Kisah ini adalah tulisan Emha Ainun Nadjib, diambil
dari buku kumpulan cerpennya “ Demokrasi La Roiba Fih” Gramedia, Juli 2009 .
Setiap
kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobaknya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu
begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau. “Maksud
Bapak?”, ia ganti bertanya.“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu? Ia
tertawa. Iya Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya” Maksud Pak Patul?” ganti saya yang bertanya. “Dari
pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik
keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh
gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi. Uang yang masuk
dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban
utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang
sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji.
Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa
menjangkaunya
Spontan
saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil,
jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali
yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau
anak yang digondhol Gendruwo balik lagi. Pundaknyaa saja yang saya pegang dan
agak saya remas, tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya
guncang-guncang tubuhnya. Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa
yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan
memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya
juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di
dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman
yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul. Untung
dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin siap
mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai
penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.
Saya
lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai
sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas
sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup
saya, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika
mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini
terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”. Peradaban saya masih peradaban “milik saya”.
Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab,
lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’
saya.
Tiga
puluh tahun silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada penjual cendol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan
karena “Kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”
Ilmunya
penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua. Saya
butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uang
saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar.
Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung. “Lho, uang
saya tidak cukup, Pak” “Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap” “Berarti saya
hutang?” “Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”. Subhanalloh..!
Di
pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah toko kemudian
satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya. Ketika
dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin
barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….” Lelaki tua mancung itu
senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi barang saya ya curi saja,
bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh
manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung
menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan
di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul,
terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Itu
baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum Menteri
dan Dirjen, Irjen, Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur
Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai
dan Ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar