Senin, 28 Oktober 2013

KORUPSI “BELUM MATI SATU SUDAH TUMBUH SERIBU”



Korupsi di negeri ini sudah betul-betul meraja laila (maksudnya : meraja lela). Kalau ada pepatah mati satu tumbuh seribu, ini lebih dahsyat lagi “belum ada satupun yang mati sudah tumbuh lebih seribu”. Pertanyaannya, kenapa korupsi di negeri ini begitu sulit diberantas? Banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Namun, yang paling pokok ialah hukuman yang selama ini dijatuhkan tidak efektif menimbulkan efek jera bagi para koruptor,  bahkan hukuman itu merangsang munculnya embrio baru bagi pembiakan potensial calon-calon koruptor baru.  Kita prihatin pejabat negara seolah berlomba mencari celah dalam menyiasati peraturan untuk mengeruk uang rakyat dan kekayaan negara. Hal itu mestinya mendorong pemerintah dan DPR agar kian kreatif membuat peraturan ekstrim untuk menebas tabiat para pejabat yang korup. Hukuman yang efektif agar para koruptor jera harus segera dicari secara radikal dan serius.
Indonesia nampaknya perlu belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar dalam menumpas korupsi di negaranya. Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi.
Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati. Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati. Sekarang China menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini.  Mahfud MD, saat menjabat  Menteri Kehakiman pada era Presiden Abdurrahman Wahid, pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan itu kandas karena Gus Dur keburu lengser.
Anies Baswedan pernah menyatakan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari hulu ke hilir. Yang penting dilakukan saat ini adalah pendidikan anti korupsi di rumah-rumah, Sebab korupsi adalah gejala defisit integritas. Integritas harus dimulai  dari pendidikan di rumah-rumah. Ibu-ibu dapat mengatakan pada anaknya, rahim ini tak dimaksudkan menghasilkan para pencuri. Pesan itu akan tertanam penuh pada anak-anak kita,"
Sesungguhnya tidak sedikit yang mengusulkan mengenai model hukuman yang dapat membuat jera para koruptor, mulai dari hukuman gantung, hukum pancung, pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik. Namun pada prakteknya, Penegak hukum masih suka berbaik hati kepada pelaku korupsi. Mereka lebih suka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat mereka yang muaranya cuma menghasilkan vonis enteng dan berhenti pada pelaku utama. Padahal, kita sudah memiliki perangkat hukum untuk menebas kanker korupsi sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan undang-undang itu, jaksa dan hakim bisa menelikung koruptor dan pihak lain yang terlibat dengan hukuman berat. Lebih dari itu, negara dapat leluasa menelusuri, mengusut, dan menyita aset hasil korupsi sekaligus memiskinkan mereka.
Undang-undang Pencucian Uang yang berprinsip follow the money ialah senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya, senjata itu jarang digunakan. Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Kita mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian rajin menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang ketika KPK membeberkan aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo senilai lebih dari Rp100 miliar. Juga mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan Fathonah dalam perkara suap impor daging sapi.Yang terakhir Undang-undang itu dikenakan pada Akil Muhtar Ketua non aktif Mahkamah konstitusi. Selain Undang-Undang Pencucian Uang yang semakin sering diterapkan KPK, juga perlu segera direalisasikan Undang-Undang Pembuktian Terbalik serta Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Jika semua perangkat undang-undang itu ada, ruang gerak koruptor kian sempit. Para penyelenggara negara pun akan berpikir seribu kali sebelum menggerogoti uang negara.
Beberapa pihak sejatinya banyak yang  menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan, karena hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati. Saat ini bukan saat yang tepat untuk terus berdebat mengenai itu. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya.”  

Tidak ada komentar: