Sejak
“serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World
Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban
yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The
Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993),
guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan
makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
Hubungan Islam
dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan
konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses
modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional
Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad
ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik.
Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan
dominasi-subordinasi.
Pasang surut
hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam
kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan
itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa
dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai
pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam
rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni
global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan
budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya
itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap
Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu
terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat
semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi
kepentingan globalnya.
Tulisan ini
hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam,
lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia
Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya
terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni
Barat?
Kritik atas Tesis Huntington
Huntington
mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,”
katanya, “sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi,
tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik
dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan
dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara
bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan
peradaban akan mendominasi politik global.”
Secara lebih
luas, Huntington mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan
yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia
ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama,
perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama
berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras
dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga
interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah
mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal
yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang
kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan
“fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi
de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa
menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Kelima, kesadaran
peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik
atau ekonomi (Huntington, 2002:ix-x).
Dari
premis-premis itu, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di
atas secara otomatis akan menciptakan jurang perbedaan di antara
peradaban-peradaban, Huntington melakukan dua hal; pertama, memetakan
muara kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban, yaitu
: Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik/Ortodoks, Amerika Latin,
dan Afrika. Premis di atas berimplikasi pada semakin lebarnya perbedaan antar
peradaban yang akan semakin menyulitkan kompromi antar peradaban itu untuk
sampai pada saling pengertian. Maka, ujung-ujungnya akan terjadi benturan antar
peradaban. Namun pertanyaan kemudian, peradaban mana, vis a vis mana
yang nantinya akan saling berbenturan? Ia menjawab pertanyan ini pada langkah kedua,
meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa mendatang
bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antar Barat dan peradaban
lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar terjadi adalah antara Barat dan
koalisi Islam-Konfusius (ibid, x).
Sejak awal,
teori “benturan antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan
cibiran, daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang
fantastis, teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan
aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan.
Sisi lemah Tesis Huntington
Akbar S. Ahmed
(1992), salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang
tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi
dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik
ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I
sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara
diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada
polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait,
Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan
sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara
Islam dan Barat.
Kelemahan
lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban.
Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling
berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam,
Hindu, Slav/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington mencampuradukkan
berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius),
etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal
ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan
untuk menguji tesis itu.
Selain itu,
sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington
ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya
perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam
entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju
entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari
disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya
dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat
bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa
ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.
Benturan Kepentingan
Terhadap tesis
Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling
berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of
civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya
mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30)
yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut
Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok :
Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam
dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap
Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan
sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen
yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington,
Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara
kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu
menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara
tindakan-tindakan kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim
yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L.
Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang,
ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang
(Fawaz, 2000:30). Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri
Malaysia Datuk Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.
Tesis
Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat
untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini
ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca
perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Pada
sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat,
jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh
Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar
negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang
telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang
didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan
pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman
ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi
“kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme. Bukti otentik
adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam
aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara
Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak.
Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein
yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan
sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang
dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak,
akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di
muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan
globalnya.
Cendekiawan
terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad
Abed al-Jabiri (1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada
Muhammad V University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan
antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan
konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi
antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia
terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts
of interensts)
Kepentingan
global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh
negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak
cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus
Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim
pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada
pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang
diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat.
Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun
dikendalikan. Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di
negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela
nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak
asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai
universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.
Melawan Hegemoni
Apapun motif,
model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik
menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang –
termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat
imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan
dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan
terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the
first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi.
Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog
atau melawan hegemoni.
Dialog adalah
model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini
mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-)
berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain.
Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala
bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun
relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna
bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang
yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau
kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah
laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat
bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin
menguasai dunia. Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang
tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim)
adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan
hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai
pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu
adaptatif - umat Islam Islam - terhadap yang datang dari Barat hanya akan
semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara
sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan
menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk
dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil
society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry
Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk
melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi
terhadap manusia.
Sudah saatnya
kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana
global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini
diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi
sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya
terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa. Memang patut untuk
disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi
sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai
menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain
dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa
ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus
legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Khotimah
Terdapat
beberapa point penting terkait relasi Islam dan Barat yang membentuk struktur
dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama,
basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik
(kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia
non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka
mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga,
dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang
paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah
melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia
intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang. Ketiga,
Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan bersikap kritis terhadap Barat,
termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan
yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar