Belakangan ini wacana keadilan
kembali ramai dibincangkan orang, terutama pasca mencuatnya kejadian-kejadian
norak di dunia hukum dan peradilan kita, mulai dari banyaknya penegak hukum
yang melanggar hukum, penerapan standart ganda bagi kelompok elit dan alit,
dimana koruptor kakap dengan mudahnya divonis bebas sementara nenek-nenek yang
diduga mencuri dua biji kakau untuk mengisi perutnya yang sekian lama
keroncongan langsung divonis 4 bulan kurungan penjara tanpa ampun,. Juga kasus
hukum bank century yang merugikan Negara 6,7 trilyun yang hingga kini mbulet
ndak karu-karuan, soal kasus cicak versus buaya, soal makelar kasus (Markus),
dan kini ditambah lagi soal buaya versus gerombolan buaya, kiranya telah
melengkapi ketidak percayaan rakyat akan tegaknya keadilan di negeri ini,
sayang sekali, semakin banyak dibangun gedung dan lembaga peradilan, ternyata
semakin sedikit ditegakkan keadilan.
Antara Keadilan Dan
Kebencian
Mempertemukan keadilan dan
kebencian dalam sebuah tulisan rasanya tidak terlalu sulit, kita tinggal
menulis dan mengulas kedua kata-kata itu. Tetapi mempertemukan keduanya dalam
hati dan perbuatan sungguh tidaklah mudah. Padahal dapat dipastikan bahwa
keadilan akan menguap jika kebencian menguasai hati seseorang. Dari sinilah
sesunggunya akar penyakit penegakkan hukum di negeri kita ini, di samping kitab
hukumnya masih menggunakan produk Londo, juga rasa cinta atau benci pada
seseorang atau suatu kaum dapat menjadi penghalang bagi tegaknya keadilan.
Ditambah lagi dengan kesaksian palsu yang semakin sering dilakukan oleh
beberapa pihak demi kepentingan tertentu. Sepertinya kejujuran kian menipis
bahkan mulai langka dalam jiwa bangsa ini, sebab hampir disetiap sektor
kehidupan sudah dianggap lumrah tipu-menipu, suap menyuap dan kepalsuan
lainnya.
Adalah sulit bagi seorang hakim
yang menyimpan kebencian terhadap terdakwa untuk memutuskan vonis secara adil,
kecuali yang bersangkutan termasuk orang-orang beriman yang bertaqwa kepada
Allah swt, sebab bagi orang yang beriman dan bertaqwa pasti memiliki keasadaran
mendalam bahwa apapun yang ia putuskan akan dimintai pertanggung jawab di
akhirat kelak. Dan Allah maha mengetahui segala yang dikerjakan oleh hamba-Nya,
termasuk yang tersembunyi sekalipun. Maka, sekecil apa pun kebaikan yang
dilakukan seseorang Allah swt akan membalasnya, dan sekecil apa pun keburukan
yang dilakukan seseorang, Allah pasti membalasnya juga.
Disinilah
perbedaan yang mendasar antara Islam dan demokrasi ala barat. Demokrasi secara
fisik menyuarakan bahwa keadilan demi rakyat. Padahal sesungguhnnya dengan
kekuasaan di tangan seorang penguasa (yang minus keimanan) akan dengan leluasa
mengibuli rakyatnya. Seorang hakimyang demikian akan leluasa mempermainkan
hukum karena yang ditakuti bukan Tuhan yang maha mengetahui dan maha membalas,
melainkan hanya lembaga hukum seperti komisi pemberantasan korupsi (yang kadangkala
juga perlu diberantas karena juga sering melakukan korupsi dengan menerima
komisi) atau atasan (yang perlu juga diatasi) atau penegak hukum lain (yang
sejatinya perlu dihukum).
Maka,
seharusnya syarat seorang hakim adalah orang-orang yang beriman yang memutuskan
sesuatu karena Allah, seorang jaksa dan polisi seharusnya juga orang yang
beriman yang melakukan tuntutan dan penyidikan karena Allah. Bila bukan itu
yang dijadikan bingkai, niscaya sampai kapanpun keadilan tidak akan pernah
tegak, sebab keadilan selalu dipersepsi berbeda-beda tergantung sudut pandang,
(atau lebih tepat : sudut kepentingan masing-masing). Karena itulah Jangan
pernah mengharapkan keadilan jika aparat hukum kita masih orang-orang yang
tidak beriman dan tidak bertaqwa. Jangan mengharap keadilan jika mata kita masih silau
melihat harta dan tahta.
Demikian
juga seorang saksi semestinya juga adalah orang yang beriman, yang menyampaikan
kesaksiannya semata-mata karena Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa salah
satu elemen pokok dalam penegakkan keadilan adalah saksi. Peran saksi
sangat signifikan dan berpengaruh besar bagi tegaknya keadilan. Bukankah
keputusan hakim sangat tergantung pada kesaksian para saksi? Bukankah banyak
kesaksian telah memalingkan hakim dari kebenaran? Bukankah banyak saksi yang
telah mengubah kesaksiannya hanya karena ditekan, diancam, atau dibungkam
dengan alat yang bermacam-macam.
Itulah
sebabnya, dalam ayat keadilan (Qs. 5 : 8) Allah memulai seruanNya dengan
menggunakan kata ”Hai orang-orang yang beriman”, artinya baik penyidik,
penuntut, pengadil dan –terutama- saksi
dalam melakukan proses pengadilan, diperintahkan untuk menegakkan
keadilan semata-mata karena perintah Allah, bukan karena yang lain. Bukan
karena kebencian atau kecintaan kepada seseorang atau kaum tertentu, bukan
juga karena kekayaan dan kekuasaan atau
kemiskinan dan kejelataan si terdakwa. Hal ini penting ditegaskan karena
faktanya hal-hal diatas tak jarang membuat pelaku hukum berbuat nista, bersaksi
dusta dan memutar balikkan fakta, karena dibungkam dengan uang, karena takut
ancaman, atau karena iba dan kasihan. Sungguh, tendensi tertentu dalam usaha
menegakkan keadilan dan kesaksian hanya akan membuat semakin rancu keadilan itu
sendiri. Maka Allah swt mengecam orang-orang yang berbuat demikian, dan Dia
maha mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak satu pun yang dapat bersembunyi
dari penglihatanNya.
Dampak ketidak
adilan
Tatanan masyarakat harmonis
hanya dapat terwujud dengan baik manakala keadilan ditegakkan di berbagai
sektor kehidupan, karena itu banyak sekali ayat atau hadits yang memerintahkan
kita untuk berlaku adil dalam keadaan apapun dan terhadap siapapun. Berlaku
adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional. Seseorang
dapat disebut adil, manakala dirinya maju tak gentar membela yang benar bukan
maju tak malu membela yang bayar, pemimpin yang adil adalah pemimpin yang menata rakyatnya diatas landasan
kesetaraan, pemerataan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh rakyatnya
tanpa pandang bulu.
Penegakan supremasi hukum dan
keadilan bagi seluruh rakyat tanpa tebang pilih merupakan sesuatu yang
strategis dan fundamental, sebab dengan tegaknya keadilan akan terwujud
kehidupan yang damai dan bersih dari berbagai bentuk kecemburuan dan
kesenjangan sosial, karena itu Allah swt sangat mencintai orang yang berlaku
adil (Qs. 49 : 9).
Sebaliknya, dalam banyak fakta ditemukan bahwa ketidak adilan merupakan
kantong yang paling subur dan potensial dalam memunculkan kesenjangan dan
kecemburuan sosial. Ketidak adilan merupakan faktor utama bagi timbulnya
keributan kemanusiaan. Kasus-kasus kemanusiaan seperti : di Singkawang,
Palangkaraya, Pontianak dan Sampit beberapa tahun lalu adalah contoh nyata dari
pelampiasan emosional karena kecemburuan sosial ekonomi, Jika para pejabat
terus menaikkan gaji dan tunjangannya ditengah megap-megapnya rakyat jelata
yang tengah berjuang mempertahankan hidup, maka normal jika terjadi keresahan
dan kerusuhan dimana-mana, hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari
tindakan ketidak adilan. Itulah sebabnya jauh-jauh sebelumnya dalam Qs. 5 : 8 Allah swt menyeru : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan
Keadilan dalam
perspektif Sufi
Dalam
perspektif sufi, yang paling ditakuti justru keadilan Tuhan. Saya ingin
mengupasnya melalui sebuah kisah, suatu ketika seorang santri bertanya
kepada Gus (putra kiai) yang kebetulan baru pulang dari program doktor
(PhD) di luar negeri, konon Gus tersebut
disana adalah seorang aktivis hukum dan HAM serta pejuang keadilan.
Menurut pandangan Gus, apa yang paling penting dilakukan
untuk mengantarkan masyarakat negeri ini pada kesejahteraan ?, dengan mantap
sang Gus menjawab : menegakkan supremasi hukum
dan keadilan untuk semua pihak
tanpa pandang bulu, hanya dengan keadilan negara ini akan di kasihi Tuhan.
Tetapi menurut Kiai sepuh (ayah anda) dalam pengajian
tadi malam tidak begitu, potong si santri kebingungan. Gimana dawuh Abi, tanya Gus penasaran ?
Menurut beliau justru
yang paling kita takutkan dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila
Tuhan betul-betul
menerapkan keadilanNya, rasanya sedikit sekali manusia yang bakal masuk sorga.
Ada hadits yang menyatakan “ tidak akan
pernah masuk sorga seseorang yang
dalam hatinya ada takabbur walau sebesar
debu”, Realitasnya takabbur kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung,
padahal sebesar debu saja dihararamkan masuk sorga. Ada pula hadits yang
menyebutkan “ Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya,
maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”. Bila sesuap saja
akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa hari jika yang masuk
ke perutnya dua milyar suap ? Jika
memperhatikan hadits-hadits itu, rasanya kita semua akan masuk neraka.
Jika Allah dengan keadilannya membalas
kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua amal kita, maka
celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita, tentu sangat
tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya, seperti
riya’ dan ujub. Dalam hadits qudsi
disebutkan jika seluruh hidup manusia digunakan seluruhnya untuk berbakti dan
beramal kepada Allah niscaya itu belum sebanding dengan nikmat yang telah
diberikan Allah pada mahluknya. Dalam riwayat yang lain
ditegaskan “Seorang masuk sorga bukan karena amalnya,tetapi karena kasih sayang
(rahmat) Allah ta’ala. (Hr. Muslim)
Apalagi prilaku sebagian kita yang sangat keterlaluan.
Korupsi muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam hitungan hari di negeri
ini. Belum kering airmata menangisi kasus Hambalang, muncul kasus simulator
SIM, belum usai gonjang ganjing kasus cebongan dan eyang Subur, kasus impor
daging sapi mengguncang PKS, belum tuntas kasus perbudakan di Tengerang dan Lampung,
menyusul lagi kasus yang melibatkan Fathonah mengenai pencucian uang dan gratifikasi seks yang melibatkan puluhan wanita-wanita
cantik. Kasus-kasus itu tidak hanya
membuat spesies manusia yang terperanjat, alampun ikut tergoncang, mereka
muntahkan banjir di berbagai tempat, gunung terusik dan meletus, kebakaran
terjadi hampir tiap hari,....Ada apa ini ?, pertanda apa ini ? Tidak hanya manusia yang bereaksi, alam,
bumi dan air juga unjuk gigi, bahkan api dan udarapun turut mengamuk dengan
aksi kebakaran dan semburan awan panas mematikan. Dan kabar terkini, beberapa gunung
berapi di Indonesia juga mulai berancang-ancang untuk ambil bagian dalam
mengingatkan ketersesatan kita.
Keserakahan, keingkaran, dan kemaksiatan
adalah penyebabnya. Karena maksiat, barokah tertahan, karena maksiat, bencana
berdatangan. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an : Telah tampak kerusakan di
daratan dan di lautan disebabkan perbuatan manusia, (lalu Allah peringatkan
mereka), supaya merasakan sebagian
akibat dari perbuatan mereka, sehingga mereka menyadari dan kembali
pada jalan yang benar. (Qs. 30 : 41)
Sulit dibantah bahwa telah sekian lama
sebagian warga negara diberbagai lapisan berlomba menggarong kekayaan negara.
Mencederai rakyat dengan korupsi, mengelapkan uang pajak serta memperjual
belikan hukum & keadilan. Disisi lain, hutan-hutan digunduli, pasir-pasir
di keruk tanpa batas, udara terus diracuni dengan polusi dan zat-zat kimia yang
berbahaya, bumi di bor sampai kedalaman yang membahayakan, hewan-hewan
ditangkapi demi tujuan bisnis. Akibatnya alam rusak parah, musim tidak lagi
beraturan, ozon kian menipis, limbah polusi mulai menyerang udara, air dan bumi
kita. Dari sini sebetulnya upaya mengundang bencana secara sengaja sedang
dimulai.
Belum lagi dengan ilmu pengetahuan
modern yang lebih cenderung pada pemenuhan hawa nafsu dibanding meredamnya,
ketika sebagian orang terkena penyakit kelamin, solusi yang ditawarkan adalah
kondom, bukan cara mencegahnya. Bila para orang tua risau oleh prilaku seks
bebas anak-anaknya, jalan keluar yang ditawarkan adalah obat anti hamil, bukan
cara mencegah atau menghindari seks bebas itu. Akhirnya apa ? kemaksiatan
semakin merajalela, dan sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Baginda Nabi saw bersabda : Bila semarak kemaksiatan maka akan muncul
kegoncangan
Tetapi semoga saja Allah swt tidak
sedang murka kepada kita, melainkan hanya mengingatkan kita agar kembali pada
jalan yang benar. Sebab kalau Allah murka, barangkali tidak sekedar sejumlah masalah dan kasus atau
bencana alam yang ditimpakan kepada kita, mengingat persyaratan untuk kita
dihancur leburkan selebur-leburnya sudah sempurna kita miliki. Ukuran kemaksiatan, kedurhakaan
dan kesalahan kita selama ini dari sudut aqidah, syariah dan ahlak, dari sudut
individu dan sosial sungguh tidak lebih rendah dibanding kedurhakaan kaum Nabi
Nuh as yang kemudian ditelan air bah raksasa. Sungguh penderitaan yang kita
alami akibat perbuatan kita jauh belum sepadan dengan kebusukan hati,
kebobrokan moral dan penghianatan yang kita lakukan selama ini baik secara
individu maupun secara kolektif.
Karena itu Rasul saw selalu berdoa
“Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas
dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa
dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas
untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu. #.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar