Istilah
pengembangan dalam konteks pendidikan Islam multikultural, setidaknya
memiliki dua makna, yakni pengembangan secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, bagaimana
menjadikan pendidikan Islam yang mengakomodasi semangat atau nilai-nilai
multikulturalisme dapat menjadi lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya
dalam konteks pendidikan secara umum, termasuk dalam kehidupan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Adapun secara kualitatif, bagaimana menjadikan
pendidikan Islam multikultural agar menjadi lebih baik, berkualitas dan lebih
maju sejalan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.
Secara kuantitatif, strategi yang
dapat dilakukan dalam upaya pengembangan pendidikan Islam multikultural, di
antaranya adalah:
1.
Memperbanyak referensi atau bahan bacaan
tentang pengembangan pendidikan Islam multikultural. Referensi atau bahan bacaan
perlu disusun dengan memperhatikan sasaran pembaca. Bahan bacaan
multikulturalisme yang ada saat ini lebih banyak ditujukan untuk kalangan
akademis dengan bahasa atau kalimat yang akademis pula. Bagi pembaca di tingkat
siswa atau masyarakat awam, bahan bacaan seperti ini tentu saja kurang bisa
dimengerti, sehingga dapat menghambat proses sosialisasi atau internalisasi.
2.
Memperbanyak kegiatan sosialisasi mengenai
konsep dan urgensi pendidikan Islam multikultural, baik secara lisan maupun
tertulis. Pelaksanaan sosialisasi hendaknya menjadi prioritas sebagaimana
sosialisasi program lain yang dianggap penting. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan pemasangan spanduk, brosur, poster, baliho atau yang sejenis dengan
menggunakan bahasa yang simpatik, tidak provokatif dan mudah dipahami oleh
semua kalangan. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan melaksanakan kegiatan
penyuluhan yang terprogram, seminar, dan sebagainya. Sasarannya bisa lebih
luas, tidak hanya dilingkungan pendidikan tetapi juga masyarakat secara umum.
3.
Membuat forum-forum atau kelompok-kelompok yang
konsern terhadap gerakan multikulturalisme, terutama di lembaga pendidikan
Islam. Sejauh ini memang sudah ada beberapa PTAI yang membentuk forum dengan
semangat multikulturalisme, seperti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN
Banjarmasin. Usaha ini perlu terus ditingkatkan dan
dilakukan oleh PTAI lainnya, termasuk di tingkat sekolah. Karena melalui forum,
kelompok atau pusat kajian yang demikian, akan dapat lebih memperluas dan
meningkatkan sosialisasi bahkan internalisasi semangat multikulturalisme dalam
dunia pendidikan Islam.
4.
Membangun kultur yang didasari semangat
multikulturalisme, baik melalui lembaga pendidikan Islam maupun forum-forum
pendidikan Islam di masyarakat. Secara institusional, hendaknya setiap lembaga
pendidikan Islam dapat membuat visi yang mengakomodir nilai-nilai
multikulturalisme secara jelas dan kemudian dari visi tersebut dapat dibangun
semacam corporate culture (budaya
organisasi) yang menjadikan visi tersebut sebagai arah kegiatan bagi seluruh
komponen yang terdapat dalam lembaga pendidikan. Adapun di masyarakat,
membangun kultur dengan semangat multikulturalisme dapat dilakukan dengan
memanfaatkan forum atau media pendidikan Islam yang ada di masyarakat itu
sendiri, seperti melalui kegiatan ceramah agama, khutbah jum’at, majelis
ta’lim, acara-acara kemasyarakatan dan sebagainya.
Adapun secara kualitatif strategi yang dapat
dilakukan, di antaranya adalah:
1. Membangun
landasan teori (epistemologi) pendidikan Islam multikultural yang lebih mapan.
Untuk saat ini, teori-teori tentang pendidikan multikultural masih banyak
didominasi oleh pemikir-pemikir Barat. Teori-teori yang telah ditawarkan
tersebut pada satu sisi memang banyak membantu terutama dalam hal konsep maupun
praktek. Namun di sisi lain, konsep pendidikan multikulturalisme Barat yang
berangkat dari filsafat post-modernisme, tidak semua aspek dapat dikonsumsi
sebagai referensi. Dengan kata lain, diperlukan sikap kritis dan usaha
penguatan konsep yang berangkat dari sumber-sumber Islam itu sendiri, yakni
melalui al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Mempertajam
nilai-nilai multikulturalisme dalam kurikulum, baik ditingkat sekolah atau
perguruan tinggi. Kurikulum di tingkat sekolah yang ada saat ini, belum
betul-betul mengakomodasi semangat multikulturalisme. Hal ini dapat dilihat
dari ketidak jelasan dalam bentuk apa multikulturalisme akan diajarkan. Untuk
itu diperlukan suatu perubahan pada wilayah kurikulum, yakni kurikulum yang
mengakomodasi multikuturalisme secara lebih jelas. Materi multikulturalisme
bisa saja diwujudkan dalam mata pelajaran tersendiri. Namun konsekuensinya,
harus dapat secara rinci diuraikan dalam sebuah buku materi ajar. Kalaupun
tidak melalui materi pelajaran tersendiri, paling tidak harus ditegaskan dalam
topik pembahasan dalam suatu mata pelajaran, terutama dalam mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI)
3. Meningkatkan
pemahan dan kemampuan para pendidik terhadap materi-materi multikulturalisme.
Karena harus diakui, di kalangan pendidik sendiri masih banyak yang belum
memahami betul tentang konsep-konsep multikulturalisme. Tidak sedikit di antara
para pendidik yang masih berpikiran sempit mengenai dinamika keragaman dan
perbedaan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan kepada kelompok
pendidik tersebut, baik melalui pelatihan, bahan bacaan serta ruang kreatifitas
untuk menulis tentang pendidikan multikultural, atau yang lainnya. Upaya ini
harus terprogram dan diusahakan bersifat keharusan bagi mereka. Selain dalam
proses pendidikan atau pengajaran, guru juga diharuskan untuk membuat
program-program yang dapat mengarahkan siswa memahami dengan baik persoalan
multikulturalisme. Mengadakan kunjungan ke tempat-tempat ibadah agama lain,
tempat-tempat bersejarah atau lainnya, yang hakikatnya terdapat nilai-nilai
multikuturalisme di dalamnya.
4. Pengembangan
budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai moral serta tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam perlu dilakukan. Secara konkret dapat
dilakukan dengan memberdayakan siswa untuk mengadakan penelitian walaupun
bersifat sederhana, field note,
paper, karya tulis dan sejenisnya yang kemudian harus dapat dipublikasikan.
Selain itu, bisa juga dengan ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
masyarakat atau acara-acara budaya lokal yang terdapat pada masyarakat
tertentu. Khusus untuk kalangan mahasiswa, program penelitian dan pengabdian
masyarakat yang sudah include dalam
kurikulum pendidikan, perlu dibekali nilai-nilai yang terkait dengan
multikulturalisme secara lebih jelas. Penelusuran tidak hanya terbatas pada
budaya yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, termasuk budaya
lokal yang masih belum jelas kedudukannya dalam Islam-pun, justru perlu dikaji
oleh mahasiswa.
5. Penguatan
dari sisi kebijakan dan pembiayaan (anggaran), yang dalam hal ini berhubungan
dengan pihak-pihak yang berwenang atau para pembuat kebijakan. Perlu alokasi
yang jelas untuk mengembangkan pendidikan Islam multikultural.
Pengembangan pendidikan Islam berbasis multikultural bisa
menggunakan pendekatan
estetik. Dengan pendekatan ini peserta didik memiliki
sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Dalam
pendekatan ini, pendidikan agama tidak didekati secara doktrinal yang cenderung
menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif
terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta dilihat sebagai bagian
dari dinamika hidup yang bernilai estetis. Sedangkan pendekatan berperspektif
gender adalah pendekatan yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis
kelamin.
Pendekatan
lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan berwawasan multikultural
adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang meletakkan hakikat
pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam masyarakat. Titik tolak
pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat, dan bukan kepada
kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan kebersamaan, kerjasama, dan
keragaman masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.
Kecuali
itu, pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat diterapkan
pada beberapa aspek, yakni: orientasi muatan (kurikulum), orientasi siswa,
serta orientasi reformasi unit pendidikan. Pada pengembangan yang berorientasi
pada muatan, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: pertama, pendekatan
kontributif, di mana tujuan utama pendekatan ini adalah memasukkan
materi-materi tentang keragaman kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan
kultur masyarakat). Kedua, pendekatan aditif, yaitu melakukan penambahan
muatan-muatan berupa konsep-konsep baru ke dalam kurikulum tanpa mengubah
struktur dasarnya.
Dengan
pendekatan ini, pendidikan Islam dapat memanfaatkan muatan-muatan khas multikultural
sebagai pemerkaya bahan ajar, konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama
antar umat beragama yang akan memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state
of mind” (pemikiran) para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi
agama-agama lain, serta tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi,
kerjasama, saling menghargai dan memahami. Hal senada juga diungkapkan Tilaar,
ia menyebutkan bahwa rancang bangun untuk melaksanakan pendidikan multikultural
adalah sedikitnya berdasarkan susunan piranti sebagai berikut: reformasi
kurikulum, pengajaran prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi
multikultural, dan pelaksanaan pendidikan kesetaraan.
Pada aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah
penanaman sikap non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat
dihindarkan secara maksimal. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun
kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang
paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk
ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain
yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman
agama dan budaya di masyarakat.
Tentu saja berbagai pengembangan tersebut harus bersifat
integratif, dan komprehensif. Artinya nilai-nilai multikultural harus
terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran seperti bahasa, ilmu pengetahuan
sosial, sains dan teknologi, pendidikan jasmani, kesenian atau pendidikan moral
sehingga mampu menghasilkan sebuah
perubahan. Sementara pada pengembangan pada aspek orientasi reformasi unit pendidikan,
diharapkan setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di
dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga
semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai
orang lain yang berbeda.