Senin, 03 Juni 2013

KRISIS SIFAT MALU




Malu adalah sebagian daripada iman (HR. Muttafaqun Alaihi) Jika kamu sudah tidak punya rasa malu, berbuatlah sekehendak hatimu (HR. Tirmidzi)


Moqoddimah
Ketika kita menyaksikan perilaku kehidupan lawakan sosial, hukum dan politik dinegeri ini, misalnya: ditengah krisis ekonomi yang kian mencekik mayoritas wong cilik, ada sebagian diantara kita yang tanpa rasa malu menghamburkan dana ratusan juta rupiah hanya untuk merayakan perta ulang tahun di Bali, dan pesta pernikahan di Arab Saudi. Disaat masyarakat bawah sulit mencari sesuap nasi, ada sebagian pimpinannya yang tanpa merasa sungka/berdosa memborong mobil mewah, membangun rumah bertahtakan pualam atau ada juga pelesiran keluar kota bersama keluarga (atas nama dinas) dengan dana yang tidak sedikit. Maka pertanyaanya “apakah kita masih punya rasa malu? Patut dikedepankan.
Pertanyaan sederhana ini kian mendesak untuk dijawab, tatkala semakin tak terhitung para pembesar yang melakukan tindak kemungkaran berupa korupsi, mencoleng uang rakyat, gratifikasi seks, mafia pajak, penjahat kelamin, yang dengan santai cengengesan di depan kamera, seakan tiada malu sedikitpun.  Sekali lagi masihkah kita punya rasa malu terhadap dirinya, orang lain dan lebih-lebih terhadap Tuhannya.
Malu adalah salah satu instrumen amat penting bagi manusia. Ia adalah alat penjagaan setiap manusia untuk memelihara kemanusiaannya. Bila binatang dapat melakukan apa saja dalam situasi apa saja, tanpa memikirkan sapa saja, maka manusia yang normal harus memikirkan dan memperhitungkan situasi untuk melakukan sebuah aktifitas. Tanpa rasa malu, seseorang adalah bentuk lain dari binatang, yang dalam bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka. Jika semakin banyak orang yang tidak punya rsa malu (karena mungkin dianggap biasa melakukan sesuatu yang memalukan) sehingga malu-maluin, maka perlahan-lahan komunitas itu akan berubah menjadi masyarakat binatang.
Dalam sebuat hadits Rasulullah bersabda: “istahyu minalloh haqqal haya’i". (hendaklah kamu sekaliah malu kepada Allah dengan sebenar- benarnya malu). Istahyu berasal dari kata  istahya yang berarti “hendaklah kamu malu”., misalnya ada kalimat innallaha layastahyi an yadriba matsalan…. (sesungguhnya Allah tidak malu menciptakan perumpamaan….) ketika bercerita tentang fir’aun, Allah berfirman: “yudzabbihuuna abna’ahum wayastahyuuna nisa’ahum” (menyembelih anak laki-laki mereka dan menghidupkan atau mempermalukan anak perempuan mereka).

Korelasi antara  haya’ (malu)  dan  hayat (hidup)
Yang menarik ditelusuri adalah korelasi antara malu (haya’) dan hidup (hayat), Seperti dimaklumi dalam term bahas Arab, selalu ada munasabah antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya’ (malu) sama dengan kata hayat (hidup) ?. Setelah dilacak ternyata hidupnya kemanusiaan itu tergantung pada rasa malunya (jangan baca kemaluannya), artinya ketika rasa malu itu sudah hilang dari seseorang, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah kehilangan kamanusiannya, akhirnya dia hidup seperti binatang.
Dengan kata lain kehidupan manusia ditandai dengan rasa malunya, bila rasa malu tidak ada, sebetulnya ia tidak lagi dihitung hidup sebagai manusia, karena itu Rasulullah bersabda: jika engkau sudah tidak punya malu, berbuatlah apa saja sekehendak hatimu (hadits). Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apa saja tanpa pertimbangan apapun sebagaimana binatang. Kalau sudah demikian ia tidak dihitung sebagai hidup atau juga tidak dihitung sebagai manusia. Itulah sebabnya kata hanya’ (malu) dan hayat (hidup) berasal dari satu simantik yang mempunyai korelasi sangat erat.

Malu yang sebaranya
Lalu apa yang dimaksud degan sebenar-benarnya malu? Menurut Rasulullah sebenar-benar malu kepada Allah adalah: (1) Bila engkau menjaga kepalamu dan apa yang disimpannya. (2) Bila engkau menjaga perut dengan segala isinya, dan  (3) Bila engkau mengingat mati dengan siksanya.
Menyimpan, dalam bahasa Arab disebut wara’. Jadi menjaga kepala dan apa yang disimpannya, bermakna menjaga peta kognisi dari pengetahuan dan informasi yang tidak layak, menjaga dari berfikir nigatif, mencuci otak dari berfikir terpola, sebab sikap dan pandangan seseorang akan ditentukan oleh perbendaharaan yang ada dikepalanya.
Karena itulah, sebenar-benar malu kepada Allah adalah apabila eksistensi dan domain otak (struktur fikir), dan peta kognisi seseorang sudah tercerahkan. Kedua, engkau jaga perut kamu dan apa yang dikandungnya, maksudnya janganlah anda menjadikan perut anda sebagai gudang dari hak-hak orang lain. Sebab setiap sesuap barang haram yang anda konsumsi, maka empat puluh hari do’a anda tidak akan ditermia, jika berpuluh-puluh tahun anda terbiasa mengkonsumsi barang haram, jika berhektar-hektar tanah rakyat engkau rampas, jika air mata engkau kumpulkan dalam perut anda, lalu berapa lama (sampai kapan) dosa anda akan terkabul?
Ketiga, ingatlah engkau akan kematian. Orang yang selalu ingat mati, akan temotivasi untuk hidup wara’, sebab dia tahu bahwa segala sesuatu yang ia lakukan pasti akan mendapat balasan yang setimpal pula. Hal tersebut dapat mengendalikan manusia agar tidak serakah dan menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuannya. Ia akan berlomba mengumpulkan amal shaleh sebagai bekal dalam kehidupan yang sebenarnya diakhirat kelak.
Terakhir, simaklah sebuah sajak “Hari Rusli” Aku malu menjadi diriku, Aku malu mempunyai pemimpin seperti mereka, Aku malu menjadi rakyat Indonesia, Jadilah engkau figur yang dapat kami banggakan,bukan figur yang selalu berbuat memalukan. #

Tidak ada komentar: