Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah
sesudah mereka dianiaya, pasti akan kami
berikan tempat yang baik kepada mereka di
dunia. dan Sesungguhnya pahala
di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka
mengetahui, (Qs.16 : 41)
Muqoddimah
Hijrah. kendati secara bahasa diartikan sebagai berpindahnya seseorang dari suatu daerah ke
daerah lain untuk tujuan yang lebih baik, tetapi dalam konteks maknawi hijrah dapat
dimaknai sebagai proses perpindahan dari digit nigatif ke digit positif, proses
perubahan dari kepribadian tercela menuju kepribadian terpuji. Rasulullah saw bersabda, hijrah itu tidak
terputus selama ada musuh yang dapat ditundukkan (Hr. Nasa’i). Musuh dalam hadits ini tentu bukan hanya yang datang dari luar kita, tetapi
termasuk juga musuh yang bercokol didalam diri kita. Dari hadits tersebut
kemudian para ulama menyebut hijrah memiliki banyak dimensi, antara lain :
hijrah i’tiqodiyah, hijrah fikriyah, hijrah syu’uriyah, hijrah sulukiyah,
hijrah tsaqofiyah dan semacamnya. Dengan demikian hijrah tidak terbatas pada
meninggalkan tempat tumpah darah, melainkan juga mencakup meninggalkan sesuatu
yang melekat (inheren) pada diri kita sendiri.
Ketika menafsirkan Qs. At-Tin : 4-5 ; Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya. Hossein Nasr menyebutkan manusia diciptakan dalam formasi yang terbaik, tetapi kemudian ia jatuh pada
kondisi tragis berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal usulnya yang
ilahiyah (buku Sufi Essays). Orang-orang yang berhijrah
adalah mereka yang ingin kembali menjadi manusia seperti formasi semula, karenanya
mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya, seperti ular, mereka
harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju
kebesaran, yang sering sipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus
dilepas dan dibuang jauh-jauh. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa,
harus dikubur dalam-dalam. Mereka harus menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi,
dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia yang manusiawi dengan pakaian
kesucian, kejujuran, kerendahan hati dan pengabdian, makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh sifat dan asma Allah.
Dengan muatan kwalitas yang seperti itu, para muhajirin diharapkan menyebarkan berkah pada lingkungan sekitar. Kesucian hati, ketercerahan
batin dan penghidmatan mereka diharapkan
dapat menusuk jantung orang-orang munafik, menghantam kepala para tiran pemuja
kekuasaan yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan, sekaligus
mematahkan leher manusia srigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia
yang penuh kearifan dan kasih sayang. Itulah sebabnya orang-orang yang pasrah (baca:bandel tidak mau berhijrah/berubah)
karena ingin mempertahankan ego dan status quo, dalam pandangan Islam dianggap
sebagai orang orang yang menganiaya diri sendiri. Sebaliknya orang-orang yang rela meninggalkan
dan mengorbankan kepentingan dan kelezatan sesaat untuk berhijrah di jalan
Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan lebih banyak
dari apa yang mereka korbankan. Itulah yang tergambar dalam Qs. 4 : 97-100,
juga Qs.16 : 41). Dengan berhijrah seseorang akan dapat mengubah horizonnya terhadap kosmos
menjadi lebih komprehenship yang pada gilirannya dapat menghilangkan kejumudan
dan merepatriasi dirinya menjadi mahluk yang tubuhnya menapak di bumi, tetapi ruhnya
bergantung ke Arasy Tuhan.
Urgensi hijrah dalam kehidupan turbulence
Bagi kaum muslimin, hijrah i’tiqodiyah, hijrah fikriyah, hijrah
syu’uriyah, hijrah sulukiyah dan hijrah akhlaqiyah menjadi semakin penting
dilakukan tatkala sebagian umat Islam mulai kehilangan
instrumen kemanusiaan yang paling utama, yakni cinta dan kasih sayang antar
sesama, sehingga misi Islam untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan
menentramkan menjadi terabaikan, bahkan sebaliknya yang
bermunculan adalah benih-benih perseteruan diantara kaum muslimin , Inilah yang oleh Yusuf Qordhowi disebut ”Al-Islamu mahjubun
bil-muslimin”. Cahaya Islam
ditutupi oleh orang Islam sendiri. Sungguh ironis, fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian kita mengisi
hidup dengan iri dan dengki atau dengan
hati yang tidak beres, kita senang melihat orang lain susah dan susah melihat
orang lain senang.
Dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda “Kalian tidak akan
masuk sorga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum
kalian saling mencintai, Maukah aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian
mau melakukannya, maka kalian akan saling mencintai ? yaitu sebarkan salam
ditengah tengah kalian (Hr. Muslim). Peristiwa hijrah mengandung pesan moral, bahwa dalam
bermasyarakat kita mesti (1) mengembangkan
budaya kalamah sawa’ dan ishlah
(mencari titik temu dan jalan damai), (2) menegakkan budaya tabayun
(klarifikasi), (3) menghindarkan diri
dari taskhirriyah (meremehkan, menghina dan memperolok-olok orang lain).
(4) menjauhkan diri dari sikap berburuk sangka, dan (5) jangan suka mencari kesalahan orang lain; carilah
keslahan diri sendiri.
Bagaimana memulai hijrah kepribadian ?
1. Membiasakan mendengar suara hati
Sejatinya kita memiliki hati
yang selalu mengajak kita untuk berbicara. Salah satu
pembicaraan hati adalah mengecam perilaku kita yang tidak baik “Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu
mengecam. (Qs.75 : 2) Allah memberikan isyarat gaib-Nya pada kita melalui hati
kita. Namun selama ini mulut kita terlalu riuh, kita terlalu banyak bicara,
padahal jika mulut kita selalu riuh, isyarat gaib itu tidak akan terdengar dan
suara hati akan melemah karena terhalang oleh bisingnya suara mulut kita. Nabi saw bersabda, manusia yang paling baik adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya
dan menahan kelebihan bicaranya.
Abdullah bin Mas’ud berkata, Demi
Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita
perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita. Thawus
Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, Lidahku adalah binatang
buas, kalau aku lepaskan dia, dia akan memangsa segalanya. Hasan Al-Bashri, berkata, Belum
sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya. Imam Ghazali hanya
memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja, yakni pembicaraan yang memiliki
manfaat dan tidak mengandung bahaya.
2. Dengan berkhidmat pada agama dan kemanusiaan
Rasul saw pernah bercerita
tentang orang-orang yang telah mencapai derajat tinggi, karena orang-orang inilah Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta
membuat sehat dan sakit. Kalau mereka datang di satu tempat, Allah akan selamatkan
tempat itu dari 70 bencana, Mereka mencapai derajat itu karena al-sakhwah
(kedermawanan) dan al-nashatul lil
muslimin (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama muslim).
Dalam Al-Qur’an, khidmat dilakukan dengan harta dan jiwa (bi amwalikum wa anfusikum). Banyak diantara kita yang rela mengorbankan nyawa
tetapi tidak rela mengorbankan hartanya, berani mati tapi tidak berani miskin. Bahkan ada orang yang sering mengorbankan raga dan jiwanya demi harta. Oleh karena itu, berkhidmat dengan harta dalam Islam lebih
didahulukan daripada berkhidmat dengan jiwa, contoh berkhidmat dengan harta
adalah zakat dan sodaqoh.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
disebutkan: jika orang mengeluarkan hartanya dijalan Allah, pada saat yang sama
Allah mengeluarkan penyakit-penyakit batin orang tersebut seperti kedengkian, iri hati dan egoisme. Menurut psikoterapis ada banyak gangguan jiwa, seperti
kegelisahan, keresahan, dan stress yang bermula dari perbuatan kita yang egois, menghendaki orang lain berperilaku seperti yang
kita mau. Kita menjadi menderita bila sesuatu yang kita inginkan tidak terjadi. Kita terbiasa untuk menggerakkan telunjuk kita pada setiap orang dengan
perintah-perintah tertentu. Kita sering menyuruh orang berkhidmat kepada kita,
bukan berkhidmat kepada mereka. Kita terbiasa dikhidmati bukan berkhidmat. Demikian
juga salah satu penyakit kita selama ini adalah keinginan untuk selalu
dicintai, sepanjang waktu, kita hanya belajar kiat-kiat untuk dicintai, bukan
belajar untuk mencintai, padahal hanya dengan mencintai kita akan dicintai. Ibnu Arabi pernah berdoa: Ya Allah, aku mohon agar aku bisa
mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu. Dan buatlah aku
lelah dalam membagi-bagikan harta-Mu, bukan lelah karena mencari
harta-Mu."
.
3. Dengan membalas kejatahan dengan kebaikan
Suatu hari, Dzunnun Al-Misri bersama beberapa santrinya
dizhalimi oleh sekolompok preman, karena para santri percaya bahwa doa Dzunnun pasti
diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa supaya para preman itu diadzab Tuhan, Dzunnun lalu mengangkat tangannya dan berdoa: Ya
Allah, Berikanlah orang-orang itu ampunan dan keselamatan di dunia
dan akhirat. Para santri heran, mereka menzholimi kita, mengapa engkau malah membalas
dengan doa yang baik? Dzunnun menjawab, Itulah bedanya
kita dengan mereka. Mereka kirimkan kepada kita keburukan dan kita kirimkan
kepada mereka kebaikan.Dengan begitu kita dan mereka puas tanpa merugikan siapa
pun. Bandingkan dengan kita, Kita terbiasa menaruh dendam kepada orang-orang yang menyakiti kita. Seringkali ketika ada orang
memperlakukan kita dengan jelek, kita berharap bahwa kita bisa membalas kejelekan
itu dengan kejelekan pula, dengan berkata, Supaya ini jadi pelajaran bagi
mereka.
Dzunnun melanjutkan
tradisi para rasul Tuhan yang mengajarkan kepada kita untuk membalas kejelekan
yang dilakukan orang lain dengan kebaikan. Bayangkanlah ketika Anda berdoa
supaya saingan anda hancur, agar musuh anda binasa, anda akan memperoleh satu manfaat saja: Kepuasan hati karena hancurnya
saingan Anda. Tapi ketika Anda berdoa: Ya Allah, ubahlah kebencian
musuh-musuhku menjadi kasih sayang, Anda akan mendatangkan manfaat kepada semua
orang. Dzunnun Al-Mishri mengajari kita tradisi para Nabi dan orang-orang saleh; membalas kejelekan
dengan kebaikan. Jadilah kita seperti pohon Mangga di tepi jalan, yang
dilempari orang dengan batu tetapi ia mengirimkan kepada si pelempar itu, buah
yang telah ranum. Ahsin kama ahsanallohu ilaik, berbuatlah baik sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar