Pendahuluan
Sebelumnya ada buku dengan judul “Menusantarakan Islam” ditulis oleh seorang dosen di STAIN Ponorogo. Judul buku diatas banyak memunculkan musykil. Menusantarakan
Islam seakan mengandung arti Islam diakulturasi oleh Nusantara sehingga Islam
menjadi melebur atau mungkin hilang, dan yang ada adalah Nusantara. Apakah
benar penulis buku ini menginginkan Islam hilang dan yang nampak dan
dominan adalah kultur atau budaya atau peradaban Nusantara, atau sebenarnya
ingin menawarkan suatu metode bagaimana Islam dapat diterima di Nusantara ? Kenapa bukan Mengislamkan nusantara yang mengandung arti Islamisasi
peradaban atau budaya yang dikenal dengan Nusantara sehingga akhirnya peradaban
Nusantara menjadi bagian peradaban Islam.
Terminologi Kekerasan
Dalam buku tersebut disampaikan tentang pergumulan Islam dengan agama lain, realitas
sosial, sesama wacana atau penganut agama Islam yang berbeda aliran, dan antara
Islam dan penjajah. Dalam kesimpulannya Islam pada awalnya berwajah damai mampu
berdialog dengan secara damai dengan agama-agama yang telah ada. Dialog damai
ini terjadi ketika Islam masih dalam tahap mencari ruang bereksistensi. Namun
demikian, ketika sudah mapan dan mendominasi, wajah Islam berubah drastis. Hal ini terjadi setelah
Islam bergandeng tangan dengan politik. Disebutkan, Abu Bakar memerangi
pembayar Zakat dan pengaku Nabi, Utsman mengukuhkan keluarganya dalam kekuasaan
sehingga akhirnya terbunuh, Ali mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan
kekerasan dalam perang Jamal dan Shiffin, Mu’awiyah merebut kekuasaan politik
Ali dengan membunuh para pengikut Ali.
Hal yang sama juga terjadi di Nusantara, ArRaniri
dengan penguasa baru menindas Hamzah Fansuri, Walisongo dengan penguasa Demak
melakukan tindakan kekerasan kepada Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah
dan Padri terhadap tarekat Syatariah, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan
tahayyul, pemaksaan syariat Islam seperti label halal-haram, pengesahan
Kompilasi Hukum Islam, dan pemberlakuan undang-pornografi.
Apakah benar ketika sudah
mapan wajah Islam berubah keras dan melakukan tindakan pemaksaan agama? Di sini
terlihat kerancuan pikiran penulis dalam cara membaca kekerasan. Kekerasan yang
dinisbatkan kepada para Khalifah diatas tidak ada hubungannya dengan pemaksaan
agama. Tidak ada peristiwa yang bisa diungkap oleh penulis bahwa Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Mu’awiyah telah menindas orang Kristen, Yahudi dan agama lain
karena tidak mau masuk Islam. Tidak ada juga kisah pelarangan non-muslim
melakukan ibadahnya. Begitu juga konflik antara ArRaniri dengan Hamzah Fansuri,
Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan
tarekat Syatariah, apalagi Muhammadiyah, pelabelan halal-halal haram, kompilasi
hukum Islam, dan undang-undang pornografi, tidak ada yang berkaitan dengan
pemaksaan agama Islam kepada non-muslim.
Abu Bakar sebagai pemimpin
suatu Negara tentu wajib mengambil keputusan kenegaraan ketika terjadi
pembangkangan kepada Negara. Zakat merupakan instrumen utama fiskal pada waktu
itu, jika penolakan pembayaran zakat dibiarkan, hal ini tentu akan membuat
ketidakstabilan perekonomian. Utsman memilih keluarganya dalam pemerintahan,
tentu ini merupakan keputusan politis dan managerial beliau. Begitupun juga
Ali, sebagai pemimpin Negara tentu harus memberangus setiap pemberontakan.
Tentu aneh jika pemerintah pasrah dan membiarkan pemberontakan terjadi. Begitu
juga Mu’awiyah ketika ingin mencapai kekuasaannya menggunakan cara militer. Peristiwa-peristiwa
ini sangat politis, dan tentu tidak tepat untuk mengatakan bahwa Islam ketika
dominan melakukan tindakan kekerasan.
Membaca konflik antara Ar-Raniri dengan Hamzah
Fansuri, Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan
tarekat Syatariah juga harus dilakukan secara bijak. Hal ini merupakan permasalahan internal Islam
dan tidak ada hubungannya dengan penindasan Islam terhadap agama lain. Islam
sebagai agama tentu mepunyai konsep-konsep pokok yang mana dengannya disebut
sebagai Islam. Tanpa itu tidak akan bisa dibedakan mana Islam dan mana yang
bukan, mana yang “Haq” dan mana yang “Bathil”, mana yang “mustaqim” dan mana
yang “Dhal”. Ketika terjadi penyimpangan terhadap konsep-konsep pokok tersebut,
maka akan terjadi proses dialogis. Ketika proses ini mengalami jalan buntu,
tentu harus ada kejelasan mana yang sesat dan mana yang tidak sesat. Hal ini
sangat logis, karena logika tidak akan menerima jika semua benar, atau semua
salah.
Dalam konteks Nusantara saat ini, penulis memilih
beberapa kelompok Islam untuk kemudian dituduh melakukan tindak kekerasan, dan
memaparkan beberapa kelompok yang dianggap tertindas melakukan tindakan
sebaliknya. Kelompok yang secara langsung disebut adalah FPI dengan tindakan
kekerasannya, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyulnya, MUI dengan
fatwa-fatwa sesatnya, PKS, FKAWJ, FUI, MMI, KPPSI, Laskar Jihad, HTI, dan
JI dengan perasaan paling benarnya. Adapun NU dianggap moderat walaupun nantinya juga tidak luput dari
serangan penulis. Kelompok-kelompok ini dikategorikan sebagai Islam transnasional yang
mana merupakan gerakan Islam beraliran formalis atau skripturalis yang lahir
dari Timur tengah. Atau jika dibandingkan dengan dua kategori berikutnya, unsur
esensial ajarannnya berasal dari Arab, nabinya, tempat diterima wahyunya dan
kitab sucinya.
Adapun kelompok-kelompok yang mendapat pujian “damai”
dari penulis buku ini adalah JIL, Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah
al-Islamiyah. Ahmadiyah dikategorikan
sebagai Islam Transnasional non-mainstream, dimana unsur esensial ajarannya
lahir dari Negara luar Arab, baik nabinya, tempat menerima wahyunya, kitab
sucinya maupun ajarannya. Adapun Salamullah dan al-Qiyadah al-Islamiyah masuk
kategori Islam lokal, karena unsur esensial ajarannya seluruhnya bersifat
Nusantara, baik nabinya, tempat turun wahyunya, maupun kitab sucinya. Menarik untuk ditanyakan, JIL
masuk kategori yang mana? Siapa Nabinya, apa kitab sucinya.
Lagi-lagi, penisbatan
“kekerasan” dan “damai” kepada kelompok-kelompok di atas sangat rancu dan
terlihat seperti tuduhan dan bukan berdasarkan fakta-fakta sejarah. PKS yang
dianggap kelompok yang merasa benar sendiri menunjukkan bagaimana cara berdemo
damai. Adapun JIL yang dianggap representasi kelompok Islam “damai” telah
melakukan cacian yang luar biasa terhadap MUI, penginjakan lafadz Allah yang
menyakiti perasaan umat Islam, bahkan Quran yang sangat umat Islam sucikanpun
dihujat. Apakah ini bukan kekerasan? Intinya, siapapun yang umat Islam yang
menonjolkan keberislamannya akan terkena tuduhan kekerasan penulis buku ini. Hatta umat
Islam yang ingin dapat memilih makanan halal pun tak luput dari tuduhan
tersebut.
Ahmadiyah, Salamullah, dan
al-Qiyadah al-Islamiyah yang dikategorikan Islam lokal menurut penulis mendapat penindasan oleh
Islam karena dituduh “sesat”. Bagi umat Islam tentu hal ini sangat jelas,
bagaimana aliran yang beda nabinya, beda ajarannya, beda kitab sucinya dapat
dikatakan Islam? Ibarat sebuah keluarga, kemudian ada orang yang mengaku
anggota keluarga tapi mengatakan berbeda ayah ibu, berbeda aturan keluarga.
Apakah salah jika keluarga tersebut mengatakan kepadanya bahwa kamu bukan
bagian keluarga kami. Analogi lebih jelas, jika dalam Negara Indonesia,
kemudian muncul kelompok yang mengatakan mempunyai ideologi yang berbeda,
aturan hukum berbeda, pemimpin yang berbeda, salahkah Indonesia jika tidak
menganggapnya pemberontak dalam Negara, dan haruskah Indonesia membiarkannya
dan mendukungnya. Dari sini tentu muncul pertanyaan: siapa yang sebenarnya
melakukan kekerasan? Kelompok tersebut atau Indonesia, Ahmadiyah atau Islam?.
Dari sini, kita dapat melihat betapa rancunya
pembacaan kekerasan penulis buku ini. Menklaim menggunakan pendekatan sejarah
dan pengetahuan sosial, padahal hanya ingin menyatakan bahwa Umat Islam yang
meyakini kebenaran agamanya akan mengantarkan kepada pemaksaan idenya. Seakan-akan umat Islam tidak
mempunyai konsep toleransi beragama dan tidak mungkin dapat menyebarkan
kedamaian di muka bumi. Seakan-seakan Umat Islam tidak pernah mempunyai sejarah
yang menebarkan kedamaian di muka bumi.
Bukan hanya rancu dalam membaca kekerasan, penulis buku ini juga rancu dalam memahami
Islam. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang disebut dengan Islam.
Framework
Untuk menghilangkan umat Islam
yang merasa benar sendiri dan akhirnya akan mengantarkan kepada pemaksaan
ideologi, penulis buku ini memberikan tawaran solusi. Pertama adalah
otonomisasi agama dan kedua adalah paradigma nalar nusantara. Yang
pertama adalah pelepasan agama secara epistimologis dari bayang-bayang budaya
Arab, aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan mainstream. Maksudnya adalah
pertama, individu mempunyai otoritas penuh dalam membaca gagasan Tuhan dalam
agama. Kedua, dibedakannya agama dengan wacana agama. Agama adalah legislasi
Tuhan, adapun hasil intrepretasi atas agama, baik yang dilakukan Muhammad
maupun para sahabat, dan mujtahid adalah wacana agama. Ketiga mengikut tiga prinsip
berfikir: (1) lima prinsip moral, seperti kejujuran, kemenyeluruhan,
kesungguhan, rasionalitas, dan pengendalian diri; (2) konsep “praduga
epistimologis”; (3) “nalar ekslusif”.
Setelah terlepas secara
estimologis, penulis buku ini menawarkan paradigma nalar Islam Nusantara. Inti dari
paradgima nalar Islam Nusantara adalah nalar Islam
Antroposentris-transformatif. Paradigma antroposentris menjadikan manusia
sebagai pusat eksistensi, dan manusia dipandang tujuan hakiki ajaran Islam.
Dari sini, penafsiran dan wacana tafsirnya harus mengarah pada pembebasan
manusia dari kekangan paradigma lama yang acapkali mengebiri manusia demi
memberikan otoritas penuh pada Tuhan. Adapun nalar Islam trasnformatif berarti
suatu nalar Islam yang bercorak praksis dan bertujuan menggerakkan manusia
secara aktif dan revolusioner dalam menjalani kehidupan di dunia fana’.
Dengan nalar Islam Nusantara
ini, pesan agama yang terdapat dalam kitab suci harus dilihat dengan
menggunakan kacamata manusia. Hal ini dilakukan agar dapat ditemukannya pesan
yang berbicara mengenai manusia, dan apa yang diberikan agama pada manusia.
Metode pembacaan manusiawi terhadap agama ini disebut Hermenuetika . Tindak
ingin menghilangkan tafsir dan takwil, penulis buku ini menawarkan pemaduan ketiganya .
Kalau diperhatikan secara
seksama tawaran solusi di atas, kita dapat melihat bahwa sebenarnya penulis buku ini sedang menawarkan faham relatifisme, faham
humanisme, dan metode pembacaan Hermeneutika. Otonomisasi agama intinya adalah
bagaimana seorang Muslim tidak merasa paling benar dan harus melepas dari
otoritas apapun karena kebenaran itu adalah relatif. Inti nalar antropesentris
adalah humanisme. Adapun nalar transformatif hanya bisa dilakukan dengan
hermeneutika.
Penutup
Islam sebagai Agama telah
sempurna dan disempurnakan sejak diturunkannya. Konsep-konsep pokok sebuah
agama seperti konsep Tuhan, agama, Ibadah, manusia dan lainnya telah jelas
dalam Islam sedari awalnya. Para ulama Ulama sebagai penerus para nabi kemudian
hanya menjelaskan konsep-konsep tersebut tanpa merubah konsep awalnya. Maka
dalam Islam telah jelas mana yang Islam dan mana yang tidak Islam, mana yang
“haq” dan mana yang “bathil”, mana yang “mustaqim” dan mana yang “dhalal”.
Memaksakan Islam mengakui kebenaran di luar Islam merupakan hal konyol.
Sebagaimana Islam juga tidak memaksakan siapapun untuk menerima Islam sebagai
kebenaran “lakum dinukum wali al-din”; “la ikraha fi al-din”.
Dari sini, memaksakan lagu
lama Nisetzche tentang relatifisme dan nihilisme kepada Islam merupakan
tindakan “kekerasan”. Jargon yang absolut hanya Allah, tidak ada yang tahu
kebenaran selain Allah, maka Islam yang dibangun Nabi Muhammad diteruskan
kemudian oleh para Ulama adalah hanya wacana Islam yang relatif merupakan
pernyataan membingungkan. Islam menjadi relatif, tidak mempunyai kriteria
keIslaman, lalu bagaimana umat Islam bisa berIslam.
Ujung akhirnya adalah agama
baru yang disebut “humanisme”, segalanya tentang manusia, manusia menggeser
Tuhan sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu. Maka tidak mengherankan kalau
dalam fiqh dikatakan bahwa Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia,
makamaslahah manusia lebih penting dari pada Syariat, Syariat
harus tunduk kepada kemanusiaan, akhirnya teks harus tunduk kepada
konteks. Maka tidak heran kalau Muslim liberal menghalalkan kawin antar
sejenis. Karena manusia telah berubah dan menginginkan hal tersebut. Konteks
telah berubah, kemanusiaan telah berubah, teks harus menyetujui dan merestui,
karena manusia adalah segala-galanya.
Lagi-lagi, hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan kepada Islam, selama Umat Islam masih menggunakan nalar
Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad dan para Ulama. Tafsir dan takwil yang
dipergunakan untuk memahami Al-Quran tidak akan dapat menerima faham relatifisme
dan humanisme tersebut. Untuk itu, perlu digunakan metode baru yang dapat
membongkar Quran, sehingga dapat tunduk kepada keinginan dan hawa nafsu
manusia. Metode ini adalah hermeneutika. Lengkap sudah tawaran penulis buku ini untuk
menjadikan Umat Islam seperti Umat Kristen di Eropa, di mana ajaran Kristen
sudah tidak diendahkan, dan Ateisme berkembang dengan pesat. Akhirnya,
menusantarakan Islam bukan hanya akan membuat Islam hilang dan digantikan oleh
Nusantara, tapi akan membuat Nusantarapun akan hilang, dan tergantikan dengan
Nusantara yang terbaratkan.
Islam agama yang sudah
sempurna, Islam menjamin maslahah manusia selama manusia tunduk dan pasrah
sebagai hamba dan khalifah Allah. Dengan berpasrah dan melakukan syariat Islam
manusia akan selalu bergerak dalam koridor fitrah penciptaannya dan di situlah
kemaslahatan berada. Maka saat ini tidak mengherankan, apabila banyak
cendekiawan Muslim yang menyelesaikan doktor bidang ekonomi di Barat, menemukan
banyaknya problem kemanusiaan pada teori dan sistem ekonomi barat. Sehingga,
mereka beramai-ramai ingin kembali kepada Islam, untuk kemudian dapat
mengembangkan ilmu ekonomi yang dapat menjadi maslahah bagi manusia dan bukan
sebagian kecil manusia. Akhirnya yang tepat bukan menusantarakan Islam, tapi
mengIslamkan Nusantara.
Ala kulli hal, apa yang dikemukakan
buku diatas menurut saya bukan bertolak dari kekokohan
epistimologis, melainkan hanya berangkat dari kekecewaan psikologis dan problem
emosional yang sublim dan meletup-letup.
* Diadaptasi dari tulisan M Khairul Umam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar