Kamis, 31 Oktober 2013

MENGENAL SYATAHAT DI DUNIA SUFI




Dalam kamus tasawwuf ungkapan ganjil dikenal dengan istilah “syatahat “  yakni perkataan --yang menurut umum-- ganjil yang keluar dari lisan seorang sufi yang tengah berada dalam kondisi ekstase, misalnya :  ucapan  Al hallaj ” aku adalah Allah yang ku cintai dan Allah yang Kucintai adalah Aku,  Juga ucapan Al busthomi “ Maha Suci Aku, Maha suci aku, maha besar Aku”,  atau juga ucapan Junaid Baghdadi “Tiada sesuatupun di bawah jubahku melainkan Allah” dan banyak lagi yang lain. Perkataan ganjil ganjil semacam inilah yang kemudian membuat Al Hallaj dijatuhi hukuman mati  tahun 309 H oleh kholifah Al Muqtadir billah di masa bani  Abbasiyah. Hukuman mati atas diri al Hallaj itu sendiri hingga saat ini masih menimbulkan pro kontra  dikalangan ulama’  terkemuka  dan bahkan tetap menjadi bahan diskusi yang aktual terutama bagi mereka pemerhati dan  penikmat ilmu tasawwuf. 
Dunia sufi adalah dunia yang unik, misalnya dalam mengekspresikan suatu ibadah, kaum sufi memiliki karakteristik tersendiri, menurut mereka seseorang yang beribadah tanpa memperhatikan makna batiniyahnya  tak ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa tahu maksudnya, menurut mereka, sholat bukan sekedar sejumlah kalimat yang diucapkan dan gerakan jasmani yang didemonstrasikan, melainkan sebuah proses dialog spiritual , sambung rasa, kontak emosi antara ‘abid dengan ma’bud, semua gerakan dan kata yang diucapkan dalam sholat adalah simbol yang maknanya merupakan bagian dari komonikasi bathiniyah antara manusia dengan Tuhannya. Berangkat dari realitas tersebut, maka tidak mengherankan jika dalam diri seorang sufi seringkali dijumpai hal hal yang ganjil atau nyeleneh menurut ukuran di luar sufi, misalnya : Wahdatul wujudnya Ibn Araby, Ma’rifatnya dzun Nun Al Misri, Ittihadnya Abu Yazid al Bustomi dan terutama Hululnya Abu Mughis al Husien ibn Mansur al Baidawy al Hallaj.
Sepak terjang Al Hallaj yang tidak sabar menahan limpahan kebahagiaan, sehingga rahasia cintanya ia bocorkan sendiri  dengan konsep yang dia sebut hulul yang didasarkan pada pengalaman batin, kehalusan rasa, ketercerahan emosi dan berdasarkan ilham dari alam ghoib telah menggegerkan konstelasi ulama’ fiqh dan bahkan mendapat reaksi keras dari mereka, dan puncaknya Ibn Dawud al Astihami (manzhab dhahiri) mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Al hallaj adalah sesat, maka iapun ditangkap dan dihukum mati. Kendati demikian,  figur al Hallaj hingga kini masih tetap mendapat simpati yang besar dari banyak penikmat kecerdasan dan kecerahan kalbu.                                                                             
Apa yang disebut Hulul dalam konteks ini adalah tipe lain dari faham al Ittihad yang diajarkan Abu Yazid Al Busthomi, sedangkan pengertian hulul  secara  sederhana   adalah bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah ia dapat melenyapkan sifat sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut al Hallaj, manusia itu mempunyai potensi dasar ganda, yakni sifat kemanusiaan (Nasut) dan sifat keTuhanan (Lahut), apabila sifat sifat kemanusiaan itu telah dilenyapkan melalui proses fana’ dan sifat sifat keTuhanan dikembangkan secara optimal, maka akan tercapai persenyawaan dengan Tuhan dalam bentuk lahut, persenyawaan yang semacam ini menurut al Hallaj akan mengambil bentuk hulul (bahasa Jawa : nitis).  Itulah yang terjadi ketika Allah swt memerintahkan malaikat bersujud kepada Adam sebagaimana diceritakan pada surat al baqarah : 34, menurut al Hallaj Allah memberi perintah semacam itu, karena pada diri Adam Allah swt  telah menetes.
Dengan demikian dapat difahami bahwa kata kata “ana al Haq” yang di ucapkan al Hallaj bukanlah dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan, buktinya Al Hallaj sendiri menegaskan Aku adalah rahasia yang maha benar  dan bukanlah yang maha benar itu adalah  aku. Aku hanya salah satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami).  Maka hulul yang terjadi pada al Hallaj harus difahami sebagai  figurative dan bukan riil, artinya yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’. Banyak ungkapan  senada dengan al Hallaj yang terlontar dari lisan para sufi, misalnya “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadaMu?, Allah menjawab : tinggalkan dirimu dan datanglah. Siapa yang menghilangkan sifat sifat kemanusiaannya, maka ia memiliki sifat sifat Tuhan. Ada juga ungkapan “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padanya melalui diriNya, maka akupun hidup”.
Dalam al-Qur’an ditegaskan upaya menyucikan diri harus diiringi dengan proses meninggalkan rumah kita, Allah berfirman “barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud behijrah kepada Allah dan rasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah… (Qs. An Nisa’ : 100) . Menurut ahli tafsir kata “ Rumah”  dalam ayat tersebut sebagai “diri, egoisme, keakuan dan seluruh kepemilikan duniawiyah”. karenanya Alqur’an menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya (karena terlalu cinta akan dirinya, keluarganya dan kepemilikan duniawiyahnya) sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah, Ia mencintai diri, keluarga dan kepemilikan duniawiyahnya melebihi cintanya kepada Allah. Allah swt berfirman “Diantara manusia ada orang orang yang menyembah tandingan tandingan selain Allah, mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang orang beriman sangat mencintai Allah (Qs. Al baqoroh : 165).
Memang memahami idiom syair, harus melalui pendekatan sastra dan bukan dengan bahasa formal keseharian, sebab jika itu yang dipakai maka tidak akan klop dengan yang sejatinya dimaksudkan. Rabindranat pemenang hadiah Nobel kesusastraan, dalam syairnya mengatakan ”tak henti hentinya Kau isi cawan ini dengan anggurMu”  apakah bisa diartikan bahwa Tuhan memeras anggur atau Dia membutuhkan minuman ? jelas tidak demikian, yang dimaksudkan adalah Tuhan tidak henti hentinya memberi karunia dan nikmat kepada dirinya. Atau ketika seseorang berkata “ wajahmu  bagai bulan purnana yang menari riang.  Apakah itu berarti bahwa bulan bisa menari ? tentu tidak.  Jadi dapat dimengerti betapa pendekatan verbal akan sangat jauh kesalahannya jika digunakan untuk memahami idiom idiom syair yang nyastra.                                                                                              
Dengan demikian maka statemen al Hallaj, al Bustomi, Junaid Baghdadi,  Ibn Araby,  termasuk syekh siti jenar yang ganjil itu sesunguhnya tidak ganjil seandainya dilihat dari perspektif dan bahasa mereka, atau seandainya kita bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita, sebab memang tidak ada satupun bahasa yang representatif mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari pengalaman  spiritual  personal seseorang, karena itulah kaum sufi  selalu mengatakan “ barang siapa yang belum pernah merasakannya, niscaya dia belum mengetahuinya”.
Abu Nasr Tusi ketika menanggapi shatahat pada kaum sufi mengatakan bahwa  Ibarat air hujan yang sangat deras dan  banyak mengalir keselokan yang sempit., maka pasti dalam kondisi yang semacam itu air akan melimpah ruah dari kedua tepi selokan itu, demikian juga seorang sufi yang sangat dominan intuisinya, ia sangat sulit  menanggung gejolak kalbunya yang memaksanya mengucapkan kata kata yang sulit dimegerti orang lain, kecuali bagi mereka yang pernah merasakannya. Ibarat seorang suami yang baru bulan madu bercerita tentang kenikmatan malam pertama kepada seorang bujang yang sama sekali  belum pernah kawin, maka si bujang baru bisa mengerti secara haq  jika ia pernah merasakan malam pertama dalam perkawinan.
Karena itu, cenderung tergesa  jika kaum sufi --hanya karena perkataan perkataan ganjilnya-- lalu diklaim sesat. Juga tidak logis bila dikatakan seorang sufi mengaku sebagai Tuhan, sebab logika mengatakan apabila kaum sufi yang sepanjang hidupnya mencari Tuhan itu, mengaku dirinya sebagai Tuhan, maka hakekatnya mereka tidak perlu mencari Tuhan. #

SEPERCIK KISAH KEWALIAN KH ABD HAMID PASURUAN





         Suatu ketika Habib Baqir Mauladdawilah di ijazahi sebuah doa oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (Pendiri Pesantren Darul Hadist Malang) untuk dibaca ketika akan melihat eksistensi dan kualitas hakiki dari seseorang . Maka untuk memperaktekkan doa tersebut Habib Baqir berkunjung ke Pasuruan Jawa Timur menemui KH Abdul Hamid yang saat itu sudah tersiar luas kasak kusuk tentang kewaliannya. Sesampainya di kediaman KH Abdul Hamid Pasuruan tampak banyak sekali tamu dari berbagai kalangan yang datang dari berbagai tempat untuk minta doa berokah atas hajat dan keperluan yang bermacam-macam.
Persis dihadapan Kyai Hamid, Habib Baqir membaca doa seperti yang dianjurkan Habib Abdul Qadir Bilfaqih.
Sesaat kemudian betapa kagetnya Habib Baqir karena terlihat jelas baginya bahwa sosok yang terlihat seperti Kyai Hamid sejatinya bukan kyai Hamid, ia adalah sosok lain yang menyerupai Kyai Hamid. Karena dalam penglihatannya kyai Hamid tidak berada disitu Habib Baqir lalu mencari dimanakah sebetulnya Kyai  Hamid berada, Setelah bertemu dengan Kyai Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau, “Kyai, jangan begitu kyai...?. Ada apa Bib timpal Kyai Hamid..? Kasihan orang-orang yang meminta doa itu, yang di depan itu bukan panjenengan, tapi khodam yang menyerupai Panjenengan. Buktinya panjenengan disini, kenapa kok harus begitu kyai.. tanya habib Baqir ?” Kyai Hamid diam, tidak menjawab, lalu kyai Hamid menarik tangan habib Baqir dan berkata, jika habib ingin tahu yang sebenarnya mari ikut saya. Sambil membaca sebuah doa yang kedengaran jelas oleh habib Baqir seketika itu, kagetlah Habib Baqir karena melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah, “di mana ini Kyai..?” Tanya Habib Baqir, “Monggo njenengan pirsoni piyambek niki teng pundi..?” jawab Kyai Hamid. Subhanalloh..!!!
Ternyata Habib Baqir di bawa oleh Kyai Hamid ke Masjidil Harom di Mekkah. Apa yang sebenarnya terjadi kyai, tanya Habib Baqir ? Kyai Hamid kemudian menjelaskan,
“Saya sudah terlanjur terkenal, padahal saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku. Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukan khodam dari jin, melainkan Malakul Ardli, Malaikat yang ada di bumi, berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatnya, dengan rupaku”. Habib Baqir yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai kini merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Kyai Hamid, hanya sedikit yang di ceritakan kepada keluarganya.
Pada kesempatan lain Habib Baqir soan kepada Kyai Hamid untuk berpamitan karena dalam dua bulan ke depan Habib Baqir akan tinggal di Kendal. Belum sempat berkata apa-apa kyai Hamid bilang..Bib titip salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di pasar kendal. Fulan bin fulan yang dimaksud adalah seorang yang selama ini dianggap gila oleh masyarakat Kenda karena kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Habib  Baqir  bingung kenapa kyai Hamid sampai menitip salam untuk orang yang secara umum oleh masyarakat banyak di anggap gila, lalu habib Baqir bertanya, “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai..?? Kemudian Kyai Hamid dawuh, dimata umum Beliau dipandang seperti itu, tapi sesungguhnya Beliau adalah Wali Besar yang menjaga Kendal. Berkat beliaulah Rahmat Allah turun dan bencana tertangkis, sampaikan salamku pada Beliau”
Singkat cerita setelah habib Baqir sampai di Kendal, dia menunggu keadaan pasar sepi, lalu dihampirilah orang yang berpampilan gila itu, Assalamu’alaikum…” sapa habib Baqir....,orang tsb memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila betulan, kemudian dia menjawab dengan nada sangar,“Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”  Dengan agak ragu habib Baqir berkata “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum……”Tak beberapa lama, orang tersebut berkata, “Wa’alaikum salam” dan berteriak dengan nada keras,“Kurang ajar kyai Hamid itu, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocorkan”  Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia”
 Kemudian orang itu membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap, “Laa Ilaaha Illalloh… Muhammadur Rosululloh” Seketika orang itu menghembuskan nafas terakhir di hadapan habib Baqir, hanya habib Baqir yang meyakini bahwa orang yang di cap sebagai orang gila oleh masyarakat Kendal itu adalah Wali Besar dan tak satupun masyarakat di sekitar yang tahu, bahkan hingga kini.  Subhanalloh.. begitulah para waliyulloh Allah
saking inginnya ber asyik-masyuk hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian. Mereka bersembunyi dengan cara masing-masing, oleh karena itu kita jangan gampang su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan mereka termasuk yang sedang “bersembunyi”. Wallohu a’lam bisshowab.

Senin, 28 Oktober 2013

KORUPSI “BELUM MATI SATU SUDAH TUMBUH SERIBU”



Korupsi di negeri ini sudah betul-betul meraja laila (maksudnya : meraja lela). Kalau ada pepatah mati satu tumbuh seribu, ini lebih dahsyat lagi “belum ada satupun yang mati sudah tumbuh lebih seribu”. Pertanyaannya, kenapa korupsi di negeri ini begitu sulit diberantas? Banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Namun, yang paling pokok ialah hukuman yang selama ini dijatuhkan tidak efektif menimbulkan efek jera bagi para koruptor,  bahkan hukuman itu merangsang munculnya embrio baru bagi pembiakan potensial calon-calon koruptor baru.  Kita prihatin pejabat negara seolah berlomba mencari celah dalam menyiasati peraturan untuk mengeruk uang rakyat dan kekayaan negara. Hal itu mestinya mendorong pemerintah dan DPR agar kian kreatif membuat peraturan ekstrim untuk menebas tabiat para pejabat yang korup. Hukuman yang efektif agar para koruptor jera harus segera dicari secara radikal dan serius.
Indonesia nampaknya perlu belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar dalam menumpas korupsi di negaranya. Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi.
Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati. Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati. Sekarang China menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini.  Mahfud MD, saat menjabat  Menteri Kehakiman pada era Presiden Abdurrahman Wahid, pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan itu kandas karena Gus Dur keburu lengser.
Anies Baswedan pernah menyatakan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari hulu ke hilir. Yang penting dilakukan saat ini adalah pendidikan anti korupsi di rumah-rumah, Sebab korupsi adalah gejala defisit integritas. Integritas harus dimulai  dari pendidikan di rumah-rumah. Ibu-ibu dapat mengatakan pada anaknya, rahim ini tak dimaksudkan menghasilkan para pencuri. Pesan itu akan tertanam penuh pada anak-anak kita,"
Sesungguhnya tidak sedikit yang mengusulkan mengenai model hukuman yang dapat membuat jera para koruptor, mulai dari hukuman gantung, hukum pancung, pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik. Namun pada prakteknya, Penegak hukum masih suka berbaik hati kepada pelaku korupsi. Mereka lebih suka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat mereka yang muaranya cuma menghasilkan vonis enteng dan berhenti pada pelaku utama. Padahal, kita sudah memiliki perangkat hukum untuk menebas kanker korupsi sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan undang-undang itu, jaksa dan hakim bisa menelikung koruptor dan pihak lain yang terlibat dengan hukuman berat. Lebih dari itu, negara dapat leluasa menelusuri, mengusut, dan menyita aset hasil korupsi sekaligus memiskinkan mereka.
Undang-undang Pencucian Uang yang berprinsip follow the money ialah senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya, senjata itu jarang digunakan. Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Kita mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian rajin menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang ketika KPK membeberkan aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo senilai lebih dari Rp100 miliar. Juga mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan Fathonah dalam perkara suap impor daging sapi.Yang terakhir Undang-undang itu dikenakan pada Akil Muhtar Ketua non aktif Mahkamah konstitusi. Selain Undang-Undang Pencucian Uang yang semakin sering diterapkan KPK, juga perlu segera direalisasikan Undang-Undang Pembuktian Terbalik serta Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Jika semua perangkat undang-undang itu ada, ruang gerak koruptor kian sempit. Para penyelenggara negara pun akan berpikir seribu kali sebelum menggerogoti uang negara.
Beberapa pihak sejatinya banyak yang  menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan, karena hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati. Saat ini bukan saat yang tepat untuk terus berdebat mengenai itu. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya.”  

Jumat, 25 Oktober 2013

PEMILU BAGI PEMALU (Upaya Menjaring Pemimpin Yang Punya Rasa Malu)




Ilustrasi
Pemilu 2014  masih tinggal beberapa bulan lagi, tetapi para caleg disemua tingkatan mulai sibuk mempengaruhi rakyat mencari dukungan. Bendera partai, kaos, stiker dan sovenir politik, mulai disebar, berbagai moment massa mulai dimanfaatkan untuk tujuan dan kepentingan politik tertentu.  Rakyat kecil – seperti biasa, setiap lima tahun sekali – mulai diingat, diorangkan dan dimanfaatkan ( untuk tidak mengatakan dibodohi ), Berbagai bantuan “tidak ihklas” (karena ada udang di balik batu) mulai ditabur, makelar makelar politik  mulai bermunculan, gendrang kampanye untuk mengumbar janji janji mulai ditabuh, Al hasil suhu politik nasional mulai meningkat.
Anehnya  sebagian besar masyarakat tidak terlalu terpengaruh dengan itu semua, buktinya pada pemilu 2009 hampir 40 % rakyat tidak memilih. Mereka tidak peduli dengan janji-janji palsu pemilu. Ada yang lebih memusingkan kepala mereka, yakni kian sulitnya mencari sesuap nasi, sehingga mereka harus banting tulang memeras keringat agar dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidup mereka ditengah kian naiknya harga berbagai kebutuhan dasar mereka. Padahal indikator tercapainya politik pembangunan yang berorientasi kerakyatan adalah bila rakyat bersikap tidak masa bodoh (apatis) dan punya kepedulian terhadap masa depan bangsa dan negara.
Sesungguhnya ketertarikan rakyat untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah sangat bergantung  pada seberapa menarik pemilu yang akan berlangsung. Pertanyaannya, menarikkah Pemilu 2014? Tinggikah partisipasi rakyat nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu layak kita sodorkan lantaran meski tinggal kurang dari enam bulan lagi bergulir, ajang pemilihan anggota legislatif belum memancarkan daya pikat.  Justru sebaliknya, tahapan demi tahapan menuju pemilu legislatif masih sarat dengan persoalan dan menjadi promosi buruk bagi pesta demokrasi tahun depan itu. Daftar pemilih tetap (DPT), misalnya, belum juga bisa ditetapkan.  Komisi Pemilihan Umum melanggar batas waktu yang mereka tetapkan sendiri, yakni Rabu (23/10), dan menundanya dua pekan lantaran data yang ada belum klop. Masih ada selisih 400 ribu antara DPT seluruh provinsi, yakni 186,8 juta orang, dan data di sistem informasi data pemilih sebesar 186,35 juta.
Belum lagi menurut Migrant care, terdapat sekitar 4,5 juta WNI yang tak tercatat di DPT luar negeri. Bawaslu bahkan menemukan jutaan pemilih yang bermasalah.  Pemilu akan menarik jika penyelenggaraannya dibarengi keakuratan plus kepatuhan terhadap tahapan yang sudah lama disusun. Sayangnya, syarat-syarat itu tak bisa secara meyakinkan dipenuhi penyelenggara pemilu. Itu baru satu persoalan. Persoalan lain yang berpotensi mengikis kadar ketertarikan rakyat pada pemilu ialah minimnya semangat restorasi dalam diri partai-partai politik lama. Mereka tetap mengusung calon-calon lama. Calon-calon yang ketika terpilih sebagai wakil rakyat kerap menghamburkan uang rakyat dengan pelesiran ke mancanegara, calon-calon yang ketika duduk di kursi DPR bermewah-mewah dan malas bersidang membahas nasib rakyat.
Belakangan ini tabiat seperti ini kian menjadi-jadi. Sidang paripurna terakhir sebelum masa reses, kemarin, sampai-sampai harus ditunda 45 menit lantaran 262 anggota dewan tak menampakkan batang hidung mereka. Dengan fenomena ini kita patut khawatir partisipasi rakyat pada Pemilu 2014 akan terus tergerus dan golput akan menguat. Apalagi, sejak era reformasi, tingkat ketertarikan rakyat cenderung turun dari pemilu ke pemilu. Pada 1999, partisipasi pemilih mencapai 93,6% kemudian merosot menjadi 84% pada 2004, dan lima tahun berselang anjlok ke angka 70,1%.
Kita  sepakat pada seruan Presiden  SBY agar rakyat tidak golput. Namun, jangan lupa elektabilitas rakyat pada pemilu juga dipengaruhi oleh kinerja para pemimpin hasil pemilu-pemilu sebelumnya. Artinya selama wakil rakyat dan pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu dianggap tidak berkualitas, maka sekeras apa pun seruan agar rakyat tidak golput hanyalah menghabiskan suara saja. Yang diinginkan rakyat dari hasil pemilu adalah para pemimpin yang punya rasa malu besar, bukan memperbesar kemaluan. Malu dari berbuat korupsi, memperkaya diri membabi buta, menggarong uang rakyat, terlibat kasus narkoba, kasus adegan porno dan kasus-kasus asusila lainnya. Hal inilah yang gagal ditunjukkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Masihkah kita punya rasa Malu ?
Pertanyaan ini kembali mengemuka tatkala ranah hukum dan politik di negeri ini kembali mengalami prahara yang hanya layak dilakukan oleh kawanan spesies non manusia. Korupsi, pencucian uang, suap, gratifikasi seks muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam hitungan hari. Belum kering airmata menangisi kasus Century dan Hambalang yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah yang sampai kini masih mbulet ndak karu-karuan, muncul kasus simulator SIM yang tak kalah mencengangkan. Belum tuntas kasus “impor daging untuk membeli daging” karena melibatkan puluhan wanita-wanita cantik yang mengguncang PKS, muncul kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi yang menggegerkan dan meruntuhkan sendi penegakan hukum di negeri ini.  Belum usai gonjang ganjing tentang Bunda Putri, Politik Dinasti, dan kredit fiktif Bank Syariah Mandiri, kini tarik ulur dan kisruh DPT yang melibatkan KPU juga mulai berancang-ancang menghebohkan blantika politik negeri ini.
Kejadian-kejadian diatas, tentu tidak hanya membuat spesies manusia terperanjat, tetapi juga spesies  yang lain. Bukan hanya mahluk di alam nyata yang heran, tetapi juga mahluk di alam ghaib. Sebab tidak ada nalar logika manusia yang mampu memahami bagaimana mungkin hiper kriminalitas dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya.? Kepada siapa lagi kita mempercayai penegakan hukum,  kalau para penegaknya justru mengajari melanggar hukum ? Bagaimana mungkin mereka yang sudah bergelimang uang masih melakukan tindakan pencucian uang ?   bagaimana mungkin para gebenur, bupati, wali kota yang notabene berpenghasilan lebih dari cukup masih melakukan tindak korupsi ?. Bagaimana mungkin anggota DPR yang terhormat berulangkali melakukan perbuatan tidak terhormat ?, Sungguh, pertanyaan ini tidak akan kita temukan jabannya, baik dalam logika hukum, moral dan nalar manusia, kecuali dalam ranah spesies manusia yang teleh terdegradasi martabatnya menjadi “kal an’am” . Bahkan yang lebih aneh lagi, para garong dan penjahat klamin itu masih dengan santai cengengesan di depan kamera, seakan sedikitpun tiada merasa bersalah, apalagi merasa malu.  Padahal malu adalah sebagian daripada iman (Hr. Muttafaqun Alaih)
Malu adalah salah satu instrumen amat penting bagi manusia yang membedakannya dengan binatang. Malu adalah alat penjagaan setiap manusia untuk memelihara kemanusiaannya. Bila binatang dapat melakukan apa saja dalam situasi apa saja, tanpa memikirkan siapa saja, maka manusia harus memikirkan dan memperhitungkan situasi untuk melakukan sebuah aktifitas. Tanpa rasa malu, seseorang adalah bentuk lain dari binatang, yang dalam bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka. Jika semakin banyak orang yang tidak punya rsa malu (karena mungkin dianggap biasa melakukan sesuatu yang memalukan) sehingga malu-maluin, maka perlahan-lahan komunitas itu akan berubah menjadi masyarakat binatang. Dalam sebuat hadits Rasulullah bersabda: “istahyu minalloh haqqal haya’i". (hendaklah kamu sekaliah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu). Istahyu berasal dari kata  istahya yang berarti “hendaklah kamu malu”., misalnya ada kalimat innallaha layastahyi an yadriba matsalan…. (sesungguhnya Allah tidak malu menciptakan perumpamaan….) ketika bercerita tentang fir’aun, Allah berfirman: “yudzabbihuuna abna’ahum wayastahyuuna nisa’ahum” (menyembelih anak laki-laki mereka dan menghidupkan atau mempermalukan anak perempuan mereka).

Antara  haya’ (malu)  dan  hayat (hidup)
Yang menarik ditelusuri adalah korelasi antara malu (haya’) dan hidup (hayat), Seperti dimaklumi dalam term bahasa Arab, selalu ada munasabah antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya’ (malu) sama dengan kata hayat (hidup) ?.  Ternyata hidupnya kemanusiaan itu tergantung pada rasa malunya (jangan baca kemaluannya), artinya ketika rasa malu itu sudah hilang dari seseorang, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah kehilangan kamanusiannya, akhirnya dia hidup seperti binatang.
Dengan kata lain kehidupan manusia ditandai dengan rasa malunya, bila rasa malu tidak ada, sebetulnya ia tidak lagi dihitung hidup sebagai manusia, karena itu Rasulullah bersabda: jika engkau sudah tidak punya malu, berbuatlah apa saja sekehendak hatimu (hadits). Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apa saja tanpa pertimbangan apapun sebagaimana binatang. Kalau sudah demikian ia tidak dihitung sebagai hidup atau juga tidak dihitung sebagai manusia. Itulah sebabnya kata hanya’ (malu) dan hayat (hidup) berasal dari satu simantik yang mempunyai korelasi sangat erat.
Lalu apa yang dimaksud degan sebenar-benarnya malu? Menurut Rasulullah sebenar-benar malu kepada Allah adalah: (1) Bila engkau menjaga kepalamu dan apa yang disimpannya. (2) Bila engkau menjaga perut dengan segala isinya, dan  (3) Bila engkau mengingat mati dengan siksanya.
Menyimpan, dalam bahasa Arab disebut wara’. Jadi menjaga kepala dan apa yang disimpannya, bermakna menjaga peta kognisi dari pengetahuan dan informasi yang tidak layak, menjaga dari berfikir nigatif, mencuci otak dari berfikir terpola, sebab sikap dan pandangan seseorang akan ditentukan oleh perbendaharaan yang ada di kepalanya. Karena itulah, sebenar-benar malu kepada Allah adalah apabila eksistensi dan domain otak (struktur fikir), dan peta kognisi seseorang sudah tercerahkan. Kedua, engkau jaga perut kamu dan apa yang dikandungnya, maksudnya janganlah anda menjadikan perut anda sebagai gudang dari hak-hak orang lain. Sebab setiap sesuap barang haram yang anda konsumsi, maka 40 hari do’a anda tidak ditermia, jika berpuluh-puluh tahun anda terbiasa mengkonsumsi barang haram lalu berapa lama (sampai kapan) doa anda akan terkabul?  Ketiga, ingatlah engkau akan kematian. Orang yang ingat mati, akan temotivasi untuk hidup wara’, sebab dia tahu bahwa segala sesuatu yang ia lakukan pasti akan mendapat balasan yang setimpal pula. Hal tersebut dapat mengendalikan manusia agar tidak serakah dan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Inilah republik badut, dimana rakyatnya dianggap sebagai komoditas bagi segelintir orang yang punya nafsu besar untuk berkuasa dan mengeruk kekayaan dari jabatannya. Lima tahun sekali, disaat ada maunya, lagi-lagi rakyat dibuai oleh janji-janji kosong untuk mencoblos gambar ini dan itu, namun setelah syahwat politiknya mencapai orgesme, seperti biasa rakyat kembali dilupakan, bahkan sering diperdaya dan diinjak-injak.  Terakhir, simaklah sebuah sajak “Hari Rusli” Aku malu menjadi diriku, Aku malu mempunyai pemimpin seperti mereka, Aku malu menjadi rakyat Indonesia, Jadilah engkau figur yang dapat kami banggakan,bukan figur yang selalu berbuat memalukan. #