Pahlawan
adalah sosok mulia, agung, indah dan luhur. Karena karakter, perjuangan
dan pengorbanannya yang tak terkirakan, pahlawan
dari masa ke masa selalu dipuja dan dikenang. Dia adalah motivator dan sekaligus sebagai inspirator dari suatu
bangsa, rakyat dan negara bahkan umat manusia di dunia. Untuk mengheningkan cipta
atas jasa-jasa mereka, Prawit meliris
lagu “Dengan seluruh angkasa raya memuji Pahlawan negara, nan gugur remaja
diribaan bendera, bela nusa bangsa. Kau kukenang wahai bunga putra bangsa,
harga jasa Kau cahya pelita bagi Indonesia merdeka”. Bahkan jika boleh merekonstruksi lirik Sartono, setiap saat
kita apreasiasi para pahlawan dengan lagu wajib : Terpujilah wahai engkau
pahlawan negara, namamu akan selalu hidup dalam nafas dan jiwa, Semua baktimu akan
terukir direlung dada, sebagai prasasti terimaksihku tuk para kesatria. Dalam gelap
engkau bagai pelita, Engkau laksana penyejuk dalam kehausan padang sahara, Engkap
patriot pahlawan bangsa dengan jasa tiada tara.
Ini
penting, karena pahlawan telah mengorbankan segalanya demi kita, mereka berjuang mati-matian, termasuk rela mati beneran demi memperoleh dan
mempertahankan derajat bangsa. Itulah harga diri bangsa. Munculnya
istilah “merdeka atau mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidupnya
sebuah bangsa adalah diukur oleh kemerdekaannya, manakala kemerdekaan itu hilang dari
sebuah bangsa, maka bangsa itu dianggap tidak
hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati. Hidupnya bangsa ini
adalah ketika ia memberikan kemerdekaan, kesejahteraan, kemakmuran dan
kemanfaatan bagi seluruh rakyatnya.
Karena itulah maka hari Pahlawan semestinya
bukan cuma diperingati dengan tabur bunga di taman makam pahlawan seraya
menundukkan kepala mengheningkan cipta. Namun, itulah yang kita lakukan pada
Hari Pahlawan 10 November, kemarin, serta peringatan Hari Pahlawan tahun-tahun
sebelumnya, dan agaknya juga tahun-tahun mendatang.
Padahal, itu semua merupakan cara-cara formal belaka dalam mengenang para pahlawan. Itu semua memang perlu dilakukan. Namun, yang lebih penting dan substansial ialah mempraktikkan nilai-nilai perjuangan para pahlawan di masa lalu dalam konteks kekinian.
Nilai-nilai perjuangan para pahlawan antara lain pengorbanan, persatuan, dan gotong royong, serta kedaulatan. Kita tahu tanpa itu semua, bangsa ini tidak pernah menjadi bangsa merdeka dan berdaulat.
Padahal, itu semua merupakan cara-cara formal belaka dalam mengenang para pahlawan. Itu semua memang perlu dilakukan. Namun, yang lebih penting dan substansial ialah mempraktikkan nilai-nilai perjuangan para pahlawan di masa lalu dalam konteks kekinian.
Nilai-nilai perjuangan para pahlawan antara lain pengorbanan, persatuan, dan gotong royong, serta kedaulatan. Kita tahu tanpa itu semua, bangsa ini tidak pernah menjadi bangsa merdeka dan berdaulat.
Sejarah membuktikan
para pahlawan mengorbankan segala yang mereka miliki, harta, keluarga, dan
bahkan nyawa demi Indonesia merdeka. Mereka menempatkan kepentingan kemerdekaan
bangsa ini di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sejarah juga
membuktikan perjuangan mereka menciptakan Indonesia merdeka ditopang semangat
persatuan dan gotong royong. Para pahlawan mempraktikkan politik 'bersatu kita
teguh bercerai kita runtuh' untuk melawan politik penjajah divide et impera. Pun,
dalam sejarah, para pahlawan mengajarkan bahwa kita sebagai bangsa harus
memiliki harga diri dan kehormatan ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.
Hanya dengan harga diri dan kehormatan, bangsa ini bisa merengkuh dan menjaga
kedaulatan.
Sayangnya, nilai-nilai
pengorbanan, persatuan, dan gotong royong serta kedaulatan itu seperti defisit
dari perilaku para elite negeri ini. Dalam urusan pengorbanan, elite
negeri ini bukannya mempraktikkan nilai-nilai luhur pengorbanan, melainkan
nilai-nilai buruk keserakahan. Perilaku korup di lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif menunjukkan elite negeri ini begitu serakah memperkaya diri dan
kelompok. Berkorban untuk rakyat seolah tidak tercantum sama sekali dalam kamus
politik para elite.
Dalam hal persatuan dan
gotong royong, elite bangsa ini bukannya bersatu dan bergotong royong
menyelesaikan segala persoalan bangsa, melainkan malah gemar gontok-gontokan
dan saling lempar tanggung jawab. Lihatlah bagaimana pemerintah pusat dan daerah
saling lempar tanggung jawab dalam mengatasi banyak masalah, Semestinya
pemprov, pemkab, pemkot, dan pemerintah pusat bersatu, bergotong royong, dan
bahu-membahu dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa ini. Celakanya, dalam
konteks hubungan pusat dan daerah, otonomi daerah justru menghasilkan egoisme
politik. Pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri.
Dalam perkara
kedaulatan, bangsa ini sering kali dinilai lembek ketika berhadapan dengan
bangsa lain. Kasus paling mutakhir ialah ketidaktegasan pemerintah dalam
menyikapi penyadapan oleh Amerika dan Australia. Elite semestinya malu dengan
rakyat biasa yang banyak mempraktikkan nilai-nilai kepahlawanan dalam konteks
kekinian. Ambil contoh Suster Rabiah. Perempuan yang dikenal sebagai Suster
Apung itu mengorbankan tenaga, waktu, dan keluarga berkeliling menggunakan
perahu demi mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang kesehatan. Elite semestinya belajar dari pahlawan masa
lalu dan pahlawan masa kini dalam menumbuhkan nilai-nilai pengorbanan,
persatuan dan gotong royong, serta kedaulatan. Para elite harus sadar bahwa tanpa
nilai-nilai kepahlawanan dalam diri bangsa ini, kita hanya merdeka secara
formal, tapi terjajah secara mental.
Pahlawan adalah satu kata yang sangat bermakna, berasal dari kata pahala (buah atau hasil) dan wan (orang). Jadi Pahlawan adalah orang yang telah membuahkan hasil
yang baik, atau orang yang telah menyumbangkan buah-buah perbuatannya yang
terbaik kepada bangsa dan negara, atau orang yang telah memberikan kebaikan
kepada orang lain dan sangat berjasa kepada bangsa dan negara.
Sementara pahalawan berasal dari
kata Paha dan Wan, yakni orang yang hobbi dan gemar melakukan apa
saja untuk kepentingan paha. Kasus Simulator Sim, kasus Impor
daging sapi dan kasus penangkapan mantan ketua MK adalah bentuk
nyata dari Pahalawan karena berkelindan atau
melibatkan sejumlah wanita-wanita cantik.
Emansipasi
yang seharusnya membebaskan wanita dari berbagai bentuk eksploitasi sebagaimana
diperjuangkan Kartini, saat ini malah terjadi sebaliknya. Wanita telah menjadi
komoditas yang diperjual belikan dan dieksploitir, kita saksikan beberapa kasus
kakap dalam lima tahun terakhir hampir seluruhnya melibatkan dan memanfaatkan
wanita. Dalam realaitas seperti ini epos pahlawan telah diselewengkan menjadi
pahalawan.
Di zaman modern sini, praktek
misogini ternyata masih saja berlangsung. Perempuan masih saja dijadikan obyek
dalam tindak kejahatan. Gratifikasi seks menjadi salah satu indikator bahwa
perempuan saat ini masih dianggap sebagai “obyek”. Gratifikasi seks adalah wujud dari merendahkan martabat perempuan, dan
ini menjadi preseden buruk terhadap isu kesetaraan gender yang selama ini
sedang mengalami proses perkembangan. Kita seakan kembali ke zaman kuno, di
mana perempuan dijadikan hadiah bagi para raja dan penguasa. Atau menengok ke
era jahiliyah, yang memposisikan perempuan sebagai sebuah “barang”, bisa diberikan
orang lain dan bisa diwariskan. Ironismya, praktek gratifikasi perempuan ini
dilakukan oleh para politisi dan pemimpin negeri ini, demi untuk memuaskan
kepentingan golongan dan pribadi mereka.
Gratifikasi seks menjadi pertanda bahwa mentalitas dan nalar para
pemimpin kita sama dengan nalar masyarakat jahiliyah dalam memandang perempuan.
Meskipun ini bukan fenomena umum, namun boleh jadi ini adalah fenomena gunung
es, kecil di permukaan namun pada dasarnya sangatlah besar. Bisa jadi selama
ini praktek gratifikasi perempuan ini banyak dilakukan, hanya saja yang
tertangkap tangan baru sebagian kecil. Pada akhirnya, fenomena gratifikasi ini perlu menjadi
perhatian kita bersama, bukan hanya terkait persoalan hukum, namun juga terkait
fenomena sosial bangsa ini. Upaya preventif sangat diperlukan dalam upaya
menghilangkan praktek ini, bukan hanya terkait perbaikan sistem, namun juga
nalar sosial yang ada dalam masyarakat.
Pertanyaannya kini, apakah perkembangan bangsa ini sudah sebanding dengan nilai dan harga
perjuangan serta pengorbanan
para pahlawan yang telah merelakan segalanya demi harga diri bangsa ? Jika para pahlawan itu tahu apa yang terjadi di negeri ini saat ini, sedalam apakah kecewaan mereka ? Bisa
jadi mereka sangat menyesal telah mengorbankan segalanya untuk kita,
jika kita yang diberi amanah malah menghianatinya. Lebih-lebih jika wacana pahlawan
dikaburkan oleh maraknya pahalawan #