Senin, 09 September 2013

MEGAHNYA GEDUNG PENGADILAN TAK MENJAMIN TEGAKNYA KEADILAN



Belakangan ini wacana keadilan kembali ramai dibincangkan orang, terutama pasca mencuatnya kejadian-kejadian norak di dunia hukum dan peradilan kita, mulai dari banyaknya penegak hukum yang melanggar hukum, penerapan standart ganda bagi kelompok elit dan alit, dimana koruptor kakap dengan mudahnya divonis bebas sementara nenek-nenek yang diduga mencuri dua biji kakau untuk mengisi perutnya yang sekian lama keroncongan langsung divonis 4 bulan kurungan penjara tanpa ampun,. Juga kasus hukum bank century yang merugikan Negara 6,7 trilyun yang hingga kini mbulet ndak karu-karuan, soal kasus cicak versus buaya, soal makelar kasus (Markus), dan kini ditambah lagi soal buaya versus gerombolan buaya, kiranya telah melengkapi ketidak percayaan rakyat akan tegaknya keadilan di negeri ini, sayang sekali, semakin banyak dibangun gedung dan lembaga peradilan, ternyata semakin sedikit ditegakkan keadilan.
Antara Keadilan Dan Kebencian
Mempertemukan keadilan dan kebencian dalam sebuah tulisan rasanya tidak terlalu sulit, kita tinggal menulis dan mengulas kedua kata-kata itu. Tetapi mempertemukan keduanya dalam hati dan perbuatan sungguh tidaklah mudah. Padahal dapat dipastikan bahwa keadilan akan menguap jika kebencian menguasai hati seseorang. Dari sinilah sesunggunya akar penyakit penegakkan hukum di negeri kita ini, di samping kitab hukumnya masih menggunakan produk Londo, juga rasa cinta atau benci pada seseorang atau suatu kaum dapat menjadi penghalang bagi tegaknya keadilan. Ditambah lagi dengan kesaksian palsu yang semakin sering dilakukan oleh beberapa pihak demi kepentingan tertentu. Sepertinya kejujuran kian menipis bahkan mulai langka dalam jiwa bangsa ini, sebab hampir disetiap sektor kehidupan sudah dianggap lumrah tipu-menipu, suap menyuap dan kepalsuan lainnya.
Adalah sulit bagi seorang hakim yang menyimpan kebencian terhadap terdakwa untuk memutuskan vonis secara adil, kecuali yang bersangkutan termasuk orang-orang beriman yang bertaqwa kepada Allah swt, sebab bagi orang yang beriman dan bertaqwa pasti memiliki keasadaran mendalam bahwa apapun yang ia putuskan akan dimintai pertanggung jawab di akhirat kelak. Dan Allah maha mengetahui segala yang dikerjakan oleh hamba-Nya, termasuk yang tersembunyi sekalipun. Maka, sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan seseorang Allah swt akan membalasnya, dan sekecil apa pun keburukan yang dilakukan seseorang, Allah pasti membalasnya juga.
Disinilah perbedaan yang mendasar antara Islam dan demokrasi ala barat. Demokrasi secara fisik menyuarakan bahwa keadilan demi rakyat. Padahal sesungguhnnya dengan kekuasaan di tangan seorang penguasa (yang minus keimanan) akan dengan leluasa mengibuli rakyatnya. Seorang hakimyang demikian akan leluasa mempermainkan hukum karena yang ditakuti bukan Tuhan yang maha mengetahui dan maha membalas, melainkan hanya lembaga hukum seperti komisi pemberantasan korupsi (yang kadangkala juga perlu diberantas karena juga sering melakukan korupsi dengan menerima komisi) atau atasan (yang perlu juga diatasi) atau penegak hukum lain (yang sejatinya perlu dihukum). 
Maka, seharusnya syarat seorang hakim adalah orang-orang yang beriman yang memutuskan sesuatu karena Allah, seorang jaksa dan polisi seharusnya juga orang yang beriman yang melakukan tuntutan dan penyidikan karena Allah. Bila bukan itu yang dijadikan bingkai, niscaya sampai kapanpun keadilan tidak akan pernah tegak, sebab keadilan selalu dipersepsi berbeda-beda tergantung sudut pandang, (atau lebih tepat : sudut kepentingan masing-masing). Karena itulah Jangan pernah mengharapkan keadilan jika aparat hukum kita masih orang-orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Jangan mengharap keadilan jika mata kita masih silau melihat harta dan tahta.
Demikian juga seorang saksi semestinya juga adalah orang yang beriman, yang menyampaikan kesaksiannya semata-mata karena Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu elemen pokok dalam penegakkan keadilan adalah saksi. Peran saksi sangat signifikan dan berpengaruh besar bagi tegaknya keadilan. Bukankah keputusan hakim sangat tergantung pada kesaksian para saksi? Bukankah banyak kesaksian telah memalingkan hakim dari kebenaran? Bukankah banyak saksi yang telah mengubah kesaksiannya hanya karena ditekan, diancam, atau dibungkam dengan alat yang bermacam-macam.
Itulah sebabnya, dalam ayat keadilan (Qs. 5 : 8) Allah memulai seruanNya dengan menggunakan kata ”Hai orang-orang yang beriman”, artinya baik penyidik, penuntut, pengadil dan –terutama- saksi  dalam melakukan proses pengadilan, diperintahkan untuk menegakkan keadilan semata-mata karena perintah Allah, bukan karena yang lain. Bukan karena kebencian atau kecintaan kepada seseorang atau kaum tertentu, bukan juga  karena kekayaan dan kekuasaan atau kemiskinan dan kejelataan si terdakwa. Hal ini penting ditegaskan karena faktanya hal-hal diatas tak jarang membuat pelaku hukum berbuat nista, bersaksi dusta dan memutar balikkan fakta, karena dibungkam dengan uang, karena takut ancaman, atau karena iba dan kasihan. Sungguh, tendensi tertentu dalam usaha menegakkan keadilan dan kesaksian hanya akan membuat semakin rancu keadilan itu sendiri. Maka Allah swt mengecam orang-orang yang berbuat demikian, dan Dia maha mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak satu pun yang dapat bersembunyi dari penglihatanNya.
Dampak ketidak adilan
Tatanan masyarakat harmonis hanya dapat terwujud dengan baik manakala keadilan ditegakkan di berbagai sektor kehidupan, karena itu banyak sekali ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk berlaku adil dalam keadaan apapun dan terhadap siapapun. Berlaku adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional. Seseorang dapat disebut adil, manakala dirinya maju tak gentar membela yang benar bukan maju tak malu membela yang bayar, pemimpin yang adil  adalah pemimpin yang menata rakyatnya diatas landasan kesetaraan, pemerataan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu.
Penegakan supremasi hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa tebang pilih merupakan sesuatu yang strategis dan fundamental, sebab dengan tegaknya keadilan akan terwujud kehidupan yang damai dan bersih dari berbagai bentuk kecemburuan dan kesenjangan sosial, karena itu Allah swt sangat mencintai orang yang berlaku adil (Qs. 49 : 9).
Sebaliknya, dalam banyak fakta ditemukan bahwa ketidak adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial dalam memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Ketidak adilan merupakan faktor utama bagi timbulnya keributan kemanusiaan. Kasus-kasus kemanusiaan seperti : di Singkawang, Palangkaraya, Pontianak dan Sampit beberapa tahun lalu adalah contoh nyata dari pelampiasan emosional karena kecemburuan sosial ekonomi, Jika para pejabat terus menaikkan gaji dan tunjangannya ditengah megap-megapnya rakyat jelata yang tengah berjuang mempertahankan hidup, maka normal jika terjadi keresahan dan kerusuhan dimana-mana, hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari tindakan ketidak adilan. Itulah sebabnya jauh-jauh sebelumnya dalam  Qs. 5 : 8 Allah swt menyeru : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
Keadilan dalam perspektif Sufi
Dalam perspektif sufi, yang paling ditakuti justru keadilan Tuhan. Saya ingin mengupasnya melalui sebuah kisah, suatu ketika seorang santri  bertanya  kepada Gus (putra kiai) yang kebetulan baru pulang dari program doktor (PhD) di luar negeri,  konon Gus tersebut disana adalah seorang aktivis hukum dan HAM serta pejuang keadilan.
Menurut pandangan Gus, apa yang paling penting dilakukan untuk mengantarkan masyarakat negeri ini pada kesejahteraan ?, dengan mantap sang Gus menjawab : menegakkan supremasi hukum  dan  keadilan untuk semua pihak tanpa pandang bulu, hanya dengan keadilan negara ini akan di kasihi Tuhan.
Tetapi menurut Kiai sepuh (ayah anda) dalam pengajian tadi malam tidak begitu, potong si santri kebingungan.  Gimana dawuh Abi, tanya Gus penasaran ?
 Menurut  beliau justru  yang paling kita takutkan dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila Tuhan betul-betul menerapkan keadilanNya, rasanya sedikit sekali manusia yang bakal masuk sorga. Ada hadits yang menyatakan “ tidak akan  pernah masuk  sorga seseorang yang dalam hatinya ada  takabbur walau sebesar debu”, Realitasnya takabbur kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung, padahal sebesar debu saja dihararamkan masuk sorga. Ada pula hadits yang menyebutkan “ Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”. Bila sesuap saja akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa hari jika yang masuk ke perutnya  dua milyar suap ? Jika memperhatikan hadits-hadits itu, rasanya kita semua akan masuk neraka.
Jika Allah dengan keadilannya membalas kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua amal kita, maka celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita, tentu sangat tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya, seperti riya’ dan ujub.  Dalam hadits qudsi disebutkan jika seluruh hidup manusia digunakan seluruhnya untuk berbakti dan beramal kepada Allah niscaya itu belum sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah pada mahluknya. Dalam riwayat yang lain ditegaskan “Seorang masuk sorga bukan karena amalnya,tetapi karena kasih sayang (rahmat) Allah ta’ala. (Hr. Muslim)
Apalagi  prilaku sebagian kita yang sangat keterlaluan. Korupsi muncul silih berganti dan susul menyusul hanya dalam hitungan hari di negeri ini. Belum kering airmata menangisi kasus Hambalang, muncul kasus simulator SIM, belum usai gonjang ganjing kasus cebongan dan eyang Subur, kasus impor daging sapi mengguncang PKS, belum tuntas kasus perbudakan di Tengerang dan Lampung, menyusul lagi kasus yang melibatkan Fathonah mengenai pencucian uang  dan gratifikasi seks yang melibatkan puluhan wanita-wanita cantik.  Kasus-kasus itu tidak hanya membuat spesies manusia yang terperanjat, alampun ikut tergoncang, mereka muntahkan banjir di berbagai tempat, gunung terusik dan meletus, kebakaran terjadi hampir tiap hari,....Ada apa ini ?, pertanda apa ini ?    Tidak hanya manusia yang bereaksi, alam, bumi dan air juga unjuk gigi, bahkan api dan udarapun turut mengamuk dengan aksi kebakaran dan semburan awan panas mematikan. Dan kabar terkini, beberapa gunung berapi di Indonesia juga mulai berancang-ancang untuk ambil bagian dalam mengingatkan ketersesatan kita.
 Keserakahan, keingkaran, dan kemaksiatan adalah penyebabnya. Karena maksiat, barokah tertahan, karena maksiat, bencana berdatangan. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an : Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan manusia, (lalu Allah peringatkan mereka),  supaya merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka, sehingga mereka menyadari dan  kembali  pada jalan yang benar. (Qs. 30 : 41)
Sulit dibantah bahwa telah sekian lama sebagian warga negara diberbagai lapisan berlomba menggarong kekayaan negara. Mencederai rakyat dengan korupsi, mengelapkan uang pajak serta memperjual belikan hukum & keadilan. Disisi lain, hutan-hutan digunduli, pasir-pasir di keruk tanpa batas, udara terus diracuni dengan polusi dan zat-zat kimia yang berbahaya, bumi di bor sampai kedalaman yang membahayakan, hewan-hewan ditangkapi demi tujuan bisnis. Akibatnya alam rusak parah, musim tidak lagi beraturan, ozon kian menipis, limbah polusi mulai menyerang udara, air dan bumi kita. Dari sini sebetulnya upaya mengundang bencana secara sengaja sedang dimulai.
Belum lagi dengan ilmu pengetahuan modern yang lebih cenderung pada pemenuhan hawa nafsu dibanding meredamnya, ketika sebagian orang terkena penyakit kelamin, solusi yang ditawarkan adalah kondom, bukan cara mencegahnya. Bila para orang tua risau oleh prilaku seks bebas anak-anaknya, jalan keluar yang ditawarkan adalah obat anti hamil, bukan cara mencegah atau menghindari seks bebas itu. Akhirnya apa ? kemaksiatan semakin merajalela, dan sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud,  Baginda Nabi saw bersabda : Bila semarak kemaksiatan maka akan muncul kegoncangan
Tetapi semoga saja Allah swt tidak sedang murka kepada kita, melainkan hanya mengingatkan kita agar kembali pada jalan yang benar. Sebab kalau Allah murka, barangkali tidak  sekedar sejumlah masalah dan kasus atau bencana alam yang ditimpakan kepada kita, mengingat persyaratan untuk kita dihancur leburkan selebur-leburnya sudah sempurna  kita miliki. Ukuran kemaksiatan, kedurhakaan dan kesalahan kita selama ini dari sudut aqidah, syariah dan ahlak, dari sudut individu dan sosial sungguh tidak lebih rendah dibanding kedurhakaan kaum Nabi Nuh as yang kemudian ditelan air bah raksasa. Sungguh penderitaan yang kita alami akibat perbuatan kita jauh belum sepadan dengan kebusukan hati, kebobrokan moral dan penghianatan yang kita lakukan selama ini baik secara individu maupun secara kolektif.
Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu.  #. 





Selasa, 13 Agustus 2013

MENUSANTARAKAN ISLAM ATAU MENGISLAMKAN NUSANTARA*




Pendahuluan
Sebelumnya ada buku dengan judul “Menusantarakan Islam” ditulis oleh seorang dosen di STAIN Ponorogo. Judul buku diatas banyak memunculkan musykil. Menusantarakan Islam seakan mengandung arti Islam diakulturasi oleh Nusantara sehingga Islam menjadi melebur atau mungkin hilang, dan yang ada adalah Nusantara. Apakah benar penulis buku ini menginginkan Islam hilang dan yang nampak dan dominan adalah kultur atau budaya atau peradaban Nusantara, atau sebenarnya ingin menawarkan suatu metode bagaimana Islam dapat diterima di Nusantara ? Kenapa bukan Mengislamkan nusantara yang mengandung arti Islamisasi peradaban atau budaya yang dikenal dengan Nusantara sehingga akhirnya peradaban Nusantara menjadi bagian peradaban Islam.
Terminologi Kekerasan
Dalam buku tersebut disampaikan tentang pergumulan Islam dengan agama lain, realitas sosial, sesama wacana atau penganut agama Islam yang berbeda aliran, dan antara Islam dan penjajah. Dalam kesimpulannya Islam pada awalnya berwajah damai mampu berdialog dengan secara damai dengan agama-agama yang telah ada. Dialog damai ini terjadi ketika Islam masih dalam tahap mencari ruang bereksistensi. Namun demikian, ketika sudah mapan dan mendominasi, wajah Islam berubah drastis. Hal ini terjadi setelah Islam bergandeng tangan dengan politik. Disebutkan, Abu Bakar memerangi pembayar Zakat dan pengaku Nabi, Utsman mengukuhkan keluarganya dalam kekuasaan sehingga akhirnya terbunuh, Ali mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan kekerasan dalam perang Jamal dan Shiffin, Mu’awiyah merebut kekuasaan politik Ali dengan membunuh para pengikut Ali.
Hal yang sama juga terjadi di Nusantara, ArRaniri dengan penguasa baru menindas Hamzah Fansuri, Walisongo dengan penguasa Demak melakukan tindakan kekerasan kepada Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri terhadap tarekat Syatariah, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyul, pemaksaan syariat Islam seperti label halal-haram, pengesahan Kompilasi Hukum Islam, dan pemberlakuan undang-pornografi.
Apakah benar ketika sudah mapan wajah Islam berubah keras dan melakukan tindakan pemaksaan agama? Di sini terlihat kerancuan pikiran penulis dalam cara membaca kekerasan. Kekerasan yang dinisbatkan kepada para Khalifah diatas tidak ada hubungannya dengan pemaksaan agama. Tidak ada peristiwa yang bisa diungkap oleh penulis bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Mu’awiyah telah menindas orang Kristen, Yahudi dan agama lain karena tidak mau masuk Islam. Tidak ada juga kisah pelarangan non-muslim melakukan ibadahnya. Begitu juga konflik antara ArRaniri dengan Hamzah Fansuri, Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan tarekat Syatariah, apalagi Muhammadiyah, pelabelan halal-halal haram, kompilasi hukum Islam, dan undang-undang pornografi, tidak ada yang berkaitan dengan pemaksaan agama Islam kepada non-muslim.
Abu Bakar sebagai pemimpin suatu Negara tentu wajib mengambil keputusan kenegaraan ketika terjadi pembangkangan kepada Negara. Zakat merupakan instrumen utama fiskal pada waktu itu, jika penolakan pembayaran zakat dibiarkan, hal ini tentu akan membuat ketidakstabilan perekonomian. Utsman memilih keluarganya dalam pemerintahan, tentu ini merupakan keputusan politis dan managerial beliau. Begitupun juga Ali, sebagai pemimpin Negara tentu harus memberangus setiap pemberontakan. Tentu aneh jika pemerintah pasrah dan membiarkan pemberontakan terjadi. Begitu juga Mu’awiyah ketika ingin mencapai kekuasaannya menggunakan cara militer. Peristiwa-peristiwa ini sangat politis, dan tentu tidak tepat untuk mengatakan bahwa Islam ketika dominan melakukan tindakan kekerasan.
Membaca konflik antara Ar-Raniri dengan Hamzah Fansuri, Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan tarekat Syatariah juga harus dilakukan secara bijak. Hal ini merupakan permasalahan internal Islam dan tidak ada hubungannya dengan penindasan Islam terhadap agama lain. Islam sebagai agama tentu mepunyai konsep-konsep pokok yang mana dengannya disebut sebagai Islam. Tanpa itu tidak akan bisa dibedakan mana Islam dan mana yang bukan, mana yang “Haq” dan mana yang “Bathil”, mana yang “mustaqim” dan mana yang “Dhal”. Ketika terjadi penyimpangan terhadap konsep-konsep pokok tersebut, maka akan terjadi proses dialogis. Ketika proses ini mengalami jalan buntu, tentu harus ada kejelasan mana yang sesat dan mana yang tidak sesat. Hal ini sangat logis, karena logika tidak akan menerima jika semua benar, atau semua salah.
Dalam konteks Nusantara saat ini, penulis memilih beberapa kelompok Islam untuk kemudian dituduh melakukan tindak kekerasan, dan memaparkan beberapa kelompok yang dianggap tertindas melakukan tindakan sebaliknya. Kelompok yang secara langsung disebut adalah FPI dengan tindakan kekerasannya, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyulnya, MUI dengan fatwa-fatwa sesatnya, PKS, FKAWJ, FUI, MMI, KPPSI, Laskar Jihad, HTI, dan JI dengan perasaan paling benarnya. Adapun NU dianggap moderat walaupun nantinya juga tidak luput dari serangan penulis. Kelompok-kelompok ini dikategorikan sebagai Islam transnasional yang mana merupakan gerakan Islam beraliran formalis atau skripturalis yang lahir dari Timur tengah. Atau jika dibandingkan dengan dua kategori berikutnya, unsur esensial ajarannnya berasal dari Arab, nabinya, tempat diterima wahyunya dan kitab sucinya.
Adapun kelompok-kelompok yang mendapat pujian “damai” dari penulis buku ini adalah JIL, Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah. Ahmadiyah dikategorikan sebagai Islam Transnasional non-mainstream, dimana unsur esensial ajarannya lahir dari Negara luar Arab, baik nabinya, tempat menerima wahyunya, kitab sucinya maupun ajarannya. Adapun Salamullah dan al-Qiyadah al-Islamiyah masuk kategori Islam lokal, karena unsur esensial ajarannya seluruhnya bersifat Nusantara, baik nabinya, tempat turun wahyunya, maupun kitab sucinya. Menarik untuk ditanyakan, JIL masuk kategori yang mana? Siapa Nabinya, apa kitab sucinya.
Lagi-lagi, penisbatan “kekerasan” dan “damai” kepada kelompok-kelompok di atas sangat rancu dan terlihat seperti tuduhan dan bukan berdasarkan fakta-fakta sejarah. PKS yang dianggap kelompok yang merasa benar sendiri menunjukkan bagaimana cara berdemo damai. Adapun JIL yang dianggap representasi kelompok Islam “damai” telah melakukan cacian yang luar biasa terhadap MUI, penginjakan lafadz Allah yang menyakiti perasaan umat Islam, bahkan Quran yang sangat umat Islam sucikanpun dihujat. Apakah ini bukan kekerasan? Intinya, siapapun yang umat Islam yang menonjolkan keberislamannya akan terkena tuduhan kekerasan penulis buku ini. Hatta umat Islam yang ingin dapat memilih makanan halal pun tak luput dari tuduhan tersebut.
Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah yang dikategorikan Islam lokal menurut penulis mendapat penindasan oleh Islam karena dituduh “sesat”. Bagi umat Islam tentu hal ini sangat jelas, bagaimana aliran yang beda nabinya, beda ajarannya, beda kitab sucinya dapat dikatakan Islam? Ibarat sebuah keluarga, kemudian ada orang yang mengaku anggota keluarga tapi mengatakan berbeda ayah ibu, berbeda aturan keluarga. Apakah salah jika keluarga tersebut mengatakan kepadanya bahwa kamu bukan bagian keluarga kami. Analogi lebih jelas, jika dalam Negara Indonesia, kemudian muncul kelompok yang mengatakan mempunyai ideologi yang berbeda, aturan hukum berbeda, pemimpin yang berbeda, salahkah Indonesia jika tidak menganggapnya pemberontak dalam Negara, dan haruskah Indonesia membiarkannya dan mendukungnya. Dari sini tentu muncul pertanyaan: siapa yang sebenarnya melakukan kekerasan? Kelompok tersebut atau Indonesia, Ahmadiyah atau Islam?.
Dari sini, kita dapat melihat betapa rancunya pembacaan kekerasan penulis buku ini. Menklaim menggunakan pendekatan sejarah dan pengetahuan sosial, padahal hanya ingin menyatakan bahwa Umat Islam yang meyakini kebenaran agamanya akan mengantarkan kepada pemaksaan idenya. Seakan-akan umat Islam tidak mempunyai konsep toleransi beragama dan tidak mungkin dapat menyebarkan kedamaian di muka bumi. Seakan-seakan Umat Islam tidak pernah mempunyai sejarah yang menebarkan kedamaian di muka bumi.
Bukan hanya rancu dalam membaca kekerasan, penulis buku ini juga rancu dalam memahami Islam. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang disebut dengan Islam.
Framework
Untuk menghilangkan umat Islam yang merasa benar sendiri dan akhirnya akan mengantarkan kepada pemaksaan ideologi, penulis buku ini memberikan tawaran solusi. Pertama adalah otonomisasi  agama dan kedua adalah paradigma nalar nusantara. Yang pertama adalah pelepasan agama secara epistimologis dari bayang-bayang budaya Arab, aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan mainstream. Maksudnya adalah pertama, individu mempunyai otoritas penuh dalam membaca gagasan Tuhan dalam agama. Kedua, dibedakannya agama dengan wacana agama. Agama adalah legislasi Tuhan, adapun hasil intrepretasi atas agama, baik yang dilakukan Muhammad maupun para sahabat, dan mujtahid adalah wacana agama. Ketiga mengikut tiga prinsip berfikir: (1) lima prinsip moral, seperti kejujuran, kemenyeluruhan, kesungguhan, rasionalitas, dan pengendalian diri; (2) konsep “praduga epistimologis”; (3) “nalar ekslusif”.
Setelah terlepas secara estimologis, penulis buku ini menawarkan paradigma nalar Islam Nusantara. Inti dari paradgima nalar Islam Nusantara adalah nalar Islam Antroposentris-transformatif. Paradigma antroposentris menjadikan manusia sebagai pusat eksistensi, dan manusia dipandang tujuan hakiki ajaran Islam. Dari sini, penafsiran dan wacana tafsirnya harus mengarah pada pembebasan manusia dari kekangan paradigma lama yang acapkali mengebiri manusia demi memberikan otoritas penuh pada Tuhan. Adapun nalar Islam trasnformatif berarti suatu nalar Islam yang bercorak praksis dan bertujuan menggerakkan manusia secara aktif dan revolusioner dalam menjalani kehidupan di dunia fana’.
Dengan nalar Islam Nusantara ini, pesan agama yang terdapat dalam kitab suci harus dilihat dengan menggunakan kacamata manusia. Hal ini dilakukan agar dapat ditemukannya pesan yang berbicara mengenai manusia, dan apa yang diberikan agama pada manusia. Metode pembacaan manusiawi terhadap agama ini disebut Hermenuetika . Tindak ingin menghilangkan tafsir dan takwil, penulis buku ini menawarkan pemaduan ketiganya .
Kalau diperhatikan secara seksama tawaran solusi di atas, kita dapat melihat bahwa sebenarnya penulis buku ini  sedang menawarkan faham relatifisme, faham humanisme, dan metode pembacaan Hermeneutika. Otonomisasi agama intinya adalah bagaimana seorang Muslim tidak merasa paling benar dan harus melepas dari otoritas apapun karena kebenaran itu adalah relatif. Inti nalar antropesentris adalah humanisme. Adapun nalar transformatif hanya bisa dilakukan dengan hermeneutika.
Penutup
Islam sebagai Agama telah sempurna dan disempurnakan sejak diturunkannya. Konsep-konsep pokok sebuah agama seperti konsep Tuhan, agama, Ibadah, manusia dan lainnya telah jelas dalam Islam sedari awalnya. Para ulama Ulama sebagai penerus para nabi kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep tersebut tanpa merubah konsep awalnya. Maka dalam Islam telah jelas mana yang Islam dan mana yang tidak Islam, mana yang “haq” dan mana yang “bathil”, mana yang “mustaqim” dan mana yang “dhalal”. Memaksakan Islam mengakui kebenaran di luar Islam merupakan hal konyol. Sebagaimana Islam juga tidak memaksakan siapapun untuk menerima Islam sebagai kebenaran “lakum dinukum wali al-din”; “la ikraha fi al-din”.
Dari sini, memaksakan lagu lama Nisetzche tentang relatifisme dan nihilisme kepada Islam merupakan tindakan “kekerasan”. Jargon yang absolut hanya Allah, tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah, maka Islam yang dibangun Nabi Muhammad diteruskan kemudian oleh para Ulama adalah hanya wacana Islam yang relatif merupakan pernyataan membingungkan. Islam menjadi relatif, tidak mempunyai kriteria keIslaman, lalu bagaimana umat Islam bisa berIslam.
Ujung akhirnya adalah agama baru yang disebut “humanisme”, segalanya tentang manusia, manusia menggeser Tuhan sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu. Maka tidak mengherankan kalau dalam fiqh dikatakan bahwa Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, makamaslahah manusia lebih penting dari pada SyariatSyariat harus tunduk kepada kemanusiaan, akhirnya teks harus tunduk kepada konteks. Maka tidak heran kalau Muslim liberal menghalalkan kawin antar sejenis. Karena manusia telah berubah dan menginginkan hal tersebut. Konteks telah berubah, kemanusiaan telah berubah, teks harus menyetujui dan merestui, karena manusia adalah segala-galanya.
Lagi-lagi, hal ini tidak mungkin dapat dilakukan kepada Islam, selama Umat Islam masih menggunakan nalar Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad dan para Ulama. Tafsir dan takwil yang dipergunakan untuk memahami Al-Quran tidak akan dapat menerima faham relatifisme dan humanisme tersebut. Untuk itu, perlu digunakan metode baru yang dapat membongkar Quran, sehingga dapat tunduk kepada keinginan dan hawa nafsu manusia. Metode ini adalah hermeneutika. Lengkap sudah tawaran penulis buku ini untuk menjadikan Umat Islam seperti Umat Kristen di Eropa, di mana ajaran Kristen sudah tidak diendahkan, dan Ateisme berkembang dengan pesat. Akhirnya, menusantarakan Islam bukan hanya akan membuat Islam hilang dan digantikan oleh Nusantara, tapi akan membuat Nusantarapun akan hilang, dan tergantikan dengan Nusantara yang terbaratkan.
Islam agama yang sudah sempurna, Islam menjamin maslahah manusia selama manusia tunduk dan pasrah sebagai hamba dan khalifah Allah. Dengan berpasrah dan melakukan syariat Islam manusia akan selalu bergerak dalam koridor fitrah penciptaannya dan di situlah kemaslahatan berada. Maka saat ini tidak mengherankan, apabila banyak cendekiawan Muslim yang menyelesaikan doktor bidang ekonomi di Barat, menemukan banyaknya problem kemanusiaan pada teori dan sistem ekonomi barat. Sehingga, mereka beramai-ramai ingin kembali kepada Islam, untuk kemudian dapat mengembangkan ilmu ekonomi yang dapat menjadi maslahah bagi manusia dan bukan sebagian kecil manusia. Akhirnya yang tepat bukan menusantarakan Islam, tapi mengIslamkan Nusantara.
Ala kulli hal, apa yang dikemukakan buku diatas menurut saya bukan bertolak dari kekokohan epistimologis, melainkan hanya berangkat dari kekecewaan psikologis dan problem emosional yang sublim dan meletup-letup.


 
*  Diadaptasi dari tulisan M Khairul Umam