Minggu, 20 Oktober 2013

KEPEMIMPINAN KYAI DAN BUDAYA RELIGIUS DI PONDOK PESANTREN



Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pendidikan saat ini adalah pengembangan budaya religius. Pasal 1 Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan bahwa, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[1]. Dari sini jelas bahwa budaya religius merupakan bagian penting dari komponen tujuan pendidikan nasional.
Sebenarnya pemerintah telah mencanangkan pengembangan budaya religius sebagai bagian dari pembentukan karakter dimulai sejak usia dini, dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, salah satu pertimbangannya adalah, jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini pada diri seseorang, maka akan menjadi warna sekaligus landasan yang kokoh bagi yang bersangkutan dalam menjalankan dan menghadapi  kehidupan masa depannya[2], Akan tetapi fenomena saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi kemerosotan moral yang cukup menghawatirkan pada sebagian besar remaja termasuk didalmnya anan sekolahan, baik di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, hal ini merupakan indikator nyata dari lemahnya budaya religius pada diri mereka.
Kritik terhadap dunia pendidikan yang sering kita dengar akhir-akhir ini adalah  bahwa pendidikan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berbudaya religius, banyaknya lulusan lembaga pendidikan yang hanya memiliki sejumlah kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral rendah, ditambah maraknya tindak kekerasan antar-pelajar, antar-mahasiswa, pelajar dengan mahasiswa maupun pelajar-mahasiswa dengan masyarakat, adalah sederet fakta yang memperkuat pendapat diatas. Belum lagi, persoalan-persoalan korupsi, kejahatan seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, perilaku individualis yang menjadi sorotan tajam masyarakat semakin mempertegas sinyalemen kegagalan pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkarakter dan berbudaya religius.
Budaya Religius (Religious Culture) adalah membudayakan nilai-nilai agama kepada para peserta didik melalui proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Di lembaga pendidikan seperti pondok pesantren, pengembangan budaya religius dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui: kebijakan pimpinan pesantren, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, kegiatan ekstra kurikuler, serta tradisi dan perilaku warga pesantren secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religious culture  di lingkungan lembaga pendidikan tersebut. Tujuan utamanya adalah menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis dalam pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang baik (akhlaqul Karimah) serta disiplin dalam berbagai hal.
Strategi pengembangan budaya religius dalam komunitas pesantren, menurut Muhaimin meniscayakan adanya pengembangan tiga tataran. Yaitu, tataran nilai yang dianut, tataran praktek keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di spondok pesantren. Selanjutnya, dibangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga pesantren terhadap nilai-nilai yang disepakati.  Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan ada yang bersifat horizontal. Yang vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (habl min Allah), dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya (habl min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitarnya[3].
Dalam tataran praktek keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga pesantren. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di  pesantren dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga pesantren, seperti ustadz/ustadzah, tenaga kependidikan, dan santri sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi, tetapi juga dalam arti sosial, kultural, psikologis, ataupun lainnya.
Terdapat sejumlah nilai budaya rilegius yang perlu dikembangkan agar menjadi karakter bagi peserta didik, diantaranya, ketakwaan, kejujuran, kearifan, keadilan, kesetaraan, harga diri, percaya diri, harmoni, kemandirian, kepedulian, kerukunan, ketabahan, kreativitas, kompetitif, kerja keras, keuletan, kehormatan, kedisiplinan, dan keteladanan[4]. Untuk mewujudkan budaya seperti diatas tentu tidak  semudah membalik telapak tangan, diperlukan usaha yang sistematis, metodologis, berkelanjutan dan sungguh-sungguh. Dengan penanaman budaya religius yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan pesera didik menyongsong masa depannya,  sebab seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Pembentukan budaya religius pada peserta didik memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial agama tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari budaya religius dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia dan budaya agama, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.  
Internalisasi budaya religius pada perserta didik diharapkan dapat  membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang positif, berakhlak karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, pengembangan budaya religius adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang agamis, positif dan berakhlak karimah sesuai standar kompetensi lulusan (SKL) sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengembangan budaya religius di pondok pesantren mempunyai landasan yang kokoh, baik secara normatif religius maupun kostitusional, dan hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di pesantren. Meminjam teori Philip Kotler (1978) bahwa terdapat lima unsur dalam melakukan gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat pesantren, yang di singkat 5 C. Kelima hal tersebut yaitu: Pertama, Causes, sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan. Antara lain berupa ideas (gagasan atau cita-cita) atau pandangan dunia dan atau nilai-nilai. Hal itu biasanya dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang dipandang mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi. Kedua, Change agency, yakni pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang berada di balik aksi perubahan dan pengembangan. Ketiga, Change Target (sasaran perubahan), seperti individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya pengembangan dan perubahan. Keempat, Channel (saluran), yakni media untuk menyampaikan pengaruh dan respons dari setiap pelaku pengembangan ke sasaran pengembangan dan perubahan. Kelima, change strategy, yakni teknik utama memengaruhi yang diterapkan oleh pelaku pengembangan dan perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran-sasaran yang dituju.
Dari teori diatas, maka salah satu faktor yang berperan penting dalam pengembangan budaya religius adalah peran aktif komunitas pesantren seperti dewan asatidz, pengurus, santri dan lain-lain, Akan tetapi sebagai pimpinan dan pengasuh pesantren, Kyai mempunyai peranan yang besar dalam hal ini, sebab di tangan merekalah kebijakan-kebijakan tersebut dibuat untuk kemudian dilaksanakan oleh segenap warga pesantren.
Berbicara tentang kepemimpinan di pesantren, kyai merupakan aktor utama. Sebagai perintis, pengasuh dan sekaligus pimpinan pesantren, kyai sangat menentukan dan mewarnai pembentukan tipologi pesantren yang tercermin dalam pola hidup keseharian para santri dan komunitas pesantren.  Karena itu, menurut Mujammil Qomar, karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kyainya. Kyai ahli fikih akan mempengaruhi pesantrennya dengan kajian fikih, kyai ahli ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di pesantrennya untuk mendalami  ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga mempengaruhi idealisme fokus kajian di pesantren yang diasuhnya[5].
Kepemimpinan kyai sebagaimana digambarkan Ziemek[6] adalah kepemimpinan karismatik yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola pesantren yang didirikannya, Kyai berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di pesantren. Pada sistem yang seperti ini, Kyai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Dengan model ini, kyai berposisi sebagai sosok yang dihormati, disegani, serta ditaati dan diyakini kebenarannya akan segala nasehat-nasehat yang diberikan kepada para santri. Hal ini dipandang karena kyai memiliki ilmu yang dalam (alim) dan membaktikan hidupnya untuk Allah, serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan.
Secara sosiologis peran dan fungsi kepemimpinan kyai adalah sangat vital, Ia memiliki kedudukan kultural dan struktural yang tinggi di mata masyarakatnya [7],. Realitas ini memungkinkan kyai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kepemimpinan kyai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas[8]. Prinsip demikian koheren dengan argumentasi Geertz (1981) yang menunjukkan peran kyai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara budaya (cultural broker).  Ini berarti, kyai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya.
Pondok pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren, karena itu kyai merupakan elemen yang paling esensial dari sebuah pesantren. Imam Bawani mengatakan bahwa maju mundurnya suatu pesantren amat tergantung pada pribadi kyainya, terutama oleh adanya keahlian dan kedalaman ilmu agamanya, wibawa dan kharisma kyai serta keterampilannya dalam mengelola pesantrennya. Hal ini dikarenakan: pertama, Kyai dalam lembaga pesantren adalah elemen penting dan sekaligus sebagai tokoh sentral dan esensial, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren[9]
Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kyai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosio-psikis-kultural-politik-religius menyebabkan kyai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kyai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kyai.
Di tengah krisis kepemimpinan, sistem pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang tidak memiliki moralitas cukup, pengembalian peran tokoh bermoral seperti kyai menjadi amat penting untuk tidak hanya menjadi penjaga moralitas umat, tetapi juga dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang mengedepankan karakter bangsa dan budaya religius.
Kepemimpinan kyai dalam pesantren merupakan salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu
Menurut Mastuhu, kepemimpinan kyai dalam pesantren dimaknai sebagai seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan. Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kyai di atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kyai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan yang dipimpinnya.
Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kyai sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam).
Oleh karenanya, kyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transcendental karena kedekatannya dengan sang pencipta.
Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya.



           [1] Tim Diknas RI, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Semarang ; Pustaka Ofsett, 2004), hal. 6
           [2] HusainiImplementasi Budaya Religius di Pesantren, Madrasah & Sekolah , (Jogjakarta ; Pustaka Marwah, 2010), hal. 22
           [3]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hal. 294.
           [4] Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan. (Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 13
           [5]Mujammil Qomar. Manajemnen Pendidikan Islam : Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2002), 64.
           [6]Zeimek.  Pesantren dan perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1986), 138.
           [7] Karel A. Steenbrink, Pesantren,  Madrasah, Sekolah , (Jakarta ; LP3ES, 1986),  109
                [8]Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren  Education , The Impact of  Pesantren in Education and Community Development in Indonesia (Berlin; Technical University Berlin, 1987), 200
             [9]Imam Bawani,  Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya, Al-Ikhlas, 1997), 14

Tidak ada komentar: