Selasa, 13 November 2012

HIJRAH KEPRIBADIAN




Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti akan kami
berikan tempat yang baik kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala
di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (Qs.16 : 41)

Muqoddimah
Hijrah. kendati secara bahasa diartikan sebagai  berpindahnya seseorang dari suatu daerah ke daerah lain untuk tujuan yang lebih baik, tetapi dalam konteks maknawi hijrah dapat dimaknai sebagai proses perpindahan dari digit nigatif ke digit positif, proses perubahan dari kepribadian tercela menuju kepribadian terpuji.  Rasulullah saw bersabda, hijrah itu tidak terputus selama ada musuh yang dapat ditundukkan (Hr. Nasa’i). Musuh dalam hadits ini tentu bukan  hanya yang datang dari luar kita, tetapi termasuk juga musuh yang bercokol didalam diri kita. Dari hadits tersebut kemudian para ulama menyebut hijrah memiliki banyak dimensi, antara lain : hijrah i’tiqodiyah, hijrah fikriyah, hijrah syu’uriyah, hijrah sulukiyah, hijrah tsaqofiyah dan semacamnya. Dengan demikian hijrah tidak terbatas pada meninggalkan tempat tumpah darah, melainkan juga mencakup meninggalkan sesuatu yang melekat (inheren) pada diri kita sendiri.
Ketika menafsirkan Qs. At-Tin : 4-5 ; Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,  kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Hossein Nasr menyebutkan manusia diciptakan dalam formasi yang terbaik, tetapi kemudian ia jatuh pada kondisi tragis berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal usulnya yang ilahiyah (buku Sufi Essays). Orang-orang yang berhijrah adalah mereka yang ingin kembali menjadi manusia seperti formasi semula, karenanya mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya, seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran, yang sering sipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepas dan dibuang jauh-jauh. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam-dalam. Mereka harus menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia yang manusiawi dengan  pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati dan pengabdian, makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh sifat dan asma Allah.
Dengan muatan kwalitas yang seperti itu, para muhajirin diharapkan menyebarkan berkah pada lingkungan sekitar. Kesucian hati, ketercerahan batin dan  penghidmatan mereka diharapkan dapat menusuk jantung orang-orang munafik, menghantam kepala para tiran pemuja kekuasaan yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan, sekaligus mematahkan leher manusia srigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Itulah sebabnya  orang-orang yang pasrah (baca:bandel tidak mau berhijrah/berubah) karena ingin mempertahankan ego dan status quo, dalam pandangan Islam dianggap sebagai orang orang yang menganiaya diri sendiri.  Sebaliknya orang-orang yang rela meninggalkan dan mengorbankan kepentingan dan kelezatan sesaat untuk berhijrah di jalan Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan lebih banyak dari apa yang mereka korbankan. Itulah yang tergambar dalam Qs. 4 : 97-100, juga Qs.16 : 41).  Dengan berhijrah seseorang akan dapat mengubah horizonnya terhadap kosmos menjadi lebih komprehenship yang pada gilirannya dapat menghilangkan kejumudan dan merepatriasi dirinya menjadi mahluk yang tubuhnya menapak di bumi, tetapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan. 


Urgensi hijrah dalam kehidupan turbulence
Bagi kaum muslimin, hijrah i’tiqodiyah, hijrah fikriyah, hijrah syu’uriyah, hijrah sulukiyah dan hijrah akhlaqiyah menjadi semakin penting dilakukan tatkala sebagian umat Islam mulai kehilangan instrumen kemanusiaan yang paling utama, yakni cinta dan kasih sayang antar sesama, sehingga misi Islam untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan menjadi terabaikan, bahkan sebaliknya yang bermunculan adalah benih-benih perseteruan diantara kaum muslimin , Inilah yang oleh Yusuf Qordhowi disebut ”Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”. Cahaya Islam ditutupi oleh orang Islam sendiri. Sungguh ironis, fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian kita mengisi hidup dengan  iri dan dengki atau dengan hati yang tidak beres, kita senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang.
  Dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda “Kalian tidak akan masuk sorga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai, Maukah aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian mau melakukannya, maka kalian akan saling mencintai ? yaitu sebarkan salam ditengah tengah kalian (Hr. Muslim).  Peristiwa  hijrah mengandung pesan moral, bahwa dalam bermasyarakat   kita mesti (1) mengembangkan budaya kalamah sawa’ dan ishlah (mencari titik temu dan jalan damai), (2) menegakkan budaya tabayun (klarifikasi), (3) menghindarkan diri dari taskhirriyah (meremehkan, menghina dan memperolok-olok orang lain). (4) menjauhkan diri dari sikap berburuk sangka, dan (5) jangan suka mencari kesalahan orang lain; carilah keslahan diri sendiri.

Bagaimana memulai hijrah kepribadian ?
1.      Membiasakan mendengar suara hati
        Sejatinya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita untuk berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku kita yang tidak baikSungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (Qs.75 : 2) Allah memberikan isyarat gaib-Nya pada kita melalui hati kita. Namun selama ini mulut kita terlalu riuh, kita terlalu banyak bicara, padahal jika mulut kita selalu riuh, isyarat gaib itu tidak akan terdengar dan suara hati akan melemah karena terhalang oleh bisingnya suara mulut kita.  Nabi saw bersabda, manusia yang paling baik adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan bicaranya.
        Abdullah bin Mas’ud berkata, Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita. Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, Lidahku adalah binatang buas, kalau aku lepaskan dia, dia akan memangsa segalanya. Hasan Al-Bashri, berkata, Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya. Imam Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja, yakni pembicaraan yang memiliki manfaat dan tidak mengandung bahaya.

2.      Dengan berkhidmat pada agama dan kemanusiaan
        Rasul saw pernah bercerita tentang orang-orang yang telah mencapai derajat tinggi, karena orang-orang inilah Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Kalau mereka datang di satu tempat, Allah akan selamatkan tempat itu dari 70 bencana, Mereka mencapai derajat itu karena al-sakhwah (kedermawanan) dan  al-nashatul lil muslimin (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama muslim).
Dalam Al-Quran, khidmat dilakukan dengan harta dan jiwa (bi amwalikum wa anfusikum). Banyak diantara kita yang rela mengorbankan nyawa tetapi tidak rela mengorbankan hartanya, berani mati tapi tidak berani miskin. Bahkan ada orang yang sering mengorbankan raga dan jiwanya demi harta. Oleh karena itu, berkhidmat dengan harta dalam Islam lebih didahulukan daripada berkhidmat dengan jiwa, contoh berkhidmat dengan harta adalah zakat dan sodaqoh.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: jika orang mengeluarkan hartanya dijalan Allah, pada saat yang sama Allah mengeluarkan penyakit-penyakit batin orang tersebut seperti kedengkian, iri hati dan egoisme. Menurut psikoterapis ada banyak gangguan jiwa, seperti kegelisahan, keresahan, dan stress yang bermula dari perbuatan kita yang egois, menghendaki orang lain berperilaku seperti yang kita mau. Kita menjadi menderita bila sesuatu yang kita inginkan tidak terjadi. Kita terbiasa untuk menggerakkan telunjuk kita pada setiap orang dengan perintah-perintah tertentu. Kita sering menyuruh orang berkhidmat kepada kita, bukan berkhidmat kepada mereka. Kita terbiasa dikhidmati bukan berkhidmat. Demikian juga salah satu penyakit kita selama ini adalah keinginan untuk selalu dicintai, sepanjang waktu, kita hanya belajar kiat-kiat untuk dicintai, bukan belajar untuk mencintai, padahal hanya dengan mencintai kita akan dicintai. Ibnu Arabi pernah berdoa: Ya Allah, aku mohon agar aku bisa mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu. Dan  buatlah aku lelah dalam membagi-bagikan harta-Mu, bukan lelah karena mencari harta-Mu."
.
3.      Dengan membalas kejatahan dengan kebaikan
        Suatu hari, Dzunnun Al-Misri bersama beberapa santrinya dizhalimi oleh sekolompok preman, karena para santri percaya bahwa doa Dzunnun pasti diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa supaya para preman itu diadzab Tuhan, Dzunnun lalu mengangkat tangannya dan berdoa: Ya Allah, Berikanlah orang-orang itu ampunan dan keselamatan di dunia dan  akhirat. Para santri heran, mereka menzholimi kita, mengapa engkau malah membalas dengan doa yang baik?  Dzunnun menjawab, Itulah bedanya kita dengan mereka. Mereka kirimkan kepada kita keburukan dan kita kirimkan kepada mereka kebaikan.Dengan begitu kita dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun. Bandingkan dengan kita, Kita terbiasa menaruh dendam kepada orang-orang yang menyakiti kita. Seringkali ketika ada orang memperlakukan kita dengan jelek, kita berharap bahwa kita bisa membalas kejelekan itu dengan kejelekan pula, dengan berkata, Supaya ini jadi pelajaran bagi mereka.
         Dzunnun melanjutkan tradisi para rasul Tuhan yang mengajarkan kepada kita untuk membalas kejelekan yang dilakukan orang lain dengan kebaikan. Bayangkanlah ketika Anda berdoa supaya saingan anda hancur, agar musuh anda binasa, anda akan memperoleh satu manfaat saja: Kepuasan hati karena hancurnya saingan Anda. Tapi ketika Anda berdoa: Ya Allah, ubahlah kebencian musuh-musuhku menjadi kasih sayang, Anda akan mendatangkan manfaat kepada semua orang. Dzunnun Al-Mishri mengajari kita tradisi para Nabi dan orang-orang saleh; membalas kejelekan dengan kebaikan. Jadilah kita seperti pohon Mangga di tepi jalan, yang dilempari orang dengan batu tetapi ia mengirimkan kepada si pelempar itu, buah yang telah ranum. Ahsin kama ahsanallohu ilaik, berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. 

Tidak ada komentar: