Selasa, 13 November 2012

HIJRAH KEPRIBADIAN




Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti akan kami
berikan tempat yang baik kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala
di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (Qs.16 : 41)

Muqoddimah
Hijrah. kendati secara bahasa diartikan sebagai  berpindahnya seseorang dari suatu daerah ke daerah lain untuk tujuan yang lebih baik, tetapi dalam konteks maknawi hijrah dapat dimaknai sebagai proses perpindahan dari digit nigatif ke digit positif, proses perubahan dari kepribadian tercela menuju kepribadian terpuji.  Rasulullah saw bersabda, hijrah itu tidak terputus selama ada musuh yang dapat ditundukkan (Hr. Nasa’i). Musuh dalam hadits ini tentu bukan  hanya yang datang dari luar kita, tetapi termasuk juga musuh yang bercokol didalam diri kita. Dari hadits tersebut kemudian para ulama menyebut hijrah memiliki banyak dimensi, antara lain : hijrah i’tiqodiyah, hijrah fikriyah, hijrah syu’uriyah, hijrah sulukiyah, hijrah tsaqofiyah dan semacamnya. Dengan demikian hijrah tidak terbatas pada meninggalkan tempat tumpah darah, melainkan juga mencakup meninggalkan sesuatu yang melekat (inheren) pada diri kita sendiri.
Ketika menafsirkan Qs. At-Tin : 4-5 ; Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,  kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Hossein Nasr menyebutkan manusia diciptakan dalam formasi yang terbaik, tetapi kemudian ia jatuh pada kondisi tragis berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal usulnya yang ilahiyah (buku Sufi Essays). Orang-orang yang berhijrah adalah mereka yang ingin kembali menjadi manusia seperti formasi semula, karenanya mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya, seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran, yang sering sipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepas dan dibuang jauh-jauh. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam-dalam. Mereka harus menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia yang manusiawi dengan  pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati dan pengabdian, makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh sifat dan asma Allah.
Dengan muatan kwalitas yang seperti itu, para muhajirin diharapkan menyebarkan berkah pada lingkungan sekitar. Kesucian hati, ketercerahan batin dan  penghidmatan mereka diharapkan dapat menusuk jantung orang-orang munafik, menghantam kepala para tiran pemuja kekuasaan yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan, sekaligus mematahkan leher manusia srigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Itulah sebabnya  orang-orang yang pasrah (baca:bandel tidak mau berhijrah/berubah) karena ingin mempertahankan ego dan status quo, dalam pandangan Islam dianggap sebagai orang orang yang menganiaya diri sendiri.  Sebaliknya orang-orang yang rela meninggalkan dan mengorbankan kepentingan dan kelezatan sesaat untuk berhijrah di jalan Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan lebih banyak dari apa yang mereka korbankan. Itulah yang tergambar dalam Qs. 4 : 97-100, juga Qs.16 : 41).  Dengan berhijrah seseorang akan dapat mengubah horizonnya terhadap kosmos menjadi lebih komprehenship yang pada gilirannya dapat menghilangkan kejumudan dan merepatriasi dirinya menjadi mahluk yang tubuhnya menapak di bumi, tetapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan. 


Urgensi hijrah dalam kehidupan turbulence
Bagi kaum muslimin, hijrah i’tiqodiyah, hijrah fikriyah, hijrah syu’uriyah, hijrah sulukiyah dan hijrah akhlaqiyah menjadi semakin penting dilakukan tatkala sebagian umat Islam mulai kehilangan instrumen kemanusiaan yang paling utama, yakni cinta dan kasih sayang antar sesama, sehingga misi Islam untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan menjadi terabaikan, bahkan sebaliknya yang bermunculan adalah benih-benih perseteruan diantara kaum muslimin , Inilah yang oleh Yusuf Qordhowi disebut ”Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”. Cahaya Islam ditutupi oleh orang Islam sendiri. Sungguh ironis, fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian kita mengisi hidup dengan  iri dan dengki atau dengan hati yang tidak beres, kita senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang.
  Dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda “Kalian tidak akan masuk sorga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai, Maukah aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian mau melakukannya, maka kalian akan saling mencintai ? yaitu sebarkan salam ditengah tengah kalian (Hr. Muslim).  Peristiwa  hijrah mengandung pesan moral, bahwa dalam bermasyarakat   kita mesti (1) mengembangkan budaya kalamah sawa’ dan ishlah (mencari titik temu dan jalan damai), (2) menegakkan budaya tabayun (klarifikasi), (3) menghindarkan diri dari taskhirriyah (meremehkan, menghina dan memperolok-olok orang lain). (4) menjauhkan diri dari sikap berburuk sangka, dan (5) jangan suka mencari kesalahan orang lain; carilah keslahan diri sendiri.

Bagaimana memulai hijrah kepribadian ?
1.      Membiasakan mendengar suara hati
        Sejatinya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita untuk berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku kita yang tidak baikSungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (Qs.75 : 2) Allah memberikan isyarat gaib-Nya pada kita melalui hati kita. Namun selama ini mulut kita terlalu riuh, kita terlalu banyak bicara, padahal jika mulut kita selalu riuh, isyarat gaib itu tidak akan terdengar dan suara hati akan melemah karena terhalang oleh bisingnya suara mulut kita.  Nabi saw bersabda, manusia yang paling baik adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan bicaranya.
        Abdullah bin Mas’ud berkata, Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita. Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, Lidahku adalah binatang buas, kalau aku lepaskan dia, dia akan memangsa segalanya. Hasan Al-Bashri, berkata, Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya. Imam Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja, yakni pembicaraan yang memiliki manfaat dan tidak mengandung bahaya.

2.      Dengan berkhidmat pada agama dan kemanusiaan
        Rasul saw pernah bercerita tentang orang-orang yang telah mencapai derajat tinggi, karena orang-orang inilah Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Kalau mereka datang di satu tempat, Allah akan selamatkan tempat itu dari 70 bencana, Mereka mencapai derajat itu karena al-sakhwah (kedermawanan) dan  al-nashatul lil muslimin (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama muslim).
Dalam Al-Quran, khidmat dilakukan dengan harta dan jiwa (bi amwalikum wa anfusikum). Banyak diantara kita yang rela mengorbankan nyawa tetapi tidak rela mengorbankan hartanya, berani mati tapi tidak berani miskin. Bahkan ada orang yang sering mengorbankan raga dan jiwanya demi harta. Oleh karena itu, berkhidmat dengan harta dalam Islam lebih didahulukan daripada berkhidmat dengan jiwa, contoh berkhidmat dengan harta adalah zakat dan sodaqoh.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: jika orang mengeluarkan hartanya dijalan Allah, pada saat yang sama Allah mengeluarkan penyakit-penyakit batin orang tersebut seperti kedengkian, iri hati dan egoisme. Menurut psikoterapis ada banyak gangguan jiwa, seperti kegelisahan, keresahan, dan stress yang bermula dari perbuatan kita yang egois, menghendaki orang lain berperilaku seperti yang kita mau. Kita menjadi menderita bila sesuatu yang kita inginkan tidak terjadi. Kita terbiasa untuk menggerakkan telunjuk kita pada setiap orang dengan perintah-perintah tertentu. Kita sering menyuruh orang berkhidmat kepada kita, bukan berkhidmat kepada mereka. Kita terbiasa dikhidmati bukan berkhidmat. Demikian juga salah satu penyakit kita selama ini adalah keinginan untuk selalu dicintai, sepanjang waktu, kita hanya belajar kiat-kiat untuk dicintai, bukan belajar untuk mencintai, padahal hanya dengan mencintai kita akan dicintai. Ibnu Arabi pernah berdoa: Ya Allah, aku mohon agar aku bisa mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu. Dan  buatlah aku lelah dalam membagi-bagikan harta-Mu, bukan lelah karena mencari harta-Mu."
.
3.      Dengan membalas kejatahan dengan kebaikan
        Suatu hari, Dzunnun Al-Misri bersama beberapa santrinya dizhalimi oleh sekolompok preman, karena para santri percaya bahwa doa Dzunnun pasti diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa supaya para preman itu diadzab Tuhan, Dzunnun lalu mengangkat tangannya dan berdoa: Ya Allah, Berikanlah orang-orang itu ampunan dan keselamatan di dunia dan  akhirat. Para santri heran, mereka menzholimi kita, mengapa engkau malah membalas dengan doa yang baik?  Dzunnun menjawab, Itulah bedanya kita dengan mereka. Mereka kirimkan kepada kita keburukan dan kita kirimkan kepada mereka kebaikan.Dengan begitu kita dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun. Bandingkan dengan kita, Kita terbiasa menaruh dendam kepada orang-orang yang menyakiti kita. Seringkali ketika ada orang memperlakukan kita dengan jelek, kita berharap bahwa kita bisa membalas kejelekan itu dengan kejelekan pula, dengan berkata, Supaya ini jadi pelajaran bagi mereka.
         Dzunnun melanjutkan tradisi para rasul Tuhan yang mengajarkan kepada kita untuk membalas kejelekan yang dilakukan orang lain dengan kebaikan. Bayangkanlah ketika Anda berdoa supaya saingan anda hancur, agar musuh anda binasa, anda akan memperoleh satu manfaat saja: Kepuasan hati karena hancurnya saingan Anda. Tapi ketika Anda berdoa: Ya Allah, ubahlah kebencian musuh-musuhku menjadi kasih sayang, Anda akan mendatangkan manfaat kepada semua orang. Dzunnun Al-Mishri mengajari kita tradisi para Nabi dan orang-orang saleh; membalas kejelekan dengan kebaikan. Jadilah kita seperti pohon Mangga di tepi jalan, yang dilempari orang dengan batu tetapi ia mengirimkan kepada si pelempar itu, buah yang telah ranum. Ahsin kama ahsanallohu ilaik, berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. 

DISORIENTASI PENDIDIKAN : BENARKAH ?



Oleh : Ach.Hefni Zain
*
Dalam salah satu tulisannya, Emha Ainun Najib berkisah, pagi itu seorang miskin tapi cerdas dari pelosok dusun terpencil datang ke salah satu lembaga pendidikan Islam ternama di Jogjakarta untuk menyekolahkan anaknya, setelah didaftar, petugas administrasi bilang “Alhamdulillah, semuanya sudah beres,  putra bapak bisa masuk sekolah mulai senin besok”.  Ketika orang dusun itu pamit pulang, seperti biasa ia diminta membayar biaya  pendaftaran dan biaya lainnya. Membayar apa ?, kata orang dusun itu bengong, ya bayar uang pendaftaran, memangnya bapak mau bayar apa ? namanya mendaftar sekolah ya harus membayar uang pendaftaran, jawab si petugas menerangkan.
Anda ini gimana sih ? kata orang dusun itu, kalau minta  bayaran itu ya kepada orang kaya yang punya uang,  bukan kepada orang miskin seperti saya yang sepeserpun tidak punya uang ?.  Si petugas gedek gedek, bapak ini mahluk dari mana, kok tolol banget, kalau tidak punya uang ya jangan mendaftar ke sekolah, disini tidak ada yang gratis !!!,  .. Yang tolol itu  saya apa situ ? sergah si miskin tak mau kalah,  bagi saya yang namanya daftar sekolah ya ke lembaga pendidikan.. masak ke kuburan, kata orang miskin itu sambil menahan tawa.
Iya…tapi jika daftar ke lembaga pendidikan harus bawa uang, kata si petugas dengan nada tinggi. Lho, apa hubungannya daftar sekolah dengan uang ?, memangnya anak orang kaya saja yang boleh sekolah ? apa di negeri ini ada undang-undang yang menetapkan anak orang miskin dilarang sekolah ? tanya si miskin nyerocos, wong saya bicara soal sekolah, kok situ bicara soal uang ? kalau mau ngurusi uang ya sana di bank, jangan dicampur-campur dengan pendaftaran anak saya, pokoknya saya sekarang mau pulang…masak orang miskin dilarang sekolah ???,  kata orang dusun itu sambil nyelonong pergi.
**
Kisah ini, kendati berbentuk parodi, tetapi sungguh merupakan kritik telak atas realitas ketidak adilan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, kritik atas fenomena kapitalisme yang telah meluluh lantakkan pertahanan hidup kaum alit yang termiskinkan oleh sistem global sehingga terlantar dan bahkan terjajah di negeri sendiri yang konon “kaya”., Mereka semakin kehilangan hak-haknya, karena terus dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar, kian hari jumlah mereka kian bertambah, sedang kekuasaan makin menjauh dari mereka, akibatnya kaum alit semakin tak mungkin menikmati hasil kemerdekaan seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan dan pekerjaan yang layak.
Sesungguhnya tidak ada satu negarapun yang bertugas menyengsarakan rakyatnya, tugas semua negara dimanapun adalah mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan rakyatnya, namun tren empiriknya hampir sebagian besar kebijakan pemerintah di negeri ini tidak memihak kepada kaum alit kendati mereka selalu mengatas namakannya.
Fungsi pendidikan seharusnya membebaskan masyarakat dari problem ketidak berdayaan, tetapi ketika biaya pendidikan sangat mahal dan sulit diakses oleh seluruh rakyat, maka ia telah berubah dari semangat membebaskan ke semangat menjajah, apalagi tatkala lembaga-lembaga pendidikan yang ada terus berlomba menempelkan tarif pada berbagai bentuk layanannya, para konsumen hanya dilayani sesuai dengan kemampuan membayarnya, maka sulit dimaknai lain kecuali lembaga tersebut telah menjadi pembiakan gelombang kapitalisme, dan seluruh publikasi pendidikan dalam konteks ini sejatinya hanyalah corong dari kepentingan komersialisasi dan ekspansionis pasar.  Belum lagi praktek mafia bisnis buku, media pembelajaran dan sarana pendidikan yang menjanjikan laba besar, omzet industri ini di Indonesia mencapai angka  Rp 14 trilyun perbulan. Inilah yang menyebabkan komoditas dan praktek mafia pendidikan semakin subur di negeri ini. Kendati telah banyak lembaga pendidikan yang berlabel Islam, misalnya bernama yayasan pendidikan Islam Abu Bakar, tetapi biayanya tetap Abu Jahal.
***
Padahal dalam pembukaan UUD 1945 telah dengan tegas disebutkan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Sejatinya kemerdekaan bukan saja hak segala bangsa tetapi juga hak semua manusia, sebab setiap manusia diciptakan dalam keadaan merdeka, bahkan kemerdekaan juga merupakan hak semua mahluk Tuhan di makro kosmos ini. Karena itu segala bentuk distorsi atas kemerdekaan mahluk Tuhan, mutlak harus dilawan karena bukan saja bertentangan dengan prikemanusiaan dan prikeadilan  tetapi juga bertentangan dengan hak dasar penciptaan semua mahluk Tuhan, bertentangan dengan pri dan pro kemakhlukan.
Kemerdekaan sejati adalah terbebasnya seluruh rakyat dari berbagai model penjajahan dan ketidak berdayaan disegala bidang termasuk bidang pendidikan, tentu yang namanya penjajah tidak mesti selalu datang dari luar, bisa juga datang dari dalam, bukan saja bangsa asing, bisa juga bangsa sendiri, maka proklamasi kemerdekaan dan prembule UUD 45 hanya menjadi lawakan, bila yang berhasil memasuki pintu gerbang kemakmuran hanya segelintir orang saja sementara yang lain yang justru terbanyak hanya berada diluarnya berdesak-desakan.
Faktanya, rakyat kita hingga detik ini belum sepenuhnya memperoleh hak-haknya dalam arti yang sesungguhnya, paling tidak praktek ”penindasan” termasuk distribusi yang tidak adil dan merata masih saja terjadi dengan leluasa di negeri yang konon mayoritas muslim, indikatornya adalah tak terhitung bocah-bocah cerdas dan potensial yang putus sekolah karena kekurangan biaya ? tak terhitung tubuh-tubuh layu berpenyakit yang menggelepar menunggu maut karena tak mampu berobat ? dan bahkan tidak sedikit rakyat kita yang  terpaksa melacur, bahkan menjual iman demi sesuap nasi ?,
Pihak yang diharapkan rakyat untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat jelata, malah sangat antusias memperjuangkan kenaikan gajinya dengan alasan yang sangat lucu. Dulu berjanji  membela  wong cilik  kini  malah mengorbankan wong cilik,  dulu maju tak gentar membela yang benar, kini  malah maju tak malu  membela yang bayar,  itu artinya perangai borjuis telah jauh menginfeksi peta kognisi sebagian besar pengambil kebijakan di negeri ini.
Saya kira sudah saatnya semua pihak di negeri ini harus mulai berjuang merobah pola lakunya yang biasa memakan hari depan anak anaknya sendiri. Saatnya para penguasa  belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak. Kata pengamat sosial, di zaman merdeka, penguasa adalah rakyat, tetapi di zaman pembangunan, penguasa menipu dan memukuli rakyat. di zaman edan seperti sekarang ini penguasa malah memakan rakyat dan masa depannya, sedangkan di zaman kiamat nanti, penguasa  akan mengemis pengampunan rakyat.
****
Bagaimana caranya mengembalikan pendidikan pada fungsinya semula ? Pertama, diperlukan reformasi radikal konsep pendidikan dari sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik transparan berbasis partisipatoris. Kedua, pendidikan harus memberikan pengakuan kesederajatan paedagogis kepada seluruh rakyat dimana mereka berhak memperoleh sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkannya. Ketiga, pendidikan mesti diorientasikan sebagai penguatan (empowering) kepada peserta didik melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan efektif menuju perbaikan kondisi kehidupan mereka. Keempat, pendidikan mesti mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berdaulat, cerdas dan memiliki kemampuan mengelola sumberdaya mereka secara bertanggung jawab serta memanfaatkannya secara bijaksana untuk melawan ketidak adilan pendidikan politik dan ekonomi global.
Saya kira sudah saatnya semua pihak melakukan perlawanan untuk mengembalikan orientasi pendidikan sebagai sarana pembebasan, sebab jika dibiarkan biaya pendidikan mencekik rakyat kecil, maka benar bahwa telah terjadi disorientasi pendidikan di negeri tercinta ini. Jangan hiraukan penggede yang gila-gilaan, kita mesti terus bersabar termasuk dalam menyaksikan korupsi, tahan hidup susah dan bangga menjadi miskin. Harga boleh kian menggila, orang miskin diam saja, jangan protes,  bukankah kita hidup disebuah negara yang paling ajaib di dunia, dimana makan atau tidak makan hanyalah persoalan biasa.  Kita musti diam, tahan lapar teruuus dan tetap kalem, sabar, sabar ...cool...cool, hingga semuanya wassalam, ketemu diakherat, pada pengadilan  yang bebas sogok.

PEMBURU KEKUASAAN



Ust. Ach. Hefni Zain
*
Pada abad ke V hijriyah hidup  seorang ulama’ karismatik bernama Al-Hujwiri, belaiu adalah murid Nu’man bin Tsabit al-Harraj yang lebih populer dengan sebutan Abu Hanifah.  Kepada Abu Hanifah berguru Imam Syafi’i  dan  kepada  Imam Syafi’i  berguru  Imam Hambali.
Al-Hujwiri  pernah bercerita tentang kisah Abu Hanifah gurunya, yang hidup pada zaman Kholifah Al-Mantsur dari dawlah Abbasiyah. Suatu ketika kholifah Al-Mantsur bermaksud mengangkat seorang hakim agung  (Qodi) untuk pemerintahannya, lalu diincarlah empat  ulama’ besar ahli fiqh yang hidup dimasa tersebut,  yakni : Abu Hanifah,  Sofyan Tsauri, Mis’ar bin Qidam dan Syuraih. Kholifah Al-Mantsur ingin memilih salah satu diantara keempatnya. Merekapun dipanggil ke istana,  sebelum berangkat, keempat ulama’ tersebut sepakat untuk menolak permintaan kholifah, tetapi mesti dengan cara yang halus, rasional dan tidak menyinggung perasaan beliau, sebab  bila sampai menyinggung perasaan kholifah, pasti resikonya akan sangat besar. Memang kholifah Al-Mantsur dikenal sebagai penguasa dektator yang sangat keras. Lalu  keempat ulama’  itu menyusun cara masing-masing guna menghindari kekuasaan yang ditawarkan sang Kholifah.
Sofyan Tsauri memilih kabur ke luar negeri, berangkat diam-diam di malam buta meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk dapat menghindari sebuah kekuasaan politik.  Mis’ar  bin  Qidam berpura-pura gila., Dengan pakaian compang-camping dan sikap yang aneh ia menghadap kholifah Al-Mantsur seraya berkata : Wahai Paduka yang mulia… Bagaimana kabarmu, kabar anak-anakmu serta hewan ternak piaraanmu? Mis’ar mengatakan hal tersebut tanpa sopan santun sedikitpun, ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan diluar kesadarannya. “Keluarkan orang ini !  ia tidak waras,  kata Kholifah”.  Lalu   Al-Mantsur berkata pada Abu Hanifah, karena Sofyan Tsauri melarikan diri dan Mi’tsar mengalami gangguan jiwa, maka Engkaulah yang harus menjadi hakim agung! Abu Hanifah menjawab.  Wahai Paduka yang mulia …, Aku hanya orang Persi  bukan  orang Arab. Masyarakat Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku, karena itu jangan aku. 
Kholifah berkata, jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan atau etnis,  yang  dibutuhkan  adalah ilmu pengetahuan, keahlian  dan  profesionalitasmu.  Engkau adalah ulama’ terkemuka di wilayah kekuasaanku saat ini.   Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya  dan mengatakan bahwa dirinya tidak pantas untuk jabatan itu.  Kholifah dengan marah dan kesal berkata : alasanmu hanyalah kebohongan yang dicari-cari untuk menutupi ketidak sediaanmu. Maaf paduka potong Abu Hanifah, jika paduka menganggapku pembohong, maka tidak dibenarkan jabatan hakim agung dipercayakan kepada seseorang pembohong atau seseorang yang paduka anggap pembohong. wal hasil Abu Hanifah berhasil mengelak dari jabatan tersebut dan dengan cepat segera pergi dari tempat itu.
Kini tinggal  Syuraih. Jika demikian kata Kholifah, tidak ada alternatif lain, Syuraih harus mau menduduki jabatan ini. Syuraih menyampaikan keberatannya, ia beragumentasi bahwa dirinya seorang penyedih yang suka melucu, apa jadinya kalau hakim agung dijabat dirinya, bisa jadi setiap keputusannya berbasis lawakan. Padahal fatwa seorang hakim agung sangat menentukan nasib dan masa depan masyarakat secara keseluruhan. Dengan alasan tersebut Syuraih berharap ia dapat terhindar dari jabatan yang ditawarkan Kholifah. Tetapi sang Kholifah mulai hilang kesabarannya, lalu menggunakan kekerasan dan berkata, wahai Syuraih, engkau hanya punya dua pilihan : bersedia menjadi menerima jabatan ini atau kupenggal kepalamu juga seluruh keluargamu. Syuraih dihadapkan pada dua pilihan yang sangat dilematis, ia mati kutu dan tertunduk lesu, maka dengan sangat terpaksa Syuraih bersedia menerima jabatan tinggi tersebut. Sejak Syuraih menjabat hakim agung pada perintahan Al-Mantsur,  Abu Hanifah, Sofyan Tsauri dan Mis’ar bin Qidam tidak pernah lagi berbicara kepada Syuraih sepatah katapun dan tak pernah mengunjunginya walau sekalipun, hingga akhir hayatnya.
**
Demikianlah, para ulama’ besar terdahulu berusaha menolak jabatan tinggi di pusat kekuasaan, mereka nekad melakukan apa saja demi menjauhi kekuasaan. Bagi mereka bergaul dengan kaum alit lebih mereka senangi dari pada “berdekat-dekat” dengan kaum elit.  Menjadi muslim yang kurus lebih disukainya dari pada gemuk yang hipokrit. Kesederhanaan yang halal lebih mereka cintai ketimbang kemewahan yang subhat. Para ulama’ besar terdahulu faham betul bahwa Sulthon dalam sejarahnya senantiasa cenderung kepada kedzoliman, paling tidak sulit terpelihara dari subhat.
Sejarah selalu membuktikan catatan kelam tentang kemewahan dan kekuasaan, penguasa yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai kepercayaan rakyat, juga berpotensi besar bagi terjadinya praktek penyimpangan. Adalah rumus umum bahwa tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi penyimpangan akan semakin besar.  Mengingat  kemewahan hanya dikendalikan oleh logika hasrat (logic of desire), maka dalam pelukan kemewahan, kekuasaan mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”,. Akibatnya kemewahan mengaburkan pandangan yang bersangkutan dari segala yang ada disekelilingnya, ia akan menelan habis kesadaran yang bersangkutan atau membuatnya buta dan tuli terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan adalah "tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang"?  Lalu apa yang bisa diharapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan?, Inilah hal substansial yang mesti difikirkan semua pihak yang nuraninya masih normal.
Sesungguhnya pemburu kekuasaan, adalah para pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas mereka amatlah bergantung kepada seberapa banyak kepemilikan pernik-pernik duniawi. Maka, bila para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak berguna dan tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu para penguasa, pejabat, politisi, atau siapa pun yang tidak percaya diri karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.
Yang kita sorot bukanlah lingkungan sosial tempat mereka berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu memarjinalkan manusia bukan saja dari persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran diri. “Dunia kemilau” inilah yang dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai penegak hukum, pengemban amanah rakyat, kyai atau tokoh agama, karena itu kini, masyarakat semakin sulit membedakan antara penegak hukum dengan pelanggar hukum, politikus dengan prilaku tikus, tokoh agama dengan pedagang ayat-ayat Tuhan, dan bahkan (maaf dalam bahasa ektrim) antara “manusia dengan monster”.
Zaman terus  berubah, lain dahulu lain pula sekarang.  Jika dulu para ulama’ besar rela melakukan apa saja demi menghindari kekuasaan, maka bandingkan dengan para ulama, para gus, para ustadz di zaman sekarang, yang -tidak jarang- mengorbankan segalanya untuk berlomba, berebut, mengejar kekuasaan dalam pemerintahan. Karena itu jangan  heran kalau saat ini banyak para pemimpin spiritual umat yang gemuk-gemuk dan tidak risih menjadikan istana para sultan sebagai kiblat mereka, mempermegah tempat tinggal mereka dan memperkaya diri dari sumbangan para sultan. Kini jangan salahkan bila rakyat jelata tersenyum kecut atau bahkan menutup telinga bila mendengar tausiah atau fatwa dari para tokoh yang selama ini mereka ikuti, sebab ternyata terlalu sering mereka dipertontonkan kepada banyaknya burung-burung beo yang menyamar menjadi filosof, atau hemar-hemar yang berjubah  resi.
Al-Hujwiri  menutup cerita ini dengan mdnulis “kisah ini tidak saja menunjukkan kebijaksanaan dan sikap wara’ Abu Hanifah, tetapi juga keteguhan dan istiqomahnya dalam kebenaran serta tekadnya yang kokoh untuk tidak membiarkan dirinya dibuai oleh rumbai-rumbai kemewahan, kemegahan dan popularitas.
***
Sesungguhnya profesi apapun adalah sah salama yang bersangkutan konsisten terhadap nilai-nilai moral, seperti kejujuran, amanah dan kesederhanaan. Bagaimana mungkin rakyat percaya, kalau penegak hukum malah melanggar hukum?, pemberantas korupsi malah melakukan korupsi ?  pejuang moral malah bertindak amoral?. Mereka meneriakkan pengentasan kemiskinan disaat mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin. Jadi jangan salah sangka, rakyat bukan membenci profesi anda, yang dibenci rakyat adalah penyamun yang berjubah kesholehan.  Ketahuilah, memang  baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik, dan bukan besarnya pekerjaan yang akan memuliakan kita, tetapi besarnya dampak dari apapun yang kita kerjakan bagi kebaikan orang lain. 

Minggu, 11 November 2012

PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF SUFI.




Oleh : Ust. Hefni Zain

A. Mukaddimah
Dunia kita adalah dunia laki laki. Kamus ilmiyah menyebutnya patriarkhi atau patrimonial. Budaya kita sejak dulu hingga kini selalu didominasi oleh para pejantan, sehingga jadilah kaum laki laki sebagai penguasa di kehidupan ini.. Budaya telah sedemikian rupa di setting untuk membuktikan suprioritas laki laki atas perempuan, dan tampaknya hingga saat ini  terdapat fakta yang sulit dibantah perempuan masih diposisikan  sebagai subordinat , infrior, terkungkung  dan second class di bawah kaum laki laki.
Memang benar, akhir akhir ini  tidak sedikit perempuan yang tenar, kaya, menjadi tokoh dan populer. Tapi semua itu tetap dalam krangkeng kekuasaan laki laki. Sejumlah perempuan menjadi selebritis sukses karena mereka beranii mempertontonkan bagian dirinya yang memang disukai laki laki --meski untuk itu mereka dirayu dengan argumentasi bahwa itu adalah seni, estetika, keindahan dan sejenisnya--. Gelar wanita tercantik, terseksi, ratu dangdut, ratu joget, dsb, diberikan kepada perempuan yang bersedia memperlakukan dirinya sesuai dengan definisi yang dibuat sesuai selera laki laki. Perempuan disebut berhasil menjadi tokoh ketika ia tampil dalam definisi laki laki. Ini adalah sebagian contoh betapa perempuan diseret ke dalam dunia yang maskulin. Anehnya para feminis berjuang mati matian mewujudkan kebebasan yang justru digandrungi dan menjadi syahwat para lelaki.
Realitas  ini sepertinya kurang adil,  seorang pria yang play boy, penggoda dan penghisap madu wanita disebut jantan, hebat dan perkasa. Tapi bila wanita yang bertindak sama seperti itu akan disebut  binal, kotor dan sebutan lain yang diskriminatif.  Sebegitu infriorkah perempuan ? Bisakah mereka tampil mandiri, bernilai, berwibawa dan mengagumkan  karena ia memang seorang perempuan, bukan karena bersedia ditarik tarik atau diadaptasikan kepada keinginan kaum lelaki ? Lalu siapa perempuan sebenarnya, dan apa signifikansi kehadirannya dalam makrokosmos ini ? Makalah singkat ini mencoba mengkajinya kendati  tidak mendalam.

B.  ISLAM  MEMANDANG PEREMPUAN.
Allah menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan.  Perempuan menjadi pasangan laki laki dan laki laki adalah pasangan perempuan, Alqur’an menyebutnya sebagai Hunna libasul lakum   wa antum libasul lahun. Dengan berpasang pasangan itulah manusia ada. Karena kedua jenis itulah manusia disebut manusia. Ketiadaan yang satu akan meniadakan yang lain. Bisakah seseorang disebut laki laki bila tidak ada perempuan, atau sebaliknya ?. Bisakah ada malam atau disebut  malam bila tidak ada siang ? dan begitu sebaliknya .
Yang paling absah  seseorang disebut perempuan  atau disebut laki laki  hanya bila ukurannya dilihat dari perspektif  fisik-biologis-seksual, Misalnya : Karena ciri ciri organ tertentu  pada tubuh.    Sementara ukuran ukuran yang lain, seperti : --cengeng, emosional, lemah dan mudah menangis -- tampaknya tidak seluruhnya benar, sebab para Nabi pun  yang semuanya laki laki adalah orang orang yang juga  mudah menangis.

Manusia pada hakekatnya tidak berjenis kelamin. Jiwa atau ruh manusia tidak mengenal laki laki atau perempuan. Ruh manusia  ya ruh manusia, tidak laki laki dan tidak perempuan. Karena itu ketika kita diperintahkan untuk meneladani  Muhammad saw, itu adalah Muhammad sebagai hakekat , sebagai nur dan sebagai esensi. Ibn Arabi menyebutnya “Haqiqoh Muhammadiyah”,  sehingga siapapun, baik laki laki atau perempuan wajib meneladaninya. Dan  karena itu pula tidak ada alasan bagi  kaum perempuan untuk tidak beruswah kepada Rasulullah saw dengan alasan berbeda jenis kelamin.   Dengan demikian maka Perempuan tidak lagi dilihat dari perspektif fisik-biologis-seksual,  melainkan  lebih bersifat gender  essensial.

C.  PEREMPUAN  DALAM  PESRSPEKTIF GNOSIS.
Perempuan sering digambarkan dengan keindahan, dan keindahan selalu diidentikkan dengan perempuan  kalau ada sebuah permainan politik, catur, atau sepak bola yang nampak indah, orang akan berdecak “wah.. cantik sekali permainan ini.. tidak pernah kita dengar orang mengatakan “wah.. tampan sekali permainan itu. Perempuan adalah manifestasi dari aspek  Jamaliyah. Ajaran Tao menyebutnya sebagai unsur Yin. Sementara Laki laki digambarkan sebagai keagungan,  tradisi  Gnosis menyebutnya jalaliyah, Tao mengistilahkan sebagai unsur Yang, Jamaliyah adalah  segala ekspresi  dari sikap, sifat dan prilaku yang merujuk kepada cinta, kasih sayang, kedekatan, kemesraan, kehangatan, kelembutan, keindahan dan sejenisnya.  Sedangkan jalaliyah adalah segala hal yang identik dengan keagungan, kekuasaan, keluhuran dan semacamnya. Juga Kesempurnaan, --karena itu pulalah-- jalaliyah sering juga dibahasakan dengan kamaliyah (kesempurnaan).

Secara umum unsur jamaliyah dan jalaliyah menyatu dalam diri Tuhan.  Tapi menurut tradisi Gnosis, Tuhan lebih memanefestasikan diriNya dalam unsur Yin, Jamaliyah, karena itu para aktivis gnosis memposisikan cinta sebagai puncak kedudukan seorang  hamba disisi Allah. Berbeda dengan para Theolog yang memandang Tuhan dalam kaca mata Jalaliyah, kaum gnosis  justru mementingkan kemesraan dengan Tuhan,  karenanya mereka tidak jarang merasa telah begitu dekat dengan Tuhan  atau  bahkan mengaku telah menyatu dengan Tuhannya. Sesungguhnya pandangan bahwa Tuhan begitu dekat --lebih dekat dari urat nadi (habl al warid) --bisa dihayati dan dirasakan kebenarannya secara mendalam lewat konsep cinta.

Kita mungkin cukup sulit memahami  gradasi  ketauhedan para aktivis gnosis yang menempatkan La ilaha illa Ana (Tiada Tuhan selain Aku) sebagai  puncak kesaksian tauhed seseorang. Jika la ilaha illa huwa bagi kaum gnosis Tuhan masih diposisikan sebagai pihak ketiga, sebagai  Dia,  lalu lebih dekat lagi ketika Tuhan diposisikan sebagai pihak kedua, berdialog, berhadap hadapan sebagai Engkau (la ilaha illa Anta), Dan puncaknya, ketika sudah tidak berjarak dan tidak ada ruang yang membatasai seseorang dari Tuhannya, maka  terjadi keintiman yang luar biasa ( penyatuan ) antara yang kull dan yang furu’,  antara pencinta dan yang dicinta, antara setetes air dengan keseluruhan samudra, sehingga sudah tidak dapat diketahui lagi mana yang setetes dan mana yang keseluruhan samudra,  maka diekspresikan sebagai  La ilaha illa Ana (Tiada Tuhan selain Aku).

Disinilah unsur cinta menjadi aspek yang paling signifikan dalam proses penyatuan antara hamba dan Tuhan. Sementara cinta termasuk unsur jamaliyah atau yin. Maka betapa penting  posisi perempuan dalam mengantar taqorrub dan bahkan penyatuan manusia dengan Tuhannya.
Terkenal sebuah hadits yang mengatakan bahwa  sorga terletak dibawah kaki ibu (Al jannatu tahta aqdamil ummahat), kalau di telapak kaki saja  sudah  ada sorga (yang merupakan dambaan setiap insan) , logikanya, tentu terdapat sesuatu yang lebih dahsyat dari sorga pada bagian lain  seorang perempuan ? Wong sorga saja ditempatkan di telapak kaki,  kita tidak bisa membayangkan sedahsyat apa sesuatu  yang ada di bagian lainnya  seperi  di lutut, telapak tangan, leher, dsb.
Imam Ghazali dalam kitab “Kimiya Al sa’adah”  memuat sebuah hadits bahwa Rasululloh  saw bersabda “ Tiga hal di duniamu ini telah menjadi kecintaanku : Kaum wanita, farfum dan kesejukan mataku ketika melakukan sholat. Hadits ini juga termuat dalam  Musnad Ahmad (III :28, 199 dan 285) juga Nasa’i, pada bab Isyarat Al nisa’. Hadits diatas dalam bahasa yang lebih mendalam, sebenarnya kian memperkukuh betapa istimewa posisi perempuan dalam pandangan Rasul. Dua dari ketiganya merujuk pada wanita. Kata Wanita (mar’ah) jelas bersifat perempuan (mu’annas) dan Sholat (Sholah) juga bersifat mu’annas, hanya satu yang berkonotasi laki laki (mudzakkar)  yakni parfum (Thib). Itu artinya, kata Ibnu arabi, seorang laki laki berada dan bergerak diantara dua perempuan.
Perempuan yang pertama, yakni  Mar’ah, menunjuk pada makhluk nyata yang kepadanya seseorang menyemaikan benih  cinta,  Dan perempuan yang kedua, yakni Sholah, menunjuk pada suatu perjalanan ruhaniyah untuk mengalamatkan cinta kemakhlukan kepada cinta yang lebih tinggi , yakni cinta kepada Allah,  al ilah al mahbub  al wahidah al mutlaqah.

 D. Khotimah

Alhasil, ternyata Perempuan dalam perspektif  gnosis, adalah makhluk yang mulia, ditelapak kakinya terdapat sorga. Dan Dirinya merupakan  sarana atau syarat  mutlak bagi para lelaki   untuk mencapai   Allah robbul alamin. Karena itu Rasululloh saw ketika menjelang ajal merasa perlu mengeluarkan wasiat yang berisi tiga hal, yakni : Sholat, perempuan dan ummat.   Maka itu  berhati hatilah terhadap mahluk yang satu ini.  Dia bisa mengantarkan kaum laki laki  dengan mudah mencapai  sorga yang penuh kenikmatan, tapi juga  bisa membuat laki laki terhempas  tanpa ampun ke neraka.