Ust. Ach. Hefni Zain
*
Pada
abad ke V hijriyah hidup seorang ulama’ karismatik
bernama Al-Hujwiri, belaiu adalah murid Nu’man bin Tsabit al-Harraj yang lebih
populer dengan sebutan Abu Hanifah.
Kepada Abu Hanifah berguru Imam Syafi’i dan
kepada Imam Syafi’i berguru
Imam Hambali.
Al-Hujwiri pernah bercerita tentang kisah Abu Hanifah
gurunya, yang hidup pada zaman Kholifah Al-Mantsur dari dawlah Abbasiyah. Suatu
ketika kholifah Al-Mantsur bermaksud mengangkat seorang hakim agung (Qodi) untuk pemerintahannya, lalu diincarlah
empat ulama’ besar ahli fiqh yang hidup
dimasa tersebut, yakni : Abu
Hanifah, Sofyan Tsauri, Mis’ar bin Qidam
dan Syuraih. Kholifah Al-Mantsur ingin memilih salah satu diantara keempatnya.
Merekapun dipanggil ke istana, sebelum
berangkat, keempat ulama’ tersebut sepakat untuk menolak permintaan kholifah,
tetapi mesti dengan cara yang halus, rasional dan tidak menyinggung perasaan beliau,
sebab bila sampai menyinggung perasaan kholifah,
pasti resikonya akan sangat besar. Memang kholifah Al-Mantsur dikenal sebagai
penguasa dektator yang sangat keras. Lalu
keempat ulama’ itu menyusun cara
masing-masing guna menghindari kekuasaan yang ditawarkan sang Kholifah.
Sofyan
Tsauri memilih kabur ke luar negeri, berangkat diam-diam di malam buta
meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk dapat menghindari sebuah kekuasaan
politik. Mis’ar bin
Qidam berpura-pura gila., Dengan pakaian compang-camping dan sikap yang
aneh ia menghadap kholifah Al-Mantsur seraya berkata : Wahai Paduka yang mulia…
Bagaimana kabarmu, kabar anak-anakmu serta hewan ternak piaraanmu? Mis’ar
mengatakan hal tersebut tanpa sopan santun sedikitpun, ia menampakkan bahwa
perbuatannya itu dilakukan diluar kesadarannya. “Keluarkan orang ini ! ia tidak waras, kata Kholifah”. Lalu Al-Mantsur
berkata pada Abu Hanifah, karena Sofyan Tsauri melarikan diri dan Mi’tsar
mengalami gangguan jiwa, maka Engkaulah yang harus menjadi hakim agung! Abu Hanifah
menjawab. Wahai Paduka yang mulia …, Aku
hanya orang Persi bukan orang Arab. Masyarakat Arab tidak akan
menerima keputusan hakim agung seperti aku, karena itu jangan aku.
Kholifah
berkata, jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan atau
etnis, yang dibutuhkan
adalah ilmu pengetahuan, keahlian
dan profesionalitasmu. Engkau adalah ulama’ terkemuka di wilayah
kekuasaanku saat ini. Abu Hanifah tetap
mempertahankan alasannya dan mengatakan
bahwa dirinya tidak pantas untuk jabatan itu.
Kholifah dengan marah dan kesal berkata : alasanmu hanyalah kebohongan
yang dicari-cari untuk menutupi ketidak sediaanmu. Maaf paduka potong Abu
Hanifah, jika paduka menganggapku pembohong, maka tidak dibenarkan jabatan
hakim agung dipercayakan kepada seseorang pembohong atau seseorang yang paduka
anggap pembohong. wal hasil Abu Hanifah berhasil mengelak dari jabatan tersebut
dan dengan cepat segera pergi dari tempat itu.
Kini
tinggal Syuraih. Jika demikian kata
Kholifah, tidak ada alternatif lain, Syuraih harus mau menduduki jabatan ini.
Syuraih menyampaikan keberatannya, ia beragumentasi bahwa dirinya seorang
penyedih yang suka melucu, apa jadinya kalau hakim agung dijabat dirinya, bisa
jadi setiap keputusannya berbasis lawakan. Padahal fatwa seorang hakim agung
sangat menentukan nasib dan masa depan masyarakat secara keseluruhan. Dengan
alasan tersebut Syuraih berharap ia dapat terhindar dari jabatan yang
ditawarkan Kholifah. Tetapi sang Kholifah mulai hilang kesabarannya, lalu
menggunakan kekerasan dan berkata, wahai Syuraih, engkau hanya punya dua pilihan
: bersedia menjadi menerima jabatan ini atau kupenggal kepalamu juga seluruh
keluargamu. Syuraih dihadapkan pada dua pilihan yang sangat dilematis, ia mati
kutu dan tertunduk lesu, maka dengan sangat terpaksa Syuraih bersedia menerima
jabatan tinggi tersebut. Sejak Syuraih menjabat hakim agung pada perintahan
Al-Mantsur, Abu Hanifah, Sofyan Tsauri
dan Mis’ar bin Qidam tidak pernah lagi berbicara kepada Syuraih sepatah katapun
dan tak pernah mengunjunginya walau sekalipun, hingga akhir hayatnya.
**
Demikianlah, para ulama’
besar terdahulu berusaha menolak jabatan tinggi di pusat kekuasaan, mereka
nekad melakukan apa saja demi menjauhi kekuasaan. Bagi mereka
bergaul dengan kaum alit lebih mereka senangi dari pada “berdekat-dekat” dengan
kaum elit. Menjadi muslim yang kurus
lebih disukainya dari pada gemuk yang hipokrit. Kesederhanaan yang halal lebih
mereka cintai ketimbang kemewahan yang subhat. Para ulama’ besar terdahulu
faham betul bahwa Sulthon dalam sejarahnya senantiasa cenderung kepada
kedzoliman, paling tidak sulit terpelihara dari subhat.
Sejarah selalu
membuktikan catatan kelam tentang kemewahan dan kekuasaan, penguasa yang dekat
dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai kepercayaan rakyat, juga
berpotensi besar bagi terjadinya praktek penyimpangan. Adalah rumus umum bahwa
tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi penyimpangan akan
semakin besar. Mengingat kemewahan hanya dikendalikan oleh logika
hasrat (logic of desire), maka dalam pelukan kemewahan, kekuasaan mengalami
proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”,. Akibatnya kemewahan
mengaburkan pandangan yang bersangkutan dari segala yang ada disekelilingnya,
ia akan menelan habis kesadaran yang bersangkutan atau membuatnya buta dan tuli
terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya
kuasa. Bukankah kemewahan adalah "tempat yang orang-orang miskinnya
dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang"? Lalu apa yang bisa diharapkan dari para
pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan?, Inilah
hal substansial yang mesti difikirkan semua pihak yang nuraninya masih normal.
Sesungguhnya
pemburu kekuasaan, adalah para pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan
halusinasi. Eksistensi dan kualitas mereka amatlah bergantung kepada seberapa
banyak kepemilikan pernik-pernik duniawi. Maka, bila para pecandu narkoba harus
direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak berguna dan
tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu para penguasa,
pejabat, politisi, atau siapa pun yang tidak percaya diri karena penghasilan
yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya
dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.
Yang kita sorot
bukanlah lingkungan sosial tempat mereka berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang
kemilaunya mampu memarjinalkan manusia bukan saja dari persoalan-persoalan
masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran diri. “Dunia kemilau” inilah yang
dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai
penegak hukum, pengemban amanah rakyat, kyai atau tokoh agama, karena itu kini,
masyarakat semakin sulit membedakan antara penegak hukum dengan pelanggar
hukum, politikus dengan prilaku tikus, tokoh agama dengan pedagang ayat-ayat
Tuhan, dan bahkan (maaf dalam bahasa ektrim) antara “manusia dengan monster”.
Zaman
terus berubah, lain dahulu lain pula
sekarang. Jika dulu para ulama’ besar rela
melakukan apa saja demi menghindari kekuasaan, maka bandingkan dengan para ulama,
para gus, para ustadz di zaman sekarang, yang -tidak jarang- mengorbankan segalanya
untuk berlomba, berebut, mengejar kekuasaan dalam pemerintahan. Karena itu
jangan heran kalau saat ini banyak para
pemimpin spiritual umat yang gemuk-gemuk dan tidak risih menjadikan istana para
sultan sebagai kiblat mereka, mempermegah tempat tinggal mereka dan memperkaya
diri dari sumbangan para sultan. Kini jangan salahkan bila rakyat jelata
tersenyum kecut atau bahkan menutup telinga bila
mendengar tausiah atau fatwa dari para tokoh yang selama ini mereka ikuti, sebab
ternyata terlalu sering mereka dipertontonkan kepada banyaknya burung-burung
beo yang menyamar menjadi filosof, atau hemar-hemar yang berjubah resi.
Al-Hujwiri menutup cerita ini dengan mdnulis “kisah ini
tidak saja menunjukkan kebijaksanaan dan sikap wara’ Abu Hanifah, tetapi juga
keteguhan dan istiqomahnya dalam kebenaran serta tekadnya yang kokoh untuk
tidak membiarkan dirinya dibuai oleh rumbai-rumbai kemewahan, kemegahan dan
popularitas.
***
Sesungguhnya
profesi apapun adalah sah salama yang bersangkutan konsisten terhadap
nilai-nilai moral, seperti kejujuran, amanah dan kesederhanaan. Bagaimana
mungkin rakyat percaya, kalau penegak hukum malah melanggar hukum?, pemberantas
korupsi malah melakukan korupsi ?
pejuang moral malah bertindak amoral?. Mereka meneriakkan pengentasan
kemiskinan disaat mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin.
Jadi jangan salah sangka, rakyat bukan membenci profesi anda, yang dibenci
rakyat adalah penyamun yang berjubah kesholehan. Ketahuilah, memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih
penting menjadi orang baik, dan bukan besarnya pekerjaan yang akan memuliakan
kita, tetapi besarnya dampak dari apapun yang kita kerjakan bagi kebaikan orang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar