Minggu, 20 Oktober 2013

LATAR BELAKANG MUNCULNYA AGAMA Meluruskan beberapa bias



Terdapat beberapa hipotesis mengenai latar belakang munculnya agama yang dikemukakan para orientalis -yang menurut Mutahhari (1994 : 45-46) -hipotesis tersebut lebih banyak didasarkan oleh pikiran yang tidak jernih dan dipengaruhi bias yang tendensius. Hipotesis tersebut antara lain : 
a. Agama muncul sebagai produk rasa takut.
Lucretius, mensinyalir bahwa faktor yang mendorong pertumbuhan agama adalah perasaan takut manusia primitif terhadap kematian, kelaparan dan berbagai penyakit. Juga ketakutan mereka terhadap keganasan alam, seperti : gempa bumi, gunung meletus, guntur dan berbagai binatang buas. Karena kemampuan fikir mereka sederhana dan amat terbatas, lalu menganggap kejadian kejadian tersebut sebagai bentuk kemarahan  roh halus dibalik alam, dan untuk meredakan kemarahan tersebut, perlu diadakan ruitus ritus dan upacara sesembahan sakral denngan memberikan berbagai sesajen atau qurban sebagai tumbal. Dengan ini mereka dapat memperoleh kepuasan psikologis. Dari situlah lalu dilembagakan menjadi agama.  
b.  Agama sebagai produk manusia yang belum cerdas.
William James, termasuk salah satu dari sebagian orang yang meyakini bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia. Menurutnya, sesuai dengan wataknya, manusia selalu berkecenderungan untuk mengetahui sebab sebab dan hukum hukum yang berlaku atas alam termasuk peristiwa peristiwa yang terjadi didalamnya. Tetapi karena kebodohannya, mereka tidak berhasil mengungkap rahasia rahasia yang terjadi pada kehidupannya di alam raya ini, Dan untuk menenangkan jiwa dari pelbagai kegelisahan akibat kegagalannya itu, lalu mereka pasrah dan beranggapan bahwa itu adalah taqdir dari yang maha kuasa, Jadi ajaran agama adalah warisan budaya dari manusia yang masih bodoh.
       c.  Bahwa Agama tumbuh dari imajinasi tingkat tinggi.
Sebagian orang percaya bahwa latar belakang keterikatan manusia pada agama ialah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Ketika mereka menyaksikan terjadinya pelbagai kekacauan pada sejumlah intraksi sosial manusia, munculnya berbagai bentuk kedholiman, penganiayaan, kekerasan dan keributan keributan lain, baik yang terjadi pada manusia maupun yang terjadi pada alam, menyebabkan manusia berfikir tentang suatu aturan yang disepakati bersama guna mengatasi kekacauan tersebut. Tapi ketika mereka tidak mampu berbuat yang realistik untuk tujuan tersbeut, lalu mereka berharap ada kekuatan dahsyat diluar dirinya yang mampu mengatasai masalah masalah tersebut. Lalu muncullah imajinasi tentang Dewa, roh halus, angel, Hero, Super man, Rambo, Robin hood, Hercules, Xena dan perwujudan perwujudan dewa lainnya.
       d. Bahwa Agama adalah produk kaum kapitalistik.
Adalah Marxis, yang menyebutkan bahwa agama dimunculkan oleh kaum kapitalistik burjois sebagai perangkap bagi kelas kelas proletar agar mereka tidak melakukan pemberontakan terhadap keserakahan dirinya. Agama dibuat oleh kelas pengusaha  kapitalistik sebagai suatu candu masyarakat untuk membius kaum miskin dan tertindas agar mereka diam. Sebab kaum kapitalis memahami betul bahwa agama dapat secara efektif mengekang kendali kemarahan kaum proletar dan menina bobokkan mereka agar tetap dalam kealpaan dan ketidak sadarannya.
Demikian hipotesis yang dikemukakan para orientalis tentang latar belakang muncunculnya agama. Namun berbagai hipotesis diatas ternyata tidak mampu bertahan dihadapan uji empirik dan kritik ilmiyah.
Telah di ketahui bahwa agama sudah ada sebelum timbulnya kepemilikan. Ketika kelas–kelas belum terwujud, jauh sebelumnya agama sudah terwujud. Sejarah membuktikan bahwa agama telah ada dan tumbuh dikalangan masyarakat miskin dan tertindas. Para peminpin agama seperti : Musa, Ibrahim, Isa dan Muhammad  Saw berasal dari kalangan nasyarakat sederhana Dan ketika Muhammad saw pertama kali di utus, beliau memaklumkan revolusi melawan kelas penguasa, hartawan dan konglomerat. Al-Quran menyebut mereka dengan sebutan “mala”, yakni : Aristokratis, monopolis dan konglomeratis, seperti : Abu Sufyan, Abu jahal dan Walid Bin Mughirah. Jadi tidak benar dan tidak bisa dipertahankan logika yang mengatakan bahwa agama adalah produk kapitalistik.
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa agama merupakan warisan budaya yang belum cerdas, atau imajinasi tingkat tinggi serta produk ketakutan terhadap keganasan alam. Adalah hipotesis yang amat rapuh dan tidak berkutik dihadapan kenyataan sejarah dan kenyataan epistimologis. Bukankah salah satu sifat dari utusan (Rasul) pembawa agama adalah “Fathonah” cerdas dan piawai. Sebab kalau tidak cerdas tidak mungkin mereka bisa meyakinkan ummatnya.
Dengan demikian, semua hipotesis yang dikemukakan para pengingkar kefitrian itu adalah keliru dan tidak berdasar, sebab tidak dapat dipertanggung jawabkan dihadapan realitas ilmiyah dan bertolak belakang dengan kenyataan sejarah yang faktual.
Yang benar adalah bahwa salah satu latar belakang munculnya agama itu selain faktor kefitrian manusia juga merupakan konsekwensi logis dari maksud pencipta manusia yang hendak mengarahkannya pada jalan kesempurnaan dan kebahagiaan, baik di dunia dan lebih lebih diakherat. Artinya sesuai dengan sifat kemaha bijaksanaan Tuhan, ketika Dia mencipta manusia sebagai puncak ciptaanNya, maka pasti hal itu didasari oleh sebuah tujuan, sebab perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan sesungguhnya merupakan kesia-siaan. Dan kesia-siaan adalah ketidak bijaksanaan. Ketidak bijaksanaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, Sedangkan Tuhan adalah keberadaan yang mutlak sekaligus pemilik keberadaan tersebut.
Karena Tuhan mencipta manusia dengan dilandasi sebuah tujuan, maka tujuan itu pasti baik, sebab seandainya Tuhan mencipta manusia dengan tujuan yang tidak baik, maka sesungguhnya Tuhan itu tidak bijaksana, ketidak bijaksanaan adalah kemustahilan, sebab sifat Tuhan adalah maha bijaksana. Salah satu tujuan baik Tuhan adalah mengarahkan manusia kearah kesempurnaan, karena itu Tuhan membekali manusia dengan akal dan naluri sebagai modal dan pemandu internal. Seandainya Tuhan menyuruh manusia mencapai kesempurnaan, sementara ia tidak dibekali dengan akal dan naluri sebagai pemandu internal yang memungkinkan mencapainya, maka lagi-lagi Tuhan tidak bijaksana. Padahal ketidak bijaksanaan adalah kekurangan  dan kekurangan adalah kekosongan,  sementara kekosongan adalah ketidak beradaan, dan itu mustahil bagi Tuhan, sebab Tuhan adalah Wujud.
Setelah Tuhan mencipta akal dan naluri sebagai pemandu internal bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan,  dan ternyata tidak semua hal dapat dicapai dan dijangkau oleh keduanya, maka pasti Tuhan mencipta  pemandu lain (tambahan) yang lebih kongkrit berupa Nabi dan Rasul (mulai Adam as sampai Muhammad Saw) inilah kemudian yang disebut sebagai pemandu eksternal.
Seandainya Tuhan tidak mencipta pemandu lain (Eksternal) selain akal dan naluri (internal), padahal Tuhan tahu bahwa tidak semua hal dapat dijangkau oleh pemandu internal, maka sia-sialah Tuhan mencipta akal dan naluri manusia, sebab ternyata tanpa pemandu eksternal, akal dan naluri tidak mampu  mencapai kesempurnaan. Kesia-siaan adalah ketidak bijaksanaan, ketidak bijaksanaan adalah ketidak sempurnaan, ketidak sempurnaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan, kekosongan adalah ketiadaan dan ketiadaan adalah kemustahilan bagi Tuhan.
Nah keyakinan akan prinsip kenabian dan kerasulan, tentu pada gilirannya akan melahirkan keyakinan akan risalah. Dan prinsip risalah itu sesungguhnya adalah seperangkat ajaran Tuhan yang disampaikan dan disosialisir para Rasul kepada umatnya. Seperangkat ajaran inilah yang kemudian disebut agama.
Karena Tuhan telah menyediakan secara lengkap pemandu (internal dan eksternal) bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan, maka lenyaplah alasan manusia untuk tidak mengikutiNya. Dan sebaliknya lengkap pulalah alasan Tuhan untuk menyiksa yang tidak mengikuti panduan para pemandu tersebut yang isinya adalah ajaran agama.
Dengan kata lain, disini muncul prinsip “pembalasan”  Artinya Tuhan pasti membalas setiap manusia yang mengikuti pemandu (agama) dengan pahala. Dan setiap manusia yang tidak mengikutinya dengan siksa. Sebab seandainya Tuhan tidak membalas keduanya (yang mengikuti dan tidak) dengan balasan yang berbeda (pahala dan siksa) maka berarti Tuhan tidak bijaksana. Dan itu sungguh mustahil bagi Tuhan, sebab sifat Tuhan adalah maha bijaksana.

Tidak ada komentar: