Minggu, 20 Oktober 2013

LATAR BELAKANG MUNCULNYA AGAMA Meluruskan beberapa bias



Terdapat beberapa hipotesis mengenai latar belakang munculnya agama yang dikemukakan para orientalis -yang menurut Mutahhari (1994 : 45-46) -hipotesis tersebut lebih banyak didasarkan oleh pikiran yang tidak jernih dan dipengaruhi bias yang tendensius. Hipotesis tersebut antara lain : 
a. Agama muncul sebagai produk rasa takut.
Lucretius, mensinyalir bahwa faktor yang mendorong pertumbuhan agama adalah perasaan takut manusia primitif terhadap kematian, kelaparan dan berbagai penyakit. Juga ketakutan mereka terhadap keganasan alam, seperti : gempa bumi, gunung meletus, guntur dan berbagai binatang buas. Karena kemampuan fikir mereka sederhana dan amat terbatas, lalu menganggap kejadian kejadian tersebut sebagai bentuk kemarahan  roh halus dibalik alam, dan untuk meredakan kemarahan tersebut, perlu diadakan ruitus ritus dan upacara sesembahan sakral denngan memberikan berbagai sesajen atau qurban sebagai tumbal. Dengan ini mereka dapat memperoleh kepuasan psikologis. Dari situlah lalu dilembagakan menjadi agama.  
b.  Agama sebagai produk manusia yang belum cerdas.
William James, termasuk salah satu dari sebagian orang yang meyakini bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia. Menurutnya, sesuai dengan wataknya, manusia selalu berkecenderungan untuk mengetahui sebab sebab dan hukum hukum yang berlaku atas alam termasuk peristiwa peristiwa yang terjadi didalamnya. Tetapi karena kebodohannya, mereka tidak berhasil mengungkap rahasia rahasia yang terjadi pada kehidupannya di alam raya ini, Dan untuk menenangkan jiwa dari pelbagai kegelisahan akibat kegagalannya itu, lalu mereka pasrah dan beranggapan bahwa itu adalah taqdir dari yang maha kuasa, Jadi ajaran agama adalah warisan budaya dari manusia yang masih bodoh.
       c.  Bahwa Agama tumbuh dari imajinasi tingkat tinggi.
Sebagian orang percaya bahwa latar belakang keterikatan manusia pada agama ialah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Ketika mereka menyaksikan terjadinya pelbagai kekacauan pada sejumlah intraksi sosial manusia, munculnya berbagai bentuk kedholiman, penganiayaan, kekerasan dan keributan keributan lain, baik yang terjadi pada manusia maupun yang terjadi pada alam, menyebabkan manusia berfikir tentang suatu aturan yang disepakati bersama guna mengatasi kekacauan tersebut. Tapi ketika mereka tidak mampu berbuat yang realistik untuk tujuan tersbeut, lalu mereka berharap ada kekuatan dahsyat diluar dirinya yang mampu mengatasai masalah masalah tersebut. Lalu muncullah imajinasi tentang Dewa, roh halus, angel, Hero, Super man, Rambo, Robin hood, Hercules, Xena dan perwujudan perwujudan dewa lainnya.
       d. Bahwa Agama adalah produk kaum kapitalistik.
Adalah Marxis, yang menyebutkan bahwa agama dimunculkan oleh kaum kapitalistik burjois sebagai perangkap bagi kelas kelas proletar agar mereka tidak melakukan pemberontakan terhadap keserakahan dirinya. Agama dibuat oleh kelas pengusaha  kapitalistik sebagai suatu candu masyarakat untuk membius kaum miskin dan tertindas agar mereka diam. Sebab kaum kapitalis memahami betul bahwa agama dapat secara efektif mengekang kendali kemarahan kaum proletar dan menina bobokkan mereka agar tetap dalam kealpaan dan ketidak sadarannya.
Demikian hipotesis yang dikemukakan para orientalis tentang latar belakang muncunculnya agama. Namun berbagai hipotesis diatas ternyata tidak mampu bertahan dihadapan uji empirik dan kritik ilmiyah.
Telah di ketahui bahwa agama sudah ada sebelum timbulnya kepemilikan. Ketika kelas–kelas belum terwujud, jauh sebelumnya agama sudah terwujud. Sejarah membuktikan bahwa agama telah ada dan tumbuh dikalangan masyarakat miskin dan tertindas. Para peminpin agama seperti : Musa, Ibrahim, Isa dan Muhammad  Saw berasal dari kalangan nasyarakat sederhana Dan ketika Muhammad saw pertama kali di utus, beliau memaklumkan revolusi melawan kelas penguasa, hartawan dan konglomerat. Al-Quran menyebut mereka dengan sebutan “mala”, yakni : Aristokratis, monopolis dan konglomeratis, seperti : Abu Sufyan, Abu jahal dan Walid Bin Mughirah. Jadi tidak benar dan tidak bisa dipertahankan logika yang mengatakan bahwa agama adalah produk kapitalistik.
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa agama merupakan warisan budaya yang belum cerdas, atau imajinasi tingkat tinggi serta produk ketakutan terhadap keganasan alam. Adalah hipotesis yang amat rapuh dan tidak berkutik dihadapan kenyataan sejarah dan kenyataan epistimologis. Bukankah salah satu sifat dari utusan (Rasul) pembawa agama adalah “Fathonah” cerdas dan piawai. Sebab kalau tidak cerdas tidak mungkin mereka bisa meyakinkan ummatnya.
Dengan demikian, semua hipotesis yang dikemukakan para pengingkar kefitrian itu adalah keliru dan tidak berdasar, sebab tidak dapat dipertanggung jawabkan dihadapan realitas ilmiyah dan bertolak belakang dengan kenyataan sejarah yang faktual.
Yang benar adalah bahwa salah satu latar belakang munculnya agama itu selain faktor kefitrian manusia juga merupakan konsekwensi logis dari maksud pencipta manusia yang hendak mengarahkannya pada jalan kesempurnaan dan kebahagiaan, baik di dunia dan lebih lebih diakherat. Artinya sesuai dengan sifat kemaha bijaksanaan Tuhan, ketika Dia mencipta manusia sebagai puncak ciptaanNya, maka pasti hal itu didasari oleh sebuah tujuan, sebab perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan sesungguhnya merupakan kesia-siaan. Dan kesia-siaan adalah ketidak bijaksanaan. Ketidak bijaksanaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, Sedangkan Tuhan adalah keberadaan yang mutlak sekaligus pemilik keberadaan tersebut.
Karena Tuhan mencipta manusia dengan dilandasi sebuah tujuan, maka tujuan itu pasti baik, sebab seandainya Tuhan mencipta manusia dengan tujuan yang tidak baik, maka sesungguhnya Tuhan itu tidak bijaksana, ketidak bijaksanaan adalah kemustahilan, sebab sifat Tuhan adalah maha bijaksana. Salah satu tujuan baik Tuhan adalah mengarahkan manusia kearah kesempurnaan, karena itu Tuhan membekali manusia dengan akal dan naluri sebagai modal dan pemandu internal. Seandainya Tuhan menyuruh manusia mencapai kesempurnaan, sementara ia tidak dibekali dengan akal dan naluri sebagai pemandu internal yang memungkinkan mencapainya, maka lagi-lagi Tuhan tidak bijaksana. Padahal ketidak bijaksanaan adalah kekurangan  dan kekurangan adalah kekosongan,  sementara kekosongan adalah ketidak beradaan, dan itu mustahil bagi Tuhan, sebab Tuhan adalah Wujud.
Setelah Tuhan mencipta akal dan naluri sebagai pemandu internal bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan,  dan ternyata tidak semua hal dapat dicapai dan dijangkau oleh keduanya, maka pasti Tuhan mencipta  pemandu lain (tambahan) yang lebih kongkrit berupa Nabi dan Rasul (mulai Adam as sampai Muhammad Saw) inilah kemudian yang disebut sebagai pemandu eksternal.
Seandainya Tuhan tidak mencipta pemandu lain (Eksternal) selain akal dan naluri (internal), padahal Tuhan tahu bahwa tidak semua hal dapat dijangkau oleh pemandu internal, maka sia-sialah Tuhan mencipta akal dan naluri manusia, sebab ternyata tanpa pemandu eksternal, akal dan naluri tidak mampu  mencapai kesempurnaan. Kesia-siaan adalah ketidak bijaksanaan, ketidak bijaksanaan adalah ketidak sempurnaan, ketidak sempurnaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan, kekosongan adalah ketiadaan dan ketiadaan adalah kemustahilan bagi Tuhan.
Nah keyakinan akan prinsip kenabian dan kerasulan, tentu pada gilirannya akan melahirkan keyakinan akan risalah. Dan prinsip risalah itu sesungguhnya adalah seperangkat ajaran Tuhan yang disampaikan dan disosialisir para Rasul kepada umatnya. Seperangkat ajaran inilah yang kemudian disebut agama.
Karena Tuhan telah menyediakan secara lengkap pemandu (internal dan eksternal) bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan, maka lenyaplah alasan manusia untuk tidak mengikutiNya. Dan sebaliknya lengkap pulalah alasan Tuhan untuk menyiksa yang tidak mengikuti panduan para pemandu tersebut yang isinya adalah ajaran agama.
Dengan kata lain, disini muncul prinsip “pembalasan”  Artinya Tuhan pasti membalas setiap manusia yang mengikuti pemandu (agama) dengan pahala. Dan setiap manusia yang tidak mengikutinya dengan siksa. Sebab seandainya Tuhan tidak membalas keduanya (yang mengikuti dan tidak) dengan balasan yang berbeda (pahala dan siksa) maka berarti Tuhan tidak bijaksana. Dan itu sungguh mustahil bagi Tuhan, sebab sifat Tuhan adalah maha bijaksana.

Kamis, 26 September 2013

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL



Istilah pengembangan dalam konteks pendidikan Islam multikultural, setidaknya memiliki dua makna, yakni pengembangan secara kuantitatif  dan kualitatif. Secara kuantitatif, bagaimana menjadikan pendidikan Islam yang mengakomodasi semangat atau nilai-nilai multikulturalisme dapat menjadi lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan secara umum, termasuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Adapun secara kualitatif, bagaimana menjadikan pendidikan Islam multikultural agar menjadi lebih baik, berkualitas dan lebih maju sejalan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.
Secara kuantitatif, strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan pendidikan Islam multikultural, di antaranya adalah:
1.         Memperbanyak referensi atau bahan bacaan tentang pengembangan pendidikan Islam multikultural. Referensi atau bahan bacaan perlu disusun dengan memperhatikan sasaran pembaca. Bahan bacaan multikulturalisme yang ada saat ini lebih banyak ditujukan untuk kalangan akademis dengan bahasa atau kalimat yang akademis pula. Bagi pembaca di tingkat siswa atau masyarakat awam, bahan bacaan seperti ini tentu saja kurang bisa dimengerti, sehingga dapat menghambat proses sosialisasi atau internalisasi.
2.         Memperbanyak kegiatan sosialisasi mengenai konsep dan urgensi pendidikan Islam multikultural, baik secara lisan maupun tertulis. Pelaksanaan sosialisasi hendaknya menjadi prioritas sebagaimana sosialisasi program lain yang dianggap penting. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemasangan spanduk, brosur, poster, baliho atau yang sejenis dengan menggunakan bahasa yang simpatik, tidak provokatif dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan yang terprogram, seminar, dan sebagainya. Sasarannya bisa lebih luas, tidak hanya dilingkungan pendidikan tetapi juga masyarakat secara umum.
3.         Membuat forum-forum atau kelompok-kelompok yang konsern terhadap gerakan multikulturalisme, terutama di lembaga pendidikan Islam. Sejauh ini memang sudah ada beberapa PTAI yang membentuk forum dengan semangat multikulturalisme, seperti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Banjarmasin. Usaha ini perlu terus ditingkatkan dan dilakukan oleh PTAI lainnya, termasuk di tingkat sekolah. Karena melalui forum, kelompok atau pusat kajian yang demikian, akan dapat lebih memperluas dan meningkatkan sosialisasi bahkan internalisasi semangat multikulturalisme dalam dunia pendidikan Islam.
4.         Membangun kultur yang didasari semangat multikulturalisme, baik melalui lembaga pendidikan Islam maupun forum-forum pendidikan Islam di masyarakat. Secara institusional, hendaknya setiap lembaga pendidikan Islam dapat membuat visi yang mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme secara jelas dan kemudian dari visi tersebut dapat dibangun semacam corporate culture (budaya organisasi) yang menjadikan visi tersebut sebagai arah kegiatan bagi seluruh komponen yang terdapat dalam lembaga pendidikan. Adapun di masyarakat, membangun kultur dengan semangat multikulturalisme dapat dilakukan dengan memanfaatkan forum atau media pendidikan Islam yang ada di masyarakat itu sendiri, seperti melalui kegiatan ceramah agama, khutbah jum’at, majelis ta’lim, acara-acara kemasyarakatan dan sebagainya.
Adapun secara kualitatif strategi  yang dapat dilakukan, di antaranya adalah:
1.      Membangun landasan teori (epistemologi) pendidikan Islam multikultural yang lebih mapan. Untuk saat ini, teori-teori tentang pendidikan multikultural masih banyak didominasi oleh pemikir-pemikir Barat. Teori-teori yang telah ditawarkan tersebut pada satu sisi memang banyak membantu terutama dalam hal konsep maupun praktek. Namun di sisi lain, konsep pendidikan multikulturalisme Barat yang berangkat dari filsafat post-modernisme, tidak semua aspek dapat dikonsumsi sebagai referensi. Dengan kata lain, diperlukan sikap kritis dan usaha penguatan konsep yang berangkat dari sumber-sumber Islam itu sendiri, yakni melalui al-Qur’an dan as-Sunnah.
2.      Mempertajam nilai-nilai multikulturalisme dalam kurikulum, baik ditingkat sekolah atau perguruan tinggi. Kurikulum di tingkat sekolah yang ada saat ini, belum betul-betul mengakomodasi semangat multikulturalisme. Hal ini dapat dilihat dari ketidak jelasan dalam bentuk apa multikulturalisme akan diajarkan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan pada wilayah kurikulum, yakni kurikulum yang mengakomodasi multikuturalisme secara lebih jelas. Materi multikulturalisme bisa saja diwujudkan dalam mata pelajaran tersendiri. Namun konsekuensinya, harus dapat secara rinci diuraikan dalam sebuah buku materi ajar. Kalaupun tidak melalui materi pelajaran tersendiri, paling tidak harus ditegaskan dalam topik pembahasan dalam suatu mata pelajaran, terutama dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
3.      Meningkatkan pemahan dan kemampuan para pendidik terhadap materi-materi multikulturalisme. Karena harus diakui, di kalangan pendidik sendiri masih banyak yang belum memahami betul tentang konsep-konsep multikulturalisme. Tidak sedikit di antara para pendidik yang masih berpikiran sempit mengenai dinamika keragaman dan perbedaan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan kepada kelompok pendidik tersebut, baik melalui pelatihan, bahan bacaan serta ruang kreatifitas untuk menulis tentang pendidikan multikultural, atau yang lainnya. Upaya ini harus terprogram dan diusahakan bersifat keharusan bagi mereka. Selain dalam proses pendidikan atau pengajaran, guru juga diharuskan untuk membuat program-program yang dapat mengarahkan siswa memahami dengan baik persoalan multikulturalisme. Mengadakan kunjungan ke tempat-tempat ibadah agama lain, tempat-tempat bersejarah atau lainnya, yang hakikatnya terdapat nilai-nilai multikuturalisme di dalamnya.
4.      Pengembangan budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai moral serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam perlu dilakukan. Secara konkret dapat dilakukan dengan memberdayakan siswa untuk mengadakan penelitian walaupun bersifat sederhana, field note, paper, karya tulis dan sejenisnya yang kemudian harus dapat dipublikasikan. Selain itu, bisa juga dengan ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan masyarakat atau acara-acara budaya lokal yang terdapat pada masyarakat tertentu. Khusus untuk kalangan mahasiswa, program penelitian dan pengabdian masyarakat yang sudah include dalam kurikulum pendidikan, perlu dibekali nilai-nilai yang terkait dengan multikulturalisme secara lebih jelas. Penelusuran tidak hanya terbatas pada budaya yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, termasuk budaya lokal yang masih belum jelas kedudukannya dalam Islam-pun, justru perlu dikaji oleh mahasiswa.
5.      Penguatan dari sisi kebijakan dan pembiayaan (anggaran), yang dalam hal ini berhubungan dengan pihak-pihak yang berwenang atau para pembuat kebijakan. Perlu alokasi yang jelas untuk mengembangkan pendidikan Islam multikultural.
Pengembangan pendidikan Islam berbasis multikultural bisa menggunakan pendekatan estetik. Dengan pendekatan ini peserta didik memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Dalam pendekatan ini, pendidikan agama tidak didekati secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai estetis. Sedangkan pendekatan berperspektif gender adalah pendekatan yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis kelamin.
Pendekatan lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan berwawasan multikultural adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat, dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan kebersamaan, kerjasama, dan keragaman masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.
Kecuali itu, pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat diterapkan pada beberapa aspek, yakni: orientasi muatan (kurikulum), orientasi siswa, serta orientasi reformasi unit pendidikan. Pada pengembangan yang berorientasi pada muatan, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: pertama, pendekatan kontributif, di mana tujuan utama pendekatan ini adalah memasukkan materi-materi tentang keragaman kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultur masyarakat). Kedua, pendekatan aditif, yaitu melakukan penambahan muatan-muatan berupa konsep-konsep baru ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya.
Dengan pendekatan ini, pendidikan Islam dapat memanfaatkan muatan-muatan khas  multikultural sebagai pemerkaya bahan ajar, konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama yang akan memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state of mind” (pemikiran) para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi agama-agama lain, serta tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling menghargai dan memahami. Hal senada juga diungkapkan Tilaar, ia menyebutkan bahwa rancang bangun untuk melaksanakan pendidikan multikultural adalah sedikitnya berdasarkan susunan piranti sebagai berikut: reformasi kurikulum, pengajaran prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi multikultural, dan pelaksanaan pendidikan kesetaraan.
Pada aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah penanaman sikap non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara maksimal. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman agama dan budaya di masyarakat.
Tentu saja berbagai pengembangan tersebut harus bersifat integratif, dan komprehensif. Artinya nilai-nilai multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains dan teknologi, pendidikan jasmani, kesenian atau pendidikan moral sehingga mampu  menghasilkan sebuah perubahan. Sementara pada pengembangan pada aspek  orientasi reformasi unit pendidikan, diharapkan setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang lain yang berbeda.

Senin, 09 September 2013

MENIMBANG BENTURAN PERADABAN BARAT DAN ISLAM




Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?

Kritik atas Tesis Huntington
Huntington mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,” katanya, “sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”
Secara lebih luas, Huntington mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Kelima, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi (Huntington, 2002:ix-x).
Dari premis-premis itu, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di atas secara otomatis akan menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, Huntington melakukan dua hal; pertama, memetakan muara kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban, yaitu : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Premis di atas berimplikasi pada semakin lebarnya perbedaan antar peradaban yang akan semakin menyulitkan kompromi antar peradaban itu untuk sampai pada saling pengertian. Maka, ujung-ujungnya akan terjadi benturan antar peradaban. Namun pertanyaan kemudian, peradaban mana, vis a vis mana yang nantinya akan saling berbenturan? Ia menjawab pertanyan ini pada langkah kedua, meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa mendatang bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antar Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius (ibid, x).
Sejak awal, teori “benturan antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan cibiran, daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang fantastis, teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan.

Sisi lemah Tesis Huntington

Akbar S. Ahmed (1992), salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat.
Kelemahan lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slav/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu.
Selain itu, sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.

Benturan Kepentingan
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang (Fawaz, 2000:30). Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri Malaysia Datuk Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.
Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme. Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Cendekiawan terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri (1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada Muhammad V University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interensts)
Kepentingan global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan. Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.

Melawan Hegemoni

Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia. Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif - umat Islam Islam - terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa. Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.

Khotimah

Terdapat beberapa point penting terkait relasi Islam dan Barat yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga, dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang. Ketiga, Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat #