Senin, 09 September 2013

MEGAHNYA GEDUNG PENGADILAN TAK MENJAMIN TEGAKNYA KEADILAN



Belakangan ini wacana keadilan kembali ramai dibincangkan orang, terutama pasca mencuatnya kejadian-kejadian norak di dunia hukum dan peradilan kita, mulai dari banyaknya penegak hukum yang melanggar hukum, penerapan standart ganda bagi kelompok elit dan alit, dimana koruptor kakap dengan mudahnya divonis bebas sementara nenek-nenek yang diduga mencuri dua biji kakau untuk mengisi perutnya yang sekian lama keroncongan langsung divonis 4 bulan kurungan penjara tanpa ampun,. Juga kasus hukum bank century yang merugikan Negara 6,7 trilyun yang hingga kini mbulet ndak karu-karuan, soal kasus cicak versus buaya, soal makelar kasus (Markus), dan kini ditambah lagi soal buaya versus gerombolan buaya, kiranya telah melengkapi ketidak percayaan rakyat akan tegaknya keadilan di negeri ini, sayang sekali, semakin banyak dibangun gedung dan lembaga peradilan, ternyata semakin sedikit ditegakkan keadilan.
Antara Keadilan Dan Kebencian
Mempertemukan keadilan dan kebencian dalam sebuah tulisan rasanya tidak terlalu sulit, kita tinggal menulis dan mengulas kedua kata-kata itu. Tetapi mempertemukan keduanya dalam hati dan perbuatan sungguh tidaklah mudah. Padahal dapat dipastikan bahwa keadilan akan menguap jika kebencian menguasai hati seseorang. Dari sinilah sesunggunya akar penyakit penegakkan hukum di negeri kita ini, di samping kitab hukumnya masih menggunakan produk Londo, juga rasa cinta atau benci pada seseorang atau suatu kaum dapat menjadi penghalang bagi tegaknya keadilan. Ditambah lagi dengan kesaksian palsu yang semakin sering dilakukan oleh beberapa pihak demi kepentingan tertentu. Sepertinya kejujuran kian menipis bahkan mulai langka dalam jiwa bangsa ini, sebab hampir disetiap sektor kehidupan sudah dianggap lumrah tipu-menipu, suap menyuap dan kepalsuan lainnya.
Adalah sulit bagi seorang hakim yang menyimpan kebencian terhadap terdakwa untuk memutuskan vonis secara adil, kecuali yang bersangkutan termasuk orang-orang beriman yang bertaqwa kepada Allah swt, sebab bagi orang yang beriman dan bertaqwa pasti memiliki keasadaran mendalam bahwa apapun yang ia putuskan akan dimintai pertanggung jawab di akhirat kelak. Dan Allah maha mengetahui segala yang dikerjakan oleh hamba-Nya, termasuk yang tersembunyi sekalipun. Maka, sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan seseorang Allah swt akan membalasnya, dan sekecil apa pun keburukan yang dilakukan seseorang, Allah pasti membalasnya juga.
Disinilah perbedaan yang mendasar antara Islam dan demokrasi ala barat. Demokrasi secara fisik menyuarakan bahwa keadilan demi rakyat. Padahal sesungguhnnya dengan kekuasaan di tangan seorang penguasa (yang minus keimanan) akan dengan leluasa mengibuli rakyatnya. Seorang hakimyang demikian akan leluasa mempermainkan hukum karena yang ditakuti bukan Tuhan yang maha mengetahui dan maha membalas, melainkan hanya lembaga hukum seperti komisi pemberantasan korupsi (yang kadangkala juga perlu diberantas karena juga sering melakukan korupsi dengan menerima komisi) atau atasan (yang perlu juga diatasi) atau penegak hukum lain (yang sejatinya perlu dihukum). 
Maka, seharusnya syarat seorang hakim adalah orang-orang yang beriman yang memutuskan sesuatu karena Allah, seorang jaksa dan polisi seharusnya juga orang yang beriman yang melakukan tuntutan dan penyidikan karena Allah. Bila bukan itu yang dijadikan bingkai, niscaya sampai kapanpun keadilan tidak akan pernah tegak, sebab keadilan selalu dipersepsi berbeda-beda tergantung sudut pandang, (atau lebih tepat : sudut kepentingan masing-masing). Karena itulah Jangan pernah mengharapkan keadilan jika aparat hukum kita masih orang-orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Jangan mengharap keadilan jika mata kita masih silau melihat harta dan tahta.
Demikian juga seorang saksi semestinya juga adalah orang yang beriman, yang menyampaikan kesaksiannya semata-mata karena Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu elemen pokok dalam penegakkan keadilan adalah saksi. Peran saksi sangat signifikan dan berpengaruh besar bagi tegaknya keadilan. Bukankah keputusan hakim sangat tergantung pada kesaksian para saksi? Bukankah banyak kesaksian telah memalingkan hakim dari kebenaran? Bukankah banyak saksi yang telah mengubah kesaksiannya hanya karena ditekan, diancam, atau dibungkam dengan alat yang bermacam-macam.
Itulah sebabnya, dalam ayat keadilan (Qs. 5 : 8) Allah memulai seruanNya dengan menggunakan kata ”Hai orang-orang yang beriman”, artinya baik penyidik, penuntut, pengadil dan –terutama- saksi  dalam melakukan proses pengadilan, diperintahkan untuk menegakkan keadilan semata-mata karena perintah Allah, bukan karena yang lain. Bukan karena kebencian atau kecintaan kepada seseorang atau kaum tertentu, bukan juga  karena kekayaan dan kekuasaan atau kemiskinan dan kejelataan si terdakwa. Hal ini penting ditegaskan karena faktanya hal-hal diatas tak jarang membuat pelaku hukum berbuat nista, bersaksi dusta dan memutar balikkan fakta, karena dibungkam dengan uang, karena takut ancaman, atau karena iba dan kasihan. Sungguh, tendensi tertentu dalam usaha menegakkan keadilan dan kesaksian hanya akan membuat semakin rancu keadilan itu sendiri. Maka Allah swt mengecam orang-orang yang berbuat demikian, dan Dia maha mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak satu pun yang dapat bersembunyi dari penglihatanNya.
Dampak ketidak adilan
Tatanan masyarakat harmonis hanya dapat terwujud dengan baik manakala keadilan ditegakkan di berbagai sektor kehidupan, karena itu banyak sekali ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk berlaku adil dalam keadaan apapun dan terhadap siapapun. Berlaku adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional. Seseorang dapat disebut adil, manakala dirinya maju tak gentar membela yang benar bukan maju tak malu membela yang bayar, pemimpin yang adil  adalah pemimpin yang menata rakyatnya diatas landasan kesetaraan, pemerataan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu.
Penegakan supremasi hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa tebang pilih merupakan sesuatu yang strategis dan fundamental, sebab dengan tegaknya keadilan akan terwujud kehidupan yang damai dan bersih dari berbagai bentuk kecemburuan dan kesenjangan sosial, karena itu Allah swt sangat mencintai orang yang berlaku adil (Qs. 49 : 9).
Sebaliknya, dalam banyak fakta ditemukan bahwa ketidak adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial dalam memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Ketidak adilan merupakan faktor utama bagi timbulnya keributan kemanusiaan. Kasus-kasus kemanusiaan seperti : di Singkawang, Palangkaraya, Pontianak dan Sampit beberapa tahun lalu adalah contoh nyata dari pelampiasan emosional karena kecemburuan sosial ekonomi, Jika para pejabat terus menaikkan gaji dan tunjangannya ditengah megap-megapnya rakyat jelata yang tengah berjuang mempertahankan hidup, maka normal jika terjadi keresahan dan kerusuhan dimana-mana, hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari tindakan ketidak adilan. Itulah sebabnya jauh-jauh sebelumnya dalam  Qs. 5 : 8 Allah swt menyeru : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
Keadilan dalam perspektif Sufi
Dalam perspektif sufi, yang paling ditakuti justru keadilan Tuhan. Saya ingin mengupasnya melalui sebuah kisah, suatu ketika seorang santri  bertanya  kepada Gus (putra kiai) yang kebetulan baru pulang dari program doktor (PhD) di luar negeri,  konon Gus tersebut disana adalah seorang aktivis hukum dan HAM serta pejuang keadilan.
Menurut pandangan Gus, apa yang paling penting dilakukan untuk mengantarkan masyarakat negeri ini pada kesejahteraan ?, dengan mantap sang Gus menjawab : menegakkan supremasi hukum  dan  keadilan untuk semua pihak tanpa pandang bulu, hanya dengan keadilan negara ini akan di kasihi Tuhan.
Tetapi menurut Kiai sepuh (ayah anda) dalam pengajian tadi malam tidak begitu, potong si santri kebingungan.  Gimana dawuh Abi, tanya Gus penasaran ?
 Menurut  beliau justru  yang paling kita takutkan dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila Tuhan betul-betul menerapkan keadilanNya, rasanya sedikit sekali manusia yang bakal masuk sorga. Ada hadits yang menyatakan “ tidak akan  pernah masuk  sorga seseorang yang dalam hatinya ada  takabbur walau sebesar debu”, Realitasnya takabbur kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung, padahal sebesar debu saja dihararamkan masuk sorga. Ada pula hadits yang menyebutkan “ Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”. Bila sesuap saja akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa hari jika yang masuk ke perutnya  dua milyar suap ? Jika memperhatikan hadits-hadits itu, rasanya kita semua akan masuk neraka.
Jika Allah dengan keadilannya membalas kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua amal kita, maka celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita, tentu sangat tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya, seperti riya’ dan ujub.  Dalam hadits qudsi disebutkan jika seluruh hidup manusia digunakan seluruhnya untuk berbakti dan beramal kepada Allah niscaya itu belum sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah pada mahluknya. Dalam riwayat yang lain ditegaskan “Seorang masuk sorga bukan karena amalnya,tetapi karena kasih sayang (rahmat) Allah ta’ala. (Hr. Muslim)
Apalagi  prilaku sebagian kita yang sangat keterlaluan. Korupsi muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam hitungan hari di negeri ini. Belum kering airmata menangisi kasus Hambalang, muncul kasus simulator SIM, belum usai gonjang ganjing kasus cebongan dan eyang Subur, kasus impor daging sapi mengguncang PKS, belum tuntas kasus perbudakan di Tengerang dan Lampung, menyusul lagi kasus yang melibatkan Fathonah mengenai pencucian uang  dan gratifikasi seks yang melibatkan puluhan wanita-wanita cantik.  Kasus-kasus itu tidak hanya membuat spesies manusia yang terperanjat, alampun ikut tergoncang, mereka muntahkan banjir di berbagai tempat, gunung terusik dan meletus, kebakaran terjadi hampir tiap hari,....Ada apa ini ?, pertanda apa ini ?    Tidak hanya manusia yang bereaksi, alam, bumi dan air juga unjuk gigi, bahkan api dan udarapun turut mengamuk dengan aksi kebakaran dan semburan awan panas mematikan. Dan kabar terkini, beberapa gunung berapi di Indonesia juga mulai berancang-ancang untuk ambil bagian dalam mengingatkan ketersesatan kita.
 Keserakahan, keingkaran, dan kemaksiatan adalah penyebabnya. Karena maksiat, barokah tertahan, karena maksiat, bencana berdatangan. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an : Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan manusia, (lalu Allah peringatkan mereka),  supaya merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka, sehingga mereka menyadari dan  kembali  pada jalan yang benar. (Qs. 30 : 41)
Sulit dibantah bahwa telah sekian lama sebagian warga negara diberbagai lapisan berlomba menggarong kekayaan negara. Mencederai rakyat dengan korupsi, mengelapkan uang pajak serta memperjual belikan hukum & keadilan. Disisi lain, hutan-hutan digunduli, pasir-pasir di keruk tanpa batas, udara terus diracuni dengan polusi dan zat-zat kimia yang berbahaya, bumi di bor sampai kedalaman yang membahayakan, hewan-hewan ditangkapi demi tujuan bisnis. Akibatnya alam rusak parah, musim tidak lagi beraturan, ozon kian menipis, limbah polusi mulai menyerang udara, air dan bumi kita. Dari sini sebetulnya upaya mengundang bencana secara sengaja sedang dimulai.
Belum lagi dengan ilmu pengetahuan modern yang lebih cenderung pada pemenuhan hawa nafsu dibanding meredamnya, ketika sebagian orang terkena penyakit kelamin, solusi yang ditawarkan adalah kondom, bukan cara mencegahnya. Bila para orang tua risau oleh prilaku seks bebas anak-anaknya, jalan keluar yang ditawarkan adalah obat anti hamil, bukan cara mencegah atau menghindari seks bebas itu. Akhirnya apa ? kemaksiatan semakin merajalela, dan sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud,  Baginda Nabi saw bersabda : Bila semarak kemaksiatan maka akan muncul kegoncangan
Tetapi semoga saja Allah swt tidak sedang murka kepada kita, melainkan hanya mengingatkan kita agar kembali pada jalan yang benar. Sebab kalau Allah murka, barangkali tidak  sekedar sejumlah masalah dan kasus atau bencana alam yang ditimpakan kepada kita, mengingat persyaratan untuk kita dihancur leburkan selebur-leburnya sudah sempurna  kita miliki. Ukuran kemaksiatan, kedurhakaan dan kesalahan kita selama ini dari sudut aqidah, syariah dan ahlak, dari sudut individu dan sosial sungguh tidak lebih rendah dibanding kedurhakaan kaum Nabi Nuh as yang kemudian ditelan air bah raksasa. Sungguh penderitaan yang kita alami akibat perbuatan kita jauh belum sepadan dengan kebusukan hati, kebobrokan moral dan penghianatan yang kita lakukan selama ini baik secara individu maupun secara kolektif.
Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu.  #. 





Tidak ada komentar: