Korupsi di negeri ini sudah betul-betul meraja laila (maksudnya
: meraja lela). Kalau ada pepatah mati satu tumbuh seribu, ini lebih dahsyat
lagi “belum ada satupun yang mati sudah tumbuh lebih seribu”. Pertanyaannya, kenapa
korupsi di negeri ini begitu sulit diberantas? Banyak jawaban yang
bisa dikemukakan. Namun, yang paling pokok ialah hukuman yang selama ini dijatuhkan
tidak efektif menimbulkan efek jera bagi para koruptor, bahkan hukuman itu merangsang munculnya embrio
baru bagi pembiakan potensial calon-calon koruptor baru. Kita prihatin pejabat negara seolah berlomba mencari
celah dalam menyiasati peraturan untuk mengeruk uang rakyat dan kekayaan negara.
Hal itu mestinya mendorong pemerintah dan DPR agar kian kreatif
membuat peraturan ekstrim untuk menebas tabiat para pejabat yang korup. Hukuman
yang efektif agar para koruptor jera harus segera dicari secara radikal dan
serius.
Indonesia nampaknya perlu belajar dari Latvia dan
China yang berani melakukan perombakan besar dalam menumpas korupsi di
negaranya. Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk
memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau
UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan
dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang
aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari
korupsi.
Di China dilakukan pemutihan semua koruptor
yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap
bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu
langsung dijatuhi hukuman mati. Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di
China dijatuhi hukuman mati. Sekarang China menjadi negara bersih. Indonesia
seharusnya berkaca dari dua negara ini. Mahfud
MD, saat menjabat Menteri Kehakiman pada
era Presiden Abdurrahman Wahid, pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU
pemutihan. Namun, usulan itu kandas karena Gus Dur keburu lengser.
Anies Baswedan pernah menyatakan
bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari hulu ke hilir. Yang
penting dilakukan saat ini adalah pendidikan anti korupsi di rumah-rumah, Sebab
korupsi adalah gejala defisit integritas. Integritas harus dimulai dari pendidikan di rumah-rumah. Ibu-ibu dapat
mengatakan pada anaknya, rahim ini tak dimaksudkan menghasilkan para pencuri.
Pesan itu akan tertanam penuh pada anak-anak kita,"
Sesungguhnya tidak sedikit yang mengusulkan mengenai
model hukuman yang dapat membuat jera para koruptor, mulai dari hukuman
gantung, hukum pancung, pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang
mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik. Namun
pada prakteknya, Penegak hukum masih suka berbaik hati kepada pelaku korupsi.
Mereka lebih suka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk
menjerat mereka yang muaranya cuma menghasilkan vonis enteng dan berhenti pada
pelaku utama. Padahal, kita sudah memiliki perangkat hukum untuk menebas kanker korupsi
sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan undang-undang
itu, jaksa dan hakim bisa menelikung koruptor dan pihak lain yang terlibat
dengan hukuman berat. Lebih dari itu, negara dapat leluasa menelusuri,
mengusut, dan menyita aset hasil korupsi sekaligus memiskinkan mereka.
Undang-undang Pencucian Uang yang berprinsip follow
the money ialah senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya,
senjata itu jarang digunakan. Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Kita
mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian rajin
menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang ketika KPK membeberkan
aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo
senilai lebih dari Rp100 miliar. Juga mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq
dan Fathonah dalam perkara suap impor daging sapi.Yang terakhir Undang-undang
itu dikenakan pada Akil Muhtar Ketua non aktif Mahkamah konstitusi. Selain
Undang-Undang Pencucian Uang yang semakin sering diterapkan KPK, juga perlu
segera direalisasikan Undang-Undang Pembuktian Terbalik serta Undang-Undang
Perampasan Aset Tindak Pidana. Jika semua perangkat undang-undang itu ada,
ruang gerak koruptor kian sempit. Para penyelenggara negara pun akan berpikir
seribu kali sebelum menggerogoti uang negara.
Beberapa pihak sejatinya banyak yang menyetujui penerapan hukuman mati bagi
terpidana korupsi dan penyuapan, karena hal tersebut sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang No 31/1999, yang diperbarui
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat
negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu.
Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman
mati. Saat ini bukan saat yang tepat untuk terus berdebat mengenai itu.
Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani
memutuskannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar