Jumat, 25 Oktober 2013

PEMILU BAGI PEMALU (Upaya Menjaring Pemimpin Yang Punya Rasa Malu)




Ilustrasi
Pemilu 2014  masih tinggal beberapa bulan lagi, tetapi para caleg disemua tingkatan mulai sibuk mempengaruhi rakyat mencari dukungan. Bendera partai, kaos, stiker dan sovenir politik, mulai disebar, berbagai moment massa mulai dimanfaatkan untuk tujuan dan kepentingan politik tertentu.  Rakyat kecil – seperti biasa, setiap lima tahun sekali – mulai diingat, diorangkan dan dimanfaatkan ( untuk tidak mengatakan dibodohi ), Berbagai bantuan “tidak ihklas” (karena ada udang di balik batu) mulai ditabur, makelar makelar politik  mulai bermunculan, gendrang kampanye untuk mengumbar janji janji mulai ditabuh, Al hasil suhu politik nasional mulai meningkat.
Anehnya  sebagian besar masyarakat tidak terlalu terpengaruh dengan itu semua, buktinya pada pemilu 2009 hampir 40 % rakyat tidak memilih. Mereka tidak peduli dengan janji-janji palsu pemilu. Ada yang lebih memusingkan kepala mereka, yakni kian sulitnya mencari sesuap nasi, sehingga mereka harus banting tulang memeras keringat agar dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidup mereka ditengah kian naiknya harga berbagai kebutuhan dasar mereka. Padahal indikator tercapainya politik pembangunan yang berorientasi kerakyatan adalah bila rakyat bersikap tidak masa bodoh (apatis) dan punya kepedulian terhadap masa depan bangsa dan negara.
Sesungguhnya ketertarikan rakyat untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah sangat bergantung  pada seberapa menarik pemilu yang akan berlangsung. Pertanyaannya, menarikkah Pemilu 2014? Tinggikah partisipasi rakyat nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu layak kita sodorkan lantaran meski tinggal kurang dari enam bulan lagi bergulir, ajang pemilihan anggota legislatif belum memancarkan daya pikat.  Justru sebaliknya, tahapan demi tahapan menuju pemilu legislatif masih sarat dengan persoalan dan menjadi promosi buruk bagi pesta demokrasi tahun depan itu. Daftar pemilih tetap (DPT), misalnya, belum juga bisa ditetapkan.  Komisi Pemilihan Umum melanggar batas waktu yang mereka tetapkan sendiri, yakni Rabu (23/10), dan menundanya dua pekan lantaran data yang ada belum klop. Masih ada selisih 400 ribu antara DPT seluruh provinsi, yakni 186,8 juta orang, dan data di sistem informasi data pemilih sebesar 186,35 juta.
Belum lagi menurut Migrant care, terdapat sekitar 4,5 juta WNI yang tak tercatat di DPT luar negeri. Bawaslu bahkan menemukan jutaan pemilih yang bermasalah.  Pemilu akan menarik jika penyelenggaraannya dibarengi keakuratan plus kepatuhan terhadap tahapan yang sudah lama disusun. Sayangnya, syarat-syarat itu tak bisa secara meyakinkan dipenuhi penyelenggara pemilu. Itu baru satu persoalan. Persoalan lain yang berpotensi mengikis kadar ketertarikan rakyat pada pemilu ialah minimnya semangat restorasi dalam diri partai-partai politik lama. Mereka tetap mengusung calon-calon lama. Calon-calon yang ketika terpilih sebagai wakil rakyat kerap menghamburkan uang rakyat dengan pelesiran ke mancanegara, calon-calon yang ketika duduk di kursi DPR bermewah-mewah dan malas bersidang membahas nasib rakyat.
Belakangan ini tabiat seperti ini kian menjadi-jadi. Sidang paripurna terakhir sebelum masa reses, kemarin, sampai-sampai harus ditunda 45 menit lantaran 262 anggota dewan tak menampakkan batang hidung mereka. Dengan fenomena ini kita patut khawatir partisipasi rakyat pada Pemilu 2014 akan terus tergerus dan golput akan menguat. Apalagi, sejak era reformasi, tingkat ketertarikan rakyat cenderung turun dari pemilu ke pemilu. Pada 1999, partisipasi pemilih mencapai 93,6% kemudian merosot menjadi 84% pada 2004, dan lima tahun berselang anjlok ke angka 70,1%.
Kita  sepakat pada seruan Presiden  SBY agar rakyat tidak golput. Namun, jangan lupa elektabilitas rakyat pada pemilu juga dipengaruhi oleh kinerja para pemimpin hasil pemilu-pemilu sebelumnya. Artinya selama wakil rakyat dan pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu dianggap tidak berkualitas, maka sekeras apa pun seruan agar rakyat tidak golput hanyalah menghabiskan suara saja. Yang diinginkan rakyat dari hasil pemilu adalah para pemimpin yang punya rasa malu besar, bukan memperbesar kemaluan. Malu dari berbuat korupsi, memperkaya diri membabi buta, menggarong uang rakyat, terlibat kasus narkoba, kasus adegan porno dan kasus-kasus asusila lainnya. Hal inilah yang gagal ditunjukkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Masihkah kita punya rasa Malu ?
Pertanyaan ini kembali mengemuka tatkala ranah hukum dan politik di negeri ini kembali mengalami prahara yang hanya layak dilakukan oleh kawanan spesies non manusia. Korupsi, pencucian uang, suap, gratifikasi seks muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam hitungan hari. Belum kering airmata menangisi kasus Century dan Hambalang yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah yang sampai kini masih mbulet ndak karu-karuan, muncul kasus simulator SIM yang tak kalah mencengangkan. Belum tuntas kasus “impor daging untuk membeli daging” karena melibatkan puluhan wanita-wanita cantik yang mengguncang PKS, muncul kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi yang menggegerkan dan meruntuhkan sendi penegakan hukum di negeri ini.  Belum usai gonjang ganjing tentang Bunda Putri, Politik Dinasti, dan kredit fiktif Bank Syariah Mandiri, kini tarik ulur dan kisruh DPT yang melibatkan KPU juga mulai berancang-ancang menghebohkan blantika politik negeri ini.
Kejadian-kejadian diatas, tentu tidak hanya membuat spesies manusia terperanjat, tetapi juga spesies  yang lain. Bukan hanya mahluk di alam nyata yang heran, tetapi juga mahluk di alam ghaib. Sebab tidak ada nalar logika manusia yang mampu memahami bagaimana mungkin hiper kriminalitas dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya.? Kepada siapa lagi kita mempercayai penegakan hukum,  kalau para penegaknya justru mengajari melanggar hukum ? Bagaimana mungkin mereka yang sudah bergelimang uang masih melakukan tindakan pencucian uang ?   bagaimana mungkin para gebenur, bupati, wali kota yang notabene berpenghasilan lebih dari cukup masih melakukan tindak korupsi ?. Bagaimana mungkin anggota DPR yang terhormat berulangkali melakukan perbuatan tidak terhormat ?, Sungguh, pertanyaan ini tidak akan kita temukan jabannya, baik dalam logika hukum, moral dan nalar manusia, kecuali dalam ranah spesies manusia yang teleh terdegradasi martabatnya menjadi “kal an’am” . Bahkan yang lebih aneh lagi, para garong dan penjahat klamin itu masih dengan santai cengengesan di depan kamera, seakan sedikitpun tiada merasa bersalah, apalagi merasa malu.  Padahal malu adalah sebagian daripada iman (Hr. Muttafaqun Alaih)
Malu adalah salah satu instrumen amat penting bagi manusia yang membedakannya dengan binatang. Malu adalah alat penjagaan setiap manusia untuk memelihara kemanusiaannya. Bila binatang dapat melakukan apa saja dalam situasi apa saja, tanpa memikirkan siapa saja, maka manusia harus memikirkan dan memperhitungkan situasi untuk melakukan sebuah aktifitas. Tanpa rasa malu, seseorang adalah bentuk lain dari binatang, yang dalam bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka. Jika semakin banyak orang yang tidak punya rsa malu (karena mungkin dianggap biasa melakukan sesuatu yang memalukan) sehingga malu-maluin, maka perlahan-lahan komunitas itu akan berubah menjadi masyarakat binatang. Dalam sebuat hadits Rasulullah bersabda: “istahyu minalloh haqqal haya’i". (hendaklah kamu sekaliah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu). Istahyu berasal dari kata  istahya yang berarti “hendaklah kamu malu”., misalnya ada kalimat innallaha layastahyi an yadriba matsalan…. (sesungguhnya Allah tidak malu menciptakan perumpamaan….) ketika bercerita tentang fir’aun, Allah berfirman: “yudzabbihuuna abna’ahum wayastahyuuna nisa’ahum” (menyembelih anak laki-laki mereka dan menghidupkan atau mempermalukan anak perempuan mereka).

Antara  haya’ (malu)  dan  hayat (hidup)
Yang menarik ditelusuri adalah korelasi antara malu (haya’) dan hidup (hayat), Seperti dimaklumi dalam term bahasa Arab, selalu ada munasabah antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya’ (malu) sama dengan kata hayat (hidup) ?.  Ternyata hidupnya kemanusiaan itu tergantung pada rasa malunya (jangan baca kemaluannya), artinya ketika rasa malu itu sudah hilang dari seseorang, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah kehilangan kamanusiannya, akhirnya dia hidup seperti binatang.
Dengan kata lain kehidupan manusia ditandai dengan rasa malunya, bila rasa malu tidak ada, sebetulnya ia tidak lagi dihitung hidup sebagai manusia, karena itu Rasulullah bersabda: jika engkau sudah tidak punya malu, berbuatlah apa saja sekehendak hatimu (hadits). Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apa saja tanpa pertimbangan apapun sebagaimana binatang. Kalau sudah demikian ia tidak dihitung sebagai hidup atau juga tidak dihitung sebagai manusia. Itulah sebabnya kata hanya’ (malu) dan hayat (hidup) berasal dari satu simantik yang mempunyai korelasi sangat erat.
Lalu apa yang dimaksud degan sebenar-benarnya malu? Menurut Rasulullah sebenar-benar malu kepada Allah adalah: (1) Bila engkau menjaga kepalamu dan apa yang disimpannya. (2) Bila engkau menjaga perut dengan segala isinya, dan  (3) Bila engkau mengingat mati dengan siksanya.
Menyimpan, dalam bahasa Arab disebut wara’. Jadi menjaga kepala dan apa yang disimpannya, bermakna menjaga peta kognisi dari pengetahuan dan informasi yang tidak layak, menjaga dari berfikir nigatif, mencuci otak dari berfikir terpola, sebab sikap dan pandangan seseorang akan ditentukan oleh perbendaharaan yang ada di kepalanya. Karena itulah, sebenar-benar malu kepada Allah adalah apabila eksistensi dan domain otak (struktur fikir), dan peta kognisi seseorang sudah tercerahkan. Kedua, engkau jaga perut kamu dan apa yang dikandungnya, maksudnya janganlah anda menjadikan perut anda sebagai gudang dari hak-hak orang lain. Sebab setiap sesuap barang haram yang anda konsumsi, maka 40 hari do’a anda tidak ditermia, jika berpuluh-puluh tahun anda terbiasa mengkonsumsi barang haram lalu berapa lama (sampai kapan) doa anda akan terkabul?  Ketiga, ingatlah engkau akan kematian. Orang yang ingat mati, akan temotivasi untuk hidup wara’, sebab dia tahu bahwa segala sesuatu yang ia lakukan pasti akan mendapat balasan yang setimpal pula. Hal tersebut dapat mengendalikan manusia agar tidak serakah dan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Inilah republik badut, dimana rakyatnya dianggap sebagai komoditas bagi segelintir orang yang punya nafsu besar untuk berkuasa dan mengeruk kekayaan dari jabatannya. Lima tahun sekali, disaat ada maunya, lagi-lagi rakyat dibuai oleh janji-janji kosong untuk mencoblos gambar ini dan itu, namun setelah syahwat politiknya mencapai orgesme, seperti biasa rakyat kembali dilupakan, bahkan sering diperdaya dan diinjak-injak.  Terakhir, simaklah sebuah sajak “Hari Rusli” Aku malu menjadi diriku, Aku malu mempunyai pemimpin seperti mereka, Aku malu menjadi rakyat Indonesia, Jadilah engkau figur yang dapat kami banggakan,bukan figur yang selalu berbuat memalukan. #

Tidak ada komentar: