Selasa, 13 November 2012

DISORIENTASI PENDIDIKAN : BENARKAH ?



Oleh : Ach.Hefni Zain
*
Dalam salah satu tulisannya, Emha Ainun Najib berkisah, pagi itu seorang miskin tapi cerdas dari pelosok dusun terpencil datang ke salah satu lembaga pendidikan Islam ternama di Jogjakarta untuk menyekolahkan anaknya, setelah didaftar, petugas administrasi bilang “Alhamdulillah, semuanya sudah beres,  putra bapak bisa masuk sekolah mulai senin besok”.  Ketika orang dusun itu pamit pulang, seperti biasa ia diminta membayar biaya  pendaftaran dan biaya lainnya. Membayar apa ?, kata orang dusun itu bengong, ya bayar uang pendaftaran, memangnya bapak mau bayar apa ? namanya mendaftar sekolah ya harus membayar uang pendaftaran, jawab si petugas menerangkan.
Anda ini gimana sih ? kata orang dusun itu, kalau minta  bayaran itu ya kepada orang kaya yang punya uang,  bukan kepada orang miskin seperti saya yang sepeserpun tidak punya uang ?.  Si petugas gedek gedek, bapak ini mahluk dari mana, kok tolol banget, kalau tidak punya uang ya jangan mendaftar ke sekolah, disini tidak ada yang gratis !!!,  .. Yang tolol itu  saya apa situ ? sergah si miskin tak mau kalah,  bagi saya yang namanya daftar sekolah ya ke lembaga pendidikan.. masak ke kuburan, kata orang miskin itu sambil menahan tawa.
Iya…tapi jika daftar ke lembaga pendidikan harus bawa uang, kata si petugas dengan nada tinggi. Lho, apa hubungannya daftar sekolah dengan uang ?, memangnya anak orang kaya saja yang boleh sekolah ? apa di negeri ini ada undang-undang yang menetapkan anak orang miskin dilarang sekolah ? tanya si miskin nyerocos, wong saya bicara soal sekolah, kok situ bicara soal uang ? kalau mau ngurusi uang ya sana di bank, jangan dicampur-campur dengan pendaftaran anak saya, pokoknya saya sekarang mau pulang…masak orang miskin dilarang sekolah ???,  kata orang dusun itu sambil nyelonong pergi.
**
Kisah ini, kendati berbentuk parodi, tetapi sungguh merupakan kritik telak atas realitas ketidak adilan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, kritik atas fenomena kapitalisme yang telah meluluh lantakkan pertahanan hidup kaum alit yang termiskinkan oleh sistem global sehingga terlantar dan bahkan terjajah di negeri sendiri yang konon “kaya”., Mereka semakin kehilangan hak-haknya, karena terus dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar, kian hari jumlah mereka kian bertambah, sedang kekuasaan makin menjauh dari mereka, akibatnya kaum alit semakin tak mungkin menikmati hasil kemerdekaan seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan dan pekerjaan yang layak.
Sesungguhnya tidak ada satu negarapun yang bertugas menyengsarakan rakyatnya, tugas semua negara dimanapun adalah mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan rakyatnya, namun tren empiriknya hampir sebagian besar kebijakan pemerintah di negeri ini tidak memihak kepada kaum alit kendati mereka selalu mengatas namakannya.
Fungsi pendidikan seharusnya membebaskan masyarakat dari problem ketidak berdayaan, tetapi ketika biaya pendidikan sangat mahal dan sulit diakses oleh seluruh rakyat, maka ia telah berubah dari semangat membebaskan ke semangat menjajah, apalagi tatkala lembaga-lembaga pendidikan yang ada terus berlomba menempelkan tarif pada berbagai bentuk layanannya, para konsumen hanya dilayani sesuai dengan kemampuan membayarnya, maka sulit dimaknai lain kecuali lembaga tersebut telah menjadi pembiakan gelombang kapitalisme, dan seluruh publikasi pendidikan dalam konteks ini sejatinya hanyalah corong dari kepentingan komersialisasi dan ekspansionis pasar.  Belum lagi praktek mafia bisnis buku, media pembelajaran dan sarana pendidikan yang menjanjikan laba besar, omzet industri ini di Indonesia mencapai angka  Rp 14 trilyun perbulan. Inilah yang menyebabkan komoditas dan praktek mafia pendidikan semakin subur di negeri ini. Kendati telah banyak lembaga pendidikan yang berlabel Islam, misalnya bernama yayasan pendidikan Islam Abu Bakar, tetapi biayanya tetap Abu Jahal.
***
Padahal dalam pembukaan UUD 1945 telah dengan tegas disebutkan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Sejatinya kemerdekaan bukan saja hak segala bangsa tetapi juga hak semua manusia, sebab setiap manusia diciptakan dalam keadaan merdeka, bahkan kemerdekaan juga merupakan hak semua mahluk Tuhan di makro kosmos ini. Karena itu segala bentuk distorsi atas kemerdekaan mahluk Tuhan, mutlak harus dilawan karena bukan saja bertentangan dengan prikemanusiaan dan prikeadilan  tetapi juga bertentangan dengan hak dasar penciptaan semua mahluk Tuhan, bertentangan dengan pri dan pro kemakhlukan.
Kemerdekaan sejati adalah terbebasnya seluruh rakyat dari berbagai model penjajahan dan ketidak berdayaan disegala bidang termasuk bidang pendidikan, tentu yang namanya penjajah tidak mesti selalu datang dari luar, bisa juga datang dari dalam, bukan saja bangsa asing, bisa juga bangsa sendiri, maka proklamasi kemerdekaan dan prembule UUD 45 hanya menjadi lawakan, bila yang berhasil memasuki pintu gerbang kemakmuran hanya segelintir orang saja sementara yang lain yang justru terbanyak hanya berada diluarnya berdesak-desakan.
Faktanya, rakyat kita hingga detik ini belum sepenuhnya memperoleh hak-haknya dalam arti yang sesungguhnya, paling tidak praktek ”penindasan” termasuk distribusi yang tidak adil dan merata masih saja terjadi dengan leluasa di negeri yang konon mayoritas muslim, indikatornya adalah tak terhitung bocah-bocah cerdas dan potensial yang putus sekolah karena kekurangan biaya ? tak terhitung tubuh-tubuh layu berpenyakit yang menggelepar menunggu maut karena tak mampu berobat ? dan bahkan tidak sedikit rakyat kita yang  terpaksa melacur, bahkan menjual iman demi sesuap nasi ?,
Pihak yang diharapkan rakyat untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat jelata, malah sangat antusias memperjuangkan kenaikan gajinya dengan alasan yang sangat lucu. Dulu berjanji  membela  wong cilik  kini  malah mengorbankan wong cilik,  dulu maju tak gentar membela yang benar, kini  malah maju tak malu  membela yang bayar,  itu artinya perangai borjuis telah jauh menginfeksi peta kognisi sebagian besar pengambil kebijakan di negeri ini.
Saya kira sudah saatnya semua pihak di negeri ini harus mulai berjuang merobah pola lakunya yang biasa memakan hari depan anak anaknya sendiri. Saatnya para penguasa  belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak. Kata pengamat sosial, di zaman merdeka, penguasa adalah rakyat, tetapi di zaman pembangunan, penguasa menipu dan memukuli rakyat. di zaman edan seperti sekarang ini penguasa malah memakan rakyat dan masa depannya, sedangkan di zaman kiamat nanti, penguasa  akan mengemis pengampunan rakyat.
****
Bagaimana caranya mengembalikan pendidikan pada fungsinya semula ? Pertama, diperlukan reformasi radikal konsep pendidikan dari sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik transparan berbasis partisipatoris. Kedua, pendidikan harus memberikan pengakuan kesederajatan paedagogis kepada seluruh rakyat dimana mereka berhak memperoleh sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkannya. Ketiga, pendidikan mesti diorientasikan sebagai penguatan (empowering) kepada peserta didik melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan efektif menuju perbaikan kondisi kehidupan mereka. Keempat, pendidikan mesti mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berdaulat, cerdas dan memiliki kemampuan mengelola sumberdaya mereka secara bertanggung jawab serta memanfaatkannya secara bijaksana untuk melawan ketidak adilan pendidikan politik dan ekonomi global.
Saya kira sudah saatnya semua pihak melakukan perlawanan untuk mengembalikan orientasi pendidikan sebagai sarana pembebasan, sebab jika dibiarkan biaya pendidikan mencekik rakyat kecil, maka benar bahwa telah terjadi disorientasi pendidikan di negeri tercinta ini. Jangan hiraukan penggede yang gila-gilaan, kita mesti terus bersabar termasuk dalam menyaksikan korupsi, tahan hidup susah dan bangga menjadi miskin. Harga boleh kian menggila, orang miskin diam saja, jangan protes,  bukankah kita hidup disebuah negara yang paling ajaib di dunia, dimana makan atau tidak makan hanyalah persoalan biasa.  Kita musti diam, tahan lapar teruuus dan tetap kalem, sabar, sabar ...cool...cool, hingga semuanya wassalam, ketemu diakherat, pada pengadilan  yang bebas sogok.

Tidak ada komentar: