Dalam kamus tasawwuf
ungkapan ganjil dikenal dengan istilah “syatahat “ yakni perkataan --yang menurut umum-- ganjil
yang keluar dari lisan seorang sufi yang tengah berada dalam kondisi ekstase,
misalnya : ucapan Al hallaj ” aku adalah Allah yang ku cintai
dan Allah yang Kucintai adalah Aku, Juga
ucapan Al busthomi “ Maha Suci Aku, Maha suci aku, maha besar Aku”, atau juga ucapan Junaid Baghdadi “Tiada sesuatupun
di bawah jubahku melainkan Allah” dan banyak lagi yang lain. Perkataan ganjil
ganjil semacam inilah yang kemudian membuat Al Hallaj dijatuhi hukuman
mati tahun 309 H oleh kholifah Al
Muqtadir billah di masa bani Abbasiyah.
Hukuman mati atas diri al Hallaj itu sendiri hingga saat ini masih menimbulkan
pro kontra dikalangan ulama’ terkemuka
dan bahkan tetap menjadi bahan diskusi yang aktual terutama bagi mereka
pemerhati dan penikmat ilmu
tasawwuf.
Dunia sufi adalah dunia
yang unik, misalnya dalam mengekspresikan suatu ibadah, kaum sufi memiliki
karakteristik tersendiri, menurut mereka seseorang yang beribadah tanpa
memperhatikan makna batiniyahnya tak
ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa tahu maksudnya, menurut
mereka, sholat bukan sekedar sejumlah kalimat yang diucapkan dan gerakan
jasmani yang didemonstrasikan, melainkan sebuah proses dialog spiritual ,
sambung rasa, kontak emosi antara ‘abid dengan ma’bud, semua gerakan dan kata
yang diucapkan dalam sholat adalah simbol yang maknanya merupakan bagian dari
komonikasi bathiniyah antara manusia dengan Tuhannya. Berangkat dari realitas
tersebut, maka tidak mengherankan jika dalam diri seorang sufi seringkali
dijumpai hal hal yang ganjil atau nyeleneh menurut ukuran di luar sufi,
misalnya : Wahdatul wujudnya Ibn Araby, Ma’rifatnya dzun Nun Al Misri,
Ittihadnya Abu Yazid al Bustomi dan terutama Hululnya Abu Mughis al Husien ibn
Mansur al Baidawy al Hallaj.
Sepak terjang Al Hallaj
yang tidak sabar menahan limpahan kebahagiaan, sehingga rahasia cintanya ia
bocorkan sendiri dengan konsep yang dia
sebut hulul yang didasarkan pada pengalaman batin, kehalusan rasa, ketercerahan
emosi dan berdasarkan ilham dari alam ghoib telah menggegerkan konstelasi
ulama’ fiqh dan bahkan mendapat reaksi keras dari mereka, dan puncaknya Ibn
Dawud al Astihami (manzhab dhahiri) mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Al hallaj
adalah sesat, maka iapun ditangkap dan dihukum mati. Kendati demikian, figur al Hallaj
hingga kini masih tetap mendapat simpati yang besar dari banyak penikmat
kecerdasan dan kecerahan kalbu.
Apa yang disebut Hulul
dalam konteks ini adalah tipe lain dari faham al Ittihad yang diajarkan Abu
Yazid Al Busthomi, sedangkan pengertian hulul
secara sederhana adalah bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu setelah ia dapat melenyapkan sifat sifat kemanusiaannya
melalui fana’. Menurut al Hallaj, manusia itu mempunyai potensi dasar ganda,
yakni sifat kemanusiaan (Nasut) dan sifat keTuhanan (Lahut), apabila sifat
sifat kemanusiaan itu telah dilenyapkan melalui proses fana’ dan sifat sifat
keTuhanan dikembangkan secara optimal, maka akan tercapai persenyawaan dengan
Tuhan dalam bentuk lahut, persenyawaan yang semacam ini menurut al Hallaj akan
mengambil bentuk hulul (bahasa Jawa : nitis).
Itulah yang terjadi ketika Allah swt memerintahkan malaikat bersujud
kepada Adam sebagaimana diceritakan pada surat al baqarah : 34, menurut al
Hallaj Allah memberi perintah semacam itu, karena pada diri Adam Allah swt telah menetes.
Dengan demikian dapat
difahami bahwa kata kata “ana al Haq” yang di ucapkan al Hallaj bukanlah
dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan, buktinya Al Hallaj
sendiri menegaskan Aku adalah rahasia yang maha benar dan bukanlah yang maha benar itu adalah aku. Aku hanya salah satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami). Maka hulul yang terjadi pada al Hallaj harus
difahami sebagai figurative dan bukan riil,
artinya yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada
kondisi fana’. Banyak ungkapan senada
dengan al Hallaj yang terlontar dari lisan para sufi, misalnya “Tuhanku, apa
jalannya untuk sampai kepadaMu?, Allah menjawab : tinggalkan dirimu dan
datanglah. Siapa yang menghilangkan sifat sifat kemanusiaannya, maka ia
memiliki sifat sifat Tuhan. Ada juga ungkapan “Aku tahu pada Tuhan melalui
diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padanya melalui diriNya, maka
akupun hidup”.
Dalam al-Qur’an
ditegaskan upaya menyucikan diri harus diiringi dengan proses meninggalkan
rumah kita, Allah berfirman “barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud
behijrah kepada Allah dan rasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh
telah tetap pahalanya disisi Allah… (Qs. An Nisa’ : 100) . Menurut ahli tafsir
kata “ Rumah” dalam ayat tersebut
sebagai “diri, egoisme, keakuan dan seluruh kepemilikan duniawiyah”. karenanya
Alqur’an menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya
(karena terlalu cinta akan dirinya, keluarganya dan kepemilikan duniawiyahnya)
sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah, Ia mencintai diri,
keluarga dan kepemilikan duniawiyahnya melebihi cintanya kepada Allah. Allah swt berfirman “Diantara manusia ada orang
orang yang menyembah tandingan tandingan selain Allah, mereka mencintainya sama
seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang orang beriman sangat mencintai
Allah (Qs. Al baqoroh : 165).
Memang memahami idiom syair, harus melalui pendekatan sastra dan bukan
dengan bahasa formal keseharian, sebab jika itu yang dipakai maka tidak akan
klop dengan yang sejatinya dimaksudkan. Rabindranat pemenang hadiah Nobel
kesusastraan, dalam syairnya mengatakan ”tak henti hentinya Kau isi cawan ini
dengan anggurMu” apakah bisa diartikan
bahwa Tuhan memeras anggur atau Dia membutuhkan minuman ? jelas tidak demikian,
yang dimaksudkan adalah Tuhan tidak henti hentinya memberi karunia dan nikmat
kepada dirinya. Atau ketika seseorang berkata “ wajahmu bagai bulan purnana yang menari riang. Apakah itu berarti bahwa bulan bisa menari ?
tentu tidak. Jadi dapat dimengerti
betapa pendekatan verbal akan sangat jauh kesalahannya jika digunakan untuk
memahami idiom idiom syair yang nyastra.
Dengan demikian maka
statemen al Hallaj, al Bustomi, Junaid Baghdadi, Ibn Araby,
termasuk syekh siti jenar yang ganjil itu sesunguhnya tidak ganjil
seandainya dilihat dari perspektif dan bahasa mereka, atau seandainya kita bisa
merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita, sebab memang tidak ada satupun
bahasa yang representatif mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari
pengalaman spiritual personal seseorang, karena itulah kaum
sufi selalu mengatakan “ barang siapa
yang belum pernah merasakannya, niscaya dia belum mengetahuinya”.
Abu Nasr Tusi ketika
menanggapi shatahat pada kaum sufi mengatakan bahwa Ibarat air hujan yang sangat deras dan banyak mengalir keselokan yang sempit., maka
pasti dalam kondisi yang semacam itu air akan melimpah ruah dari kedua tepi
selokan itu, demikian juga seorang sufi yang sangat dominan intuisinya, ia
sangat sulit menanggung gejolak kalbunya
yang memaksanya mengucapkan kata kata yang sulit dimegerti orang lain, kecuali
bagi mereka yang pernah merasakannya. Ibarat seorang suami yang baru bulan madu
bercerita tentang kenikmatan malam pertama kepada seorang bujang yang sama
sekali belum pernah kawin, maka si
bujang baru bisa mengerti secara haq
jika ia pernah merasakan malam pertama dalam perkawinan.
Karena itu, cenderung tergesa jika
kaum sufi --hanya karena perkataan perkataan ganjilnya-- lalu diklaim sesat.
Juga tidak logis bila dikatakan seorang sufi mengaku sebagai Tuhan, sebab logika mengatakan apabila kaum
sufi yang sepanjang hidupnya mencari Tuhan itu, mengaku dirinya sebagai Tuhan,
maka hakekatnya mereka tidak perlu mencari Tuhan. #