Minggu, 10 November 2013

PAHLAWAN VERSUS PAHALAWAN



Pahlawan adalah sosok mulia, agung, indah dan luhur. Karena karakter, perjuangan dan pengorbanannya yang tak terkirakan, pahlawan dari masa ke masa selalu dipuja dan dikenang. Dia adalah motivator dan sekaligus sebagai inspirator dari suatu bangsa, rakyat dan negara bahkan umat manusia di dunia. Untuk mengheningkan cipta atas jasa-jasa mereka,  Prawit meliris lagu “Dengan seluruh angkasa raya memuji Pahlawan negara, nan gugur remaja diribaan bendera, bela nusa bangsa. Kau kukenang wahai bunga putra bangsa, harga jasa Kau cahya pelita bagi Indonesia merdeka”. Bahkan jika boleh merekonstruksi lirik Sartono, setiap saat kita apreasiasi para pahlawan dengan lagu wajib : Terpujilah wahai engkau pahlawan negara, namamu akan selalu hidup dalam nafas dan jiwa, Semua baktimu akan terukir direlung dada, sebagai prasasti terimaksihku tuk para kesatria. Dalam gelap engkau bagai pelita, Engkau laksana penyejuk dalam kehausan padang sahara, Engkap patriot pahlawan bangsa dengan jasa tiada tara.
Ini penting, karena pahlawan telah mengorbankan segalanya demi kita, mereka berjuang mati-matian, termasuk rela mati beneran demi memperoleh dan mempertahankan derajat bangsa. Itulah harga diri bangsa. Munculnya istilah “merdeka atau mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidupnya sebuah bangsa adalah diukur oleh kemerdekaannya, manakala kemerdekaan itu hilang dari sebuah bangsa, maka bangsa itu  dianggap tidak  hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati. Hidupnya bangsa ini adalah ketika ia memberikan kemerdekaan, kesejahteraan, kemakmuran dan kemanfaatan bagi seluruh rakyatnya.
Karena itulah maka hari Pahlawan semestinya bukan cuma diperingati dengan tabur bunga di taman makam pahlawan seraya menundukkan kepala mengheningkan cipta. Namun, itulah yang kita lakukan pada Hari Pahlawan 10 November, kemarin, serta peringatan Hari Pahlawan tahun-tahun sebelumnya, dan agaknya juga tahun-tahun mendatang.
Padahal, itu semua merupakan cara-cara formal belaka dalam mengenang para pahlawan. Itu semua memang perlu dilakukan. Namun, yang lebih penting dan substansial ialah mempraktikkan nilai-nilai perjuangan  para pahlawan di masa lalu dalam konteks kekinian.
Nilai-nilai perjuangan para pahlawan antara lain pengorbanan, persatuan, dan gotong royong, serta kedaulatan. Kita tahu tanpa itu semua, bangsa ini tidak pernah menjadi bangsa merdeka dan berdaulat.
Sejarah membuktikan para pahlawan mengorbankan segala yang mereka miliki, harta, keluarga, dan bahkan nyawa demi Indonesia merdeka. Mereka menempatkan kepentingan kemerdekaan bangsa ini di atas kepentingan pribadi dan golongan.  Sejarah juga membuktikan perjuangan mereka menciptakan Indonesia merdeka ditopang semangat persatuan dan gotong royong. Para pahlawan mempraktikkan politik 'bersatu kita teguh bercerai kita runtuh' untuk melawan politik penjajah divide et impera. Pun, dalam sejarah, para pahlawan mengajarkan bahwa kita sebagai bangsa harus memiliki harga diri dan kehormatan ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Hanya dengan harga diri dan kehormatan, bangsa ini bisa merengkuh dan menjaga kedaulatan.  
Sayangnya, nilai-nilai pengorbanan, persatuan, dan gotong royong serta kedaulatan itu seperti defisit dari perilaku para elite negeri ini.  Dalam urusan pengorbanan, elite negeri ini bukannya mempraktikkan nilai-nilai luhur pengorbanan, melainkan nilai-nilai buruk keserakahan. Perilaku korup di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif menunjukkan elite negeri ini begitu serakah memperkaya diri dan kelompok. Berkorban untuk rakyat seolah tidak tercantum sama sekali dalam kamus politik para elite.
Dalam hal persatuan dan gotong royong, elite bangsa ini bukannya bersatu dan bergotong royong menyelesaikan segala persoalan bangsa, melainkan malah gemar gontok-gontokan dan saling lempar tanggung jawab. Lihatlah bagaimana pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab dalam mengatasi banyak masalah, Semestinya pemprov, pemkab, pemkot, dan pemerintah pusat bersatu, bergotong royong, dan bahu-membahu dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa ini. Celakanya, dalam konteks hubungan pusat dan daerah, otonomi daerah justru menghasilkan egoisme politik. Pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri.
Dalam perkara kedaulatan, bangsa ini sering kali dinilai lembek ketika berhadapan dengan bangsa lain. Kasus paling mutakhir ialah ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi penyadapan oleh Amerika dan Australia. Elite semestinya malu dengan rakyat biasa yang banyak mempraktikkan nilai-nilai kepahlawanan dalam konteks kekinian. Ambil contoh Suster Rabiah. Perempuan yang dikenal sebagai Suster Apung itu mengorbankan tenaga, waktu, dan keluarga berkeliling menggunakan perahu demi mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang kesehatan.  Elite semestinya belajar dari pahlawan masa lalu dan pahlawan masa kini dalam menumbuhkan nilai-nilai pengorbanan, persatuan dan gotong royong, serta kedaulatan. Para elite harus sadar bahwa tanpa nilai-nilai kepahlawanan dalam diri bangsa ini, kita hanya merdeka secara formal, tapi terjajah secara mental.
Pahlawan adalah satu kata yang sangat bermakna, berasal dari kata pahala (buah atau hasil) dan wan (orang). Jadi Pahlawan adalah orang yang telah membuahkan hasil yang baik, atau orang yang telah menyumbangkan buah-buah perbuatannya yang terbaik kepada bangsa dan negara, atau orang yang telah memberikan kebaikan kepada orang lain dan sangat berjasa kepada bangsa dan negara.
Sementara pahalawan berasal dari kata Paha dan Wan, yakni orang yang hobbi dan gemar melakukan apa saja untuk kepentingan paha. Kasus Simulator Sim, kasus Impor daging  sapi dan  kasus penangkapan mantan ketua MK adalah bentuk nyata dari Pahalawan  karena berkelindan atau melibatkan sejumlah wanita-wanita cantik.
Emansipasi yang seharusnya membebaskan wanita dari berbagai bentuk eksploitasi sebagaimana diperjuangkan Kartini, saat ini malah terjadi sebaliknya. Wanita telah menjadi komoditas yang diperjual belikan dan dieksploitir, kita saksikan beberapa kasus kakap dalam lima tahun terakhir hampir seluruhnya melibatkan dan memanfaatkan wanita. Dalam  realaitas seperti  ini epos pahlawan telah diselewengkan menjadi pahalawan.
Di zaman modern sini, praktek misogini ternyata masih saja berlangsung. Perempuan masih saja dijadikan obyek dalam tindak kejahatan. Gratifikasi seks menjadi salah satu indikator bahwa perempuan saat ini masih dianggap sebagai “obyek”. Gratifikasi seks adalah wujud dari merendahkan martabat perempuan, dan ini menjadi preseden buruk terhadap isu kesetaraan gender yang selama ini sedang mengalami proses perkembangan. Kita seakan kembali ke zaman kuno, di mana perempuan dijadikan hadiah bagi para raja dan penguasa. Atau menengok ke era jahiliyah, yang memposisikan perempuan sebagai sebuah “barang”, bisa diberikan orang lain dan bisa diwariskan. Ironismya, praktek gratifikasi perempuan ini dilakukan oleh para politisi dan pemimpin negeri ini, demi untuk memuaskan kepentingan golongan dan pribadi mereka.
Gratifikasi seks menjadi pertanda bahwa mentalitas dan nalar para pemimpin kita sama dengan nalar masyarakat jahiliyah dalam memandang perempuan. Meskipun ini bukan fenomena umum, namun boleh jadi ini adalah fenomena gunung es, kecil di permukaan namun pada dasarnya sangatlah besar. Bisa jadi selama ini praktek gratifikasi perempuan ini banyak dilakukan, hanya saja yang tertangkap tangan baru sebagian kecil. Pada akhirnya, fenomena gratifikasi ini perlu menjadi perhatian kita bersama, bukan hanya terkait persoalan hukum, namun juga terkait fenomena sosial bangsa ini. Upaya preventif sangat diperlukan dalam upaya menghilangkan praktek ini, bukan hanya terkait perbaikan sistem, namun juga nalar sosial yang ada dalam masyarakat.
Pertanyaannya kini, apakah perkembangan bangsa ini sudah sebanding dengan nilai dan harga perjuangan serta pengorbanan para pahlawan yang telah merelakan segalanya demi harga diri bangsa ?  Jika para pahlawan itu tahu apa yang terjadi di negeri ini saat ini, sedalam apakah kecewaan mereka ? Bisa jadi mereka sangat menyesal telah mengorbankan segalanya untuk kita, jika kita yang diberi amanah malah menghianatinya. Lebih-lebih jika wacana pahlawan dikaburkan oleh maraknya pahalawan #

Tidak ada komentar: