Salah satu isu penting
dalam penyelenggaraan pendidikan saat ini adalah pengembangan budaya
religius. Pasal 1 Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya dalam pasal 3
disebutkan bahwa, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[1]. Dari sini
jelas bahwa budaya religius merupakan bagian penting dari komponen tujuan pendidikan
nasional.
Sebenarnya
pemerintah telah mencanangkan pengembangan budaya religius sebagai bagian dari
pembentukan karakter dimulai sejak usia dini, dari jenjang pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi, salah satu pertimbangannya adalah, jika karakter sudah
terbentuk sejak usia dini pada diri seseorang, maka akan menjadi warna sekaligus
landasan yang kokoh bagi yang bersangkutan dalam menjalankan dan
menghadapi kehidupan masa depannya[2], Akan
tetapi fenomena
saat
ini menunjukkan bahwa
telah terjadi kemerosotan
moral
yang cukup menghawatirkan pada sebagian besar remaja termasuk didalmnya anan
sekolahan, baik
di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, hal ini merupakan indikator nyata dari lemahnya
budaya religius pada diri mereka.
Kritik terhadap
dunia pendidikan yang sering kita dengar akhir-akhir ini adalah bahwa pendidikan
belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berbudaya religius, banyaknya
lulusan lembaga pendidikan yang hanya memiliki sejumlah kecerdasan tetapi
bermental lemah dan bermoral rendah, ditambah maraknya tindak kekerasan
antar-pelajar, antar-mahasiswa, pelajar dengan mahasiswa maupun
pelajar-mahasiswa dengan masyarakat, adalah sederet fakta yang memperkuat
pendapat diatas. Belum lagi, persoalan-persoalan korupsi, kejahatan seksual,
perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak
produktif, perilaku individualis yang menjadi sorotan tajam masyarakat semakin
mempertegas sinyalemen kegagalan pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia
yang berkarakter
dan berbudaya religius.
Budaya Religius (Religious Culture) adalah
membudayakan nilai-nilai agama kepada para peserta didik melalui proses pembelajaran
baik di dalam maupun di luar kelas. Di lembaga pendidikan seperti pondok
pesantren, pengembangan
budaya religius dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui:
kebijakan pimpinan pesantren, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, kegiatan
ekstra kurikuler, serta tradisi dan perilaku warga pesantren secara kontinyu
dan konsisten, sehingga tercipta religious culture di lingkungan
lembaga pendidikan tersebut. Tujuan utamanya adalah menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis dalam
pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang
baik (akhlaqul Karimah) serta disiplin dalam berbagai hal.
Strategi pengembangan budaya religius dalam komunitas pesantren, menurut Muhaimin meniscayakan adanya
pengembangan tiga tataran. Yaitu, tataran nilai yang dianut, tataran praktek
keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut,
perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu
dikembangkan di spondok
pesantren. Selanjutnya, dibangun
komitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga pesantren terhadap nilai-nilai yang
disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan ada yang
bersifat horizontal. Yang vertikal
berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (habl min Allah), dan
yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya
(habl min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitarnya[3].
Dalam tataran praktek keseharian, nilai-nilai
keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan
perilaku keseharian oleh semua warga pesantren. Proses pengembangan tersebut dapat
dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: pertama, sosialisasi nilai-nilai
agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada
masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan
mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan
dilakukan oleh semua pihak di pesantren dalam mewujudkan
nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga, pemberian
penghargaan terhadap prestasi warga pesantren, seperti ustadz/ustadzah, tenaga kependidikan, dan
santri sebagai usaha pembiasaan
(habit formation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan
loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak
selalu berarti materi, tetapi juga dalam arti sosial, kultural, psikologis,
ataupun lainnya.
Terdapat sejumlah nilai
budaya rilegius
yang perlu
dikembangkan agar menjadi karakter bagi peserta didik, diantaranya, ketakwaan, kejujuran, kearifan, keadilan,
kesetaraan, harga diri, percaya diri, harmoni, kemandirian, kepedulian,
kerukunan, ketabahan, kreativitas, kompetitif, kerja keras, keuletan,
kehormatan, kedisiplinan, dan keteladanan[4]. Untuk
mewujudkan budaya
seperti diatas tentu tidak semudah
membalik telapak tangan, diperlukan usaha yang sistematis, metodologis,
berkelanjutan dan sungguh-sungguh. Dengan penanaman budaya religius yang diterapkan secara
sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan pesera didik menyongsong masa depannya, sebab seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi
segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Pembentukan budaya religius pada
peserta didik memiliki esensi dan makna
yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang
baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial agama tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari budaya religius dalam konteks pendidikan
di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia dan budaya agama, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Internalisasi budaya religius
pada perserta didik diharapkan dapat membentuk dan
membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi
yang positif, berakhlak karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Dalam
konteks pendidikan, pengembangan
budaya religius adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk peserta
didik menjadi pribadi yang agamis, positif dan berakhlak karimah sesuai standar
kompetensi lulusan (SKL) sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pengembangan budaya religius di pondok pesantren mempunyai landasan yang kokoh, baik secara normatif religius maupun kostitusional, dan hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran para
penggerak kehidupan keagamaan di pesantren. Meminjam teori Philip Kotler (1978) bahwa terdapat lima unsur dalam melakukan
gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat pesantren, yang di singkat 5 C. Kelima hal tersebut yaitu: Pertama, Causes,
sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan. Antara lain berupa ideas (gagasan
atau cita-cita) atau pandangan dunia dan atau nilai-nilai. Hal itu biasanya
dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang dipandang mampu memberikan
jawaban terhadap problem yang dihadapi. Kedua,
Change agency, yakni pelaku perubahan
atau tokoh-tokoh yang berada di balik aksi perubahan dan pengembangan. Ketiga, Change Target (sasaran perubahan), seperti
individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya
pengembangan dan perubahan. Keempat, Channel (saluran), yakni media untuk menyampaikan
pengaruh dan respons dari setiap pelaku pengembangan ke sasaran pengembangan
dan perubahan. Kelima, change strategy, yakni teknik utama memengaruhi yang
diterapkan oleh pelaku pengembangan dan perubahan untuk menimbulkan dampak pada
sasaran-sasaran yang dituju.
Dari teori
diatas, maka salah satu faktor yang berperan
penting dalam pengembangan budaya religius adalah peran aktif komunitas pesantren seperti dewan
asatidz, pengurus, santri dan lain-lain, Akan tetapi sebagai pimpinan dan pengasuh pesantren, Kyai mempunyai peranan yang besar dalam hal ini, sebab di tangan merekalah kebijakan-kebijakan tersebut
dibuat untuk kemudian dilaksanakan oleh segenap warga pesantren.
Berbicara tentang kepemimpinan di pesantren, kyai merupakan aktor utama. Sebagai
perintis, pengasuh dan sekaligus pimpinan pesantren,
kyai sangat menentukan dan
mewarnai pembentukan tipologi pesantren
yang tercermin dalam pola hidup keseharian para santri dan komunitas
pesantren. Karena itu,
menurut Mujammil Qomar, karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui
profil kyainya. Kyai ahli fikih akan mempengaruhi pesantrennya
dengan kajian fikih, kyai ahli ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di
pesantrennya untuk mendalami ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga
mempengaruhi idealisme fokus kajian di pesantren yang diasuhnya[5].
Kepemimpinan kyai sebagaimana
digambarkan Ziemek[6] adalah kepemimpinan karismatik yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola pesantren
yang didirikannya, Kyai berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi
terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di pesantren. Pada sistem yang
seperti ini, Kyai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Dengan model ini, kyai
berposisi sebagai sosok yang dihormati, disegani, serta ditaati dan diyakini
kebenarannya akan segala nasehat-nasehat yang diberikan kepada para santri. Hal
ini dipandang karena kyai memiliki ilmu yang
dalam (alim) dan membaktikan hidupnya untuk Allah, serta menyebarluaskan
dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan.
Secara
sosiologis peran dan fungsi kepemimpinan kyai adalah sangat
vital, Ia
memiliki kedudukan kultural dan struktural yang tinggi di mata
masyarakatnya [7],. Realitas
ini memungkinkan kyai
berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kepemimpinan kyai
tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial
yang lebih luas[8]. Prinsip
demikian koheren dengan argumentasi Geertz (1981) yang menunjukkan peran kyai
tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai
agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara
budaya (cultural broker). Ini
berarti, kyai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran
yang diembannya.
Pondok pesantren dapat
diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak
dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan
dan lingkungan pesantren, karena itu kyai merupakan
elemen yang paling esensial dari sebuah pesantren. Imam Bawani mengatakan bahwa maju
mundurnya suatu pesantren amat tergantung pada pribadi kyainya, terutama oleh
adanya keahlian dan kedalaman ilmu agamanya, wibawa dan kharisma
kyai serta keterampilannya dalam mengelola pesantrennya. Hal ini dikarenakan: pertama,
Kyai dalam lembaga pesantren adalah elemen penting dan sekaligus sebagai tokoh
sentral dan esensial, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh,
pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren[9]
Kepercayaan
masyarakat yang begitu tinggi terhadap kyai dan didukung potensinya memecahkan
berbagai problem sosio-psikis-kultural-politik-religius menyebabkan kyai
menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat.
Kyai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap
pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa,
sehingga memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun
terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri
dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang
kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara
moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kyai.
Di
tengah krisis kepemimpinan, sistem pemerintahan dan kenegaraan
Indonesia yang tidak memiliki moralitas cukup, pengembalian peran tokoh
bermoral seperti kyai menjadi amat penting untuk tidak hanya menjadi penjaga
moralitas umat, tetapi juga dalam mewujudkan pendidikan
Indonesia yang mengedepankan karakter bangsa dan budaya religius.
Kepemimpinan kyai dalam pesantren merupakan salah satu
unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan
pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental
yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan,
mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan
sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga
pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan
peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat,
kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok
individu
Menurut Mastuhu, kepemimpinan kyai dalam pesantren dimaknai sebagai
seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren
tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya
tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk
berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan. Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kyai di atas adalah suatu hal
yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kyai merupakan
pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu
(yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar
pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan
yang dipimpinnya.
Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kyai sampai
saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan
pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam).
Oleh karenanya, kyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transcendental karena kedekatannya dengan sang pencipta. Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, kyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transcendental karena kedekatannya dengan sang pencipta. Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar