Malu adalah
sebagian daripada iman (HR. Muttafaqun Alaihi) Jika kamu sudah tidak punya rasa
malu, berbuatlah sekehendak hatimu (HR. Tirmidzi)
Moqoddimah
Ketika kita menyaksikan perilaku
kehidupan lawakan sosial, hukum dan politik dinegeri ini, misalnya: ditengah
krisis ekonomi yang kian mencekik mayoritas wong cilik, ada sebagian diantara
kita yang tanpa rasa malu menghamburkan dana ratusan juta rupiah hanya untuk
merayakan perta ulang tahun di Bali, dan pesta pernikahan di Arab Saudi. Disaat
masyarakat bawah sulit mencari sesuap nasi, ada sebagian pimpinannya yang tanpa
merasa sungka/berdosa memborong mobil mewah, membangun rumah bertahtakan pualam
atau ada juga pelesiran keluar kota bersama keluarga (atas nama dinas) dengan
dana yang tidak sedikit. Maka pertanyaanya “apakah kita
masih punya rasa malu? Patut dikedepankan.
Pertanyaan sederhana ini kian mendesak untuk dijawab, tatkala semakin tak terhitung para pembesar yang melakukan
tindak kemungkaran berupa korupsi, mencoleng uang rakyat, gratifikasi seks,
mafia pajak, penjahat kelamin, yang dengan santai cengengesan di depan kamera,
seakan tiada malu sedikitpun. Sekali lagi masihkah kita punya rasa malu terhadap dirinya, orang lain dan lebih-lebih terhadap Tuhannya.
Malu adalah salah satu instrumen amat penting bagi manusia. Ia adalah
alat penjagaan setiap manusia untuk memelihara kemanusiaannya. Bila binatang
dapat melakukan apa saja dalam situasi apa saja, tanpa memikirkan sapa saja,
maka manusia yang normal harus memikirkan dan memperhitungkan situasi untuk
melakukan sebuah aktifitas. Tanpa rasa malu, seseorang adalah bentuk lain dari
binatang, yang dalam bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka. Jika semakin
banyak orang yang tidak punya rsa malu (karena mungkin dianggap biasa melakukan
sesuatu yang memalukan) sehingga
malu-maluin, maka perlahan-lahan komunitas itu akan
berubah menjadi masyarakat binatang.
Dalam sebuat hadits Rasulullah bersabda: “istahyu minalloh haqqal haya’i".
(hendaklah kamu sekaliah malu kepada Allah dengan sebenar- benarnya malu). Istahyu
berasal dari kata istahya yang
berarti “hendaklah kamu malu”., misalnya ada kalimat innallaha
layastahyi an yadriba matsalan…. (sesungguhnya Allah tidak malu menciptakan
perumpamaan….) ketika bercerita tentang fir’aun, Allah berfirman: “yudzabbihuuna
abna’ahum wayastahyuuna nisa’ahum” (menyembelih anak laki-laki mereka dan
menghidupkan atau mempermalukan anak perempuan mereka).
Korelasi antara
haya’ (malu) dan hayat (hidup)
Yang menarik
ditelusuri
adalah korelasi antara malu (haya’) dan hidup (hayat), Seperti dimaklumi dalam
term bahas Arab, selalu ada munasabah antara satu kata dengan kata yang lain.
Mengapa kata haya’ (malu) sama dengan kata hayat (hidup) ?. Setelah dilacak ternyata hidupnya
kemanusiaan itu tergantung pada rasa malunya (jangan baca kemaluannya), artinya ketika rasa malu
itu sudah hilang dari seseorang, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah kehilangan kamanusiannya, akhirnya dia hidup seperti binatang.
Dengan kata lain kehidupan manusia
ditandai dengan rasa malunya, bila rasa malu tidak ada, sebetulnya ia tidak
lagi dihitung hidup sebagai manusia, karena itu Rasulullah bersabda: jika
engkau sudah tidak punya malu, berbuatlah apa saja sekehendak hatimu (hadits). Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan
melakukan apa saja tanpa pertimbangan apapun sebagaimana binatang. Kalau sudah
demikian ia tidak dihitung sebagai hidup atau juga tidak dihitung sebagai
manusia. Itulah sebabnya kata hanya’ (malu) dan hayat (hidup)
berasal dari satu simantik yang mempunyai korelasi sangat erat.
Malu yang sebaranya
Lalu apa yang
dimaksud degan sebenar-benarnya malu? Menurut Rasulullah sebenar-benar malu kepada Allah
adalah: (1) Bila
engkau menjaga kepalamu dan apa yang disimpannya. (2) Bila engkau menjaga perut dengan segala
isinya, dan (3) Bila engkau
mengingat mati dengan siksanya.
Menyimpan,
dalam bahasa Arab disebut wara’. Jadi menjaga kepala dan apa yang
disimpannya, bermakna menjaga peta kognisi dari pengetahuan dan informasi yang
tidak layak, menjaga dari berfikir nigatif, mencuci otak dari berfikir terpola, sebab sikap dan pandangan
seseorang akan ditentukan oleh perbendaharaan yang ada dikepalanya.
Karena itulah,
sebenar-benar
malu kepada Allah adalah apabila eksistensi dan domain otak (struktur fikir),
dan peta kognisi seseorang sudah tercerahkan. Kedua,
engkau jaga perut kamu dan apa yang dikandungnya, maksudnya janganlah anda
menjadikan perut anda sebagai gudang dari hak-hak orang lain. Sebab setiap
sesuap barang haram yang anda konsumsi, maka empat puluh hari do’a anda tidak
akan ditermia, jika berpuluh-puluh tahun anda terbiasa mengkonsumsi barang
haram, jika berhektar-hektar tanah rakyat engkau rampas, jika air mata engkau
kumpulkan dalam perut anda, lalu berapa lama (sampai kapan) dosa anda akan
terkabul?
Ketiga, ingatlah engkau akan kematian. Orang yang selalu
ingat mati, akan temotivasi untuk hidup wara’, sebab dia tahu bahwa segala sesuatu yang ia
lakukan pasti akan mendapat balasan yang setimpal pula. Hal tersebut dapat
mengendalikan manusia agar tidak serakah dan menghalalkan segala macam cara
dalam mencapai tujuannya. Ia akan berlomba mengumpulkan amal shaleh sebagai
bekal dalam kehidupan yang sebenarnya diakhirat kelak.
Terakhir, simaklah sebuah sajak “Hari
Rusli” Aku malu menjadi diriku, Aku malu mempunyai pemimpin seperti mereka, Aku
malu menjadi rakyat Indonesia, Jadilah engkau figur yang dapat kami banggakan,bukan
figur yang selalu berbuat memalukan. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar