Senin, 03 Juni 2013

ISLAM DAN DAULAH ISLAMIYAH




” Kedaulatan tidak berada ditangan siapapun selain Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mena’ati siapapun kecuali Dia, inilah yang dimaksud dengan jalan yang lurus” (Qs. 12: 40).

Daulah Islamiyah atau Islamic state meski merupakan wacana klasik tetapi masih aktual dan markettable untuk didiskusikan, apalagi ketika bangsa ini tengah bertekad menjalankan demokratisasi dalam berbangsa dan bernegara. Perdebatan panjang sering terjadi ketika muncul pertanyaan : Bagaimana Islam seharusnya menempatkan diri dalam sistem sosial politik ?. Bagaimana hubungan Islam dengan negara? Apakah : An-nizham al-Islam merupakan gagasan yang viable untuk memecahkan masalah-masalah kaum muslimin dalam hal kenegaraan dan politik? Betulkah Islam memiliki konsep yang kongkrit tentang negara, ? Atau pertanyaan yang lebih ekstrim : Apakah dalam Islam ada anjuran untuk membentuk Daulah Islamiyah ?  Apakah untum membentuk tatanan masyarakat Islami, diperlukan sebuah “Negara Islam” (legal formal) sebagai sarananya ? lalu apa dasar pijak epistimologis dan idiologisnya ?, Bagaimana karakteristiknya? Negara mana yang betul- betul merupakan prototype dari apa yang disebut negara Islam? Serta bagaimana implikasinya terhadap inklusifitas Islam yang sejak awal memproklamirkan diri sebagai ramat bagi sekalian alam? Ataukah negara Islam hanyalah sebuah impian ideal kelompok tertentu yang tidak realistik menghadapi zamannya ?
            Kontroversi polemikal tentang pertanyaan-pertanyaan diatas dalam realitasnya tidak hanya bersifat bipolar, tetapi juga multipolar. Dan kalau disederhanakan, sesungguhnya hanya berputar-putar pada empat paradigma dasar. Pertama Islam dan negara tidak bersifat dikhotomik, ia menyatu dan tidak dapat dipisahkan (integrated). Domaian Islam juga domaian negara, kepala negara menjalankan kekuasaannya atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), paradigma ini dianut oleh kaum syi’ah dengan konsep imamah, ismah, bay’ah dan wilayah, termasuk ibnu Kholdun juga menerima paradigma ini. Kedua : Memandang hubungan Islam dan negara bersifat simbiotik (timbal balik dan saling memerlukan), Al- Ghazali dan Al-Mawardi cendrung mendekati konsep ini. Dan ketiga : Memandang hubungan Islam dan negara bersifat strukturalistik (Islam atau Agama terpisah sama sekali dengan politik, dan begitu juga sebaliknya). Pandangan ini menolak pendasaran negara pada Agama, atau setidaknya menolak deternimasi agama akan bentuk tertentu daripada negara. Menurut paradigma ini urusan agama adalah urusan manusia, individu yang paling asasi dan tidak perlu diatur atau diformalkan oleh negara. Sebab ketika negara mengatur agama, maka bearti ia telah mendistorsi kebebasan manusia yang paling asasi, dan bahkan bisa jadi agama menjadi alat unutk tujuan- tujuan politik negara yang non agamis Ali Abdur Roziq (dalam risalahnya “Al- Islam wa usul al hukum” jelas- jelas menunjukkan hal tersebut) dan paradigma keempat, Diwakili oleh kelompok yang menafsirkan bahwa dalam Islam terkandung doktrin (meski implisit) perlunya membentuk negara Islam, Abu A’la Al- Maududi adalah salah satu tokoh dalam kelompok ini.

Konsep Islam tentang Negara
Telah disadari bersama, bahwa Islam bukan sekedar kumpulan dogma dan ritual saja, ia merupakan jalan hidup paripurna penjelmaan tuntunan Ilahi untuk semua bidang kehidupan umat manusia baik yang bersifat individualistik maupun kolektif , baik dibidang politik, ekonomi, sosial, kultural, moral maupun hukum dan keadilan. Islam merupakan ideologi yang mencakup segalanya untuk kebaikan manusia tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, tidak berdasar  pihak-pihak yang mengklaim bahwa Islam tidak punya konsep yang jelas tentang politik dan Negara, yang benar adalah memang Islam tidak menerangkan secara rinci dan detail tentang konsep-konsep itu, hal itu karena Al- Qur’an lebih bersifat simbolik dari pada deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reintrepetasi simbol-simbol tersebut sesuai dengan dinamika perubahan situasi ruang dan waktu. Akan tetapi secara general Al-Qur’an dan Sunnah telah secara jelas memberikan seperangkat prinsip etis normatif yang relevan dengan cara mengatur negara dan mekanisme pemerintahannya, trem- trem politik dan prinsip dasar kehidupan bermasyarakat seperti : syura, adl (keadilan), egalitarianisme (musawah) tolong menolong dan sebagainya adalah prinsip dasar politik dalam bernegara dan bermasyarakat yang telah diprktekkan dalam tradisi politik Islam dimasa Rasululllah saw.

Perlukah Negara Islam?
Dalam hal ini pemikir muslim berihtilaf, satu pihak menegaskan perlu menegakkan negara Islam, sementara pihak yang lain menganggap hal itu bukan bagian dari dogma Islam. Argumentasi kelompok pertama menyebutkan bahwa kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Seperti berijtihad, berbuat adil, menolong mustad’afin dan menerapkan hudud, tidak bisa efektif dilakukan tanpa di back up kekuasaan dan pemerintahan  bahkan lebih tegas Ibn Tamiyah mengatakan “ Inna al shultan zhill Allah fi al ard (sesungguhnya shulton adalah bayangan Allah dimuka bumi).
Oleh karena itu, menurutnya menegakkan pemerintahan merupakan kewajiban agama yang paling mendasar. Hal tersebut dimaksudkan guna mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Allah berfirman “Barang siapa menegakkan dan memutuskan satu masalah tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka mereka ini termasuk kedalam golongan orang- orang kafir” (Qs. 5 : 44).  Dengan demikian maka menurut kelompok ini negara harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia, agar tujuan kemanusiaan dapat terwujud secara optimal (Qs. 57 : 25). Untuk membuktikan bahwa Islam menganjurkan perlunya dawlah islamiyah, kelompok ini mengangkat argumentasi : pertama, Islam menggunakan idiom kekhilafan dan bukan kedaulatan. Dan kedua, Bahwa kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin (Qs. 24 : 55).
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa Ibnu Taimiyah, Al-Maududi, Al-Mawardi, dsb adalah tokoh-tokoh Islam yang mengatakan dengan tegas bahwa “ Al-Islam ad dien ad daulah” (Islam adalah agama sekaligus negara), oleh karena itu bagi mereka hubungan agama dengan politik atau negara bersifat organik. Simbiotik dan fungsional bukan diametral atau paradoksial. Hal ini bertolak dari satu pemahaman teologis, bahwa sesuai dengan watak holastiknya, Islam telah menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Termasuk konsep negara dan sistem pemerintahan.
Lebih jauh ketika berbicara tentang pelunya negara Islam. Ibnu Tamiyah mengatakan pemerintahan (wilayah organisasi politik) bagi kehidupan kolektif umat Islam merupakan keperluan agama yang terpenting, yakni dalam rangka mewujudkan secara efektif terselenggaranya kewajiban- kewjiban agama, seperti : Amar ma’ruf nahi munkar. Menolong mustad’afin, menegakkan keadilan, persamaan dan hukum- hukum yang lain. Disini kita melihat bahwa penegakan negara bukanlah sebagai tujuan, tetapi lebih sekedar instrumen atau sarana untuk merealisasikan ajaran Islam sebebas dan seoptimal mungkin.
Namun demikian, harus diakui secara jujur bahwa kelompok ini sulit sekali menemukan rujukan konsepsional yang konkrit sebagai landasan teologis atau epistimologis baik dalam Al- Qur’an, hadits maupun historis Islam, kecuali yang interpretabel, sebab term “ dawlah” memang tidak pernah ditemukan dalam Al- Qur’an. Meskipun terdapat bebagai istilah dalam Al- Qur’an yang seolah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, Akan tetapi sifatnya hanya insidentil. Namun begitu tidak bisa kita katakan bahwa Islam tidak punya konsep tentang negara dan masyarakatan, sebab banyak sekali doktrin Islam baik Al- Qur’an Hadist maupun sejarah yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia, seperti : syura, keadilan, persamaan, persaudaraan, kebebasan dan demokratisasi.
Sementara kelompok kedua berargumentasi bahwa kalau memang Nabi menghendaki berdirinya sebuah “Negara Islam” mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan “Bermusyawarahlah kalian dalam persoalan ini” Masalah seurgen ini bukannya dilembagakan secara konkrit, melainkan cukup dengan satu diktum saja “masalah mereka harus dimusyawarahkan antara mereka sendiri”. Mana ada bentuk Negara seperti itu.
            Oleh karena itu bagi kelompok ini, mendirikan sebuah negara Islam (dalam pengertian legalitistik dan formalistik) sesungguhya tidak begitu ugen, yang terpenting bagi mereka adalah negara (apapun) dapat menjamin tumbuhnya demokratisasi, keadilan, persamaan, dan kebebasan bagi masyarakat, karena dengan demokrasi otomatis akan menempatkan kelompok masyarakat politik seara proporsional dan (yang terpenting) di peroleh dengan melalui mekanisme yang rasional, sehat, dan legitmate.
Dengan kata lain demokrasi dengan sendirinya akan mencerminkan representativeness go vernment, dan ini memberi keuntungan kepada keompok mayoritas. Berbeda dengan Ali Abdul Rozak, yang menolak anggapan bahwa Al-Islam Ad-dien Ad-Dawlah. Menurutnya Dien adalah sesuatu yang immutble sedangkan Dawlah adalah sesuatu yang mutable sesuai dengan dinamika ruang dan waktu. Baginya watak holistik Islam tidak serta merta mengharuskan pencampuran antara yang sakral dan profan. Meski Islam menolak dikotomisasi antara kedua domain ini, tapi keduanya harus dibedakan, penempatan yang tidak proporsional akan hal ini membuat rancu struktur hirarki nilai-nilai Islam.
Karena itu bagi Abdul Rozak tidak ada perintah dalam islam untuk menegakkan negara Islam, tidak ada landasan yang refresentatif bagi hal itu, bahkan sebutan negara Islam (yang fomalistik ) tidak pernah digunakan., baik oleh Nabi maupun penggantinya selama berabad-abad. Sebab Nabi tidak bermaksud mendirikan negara theokratik, yang diajarkan Nabi adalah konsensus kemasyakatan yang bersifat global, seperti keadilan dan kebebasan. Yakni kebebasan yang dilakukan didalam dan untuk semua masyarakat. Artinya masyarakat di bebaskan oleh masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tetapi merupakan implikasi logis dari kebebasan untuk semua.
Dengan demikian yang terpenting adalah subtansinya bukan formalitasnya. Apa gunanya sebuah negara Islam yang formalistik kalau masyarakatnya tidak Islami, dan biasanya yang legalistik formalistik berkecendrugan ekslusif, sehingga memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang heterogen, disamping saja berpeluang melahirkan otoritarian dan hegimonik baru. Lalu dimana letak persesuaiannya dengan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin ? Karena Al- Qur’an dan Hadits tidak memuat secara eksplisit perintah mendirikan Negara, melainkan hanya konsep-konsep ad hoc yang berkaitan dengan  prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat, maka wajar jika umat Islam kebingungan mencari model kongkrit tentang Negara Islam, apalagi tidak pernah ada konsensus mengenai apa yang disebut Negara Islam.
Alasan lain yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah bahwa sesungguhnya baik Al- Qur’an maupun Hadits Nabi tidak pernah ada penyebutan khilafah, ide tentang khalifah sebenarnya dibuat oleh kitab- kitab fiqih yang disusun oleh fuqoha’ beberapa abad setelah wafatnya Rasul Saw. Oleh karena itu, “Islamic state” atau daulah Islamiyah bukan merupakan ajran yang orisinil Islam. Jadi tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Dan tentu saja untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, berlaku adil dan sebagainya tidak harus di back up oleh negara, atau harus mendirikan negara Islam. Bahkan sejarah telah mencatat As-Shulton cendrung pada kedholiman. Ini sejumlah persoalan utama dalam kontek Islam dan negara, karena itu sebelum persoalan-persoalan tersebut tertuntaskan, maka keinginan terbentuk negara Islam hanyalah sebuah imajenasi utopistik, paling banter sampai pada tingkat retorik belaka atau idialistik teoritik saja.

Catatan Penutup
Tentu saja upaya mendirikan daulah Islamiyah adalah didasari oleh kehendak yang baik, Tetapi yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan kehendak yang baik itu, malainkan apakah kehendak itu harus diwujudkan secara eksklusif atau inklusif. Maka sekali lagi perlu ditegaskan bahwa untuk melahirkan masyarakat Islami tidak harus dengan mendirikan negara Islam, melainkan yang lebih penting adalah memperkokoh kekuatan masyarakat (empowering society), mencerahkan melalui proses pemberdayaan yang sistematis, metodologis dan sungguh- sungguh. Piagam madinah mengajarkan prinsip- prinsip seperti ini secara rinci dan mendetail. #

Tidak ada komentar: