Oleh : Ach.Hefni Zain
*
Dalam salah satu tulisannya, Emha
Ainun Najib berkisah, pagi itu seorang miskin tapi cerdas dari pelosok dusun
terpencil datang ke salah satu lembaga pendidikan Islam ternama di Jogjakarta
untuk menyekolahkan anaknya, setelah didaftar, petugas administrasi bilang
“Alhamdulillah, semuanya sudah beres,
putra bapak bisa masuk sekolah mulai senin besok”. Ketika orang dusun itu pamit pulang, seperti
biasa ia diminta membayar biaya
pendaftaran dan biaya lainnya. Membayar apa ?, kata orang dusun itu bengong,
ya bayar uang pendaftaran, memangnya bapak mau bayar apa ? namanya mendaftar
sekolah ya harus membayar uang pendaftaran, jawab si petugas menerangkan.
Anda ini gimana sih ? kata orang dusun
itu, kalau minta bayaran itu ya kepada
orang kaya yang punya uang, bukan kepada
orang miskin seperti saya yang sepeserpun tidak punya uang ?. Si petugas gedek gedek, bapak ini mahluk dari
mana, kok tolol banget, kalau tidak punya uang ya jangan mendaftar ke sekolah,
disini tidak ada yang gratis !!!, ..
Yang tolol itu saya apa situ ? sergah si
miskin tak mau kalah, bagi saya yang namanya
daftar sekolah ya ke lembaga pendidikan.. masak ke kuburan, kata orang miskin
itu sambil menahan tawa.
Iya…tapi jika daftar ke lembaga
pendidikan harus bawa uang, kata si petugas dengan nada tinggi. Lho, apa
hubungannya daftar sekolah dengan uang ?, memangnya anak orang kaya saja yang
boleh sekolah ? apa di negeri ini ada undang-undang yang menetapkan anak orang
miskin dilarang sekolah ? tanya si miskin nyerocos, wong saya bicara soal
sekolah, kok situ bicara soal uang ? kalau mau ngurusi uang ya sana di bank,
jangan dicampur-campur dengan pendaftaran anak saya, pokoknya saya sekarang mau
pulang…masak orang miskin dilarang sekolah ???,
kata orang dusun itu sambil nyelonong pergi.
**
Kisah ini,
kendati berbentuk parodi, tetapi sungguh merupakan kritik telak atas realitas
ketidak adilan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, kritik atas
fenomena kapitalisme yang telah meluluh lantakkan pertahanan hidup kaum alit
yang termiskinkan oleh sistem global sehingga terlantar dan bahkan terjajah di
negeri sendiri yang konon “kaya”., Mereka semakin kehilangan hak-haknya, karena
terus dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar, kian hari jumlah mereka
kian bertambah, sedang kekuasaan makin menjauh dari mereka, akibatnya kaum alit
semakin tak mungkin menikmati hasil kemerdekaan seperti layanan pendidikan,
layanan kesehatan dan pekerjaan yang layak.
Sesungguhnya tidak
ada satu negarapun yang bertugas menyengsarakan rakyatnya, tugas semua negara
dimanapun adalah mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan rakyatnya, namun
tren empiriknya hampir sebagian besar kebijakan pemerintah di negeri ini tidak
memihak kepada kaum alit kendati mereka selalu mengatas namakannya.
Fungsi pendidikan
seharusnya membebaskan masyarakat dari problem ketidak berdayaan, tetapi ketika
biaya pendidikan sangat mahal dan sulit diakses oleh seluruh rakyat, maka ia
telah berubah dari semangat membebaskan ke semangat menjajah, apalagi tatkala
lembaga-lembaga pendidikan yang ada terus berlomba menempelkan tarif pada
berbagai bentuk layanannya, para konsumen hanya dilayani sesuai dengan
kemampuan membayarnya, maka sulit dimaknai lain kecuali lembaga tersebut telah
menjadi pembiakan gelombang kapitalisme, dan seluruh publikasi pendidikan dalam
konteks ini sejatinya hanyalah corong dari kepentingan komersialisasi dan
ekspansionis pasar. Belum lagi praktek
mafia bisnis buku, media pembelajaran dan sarana pendidikan yang menjanjikan
laba besar, omzet industri ini di Indonesia mencapai angka Rp 14 trilyun perbulan. Inilah yang
menyebabkan komoditas dan praktek mafia pendidikan semakin subur di negeri ini.
Kendati telah banyak lembaga pendidikan yang berlabel Islam, misalnya bernama
yayasan pendidikan Islam Abu Bakar, tetapi biayanya tetap Abu Jahal.
***
Padahal dalam
pembukaan UUD 1945 telah dengan tegas disebutkan bahwa kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Sejatinya
kemerdekaan bukan saja hak segala bangsa tetapi juga hak semua manusia, sebab
setiap manusia diciptakan dalam keadaan merdeka, bahkan kemerdekaan juga
merupakan hak semua mahluk Tuhan di makro kosmos ini. Karena itu segala bentuk
distorsi atas kemerdekaan mahluk Tuhan, mutlak harus dilawan karena bukan saja
bertentangan dengan prikemanusiaan dan prikeadilan tetapi juga bertentangan dengan hak dasar
penciptaan semua mahluk Tuhan, bertentangan dengan pri dan pro kemakhlukan.
Kemerdekaan
sejati adalah terbebasnya seluruh rakyat dari berbagai model penjajahan dan
ketidak berdayaan disegala bidang termasuk bidang pendidikan, tentu yang
namanya penjajah tidak mesti selalu datang dari luar, bisa juga datang dari
dalam, bukan saja bangsa asing, bisa juga bangsa sendiri, maka proklamasi
kemerdekaan dan prembule UUD 45 hanya menjadi lawakan, bila yang berhasil
memasuki pintu gerbang kemakmuran hanya segelintir orang saja sementara yang
lain yang justru terbanyak hanya berada diluarnya berdesak-desakan.
Faktanya,
rakyat kita hingga detik ini belum sepenuhnya memperoleh hak-haknya dalam arti
yang sesungguhnya, paling tidak praktek ”penindasan” termasuk distribusi yang
tidak adil dan merata masih saja terjadi dengan leluasa di negeri yang konon
mayoritas muslim, indikatornya adalah tak terhitung bocah-bocah cerdas dan
potensial yang putus sekolah karena kekurangan biaya ? tak terhitung
tubuh-tubuh layu berpenyakit yang menggelepar menunggu maut karena tak mampu
berobat ? dan bahkan tidak sedikit rakyat kita yang terpaksa melacur, bahkan menjual iman demi
sesuap nasi ?,
Pihak yang
diharapkan rakyat untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat jelata, malah
sangat antusias memperjuangkan kenaikan gajinya dengan alasan yang sangat lucu.
Dulu berjanji membela wong cilik
kini malah mengorbankan wong cilik, dulu maju tak gentar membela yang benar,
kini malah maju tak malu membela yang bayar, itu artinya perangai borjuis telah jauh
menginfeksi peta kognisi sebagian besar pengambil kebijakan di negeri ini.
Saya kira sudah
saatnya semua pihak di negeri ini harus mulai berjuang merobah pola lakunya
yang biasa memakan hari depan anak anaknya sendiri. Saatnya para penguasa belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami
banyak. Kata pengamat sosial, di zaman merdeka, penguasa adalah rakyat, tetapi
di zaman pembangunan, penguasa menipu dan memukuli rakyat. di zaman edan
seperti sekarang ini penguasa malah memakan rakyat dan masa depannya, sedangkan
di zaman kiamat nanti, penguasa akan
mengemis pengampunan rakyat.
****
Bagaimana caranya mengembalikan pendidikan pada fungsinya
semula ? Pertama, diperlukan reformasi radikal konsep pendidikan dari
sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik transparan
berbasis partisipatoris. Kedua, pendidikan harus memberikan pengakuan
kesederajatan paedagogis kepada
seluruh rakyat dimana mereka berhak
memperoleh sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkannya. Ketiga, pendidikan
mesti diorientasikan sebagai penguatan (empowering) kepada peserta
didik melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan efektif menuju perbaikan
kondisi kehidupan mereka. Keempat, pendidikan
mesti mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berdaulat, cerdas dan memiliki
kemampuan mengelola sumberdaya mereka secara bertanggung jawab serta
memanfaatkannya secara bijaksana untuk melawan ketidak adilan pendidikan
politik dan ekonomi global.
Saya kira sudah saatnya semua pihak melakukan perlawanan untuk
mengembalikan orientasi pendidikan sebagai sarana pembebasan, sebab jika
dibiarkan biaya pendidikan mencekik rakyat kecil, maka benar bahwa telah
terjadi disorientasi pendidikan di negeri tercinta ini. Jangan hiraukan penggede yang
gila-gilaan, kita mesti
terus bersabar termasuk
dalam menyaksikan korupsi, tahan hidup susah dan bangga menjadi miskin. Harga
boleh kian menggila, orang miskin diam saja, jangan protes, bukankah kita hidup disebuah negara yang
paling ajaib di dunia, dimana makan atau tidak makan hanyalah persoalan
biasa. Kita musti diam, tahan lapar
teruuus dan tetap kalem, sabar, sabar ...cool...cool, hingga semuanya wassalam,
ketemu diakherat, pada pengadilan yang
bebas sogok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar