Selasa, 13 November 2012

PEMBURU KEKUASAAN



Ust. Ach. Hefni Zain
*
Pada abad ke V hijriyah hidup  seorang ulama’ karismatik bernama Al-Hujwiri, belaiu adalah murid Nu’man bin Tsabit al-Harraj yang lebih populer dengan sebutan Abu Hanifah.  Kepada Abu Hanifah berguru Imam Syafi’i  dan  kepada  Imam Syafi’i  berguru  Imam Hambali.
Al-Hujwiri  pernah bercerita tentang kisah Abu Hanifah gurunya, yang hidup pada zaman Kholifah Al-Mantsur dari dawlah Abbasiyah. Suatu ketika kholifah Al-Mantsur bermaksud mengangkat seorang hakim agung  (Qodi) untuk pemerintahannya, lalu diincarlah empat  ulama’ besar ahli fiqh yang hidup dimasa tersebut,  yakni : Abu Hanifah,  Sofyan Tsauri, Mis’ar bin Qidam dan Syuraih. Kholifah Al-Mantsur ingin memilih salah satu diantara keempatnya. Merekapun dipanggil ke istana,  sebelum berangkat, keempat ulama’ tersebut sepakat untuk menolak permintaan kholifah, tetapi mesti dengan cara yang halus, rasional dan tidak menyinggung perasaan beliau, sebab  bila sampai menyinggung perasaan kholifah, pasti resikonya akan sangat besar. Memang kholifah Al-Mantsur dikenal sebagai penguasa dektator yang sangat keras. Lalu  keempat ulama’  itu menyusun cara masing-masing guna menghindari kekuasaan yang ditawarkan sang Kholifah.
Sofyan Tsauri memilih kabur ke luar negeri, berangkat diam-diam di malam buta meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk dapat menghindari sebuah kekuasaan politik.  Mis’ar  bin  Qidam berpura-pura gila., Dengan pakaian compang-camping dan sikap yang aneh ia menghadap kholifah Al-Mantsur seraya berkata : Wahai Paduka yang mulia… Bagaimana kabarmu, kabar anak-anakmu serta hewan ternak piaraanmu? Mis’ar mengatakan hal tersebut tanpa sopan santun sedikitpun, ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan diluar kesadarannya. “Keluarkan orang ini !  ia tidak waras,  kata Kholifah”.  Lalu   Al-Mantsur berkata pada Abu Hanifah, karena Sofyan Tsauri melarikan diri dan Mi’tsar mengalami gangguan jiwa, maka Engkaulah yang harus menjadi hakim agung! Abu Hanifah menjawab.  Wahai Paduka yang mulia …, Aku hanya orang Persi  bukan  orang Arab. Masyarakat Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku, karena itu jangan aku. 
Kholifah berkata, jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan atau etnis,  yang  dibutuhkan  adalah ilmu pengetahuan, keahlian  dan  profesionalitasmu.  Engkau adalah ulama’ terkemuka di wilayah kekuasaanku saat ini.   Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya  dan mengatakan bahwa dirinya tidak pantas untuk jabatan itu.  Kholifah dengan marah dan kesal berkata : alasanmu hanyalah kebohongan yang dicari-cari untuk menutupi ketidak sediaanmu. Maaf paduka potong Abu Hanifah, jika paduka menganggapku pembohong, maka tidak dibenarkan jabatan hakim agung dipercayakan kepada seseorang pembohong atau seseorang yang paduka anggap pembohong. wal hasil Abu Hanifah berhasil mengelak dari jabatan tersebut dan dengan cepat segera pergi dari tempat itu.
Kini tinggal  Syuraih. Jika demikian kata Kholifah, tidak ada alternatif lain, Syuraih harus mau menduduki jabatan ini. Syuraih menyampaikan keberatannya, ia beragumentasi bahwa dirinya seorang penyedih yang suka melucu, apa jadinya kalau hakim agung dijabat dirinya, bisa jadi setiap keputusannya berbasis lawakan. Padahal fatwa seorang hakim agung sangat menentukan nasib dan masa depan masyarakat secara keseluruhan. Dengan alasan tersebut Syuraih berharap ia dapat terhindar dari jabatan yang ditawarkan Kholifah. Tetapi sang Kholifah mulai hilang kesabarannya, lalu menggunakan kekerasan dan berkata, wahai Syuraih, engkau hanya punya dua pilihan : bersedia menjadi menerima jabatan ini atau kupenggal kepalamu juga seluruh keluargamu. Syuraih dihadapkan pada dua pilihan yang sangat dilematis, ia mati kutu dan tertunduk lesu, maka dengan sangat terpaksa Syuraih bersedia menerima jabatan tinggi tersebut. Sejak Syuraih menjabat hakim agung pada perintahan Al-Mantsur,  Abu Hanifah, Sofyan Tsauri dan Mis’ar bin Qidam tidak pernah lagi berbicara kepada Syuraih sepatah katapun dan tak pernah mengunjunginya walau sekalipun, hingga akhir hayatnya.
**
Demikianlah, para ulama’ besar terdahulu berusaha menolak jabatan tinggi di pusat kekuasaan, mereka nekad melakukan apa saja demi menjauhi kekuasaan. Bagi mereka bergaul dengan kaum alit lebih mereka senangi dari pada “berdekat-dekat” dengan kaum elit.  Menjadi muslim yang kurus lebih disukainya dari pada gemuk yang hipokrit. Kesederhanaan yang halal lebih mereka cintai ketimbang kemewahan yang subhat. Para ulama’ besar terdahulu faham betul bahwa Sulthon dalam sejarahnya senantiasa cenderung kepada kedzoliman, paling tidak sulit terpelihara dari subhat.
Sejarah selalu membuktikan catatan kelam tentang kemewahan dan kekuasaan, penguasa yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai kepercayaan rakyat, juga berpotensi besar bagi terjadinya praktek penyimpangan. Adalah rumus umum bahwa tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi penyimpangan akan semakin besar.  Mengingat  kemewahan hanya dikendalikan oleh logika hasrat (logic of desire), maka dalam pelukan kemewahan, kekuasaan mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”,. Akibatnya kemewahan mengaburkan pandangan yang bersangkutan dari segala yang ada disekelilingnya, ia akan menelan habis kesadaran yang bersangkutan atau membuatnya buta dan tuli terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan adalah "tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang"?  Lalu apa yang bisa diharapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan?, Inilah hal substansial yang mesti difikirkan semua pihak yang nuraninya masih normal.
Sesungguhnya pemburu kekuasaan, adalah para pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas mereka amatlah bergantung kepada seberapa banyak kepemilikan pernik-pernik duniawi. Maka, bila para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak berguna dan tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu para penguasa, pejabat, politisi, atau siapa pun yang tidak percaya diri karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.
Yang kita sorot bukanlah lingkungan sosial tempat mereka berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu memarjinalkan manusia bukan saja dari persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran diri. “Dunia kemilau” inilah yang dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai penegak hukum, pengemban amanah rakyat, kyai atau tokoh agama, karena itu kini, masyarakat semakin sulit membedakan antara penegak hukum dengan pelanggar hukum, politikus dengan prilaku tikus, tokoh agama dengan pedagang ayat-ayat Tuhan, dan bahkan (maaf dalam bahasa ektrim) antara “manusia dengan monster”.
Zaman terus  berubah, lain dahulu lain pula sekarang.  Jika dulu para ulama’ besar rela melakukan apa saja demi menghindari kekuasaan, maka bandingkan dengan para ulama, para gus, para ustadz di zaman sekarang, yang -tidak jarang- mengorbankan segalanya untuk berlomba, berebut, mengejar kekuasaan dalam pemerintahan. Karena itu jangan  heran kalau saat ini banyak para pemimpin spiritual umat yang gemuk-gemuk dan tidak risih menjadikan istana para sultan sebagai kiblat mereka, mempermegah tempat tinggal mereka dan memperkaya diri dari sumbangan para sultan. Kini jangan salahkan bila rakyat jelata tersenyum kecut atau bahkan menutup telinga bila mendengar tausiah atau fatwa dari para tokoh yang selama ini mereka ikuti, sebab ternyata terlalu sering mereka dipertontonkan kepada banyaknya burung-burung beo yang menyamar menjadi filosof, atau hemar-hemar yang berjubah  resi.
Al-Hujwiri  menutup cerita ini dengan mdnulis “kisah ini tidak saja menunjukkan kebijaksanaan dan sikap wara’ Abu Hanifah, tetapi juga keteguhan dan istiqomahnya dalam kebenaran serta tekadnya yang kokoh untuk tidak membiarkan dirinya dibuai oleh rumbai-rumbai kemewahan, kemegahan dan popularitas.
***
Sesungguhnya profesi apapun adalah sah salama yang bersangkutan konsisten terhadap nilai-nilai moral, seperti kejujuran, amanah dan kesederhanaan. Bagaimana mungkin rakyat percaya, kalau penegak hukum malah melanggar hukum?, pemberantas korupsi malah melakukan korupsi ?  pejuang moral malah bertindak amoral?. Mereka meneriakkan pengentasan kemiskinan disaat mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin. Jadi jangan salah sangka, rakyat bukan membenci profesi anda, yang dibenci rakyat adalah penyamun yang berjubah kesholehan.  Ketahuilah, memang  baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik, dan bukan besarnya pekerjaan yang akan memuliakan kita, tetapi besarnya dampak dari apapun yang kita kerjakan bagi kebaikan orang lain. 

Tidak ada komentar: