkembangan nalar manusia. Maka pendidikan mesti mampu mempersiapkan peserta didik yang mempunyai kemampuan beradaptasi, berelevasi dengan kemungkinan-kemungkinan masa depan tersebut sehingga tetap survive
Pendidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai mahluk hidup yang membutuhkan sesutu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik yang bersifat biologis (makan minum, seks, tempat tinggal, dsb), psikis (berfikir, olah rasa, mengekspresikan dirinya dalam karya seni, kebutuhan untuk mencapai sesuatu, self achievement, fulfillment, actualization), maupun sukmawi (kebutuhan untuk berhubungan dengan yang adi kodrati).
Keberhasilan pendidikan dalam konteks ini mesti diukur dari kegunaan nilai praktisnya, artinya hasil pendidikan harus digunakan untuk memecahkan masalah masalah praktis keseharian guna memenuhi kepentingan-kepentingan subjektif individu. Maka menurut pendidikan jenis ini, kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman hidup yang riil. Dengen pendidikan pragmatik diharapkan dapat memacu kreatifitas, inovasi dan produktifitas juga dapat menghindari bahaya berfikir terpola dan konsumtif serta hidup dependen.

Model pendidikan Islam idealistik.
Pendidikan idealistik adalah model pendidikan yang mamandang manusia sebagai mahluk yang paling mulia dibanding mahluk lainnya dan  berusaha membina sebuah konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, model ini merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup dan kebudayaan yang sama sekali baru, artinya guna memenuhi hasrat manusia yg selalu berkembang, diperlukan usaha perombakan yang terus menerus .
Tujuan utama dari pendidikan model ini adalah untuk membentuk manusia berguna, dan diharapkan dapat mengobati berbagai kekacauan , kegagalan hidup serta kehancuran hidup yang dialami manusia.

DISKURSUS METODOLOGI STUDI AGAMA : PERGULATAN YANG BELUM TUNTAS



Oleh : Hefni Zain *

Pendahuluan
Belakangan ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak (Ali, 1998 : 16). Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman dan  terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan hanyalah otopia.  Rendahnya mutu pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya.
Kesadaran seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global (Nasr, 1998 : 42)

Pergulatan Metodologi Studi Agama
Sejak badan penelitian dan pengembangan agama dibentuk pada tahun 1975, salah satu wacana yang hangat dibincang adalah mengenai Metodologi Studi Agama. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh Litbang  agama guna mendiskusikan  wacana tersebut, termasuk bekerjasama dengan Program Studi Purna Sarjana (PSPS) Dosen-dosen IAIN Tahun 1975 di Jogjakarta. Sejauh itu tampak dua trend pola fikir yang berkembang. Trend pertama menganggap bahwa untuk studi agama perlu dibangun suatu metodologi tersendiri yang khas yang mampu menggambarkan secara akurat  fakta-fakta, makna-makna dan nilai-nilai agama, bagi mereka metodologi yang selama ini dipergunakan untuk studi agama  yang notabene berasal  dari Barat acapkali tidak relevan, sehingga tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di balik fakta-fakta keagamaan tersebut. Trend kedua berpandangan bahwa dalam studi agama, tidak perlu dibangun metodologi baru, cukup memanfaatkan metodologi dari berbagai disiplin (multidisipliner dan interdisipliner) yang sudah ada, khususnya  metodologi dari disiplin ilmu-ilmu terdekat, sebab studi agama disebut studi agama, sebenarnya bukan karena metodologinya, melainkan karena bidang kajiannya. (Taufiq Abdulloh, 1998 : 17)
Waktu terus berjalan, perkembangan kajian keagamaan semakin pesat dan beragam, sementara referensi yang disusun khusus dalam rangka memberikan alternatif metodologis bagi studi agama baik sebagai doktrin maupun sebagai realitas sosial dan proses pengungkapannya belum memadai, apalagi buku-buku yang ada tentang hal tersebut  body of knowledge nya belum begitu memberikan kepuasan intelektual, karena itu, diskursus metodologi agama hingga kini sesungguhnya masih membutuhkan pergulatan dan kajian yang lebih intens dan mendalam.
Mengkaji agama secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, Pertama : bisakah agama dijadikan subjeck matter kajian akademis?. Pertanyaan ini muncul mengingat ranah agama sarat dengan ajaran Tuhan yang bersifat mu’jizi, transendental (gaib), dan menyangkut keimanan yang amat subjektif yang bisa jadi berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sementara ciri kajian akademis mesti dapat diamati, diukur, dianalisis, dan dibuktikan. Lalu bagaimana hal yang mu’jizi, gaib dan transenden dapat diukur, diamati dan dibuktikan ?. (Mudzhar, 1998 : 31)
Kedua, jika benar “studi agama” bermaksud mencari kebenaran,  bukankah  agama merupakan sumber kebenaran ?  bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran ?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat yang normatif sebagaimana ditegaskan Smith (2005:16),   bukankah agama adalah sumber segala norma ?. Ketiga, dalam realitasnya  agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik  kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas  dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas (Abdullah, 1996 : 4)
Disamping itu, kesulitan lain mencari metodologi studi dan kajian agama yang pas adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral  akan dianggap mereduksi, mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama (Weardenburg, 1973 : 2).  Disamping sifat agama sendiri yang sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,  hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter  studi akademis.
Kendati demikian  bukan berarti tidak ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad  14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan, menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu  memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah (Abdullah,1998 : xii). Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”  dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti itu. (Nata, 1998 : 18)
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman dari ajaran agama. (Arifin, 2001 : 1). Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Mencermati spektrum diatas, walau disadari betapa sulitnya menemukan postulat yang baku mengenai model metodologi keilmuan yang dapat secara efektif memberikan klarifikasi terhadap berbagai hambatan menjadikan agama sebagai sasaran kajian akademis, seperti campur aduknya wilayah yang profan dan sakral, yang normatif dan historis atau yang lainnya, tetapi bagaimanapun juga sebuah metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia tetap merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi (Abdulloh, 1996 : 32). Dengan metodologi dan pisau analisis yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan diselewengkan. Dengan  itu semua diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini, sejarah dan kepentingan kepentingan  tertentu.

Mapping Metodologi Studi Agama
            Konsep studi agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan masayarakat terhadapnya.  Dengan demikian maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity). (Eliade, 2000 : 61)
            Dari rumusan diatas, maka ada perbedaan antara :  studi sebagai usaha mencari kebenaran agama  dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana.
Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion) lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos dan magik, ia bisa dikaji  dari metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji  dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek organisasi sosial. (Middleton, 1986 : 73)
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan  metodologi tersendiri  yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Berbeda dengan Rahmat (1997 : 92) yang mengatakan bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
            Agama sebagai objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat  dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka mesti  menggunakan metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu sosial.           Tapi ada juga yang berpendapat bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut  ajaran dasar yang merupakan wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah konsepsional atau aras langit.
            Ajaran dasar dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural. (Abdulloh, 1996 : 52)
Senada dengan pendapat diatas, Arifin (2001 : 4) mengemukakan, agama samawi sejak zaman pra sejarah hingga zaman modern sekarang ini, dapat dilihat dari dua segi, yakni segi isi dan segi bentuk. Dari segi isinya, agama adalah ajaran (wahyu Tuhan) yang dengan sendirinya tidak dapat dikategorikan sebagai kebudayaan. Sedangkan dari segi bentuknya, agama dapat dipandang sebabagi kebudayaan batin manusia yang mengandung potensi psikologis dan mempengaruhi jalan hidup manusia. Karena itu, untuk agama samawi, hanya bentuk dan praktek agama yang nampak dalam kehidupan sosial budaya yang dapat dijadikan objek studi akademis, sementara isi agama  yang terdapat  dalam kitab suci, seperti ke esaan Tuhan, kehidupan akherat, adanya malaikat, siksa kubur, seperti apa bidadari, dan semacamnya, tidak bisa dijadikan objek studi akademis.
Kaitannya dengan wacana ini, Atho’ Mudhar (1988 : 13) menyebutkan minimal ada lima bentuk gajala agama yang perlu diperhatikan jika seseorang mau mengkaji sebuah agama : Pertama, Scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol teks, dan dokumen agama. Kedua, Prilaku dan penghayatan penganut agama. Ketiga,  Ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat agama, seperti : doa, semidi, sholat, dll. Keempat, menyangkut fungsi agama. Misalnya : Sejauhmana agama mempengaruhi pola hidup seseorang. Dan Kelima, menyangkut alat-alat dan sarana agama.
Jokhim merinci mapping metodologi studi agama dalam bentuk tabel berikut :

 TABEL  I
Gejala yang menjadi
objek studi
Bentuk
Metode yang dapat digunakan
Scripture
Naskah – naskah, teks sumber ajaran, simbol simboll dan dokumen
Filologi
Kritik Teks
Prilaku dan penghayatan pemeluk agama
Keyakinan, etika, militansi , kesadaran agama, dan semacamnya.
Filosofis
Antropologis
Psikologis
Sosiologis
Ritus-ritus, lembaga lembaga &ibadat  agama
Upacara suci dan sakral, doa, semedi, sholat, dll
Historis
Fungsi agama
Sejauhmana agama mempengaruhi pola hidup seseorang.
Sosiologi
Antropologi
Psikologi
Alat dan sarana agama
Masjid, ka’bah, candi, Wihara, gereja, pure, Cinagog, dll
Arkeologi

Ragam Paradigma, Pendekatan & Analisis Dalam Studi Agama
Pada dasarnya paradigma, metode dan analisis yang digunakan dalam studi agama adalah sangat tergantung pada objek studi itu sendiri. Sebab objeklah yang menentukan ketiganya dan bukan sebaliknya. Agama, sebagai fenomena sosial budaya sesungguhnya bersifat multi fased, karena itu untuk memahami fenomena tersebut dapat meminjam salah satu atau beberapa paradigma yang umumnya digunakan dalam studi sosial seperti paradigma naturalistik, paradigma rasionalistik, paradigma filosofis dan semacamnya. Namun  sejak pertengahan abad 20 berbagai paradigma diatas, mulai banyak dipertanyakan dan dikritik, karena dianggap belum sepenuhnya representatif mengakomodir persoalan–persoalan studi agama dan studi keagamaan. Lebih- lebih bagi mereka yang meyakini bahwa realitas sosial bukan hanya terdiri dari realitas empiris, logis dan etis seja, tetapi ada juga realitas normatif yang hanya mungkin didekati dengan paradigma khusus, yakni paradigma teologis (Suprayogo, 2001 : 78)
Menjadikan agama sebagai kajian akademis, minimal harus mencakup tiga paradigma besar, yakni : paradigma  ilmiyah (empirikal), paradigma aqliyah (logikal)  dan paradigma irfaniyah (mistikal). Paradigma ilmiyah dan aqliyah dalam perakteknya bisa menggunakan metode  positifistk, naturalistik dan rasionalistik, sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui takhliyah, tahliyah dan tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam penelitian nash, paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah alqur’an lebih menitik beratkan pada aspek sosial atau aspek teologis ?  b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada sekarang masih otentik atau tidak ?.  Sedangkan paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a) bagaimana pola penafsiran al-Ghazali tentang manusia ?  b). apakah terdapat konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifat-sifat Allah ?  Sementara paradigma Irfaniyah dapat digunakan untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek esoteris dari makna ayat-ayat Al-Qur’an (Rahmat, 1989 : 84)
Agama dalam pengertiannya yang universal dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma. Dan realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.  Karena itu  penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya, apakah kawin mut’ah dapat dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab oleh paradigma logis. Apakah fungsi ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah. Bagaimana kondisi batin seseorang ketika dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya bisa dijawab oleh paradigma mistikal. (Rahmat,1989 : 87)
Sama halnya dengan paradigma studi agama, model pendekatan yang digunakan dalam studi agama juga tergantung pada pilihan objek yang dikaji, sebab objeklah yang menentukan model pendekatan dan bukan sebaliknya. Banyak ragam pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji, agama, antara lain : pendekatan teologis normatif, sosiologis, antropologis, filosofis, histories, filologis, psikologis, dan semacamnya (Nata, 1998 : 45 )
Pendekatan teologis normatif  dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada ambiya’  agar kehendak Tuhan itu dapat difahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.  Pendekatan ini berupaya  mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara teks dan konteks. Antara ajaran agama yang universal dengan realitas hidup yang kontekstual. Pendekatan teologis normatif dalam tata kerjanya berupaya melakukan pengkajian, internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai iman ketuhanan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah  menemukan pemahaman keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normatif idealistik.
Pendekatan Sosiologis adalah model pendekatan yang mencoba menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama juga mempengaruhi mereka. Ia juga menyelidiki kelompok-kelompok yang berpengaruh terhadap agama, fungsi- fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga lembaga-keagamaan dan respon agama terhadap tata duniawi, interaksi antara sistem religius dan masyarakat.
Pendekatan Antropologis  adalah model pendekatan yang memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya mengenai kebiasaan yang tetap (everiday life), melalui pendekatan antropologis, dapat dilihat korelasi agama dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat, relasi agama dengan mekanisme pengorganisasian (social organization), korelasi agama dan negara, kaitan agama dengan psikoterrapi dan hubungan agama dengan kesehatan mental.
Pendekatan filosofis adalah model pendekatan yang  dalam tata kerjanya melakukan kajian mengenai hal-hal mendasar, inti, hakekat dan hikamh secara mendalam, sistematik , radikal dan universal  tentang sesuatu yang berada dibalik ungkapan linguistiknya atau dibalik objek formalnya. Misalnya  makna filosofis tentang : ihram, tawaf, sa’i, wuquf, jumrah, atau kenapa ketika takbir dalam sholat harus mengangkat tangan, atau kenapa dalam proses wudlu’ wajah mesti dibasuh pertama kali, dsb. Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, dan simbolik yang kering akan makna esoterik.
Pendekatan historis dalam studi agama adalah pendekatan yang menyelidiki periodeisasi atau derivasi sebuah fakta dan melakukan rekonstruksi proses genesis perubahan  dan perkembangan. Melalui pendekatan sejarah, akan  diketahui latar budaya, sosial, politik atau bias tertentu dari pemikiran manzhab, juga dapat dipakai untuk menganalisis asbabun nuzul dan asbabul wurud sebuah ayat atau  hadits dalam teks teks suci. Dan dengan pendekatan historis , akan diketahui streotipe dan kecenderungan keberagamaan kelompok kelompok pemikiran dalam agama (seperti: Mu’tazilah, Ahlus sunnah wal jamaah, Syiah, NU, Muhammadiyah, dsb).
Pendekatan filologi  dalam studi agama adalah model pendekatan yang menitik beratkan pada aspek bahasa. Artinya bahwa studi agama tidak dapat dilepaskan dari aspek bahasa. Manusia adalah mahluk berbahasa dan doktrin agama sebagaian terbesar disosialisasikan dan difahami melalui  bahasa. Dengan bahasa, manusia mengerti maksud orang lain dan dengan bahasa pula dia diberikan penamaan. Jadi bahasa merupakan medium yang mengantarkan seseorang pada pemahaman akan sesuatu. Studi agama dengan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga metode , yakni : metode tafsir,  content analisys dan hermeneutika. (Nata, 1998 : 94)
Pendekatan psikologis  adalah  pendekatan yang mengkaji tentang aspek psikologis (termasuk pengalaman religius) dari prilaku beragama baik individu maupun kelompok. Pendekatan ini juga mempelajari motif-motif, respon-respon, dan reaksi-reaksi dari psikis manusia dalam pengalamannya dengan yang supranatural. Fokus utama pendekatan psikologis dalam studi agama adalah menyangkut : (1) Pengalaman beragama atau kondisi jiwa ( fikiran, emosi) ketika berdoa, meditasi, berqurban, dll. (2) Pertumbuhan jiwa beragama (kanak-kanak, remaja dan dewasa). (3) Kondisi jiwa ketika seseorang melakukan konversi agama. (4) Prilaku beragama (apakah seseorang beragama itu secara intrinsik atau ektrinsik). (5) Hubungan agama dengan kesehatan jiwa. (6) Panggilan beragama (ketertarikan fitrah terhadap agama) dan (7) Kondisi jiwa ketika menjadi mayoritas atau minoritas. (Jones,1997 : 93).
Sama halnya dengan paradigma dan model pendekatan studi agama, teknis analisis dalam studi agama juga beragam, dan yang lazim kita kenal umpamanya analisis induktif, deduktif, komparatif  dan analogis. Bila induktif berusaha menemukan sesuatu dengan memulai dari yang khusus atau rinci lalu menarik kesimpulan general, maka deduktif adalah sebaliknya, yakni general ke detil partikular. Bila kompararatif menekankan aspek perbandingan pada sifatnya, maka analogis membandingkan pada fenomena dan gejalanya. Kecuali itu dalam studi agama dapat digunakan beberapa teknis analisis sesuai sifat dan bentuk objek yang dikaji, misalnya analisis isi (content analysis), analisis bingkai (frame analysis), analisis jalur (path analysis), analisis wacana (discursive analysis), analisis bahasa keseharian (ethno analysis), analisis sumber (source analysis ), analisis pesan (message analysis), analisis saluran (channel analysis), analisis penerima (receiver analysis) dan ananilis efek (effect analysis) (Abdulloh, 1998 : 47)

Signifikansi Studi Agama
Pengetahuan manusia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan  sejumlah kajian, penelitian dan penemua. Dengan penemuan baru itu manusia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu dan mengembangkannya kearah yang lebih baik.  Pemahaman seseorang terhadap agama adalah sangat menentukan kualitas seseorang akan agamanya. Agama tidak cukup difahami sebagai formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai, tetapi ia menyatu dalam hidup nyata para pemeluknya, dan ajaran  agama dapat hidup hanya sebanding dengan kematangan jiwa pemeluknya (Arkoen, 1997 : 33)
Dalam setiap agama, terutama Islam, terdapat prinsip taghyir, yakni kewajiban mencari dan mencari, menguji dan terus menguji keyakinan dan kebenaran secara tiada berkeputusan dalam etos mujahadah yang tak kenal henti. Garis  mujahadah ini, merupakan rentetan atau kontinom “penemuan demi penemuan” yang terus bertambah dan menumpuk dalam dimensi dinamis yang semakin baik. Sekalipun yang  terjadi adalah rentetan  pengalaman akan kebenaran relatif, namun karena ia bergerak dinamik akseleratif tiada henti menuju kebenaran mutlak, maka ia tetap punya suplementasi dan komplementasi yang tidak sedikit bagi khazanah keilmuan manusia. Karena itu dalam agama islam, misalnya, umatnya didorong untuk mencari kebenaran, bersikap kritis dan menanyakan kebenaran  yang sudah diterima dari nenek moyangnya (Qs . 2 : 170), selalu terbuka untuk dikoreksi atas keyakinan yang keliru (Qs. 43 : 22 – 24) , Dan senantiasa menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (Qs. 7 : 28 – 29 ).
Di era technoscience seperti saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama, dari yang dahulu terbatas pada “identitas” kearah “historitas”. Dari yang hanya berputar-putar pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus “essensi” kearah “eksistensi”.  Dalam pergaulan dunia yang makin transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk melihat fenomena agama  secara aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis normatif, dan memang disitulah letak “hard core” Dari pada keberagamaan  manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”. Sedang tradisi, sebagaimana maklum  adalah sulit dipisahkan dari faktor “human construction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih aspek teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan juga  melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong maraknya studi agama adalah terjadinya kesenjangan yang cukup parah antara  konsep ajaran agama dengan realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya ketika secara konseptual ajaran agama  diyakini dapat membawa manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas objektif umat beragama tidak demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya, maka berarti telah ada sesuatu yang salah,  faktor inilah yang memicu keinginan manusia untuk semakin intensif mengkaji dan meneliti agama, baik sebagai doktrin maupun sebagai produk sejarah. Sebab kalau hanya ajaran agama yang sempurna, tetapi  realitas masyarakat beragama masih tertinggal di banyak bidang, maka keberagamaan itu sesungguhnya mirip tripping yang melayang-layang di alam otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama pada aras konsepsional tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi yang riil, hanya akan berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Ajaran yang terbaik harusnya melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga mendorong maraknya studi agama adalah  tatkala sains dan teknologi mengalami kegagalan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi tertentu sains dan teknologi justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru. Sungguh sangat disayangkan, dibalik keberhasilan manusia modern -dengan IPTEK- menembus tata surya, membuat pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik, dll, ternyata disisi lain juga memunculkan nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi, kehilangan pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis. Dari sini lalu muncul kerinduan yang mendalam akan nilai-nilai spiritual dan agama yang diharapkan dapat  menyirami kegersangan psikologi mereka dan mengobati penyakit sindrom alienasi yang dideritanya. (Jones, 1997 : 182)
Pada titik inilah dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif justru labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat  yang dulunya menganggap agama hanyalah hayalan manusia terasing atau sublimasi dari keinginan manusia yang tak sampai.  Apalagi di era technoscience seperti sekarang ini yang menurut Jones (1997:187) ditandai  dengan fundamentalisme, revitalisme dan dekonstruksiisme ternyata kajian agama secara akademik semakin dibutuhkan manusia. Meski  cepat cepat harus dikatakan  bahwa  kajian  agama secara akademik  bukan dimaksudkan untuk membedah hal-hal  yang berada diluar jangkauan kapasitas nalar, tetapi lebih dimaksudkan agar  agama tidak saja relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan, way of  life, weltanschauung, dan falsafah al hayah.