” Kedaulatan tidak berada ditangan siapapun selain Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak mena’ati siapapun kecuali Dia, inilah yang
dimaksud dengan jalan yang lurus” (Qs. 12: 40).
Daulah
Islamiyah atau Islamic state meski merupakan wacana klasik tetapi masih
aktual dan markettable untuk didiskusikan, apalagi ketika bangsa ini tengah bertekad
menjalankan demokratisasi dalam berbangsa dan bernegara. Perdebatan panjang
sering terjadi ketika muncul pertanyaan : Bagaimana Islam seharusnya menempatkan diri dalam sistem sosial politik ?. Bagaimana hubungan Islam dengan negara?
Apakah : An-nizham al-Islam merupakan gagasan yang viable untuk
memecahkan masalah-masalah kaum muslimin dalam hal kenegaraan dan politik?
Betulkah Islam memiliki konsep yang kongkrit tentang negara, ? Atau pertanyaan
yang lebih ekstrim : Apakah dalam Islam ada anjuran untuk membentuk Daulah
Islamiyah ? Apakah untum membentuk tatanan masyarakat
Islami, diperlukan sebuah “Negara Islam” (legal formal) sebagai sarananya ?
lalu apa dasar pijak epistimologis dan idiologisnya ?, Bagaimana
karakteristiknya? Negara mana yang betul- betul merupakan prototype dari
apa yang disebut negara Islam? Serta bagaimana implikasinya terhadap
inklusifitas Islam yang sejak awal memproklamirkan diri sebagai ramat bagi
sekalian alam? Ataukah negara Islam hanyalah sebuah impian ideal kelompok
tertentu yang tidak realistik menghadapi zamannya ?
Kontroversi polemikal tentang pertanyaan-pertanyaan
diatas dalam realitasnya tidak hanya bersifat bipolar, tetapi juga multipolar.
Dan kalau disederhanakan, sesungguhnya hanya berputar-putar pada empat
paradigma dasar. Pertama Islam dan negara tidak bersifat dikhotomik,
ia menyatu dan tidak dapat dipisahkan (integrated). Domaian Islam juga domaian negara, kepala negara
menjalankan kekuasaannya atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty),
paradigma ini dianut oleh kaum syi’ah dengan konsep imamah, ismah, bay’ah dan
wilayah, termasuk ibnu Kholdun juga menerima paradigma ini. Kedua : Memandang hubungan Islam dan negara
bersifat simbiotik (timbal balik dan saling memerlukan), Al- Ghazali dan Al-Mawardi
cendrung mendekati konsep ini. Dan ketiga : Memandang hubungan Islam dan negara bersifat strukturalistik (Islam
atau Agama terpisah sama sekali dengan politik, dan begitu juga sebaliknya).
Pandangan ini menolak pendasaran negara pada Agama, atau setidaknya menolak
deternimasi agama akan bentuk tertentu daripada negara. Menurut paradigma ini
urusan agama adalah urusan manusia, individu yang paling asasi dan tidak perlu
diatur atau diformalkan oleh negara. Sebab ketika negara mengatur agama, maka
bearti ia telah mendistorsi kebebasan manusia yang paling asasi, dan bahkan
bisa jadi agama menjadi alat unutk tujuan- tujuan politik negara yang non
agamis Ali Abdur Roziq (dalam risalahnya “Al- Islam wa usul al hukum” jelas-
jelas menunjukkan hal tersebut) dan paradigma keempat, Diwakili oleh kelompok yang menafsirkan
bahwa dalam Islam terkandung doktrin (meski implisit) perlunya membentuk negara
Islam, Abu A’la Al- Maududi adalah salah satu tokoh dalam kelompok ini.
Konsep Islam tentang
Negara
Telah
disadari bersama, bahwa Islam bukan sekedar kumpulan dogma dan
ritual saja, ia merupakan jalan
hidup paripurna penjelmaan tuntunan Ilahi untuk semua bidang kehidupan umat
manusia baik yang bersifat individualistik maupun kolektif , baik
dibidang politik, ekonomi, sosial, kultural, moral maupun hukum dan keadilan.
Islam merupakan ideologi yang mencakup segalanya untuk kebaikan manusia tidak
saja di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, tidak berdasar pihak-pihak yang mengklaim bahwa Islam tidak
punya konsep yang jelas tentang politik dan Negara, yang benar adalah memang
Islam tidak menerangkan secara rinci dan detail tentang konsep-konsep itu, hal
itu karena Al- Qur’an lebih bersifat simbolik dari pada deskriptif dan karena
itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reintrepetasi
simbol-simbol tersebut sesuai dengan dinamika perubahan situasi ruang dan
waktu. Akan tetapi secara general Al-Qur’an dan Sunnah telah secara jelas
memberikan seperangkat prinsip etis normatif yang relevan dengan cara mengatur
negara dan mekanisme pemerintahannya, trem- trem politik dan prinsip dasar kehidupan bermasyarakat seperti :
syura, adl (keadilan),
egalitarianisme (musawah) tolong
menolong dan sebagainya adalah prinsip dasar politik dalam bernegara dan
bermasyarakat yang telah diprktekkan dalam tradisi politik Islam dimasa
Rasululllah saw.
Perlukah Negara Islam?
Dalam hal
ini pemikir muslim berihtilaf, satu pihak menegaskan perlu menegakkan negara
Islam, sementara pihak yang lain menganggap hal itu bukan bagian dari dogma
Islam. Argumentasi kelompok pertama menyebutkan bahwa kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Seperti berijtihad, berbuat
adil, menolong mustad’afin dan menerapkan hudud, tidak bisa efektif dilakukan tanpa di back up kekuasaan dan
pemerintahan bahkan lebih tegas Ibn
Tamiyah mengatakan “ Inna al shultan zhill Allah fi al ard (sesungguhnya shulton adalah bayangan Allah
dimuka bumi).
Oleh karena
itu, menurutnya menegakkan pemerintahan merupakan kewajiban agama yang paling
mendasar. Hal tersebut dimaksudkan guna mewujudkan terselenggaranya
kewajiban-kewajiban keagamaan. Allah berfirman “Barang siapa menegakkan dan
memutuskan satu masalah tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka
mereka ini termasuk kedalam golongan orang- orang kafir” (Qs. 5 : 44). Dengan demikian maka menurut kelompok ini
negara harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan oleh Allah
kepada manusia, agar tujuan kemanusiaan dapat terwujud secara optimal (Qs. 57 :
25). Untuk membuktikan bahwa Islam menganjurkan perlunya dawlah islamiyah,
kelompok ini mengangkat argumentasi : pertama, Islam menggunakan idiom
kekhilafan dan bukan kedaulatan. Dan kedua, Bahwa kekuasaan untuk memerintah
bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin (Qs. 24 : 55).
Sebagaimana
disinggung sebelumnya bahwa Ibnu Taimiyah, Al-Maududi, Al-Mawardi, dsb adalah
tokoh-tokoh Islam yang mengatakan dengan tegas bahwa “ Al-Islam
ad dien ad daulah” (Islam adalah agama sekaligus negara), oleh karena itu bagi mereka
hubungan agama dengan politik atau negara bersifat organik. Simbiotik dan
fungsional bukan diametral atau paradoksial. Hal ini bertolak dari satu
pemahaman teologis, bahwa sesuai dengan watak holastiknya, Islam telah
menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Termasuk konsep
negara dan sistem pemerintahan.
Lebih jauh
ketika berbicara tentang pelunya negara Islam. Ibnu Tamiyah mengatakan
pemerintahan (wilayah organisasi politik) bagi kehidupan kolektif umat Islam
merupakan keperluan agama yang terpenting, yakni dalam rangka mewujudkan secara
efektif terselenggaranya kewajiban- kewjiban agama, seperti : Amar ma’ruf nahi
munkar. Menolong mustad’afin, menegakkan keadilan, persamaan dan hukum- hukum
yang lain. Disini kita melihat bahwa penegakan negara bukanlah sebagai tujuan,
tetapi lebih sekedar instrumen atau sarana untuk merealisasikan ajaran Islam
sebebas dan seoptimal mungkin.
Namun
demikian, harus diakui secara jujur bahwa kelompok ini sulit sekali menemukan
rujukan konsepsional yang konkrit sebagai landasan teologis atau epistimologis
baik dalam Al- Qur’an, hadits maupun historis Islam, kecuali yang
interpretabel, sebab term “ dawlah” memang tidak pernah ditemukan dalam Al-
Qur’an. Meskipun terdapat bebagai istilah dalam Al- Qur’an yang seolah merujuk
kepada kekuasaan politik dan otoritas, Akan tetapi sifatnya hanya insidentil.
Namun begitu tidak bisa kita katakan bahwa Islam tidak punya konsep tentang
negara dan masyarakatan, sebab banyak sekali doktrin Islam baik Al- Qur’an
Hadist maupun sejarah yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat
manusia, seperti : syura, keadilan, persamaan, persaudaraan, kebebasan dan
demokratisasi.
Sementara
kelompok kedua berargumentasi bahwa kalau memang Nabi menghendaki berdirinya
sebuah “Negara Islam” mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan
kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan
“Bermusyawarahlah kalian dalam persoalan ini” Masalah seurgen
ini bukannya dilembagakan secara konkrit, melainkan cukup dengan satu diktum
saja “masalah mereka harus dimusyawarahkan antara mereka sendiri”. Mana ada
bentuk Negara seperti itu.
Oleh karena itu bagi kelompok ini, mendirikan sebuah
negara Islam (dalam pengertian legalitistik dan formalistik) sesungguhya tidak
begitu ugen, yang terpenting bagi mereka adalah negara (apapun) dapat menjamin
tumbuhnya demokratisasi, keadilan, persamaan, dan kebebasan bagi masyarakat,
karena dengan demokrasi otomatis akan menempatkan kelompok masyarakat politik
seara proporsional dan (yang terpenting) di peroleh dengan melalui mekanisme
yang rasional, sehat, dan legitmate.
Dengan kata
lain demokrasi dengan sendirinya akan mencerminkan representativeness go
vernment, dan ini memberi keuntungan kepada keompok mayoritas. Berbeda
dengan Ali Abdul Rozak, yang menolak anggapan bahwa Al-Islam Ad-dien Ad-Dawlah.
Menurutnya Dien
adalah sesuatu yang immutble sedangkan Dawlah adalah sesuatu yang mutable
sesuai dengan dinamika ruang dan waktu. Baginya watak holistik Islam tidak
serta merta mengharuskan pencampuran antara yang sakral dan profan. Meski Islam
menolak dikotomisasi antara kedua domain ini, tapi keduanya harus dibedakan,
penempatan yang tidak proporsional akan hal ini membuat rancu struktur hirarki
nilai-nilai Islam.
Karena itu
bagi Abdul Rozak tidak ada perintah dalam islam untuk menegakkan negara Islam,
tidak ada landasan yang refresentatif bagi hal itu, bahkan sebutan negara Islam
(yang fomalistik ) tidak pernah digunakan., baik oleh Nabi maupun penggantinya
selama berabad-abad. Sebab Nabi tidak bermaksud mendirikan negara theokratik,
yang diajarkan Nabi adalah konsensus kemasyakatan yang bersifat global, seperti
keadilan dan kebebasan. Yakni kebebasan yang dilakukan didalam dan untuk semua
masyarakat. Artinya masyarakat di bebaskan oleh masyarakat yang membebaskan.
Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tetapi merupakan
implikasi logis dari kebebasan untuk semua.
Dengan
demikian yang terpenting adalah subtansinya bukan formalitasnya. Apa gunanya
sebuah negara Islam yang formalistik kalau masyarakatnya tidak Islami, dan
biasanya yang legalistik formalistik berkecendrugan ekslusif, sehingga
memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang heterogen,
disamping saja berpeluang melahirkan otoritarian dan hegimonik baru. Lalu
dimana letak persesuaiannya dengan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin ? Karena Al- Qur’an
dan Hadits tidak memuat secara eksplisit perintah mendirikan Negara, melainkan
hanya konsep-konsep ad hoc yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat, maka
wajar jika umat Islam kebingungan mencari model kongkrit tentang Negara Islam,
apalagi tidak pernah ada konsensus mengenai apa yang disebut Negara Islam.
Alasan lain
yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah bahwa sesungguhnya baik Al- Qur’an
maupun Hadits Nabi tidak pernah ada penyebutan khilafah, ide tentang khalifah
sebenarnya dibuat oleh kitab- kitab fiqih yang disusun oleh fuqoha’ beberapa
abad setelah wafatnya Rasul Saw. Oleh karena itu, “Islamic state” atau daulah
Islamiyah bukan merupakan ajran yang orisinil Islam. Jadi tidak ada perintah
dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Dan tentu saja untuk menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar, berlaku adil dan sebagainya tidak harus di back up oleh
negara, atau harus mendirikan negara Islam. Bahkan sejarah telah mencatat
As-Shulton cendrung pada kedholiman. Ini sejumlah persoalan utama dalam kontek
Islam dan negara, karena itu sebelum persoalan-persoalan tersebut tertuntaskan,
maka keinginan terbentuk negara Islam hanyalah sebuah imajenasi utopistik,
paling banter sampai pada tingkat retorik belaka atau idialistik teoritik saja.
Catatan Penutup
Tentu saja upaya
mendirikan daulah Islamiyah adalah didasari oleh kehendak yang baik, Tetapi
yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan kehendak yang baik itu, malainkan
apakah kehendak itu harus diwujudkan secara eksklusif atau inklusif. Maka
sekali lagi perlu ditegaskan bahwa untuk melahirkan masyarakat Islami tidak
harus dengan mendirikan negara Islam, melainkan yang lebih penting adalah
memperkokoh kekuatan masyarakat (empowering society), mencerahkan melalui
proses pemberdayaan yang sistematis, metodologis dan sungguh- sungguh. Piagam
madinah mengajarkan prinsip- prinsip seperti ini secara rinci dan mendetail. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar