Terdapat beberapa hipotesis mengenai latar belakang munculnya agama yang
dikemukakan para orientalis -yang menurut Mutahhari (1994 : 45-46) -hipotesis
tersebut lebih banyak didasarkan oleh pikiran yang tidak jernih dan dipengaruhi
bias yang tendensius. Hipotesis tersebut antara lain :
a.
Agama muncul sebagai produk rasa takut.
Lucretius, mensinyalir bahwa faktor yang mendorong pertumbuhan agama
adalah perasaan takut manusia primitif terhadap kematian, kelaparan dan
berbagai penyakit. Juga ketakutan mereka terhadap keganasan alam, seperti :
gempa bumi, gunung meletus, guntur dan berbagai binatang buas. Karena kemampuan
fikir mereka sederhana dan amat terbatas, lalu menganggap kejadian kejadian
tersebut sebagai bentuk kemarahan roh
halus dibalik alam, dan untuk meredakan kemarahan tersebut, perlu diadakan
ruitus ritus dan upacara sesembahan sakral denngan memberikan berbagai sesajen
atau qurban sebagai tumbal. Dengan ini mereka dapat memperoleh kepuasan
psikologis. Dari situlah lalu dilembagakan menjadi agama.
b.
Agama sebagai produk manusia yang belum
cerdas.
William James, termasuk salah satu dari sebagian orang yang meyakini
bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia. Menurutnya, sesuai
dengan wataknya, manusia selalu berkecenderungan untuk mengetahui sebab sebab
dan hukum hukum yang berlaku atas alam termasuk peristiwa peristiwa yang
terjadi didalamnya. Tetapi karena kebodohannya, mereka tidak berhasil
mengungkap rahasia rahasia yang terjadi pada kehidupannya di alam raya ini, Dan
untuk menenangkan jiwa dari pelbagai kegelisahan akibat kegagalannya itu, lalu
mereka pasrah dan beranggapan bahwa itu adalah taqdir dari yang maha kuasa, Jadi
ajaran agama adalah warisan budaya dari manusia yang masih bodoh.
c. Bahwa Agama tumbuh dari imajinasi tingkat
tinggi.
Sebagian orang percaya bahwa latar belakang keterikatan manusia pada
agama ialah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Ketika mereka
menyaksikan terjadinya pelbagai kekacauan pada sejumlah intraksi sosial
manusia, munculnya berbagai bentuk kedholiman, penganiayaan, kekerasan dan
keributan keributan lain, baik yang terjadi pada manusia maupun yang terjadi
pada alam, menyebabkan manusia berfikir tentang suatu aturan yang disepakati
bersama guna mengatasi kekacauan tersebut. Tapi ketika mereka tidak mampu
berbuat yang realistik untuk tujuan tersbeut, lalu mereka berharap ada kekuatan
dahsyat diluar dirinya yang mampu mengatasai masalah masalah tersebut. Lalu
muncullah imajinasi tentang Dewa, roh halus, angel, Hero, Super man, Rambo,
Robin hood, Hercules, Xena dan perwujudan perwujudan dewa lainnya.
d. Bahwa Agama adalah produk kaum
kapitalistik.
Adalah Marxis, yang menyebutkan bahwa agama dimunculkan oleh kaum
kapitalistik burjois sebagai perangkap bagi kelas kelas proletar agar mereka
tidak melakukan pemberontakan terhadap keserakahan dirinya. Agama dibuat oleh
kelas pengusaha kapitalistik sebagai
suatu candu masyarakat untuk membius kaum miskin dan tertindas agar mereka
diam. Sebab kaum kapitalis memahami betul bahwa agama dapat secara efektif
mengekang kendali kemarahan kaum proletar dan menina bobokkan mereka agar tetap
dalam kealpaan dan ketidak sadarannya.
Demikian hipotesis yang dikemukakan para orientalis tentang latar belakang
muncunculnya agama. Namun berbagai hipotesis diatas ternyata tidak mampu
bertahan dihadapan uji empirik dan kritik ilmiyah.
Telah di ketahui bahwa agama sudah ada sebelum timbulnya kepemilikan.
Ketika kelas–kelas belum terwujud, jauh sebelumnya agama sudah terwujud.
Sejarah membuktikan bahwa agama telah ada dan tumbuh dikalangan masyarakat
miskin dan tertindas. Para peminpin agama seperti : Musa, Ibrahim, Isa dan
Muhammad Saw berasal dari kalangan
nasyarakat sederhana Dan ketika Muhammad saw pertama kali di utus, beliau
memaklumkan revolusi melawan kelas penguasa, hartawan dan konglomerat. Al-Quran
menyebut mereka dengan sebutan “mala”, yakni : Aristokratis, monopolis dan
konglomeratis, seperti : Abu Sufyan, Abu jahal dan Walid Bin Mughirah. Jadi
tidak benar dan tidak bisa dipertahankan logika yang mengatakan bahwa agama
adalah produk kapitalistik.
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa agama merupakan warisan budaya
yang belum cerdas, atau imajinasi tingkat tinggi serta produk ketakutan
terhadap keganasan alam. Adalah hipotesis yang amat rapuh dan tidak berkutik
dihadapan kenyataan sejarah dan kenyataan epistimologis. Bukankah salah satu
sifat dari utusan (Rasul) pembawa agama adalah “Fathonah” cerdas dan piawai.
Sebab kalau tidak cerdas tidak mungkin mereka bisa meyakinkan ummatnya.
Dengan demikian, semua hipotesis yang dikemukakan para pengingkar kefitrian
itu adalah keliru dan tidak berdasar, sebab tidak dapat dipertanggung jawabkan
dihadapan realitas ilmiyah dan bertolak belakang dengan kenyataan sejarah yang faktual.
Yang benar adalah bahwa salah satu latar belakang munculnya agama itu
selain faktor kefitrian manusia juga merupakan konsekwensi logis dari maksud
pencipta manusia yang hendak mengarahkannya pada jalan kesempurnaan dan
kebahagiaan, baik di dunia dan lebih lebih diakherat. Artinya sesuai dengan
sifat kemaha bijaksanaan Tuhan, ketika Dia mencipta manusia sebagai puncak
ciptaanNya, maka pasti hal itu didasari oleh sebuah tujuan, sebab perbuatan
yang dilakukan tanpa tujuan sesungguhnya merupakan kesia-siaan. Dan kesia-siaan
adalah ketidak bijaksanaan. Ketidak bijaksanaan adalah kekurangan, kekurangan
adalah kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, Sedangkan Tuhan adalah
keberadaan yang mutlak sekaligus pemilik keberadaan tersebut.
Karena Tuhan mencipta manusia dengan dilandasi sebuah tujuan, maka tujuan
itu pasti baik, sebab seandainya Tuhan mencipta manusia dengan tujuan yang
tidak baik, maka sesungguhnya Tuhan itu tidak bijaksana, ketidak bijaksanaan
adalah kemustahilan, sebab sifat Tuhan adalah maha bijaksana. Salah satu tujuan
baik Tuhan adalah mengarahkan manusia kearah kesempurnaan, karena itu Tuhan
membekali manusia dengan akal dan naluri sebagai modal dan pemandu internal.
Seandainya Tuhan menyuruh manusia mencapai kesempurnaan, sementara ia tidak
dibekali dengan akal dan naluri sebagai pemandu internal yang memungkinkan
mencapainya, maka lagi-lagi Tuhan tidak bijaksana. Padahal ketidak bijaksanaan
adalah kekurangan dan kekurangan adalah
kekosongan, sementara kekosongan adalah
ketidak beradaan, dan itu mustahil bagi Tuhan, sebab Tuhan adalah Wujud.
Setelah Tuhan mencipta akal dan naluri sebagai pemandu internal bagi
manusia untuk mencapai kesempurnaan, dan
ternyata tidak semua hal dapat dicapai dan dijangkau oleh keduanya, maka pasti
Tuhan mencipta pemandu lain (tambahan)
yang lebih kongkrit berupa Nabi dan Rasul (mulai Adam as sampai Muhammad Saw)
inilah kemudian yang disebut sebagai pemandu eksternal.
Seandainya Tuhan tidak mencipta pemandu lain (Eksternal) selain akal dan naluri
(internal), padahal Tuhan tahu bahwa tidak semua hal dapat dijangkau oleh
pemandu internal, maka sia-sialah Tuhan mencipta akal dan naluri manusia, sebab
ternyata tanpa pemandu eksternal, akal dan naluri tidak mampu mencapai kesempurnaan. Kesia-siaan adalah
ketidak bijaksanaan, ketidak bijaksanaan adalah ketidak sempurnaan, ketidak
sempurnaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan, kekosongan adalah
ketiadaan dan ketiadaan adalah kemustahilan bagi Tuhan.
Nah keyakinan akan prinsip kenabian dan kerasulan, tentu pada gilirannya
akan melahirkan keyakinan akan risalah. Dan prinsip risalah itu sesungguhnya
adalah seperangkat ajaran Tuhan yang disampaikan dan disosialisir para Rasul
kepada umatnya. Seperangkat ajaran inilah yang kemudian disebut agama.
Karena Tuhan telah menyediakan secara lengkap pemandu (internal dan
eksternal) bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan, maka lenyaplah alasan
manusia untuk tidak mengikutiNya. Dan sebaliknya lengkap pulalah alasan Tuhan
untuk menyiksa yang tidak mengikuti panduan para pemandu tersebut yang isinya
adalah ajaran agama.
Dengan kata lain, disini muncul prinsip “pembalasan” Artinya Tuhan pasti membalas setiap manusia
yang mengikuti pemandu (agama) dengan pahala. Dan setiap
manusia yang tidak mengikutinya dengan siksa. Sebab seandainya Tuhan tidak
membalas keduanya (yang mengikuti dan tidak) dengan balasan yang berbeda
(pahala dan siksa) maka berarti Tuhan tidak bijaksana. Dan itu sungguh mustahil
bagi Tuhan, sebab sifat Tuhan adalah maha bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar