Ilustrasi
Pemilu 2014
masih tinggal beberapa bulan lagi, tetapi para caleg disemua tingkatan
mulai sibuk mempengaruhi rakyat mencari dukungan. Bendera
partai, kaos, stiker dan sovenir politik, mulai disebar, berbagai moment massa mulai dimanfaatkan
untuk tujuan dan kepentingan politik tertentu.
Rakyat kecil – seperti biasa, setiap lima tahun sekali – mulai diingat, diorangkan
dan dimanfaatkan ( untuk tidak mengatakan dibodohi ), Berbagai bantuan “tidak
ihklas” (karena ada udang di balik batu) mulai ditabur, makelar makelar
politik mulai bermunculan, gendrang
kampanye untuk mengumbar janji janji mulai ditabuh, Al hasil suhu politik
nasional mulai meningkat.
Anehnya sebagian besar
masyarakat tidak terlalu terpengaruh dengan itu semua, buktinya pada pemilu 2009 hampir 40 % rakyat tidak
memilih. Mereka tidak peduli
dengan janji-janji palsu pemilu. Ada yang lebih memusingkan kepala mereka, yakni
kian sulitnya mencari sesuap nasi, sehingga mereka harus banting tulang memeras
keringat agar dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidup mereka ditengah
kian naiknya harga berbagai kebutuhan dasar mereka. Padahal
indikator tercapainya politik pembangunan yang berorientasi kerakyatan adalah
bila rakyat bersikap tidak masa bodoh (apatis) dan punya kepedulian terhadap
masa depan bangsa dan negara.
Sesungguhnya ketertarikan rakyat untuk
menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah sangat bergantung pada seberapa
menarik pemilu yang akan berlangsung. Pertanyaannya, menarikkah Pemilu 2014?
Tinggikah partisipasi rakyat nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu layak kita
sodorkan lantaran meski tinggal kurang dari enam bulan lagi bergulir, ajang
pemilihan anggota legislatif belum memancarkan daya pikat. Justru sebaliknya, tahapan demi tahapan
menuju pemilu legislatif masih sarat dengan persoalan dan menjadi promosi buruk
bagi pesta demokrasi tahun depan itu. Daftar pemilih tetap (DPT), misalnya,
belum juga bisa ditetapkan. Komisi
Pemilihan Umum melanggar batas waktu yang mereka tetapkan sendiri, yakni Rabu
(23/10), dan menundanya dua pekan lantaran data yang ada belum klop. Masih ada
selisih 400 ribu antara DPT seluruh provinsi, yakni 186,8 juta orang,
dan data di sistem informasi data
pemilih sebesar 186,35 juta.
Belum lagi menurut Migrant care, terdapat sekitar
4,5 juta WNI yang tak tercatat di DPT luar negeri. Bawaslu bahkan menemukan
jutaan pemilih yang bermasalah. Pemilu
akan menarik jika penyelenggaraannya dibarengi keakuratan plus kepatuhan
terhadap tahapan yang sudah lama disusun.
Sayangnya, syarat-syarat itu tak bisa secara meyakinkan dipenuhi penyelenggara
pemilu. Itu baru satu persoalan. Persoalan lain yang berpotensi mengikis kadar
ketertarikan rakyat pada pemilu ialah minimnya semangat restorasi dalam diri
partai-partai politik lama. Mereka tetap mengusung calon-calon lama.
Calon-calon yang ketika terpilih sebagai wakil rakyat kerap menghamburkan uang
rakyat dengan pelesiran ke mancanegara, calon-calon yang ketika duduk di kursi
DPR bermewah-mewah dan malas bersidang
membahas nasib rakyat.
Belakangan ini tabiat seperti ini kian menjadi-jadi. Sidang paripurna terakhir
sebelum masa reses, kemarin, sampai-sampai harus ditunda 45 menit lantaran 262
anggota dewan tak menampakkan batang hidung mereka. Dengan fenomena ini kita
patut khawatir partisipasi rakyat pada Pemilu 2014 akan terus tergerus dan golput
akan menguat. Apalagi, sejak era reformasi, tingkat
ketertarikan rakyat cenderung turun dari pemilu ke pemilu. Pada 1999,
partisipasi pemilih mencapai 93,6% kemudian merosot menjadi 84% pada 2004, dan lima tahun berselang
anjlok ke angka
70,1%.
Kita sepakat pada seruan Presiden SBY agar
rakyat tidak golput. Namun, jangan lupa elektabilitas rakyat
pada pemilu juga dipengaruhi oleh kinerja para
pemimpin hasil pemilu-pemilu sebelumnya. Artinya selama wakil rakyat dan
pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu dianggap tidak berkualitas, maka sekeras
apa pun seruan agar rakyat tidak golput hanyalah menghabiskan suara saja. Yang diinginkan
rakyat dari hasil pemilu adalah para pemimpin yang punya rasa malu besar, bukan
memperbesar kemaluan. Malu dari berbuat korupsi, memperkaya diri membabi buta, menggarong
uang rakyat, terlibat kasus narkoba,
kasus adegan porno dan kasus-kasus asusila lainnya. Hal inilah yang gagal ditunjukkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Masihkah kita punya rasa
Malu ?
Pertanyaan ini kembali mengemuka tatkala ranah hukum dan
politik di negeri ini kembali mengalami prahara yang hanya layak dilakukan oleh
kawanan spesies non manusia. Korupsi, pencucian uang, suap,
gratifikasi seks muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam
hitungan hari. Belum kering airmata menangisi kasus Century dan
Hambalang yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah yang sampai kini masih mbulet
ndak karu-karuan, muncul kasus simulator SIM yang tak kalah mencengangkan. Belum
tuntas kasus “impor daging untuk membeli
daging” karena melibatkan puluhan wanita-wanita
cantik yang mengguncang PKS, muncul kasus
suap ketua Mahkamah Konstitusi yang menggegerkan dan meruntuhkan sendi
penegakan hukum di negeri ini. Belum
usai gonjang ganjing tentang Bunda Putri, Politik Dinasti, dan kredit fiktif Bank Syariah Mandiri, kini tarik ulur dan
kisruh DPT yang melibatkan KPU juga mulai berancang-ancang menghebohkan blantika
politik negeri ini.
Kejadian-kejadian diatas, tentu tidak hanya membuat spesies manusia terperanjat, tetapi juga spesies yang lain. Bukan hanya mahluk di alam nyata
yang heran, tetapi juga mahluk di alam ghaib. Sebab tidak ada nalar logika
manusia yang mampu memahami bagaimana mungkin hiper kriminalitas dilakukan oleh mereka yang
berkuasa untuk mencegahnya.?
Kepada siapa lagi kita mempercayai penegakan hukum, kalau para penegaknya justru mengajari
melanggar hukum ? Bagaimana mungkin mereka yang sudah bergelimang uang masih melakukan tindakan pencucian
uang ? bagaimana mungkin para gebenur, bupati, wali kota yang
notabene berpenghasilan lebih dari cukup masih melakukan tindak korupsi ?. Bagaimana mungkin anggota DPR yang
terhormat berulangkali melakukan perbuatan tidak terhormat ?, Sungguh, pertanyaan ini tidak akan kita temukan jabannya, baik dalam logika hukum, moral dan nalar manusia, kecuali dalam
ranah spesies manusia yang teleh terdegradasi martabatnya menjadi “kal an’am”
.
Bahkan yang lebih aneh lagi, para garong dan penjahat
klamin itu masih dengan santai cengengesan di
depan kamera, seakan sedikitpun tiada merasa bersalah, apalagi merasa malu. Padahal malu adalah sebagian daripada iman (Hr.
Muttafaqun Alaih)
Malu
adalah salah satu
instrumen amat penting bagi manusia yang membedakannya dengan binatang. Malu adalah alat penjagaan setiap manusia untuk
memelihara kemanusiaannya. Bila binatang dapat melakukan apa saja dalam situasi
apa saja, tanpa memikirkan siapa
saja, maka manusia harus memikirkan dan memperhitungkan situasi untuk melakukan
sebuah aktifitas. Tanpa rasa malu, seseorang adalah bentuk lain dari binatang,
yang dalam bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka. Jika semakin banyak orang
yang tidak punya rsa malu (karena mungkin dianggap biasa melakukan sesuatu yang
memalukan) sehingga malu-maluin, maka
perlahan-lahan komunitas itu akan berubah menjadi
masyarakat binatang. Dalam sebuat hadits Rasulullah bersabda: “istahyu
minalloh haqqal haya’i". (hendaklah kamu sekaliah malu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya malu). Istahyu berasal
dari kata istahya yang berarti “hendaklah
kamu malu”., misalnya ada
kalimat innallaha layastahyi an yadriba matsalan…. (sesungguhnya Allah
tidak malu menciptakan perumpamaan….) ketika bercerita tentang fir’aun, Allah berfirman: “yudzabbihuuna
abna’ahum wayastahyuuna nisa’ahum” (menyembelih anak laki-laki mereka dan menghidupkan atau mempermalukan
anak perempuan mereka).
Antara haya’ (malu)
dan hayat (hidup)
Yang menarik ditelusuri adalah
korelasi antara malu (haya’) dan hidup (hayat), Seperti
dimaklumi dalam term bahasa Arab,
selalu ada munasabah antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya’
(malu) sama dengan kata hayat (hidup) ?. Ternyata hidupnya
kemanusiaan itu tergantung pada rasa malunya (jangan baca kemaluannya), artinya
ketika rasa malu itu sudah hilang dari seseorang, maka sesungguhnya yang
bersangkutan telah kehilangan kamanusiannya, akhirnya dia hidup seperti
binatang.
Dengan kata lain kehidupan manusia ditandai dengan rasa
malunya, bila rasa malu tidak ada, sebetulnya ia tidak lagi dihitung hidup
sebagai manusia, karena itu Rasulullah bersabda: jika engkau sudah tidak punya
malu, berbuatlah apa saja sekehendak hatimu (hadits). Maksudnya,
kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apa saja tanpa
pertimbangan apapun sebagaimana binatang. Kalau sudah demikian ia tidak
dihitung sebagai hidup atau juga tidak dihitung sebagai manusia. Itulah sebabnya
kata hanya’ (malu) dan hayat (hidup) berasal dari satu simantik
yang mempunyai korelasi sangat erat.
Lalu apa yang dimaksud degan sebenar-benarnya malu? Menurut Rasulullah sebenar-benar malu kepada Allah adalah: (1) Bila engkau menjaga kepalamu dan apa yang disimpannya. (2) Bila engkau menjaga perut dengan segala isinya, dan (3) Bila engkau mengingat mati dengan siksanya.
Menyimpan, dalam bahasa Arab disebut wara’.
Jadi menjaga kepala
dan apa yang disimpannya, bermakna menjaga peta kognisi dari pengetahuan dan
informasi yang tidak layak, menjaga dari berfikir nigatif, mencuci otak dari berfikir terpola,
sebab sikap dan pandangan seseorang akan ditentukan oleh perbendaharaan yang
ada di kepalanya. Karena
itulah, sebenar-benar
malu kepada Allah adalah apabila eksistensi dan domain otak (struktur fikir),
dan peta kognisi seseorang sudah tercerahkan. Kedua, engkau jaga perut
kamu dan apa yang dikandungnya, maksudnya janganlah anda menjadikan perut anda
sebagai gudang dari hak-hak orang lain. Sebab setiap sesuap barang haram yang
anda konsumsi, maka 40 hari do’a anda tidak ditermia, jika berpuluh-puluh tahun
anda terbiasa mengkonsumsi barang haram lalu berapa lama (sampai kapan) doa
anda akan terkabul? Ketiga,
ingatlah engkau akan kematian. Orang yang ingat mati, akan temotivasi untuk hidup wara’,
sebab dia tahu bahwa segala sesuatu yang ia lakukan pasti akan mendapat balasan
yang setimpal pula. Hal tersebut dapat mengendalikan manusia agar tidak serakah
dan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Inilah republik badut, dimana rakyatnya dianggap
sebagai komoditas bagi segelintir orang yang punya nafsu besar untuk berkuasa
dan mengeruk kekayaan dari jabatannya. Lima tahun sekali, disaat ada maunya,
lagi-lagi rakyat dibuai oleh janji-janji kosong untuk mencoblos gambar ini dan
itu, namun setelah syahwat politiknya mencapai orgesme, seperti biasa rakyat
kembali dilupakan, bahkan sering diperdaya dan diinjak-injak. Terakhir, simaklah sebuah sajak “Hari Rusli” Aku malu
menjadi diriku, Aku malu mempunyai pemimpin seperti mereka, Aku malu menjadi
rakyat Indonesia, Jadilah engkau figur yang dapat kami banggakan,bukan figur
yang selalu berbuat memalukan. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar