Oleh : Hefni Zain *
Pendahuluan
Belakangan
ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena
itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak (Ali, 1998 :
16). Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika
dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama
dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan
sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah
menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk
formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama
telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik,
ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi
sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran
spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang
bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan zaman dan
terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk
menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu
mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan
multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang
kompleks.
Mengatasi problem
kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis
seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin
tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah
fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan
kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan
hanyalah otopia. Rendahnya mutu
pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke
negeri Cina”
tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem
pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana
prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek
eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis
sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya.
Kesadaran
seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul
dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih
diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan
yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras
menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya
menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global (Nasr, 1998 : 42)
Pergulatan
Metodologi Studi Agama
Sejak badan penelitian dan pengembangan agama dibentuk pada tahun 1975,
salah satu wacana yang hangat dibincang adalah mengenai Metodologi Studi Agama.
Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh Litbang agama guna mendiskusikan wacana tersebut, termasuk bekerjasama dengan
Program Studi Purna Sarjana (PSPS) Dosen-dosen IAIN Tahun 1975 di Jogjakarta. Sejauh itu
tampak dua trend pola fikir yang berkembang. Trend pertama
menganggap bahwa untuk studi agama perlu dibangun suatu metodologi tersendiri
yang khas yang mampu menggambarkan secara akurat fakta-fakta, makna-makna dan nilai-nilai
agama, bagi mereka metodologi yang selama ini dipergunakan untuk studi agama yang notabene berasal dari Barat acapkali tidak relevan, sehingga
tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di balik fakta-fakta
keagamaan tersebut. Trend kedua berpandangan bahwa dalam studi agama, tidak
perlu dibangun metodologi baru, cukup memanfaatkan metodologi dari berbagai
disiplin (multidisipliner dan
interdisipliner) yang sudah ada, khususnya metodologi dari disiplin ilmu-ilmu terdekat,
sebab studi agama disebut studi agama, sebenarnya bukan karena metodologinya,
melainkan karena bidang kajiannya. (Taufiq Abdulloh, 1998 : 17)
Waktu
terus berjalan, perkembangan kajian keagamaan semakin pesat dan beragam, sementara
referensi yang disusun khusus dalam rangka memberikan alternatif metodologis
bagi studi agama baik sebagai doktrin maupun sebagai realitas sosial dan proses
pengungkapannya belum memadai, apalagi buku-buku yang ada tentang hal
tersebut body of knowledge nya belum begitu memberikan kepuasan intelektual,
karena itu, diskursus metodologi agama hingga kini sesungguhnya masih membutuhkan
pergulatan dan kajian yang lebih intens dan mendalam.
Mengkaji agama secara
akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus
dituntaskan, misalnya, Pertama : bisakah agama dijadikan subjeck
matter kajian akademis?. Pertanyaan ini muncul mengingat ranah agama sarat
dengan ajaran Tuhan yang bersifat mu’jizi, transendental (gaib), dan menyangkut
keimanan yang amat subjektif yang bisa jadi berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Sementara ciri kajian akademis mesti dapat diamati, diukur,
dianalisis, dan dibuktikan. Lalu bagaimana hal yang mu’jizi, gaib dan
transenden dapat diukur, diamati dan dibuktikan ?. (Mudzhar, 1998 : 31)
Kedua, jika benar “studi agama” bermaksud mencari
kebenaran, bukankah agama merupakan sumber kebenaran ? bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran
?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat
yang normatif sebagaimana ditegaskan Smith (2005:16), bukankah agama adalah sumber segala norma ?. Ketiga,
dalam realitasnya agama ternyata
mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata
terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman
hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan
persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan
manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan
sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama.
Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana
wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan
mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences
yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied
sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana
agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas
dan provanitas (Abdullah, 1996 : 4)
Disamping itu, kesulitan lain mencari metodologi studi dan kajian agama
yang pas adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti
melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian
agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri
sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri
sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan,
melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama
difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung. Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek
netral akan dianggap mereduksi,
mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama (Weardenburg, 1973 : 2).
Disamping sifat agama sendiri yang
sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final
mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,
hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak
menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter studi akademis.
Kendati demikian bukan berarti tidak
ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller
(1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad 14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan
tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan,
menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam
Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha
penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para
filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu
meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah
(Abdullah,1998 : xii). Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi
keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi,
lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang
mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai
usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”
dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali
yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup
beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan
dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan
pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan
dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang
objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis
antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti,
meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial
yang diteliti itu. (Nata, 1998 : 18)
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai
usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian.
Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks
metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk
menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena
agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan
menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya
dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap
masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut
pengalaman dari ajaran agama. (Arifin, 2001 : 1). Dengan kategorisasi ini, fenomina
agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan
dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi
akademis.
Mencermati spektrum diatas, walau disadari betapa sulitnya menemukan
postulat yang baku mengenai model metodologi keilmuan yang dapat secara efektif
memberikan klarifikasi terhadap berbagai hambatan menjadikan agama sebagai
sasaran kajian akademis, seperti campur aduknya wilayah yang profan dan sakral,
yang normatif dan historis atau yang lainnya, tetapi bagaimanapun juga sebuah metodologi
keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia tetap merupakan
sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti
apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama
yang sudah terjadi (Abdulloh, 1996 : 32). Dengan metodologi dan pisau analisis
yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum
tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar
dan diselewengkan. Dengan itu semua
diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena
beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini,
sejarah dan kepentingan kepentingan
tertentu.
Mapping Metodologi Studi Agama
Konsep studi
agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti
mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau
pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk
menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana
penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena
yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama
berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan
masayarakat terhadapnya. Dengan demikian
maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas
sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau
sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah
pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity). (Eliade,
2000 : 61)
Dari rumusan diatas, maka
ada perbedaan antara : studi sebagai usaha
mencari kebenaran agama dan studi
sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris.
Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran,
maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana.
Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi
agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New
York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion)
lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos
dan magik, ia bisa dikaji dari metodologi
teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious
studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan.
Karena itu ia bisa dikaji dari
metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek
organisasi sosial. (Middleton, 1986 : 73)
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama
sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala
sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang
hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan metodologi tersendiri yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup
meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Berbeda dengan Rahmat (1997 : 92) yang mengatakan bahwa agama
dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan
yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya,
karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus
atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama
sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena
itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan
studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
Agama sebagai objek kajian
akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan
bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta
berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat
dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka
mesti menggunakan metodologi khusus yang
berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu
sosial. Tapi ada juga yang berpendapat
bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut ajaran dasar yang merupakan wahyu dari
Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa
diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah
konsepsional atau aras langit.
Ajaran dasar dalam kitab
suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud
dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama
atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada
gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi,
berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah
yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis
agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti
manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama.
Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi
bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta
atau realitas sosio kultural. (Abdulloh, 1996 : 52)
Senada dengan pendapat diatas, Arifin (2001 : 4) mengemukakan,
agama samawi sejak zaman pra sejarah hingga zaman modern sekarang ini, dapat
dilihat dari dua segi, yakni segi isi dan segi bentuk. Dari segi isinya, agama
adalah ajaran (wahyu Tuhan) yang dengan sendirinya tidak dapat dikategorikan
sebagai kebudayaan. Sedangkan dari segi bentuknya, agama dapat dipandang
sebabagi kebudayaan batin manusia yang mengandung potensi psikologis dan
mempengaruhi jalan hidup manusia. Karena itu, untuk agama samawi, hanya bentuk
dan praktek agama yang nampak dalam kehidupan sosial budaya yang dapat
dijadikan objek studi akademis, sementara isi agama yang terdapat
dalam kitab suci, seperti ke esaan Tuhan, kehidupan akherat, adanya
malaikat, siksa kubur, seperti apa bidadari, dan semacamnya, tidak bisa
dijadikan objek studi akademis.
Kaitannya dengan wacana ini, Atho’ Mudhar (1988 : 13)
menyebutkan minimal ada lima bentuk gajala agama yang perlu diperhatikan jika
seseorang mau mengkaji sebuah agama : Pertama, Scripture atau naskah-naskah
atau sumber ajaran dan simbol teks, dan dokumen agama. Kedua, Prilaku
dan penghayatan penganut agama. Ketiga,
Ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat agama, seperti : doa, semidi,
sholat, dll. Keempat, menyangkut fungsi agama. Misalnya : Sejauhmana
agama mempengaruhi pola hidup seseorang. Dan Kelima, menyangkut alat-alat
dan sarana agama.
Jokhim merinci mapping metodologi studi agama dalam
bentuk tabel berikut :
TABEL I
Gejala
yang menjadi
objek studi
|
Bentuk
|
Metode yang dapat digunakan
|
Scripture
|
Naskah –
naskah, teks sumber ajaran, simbol simboll dan dokumen
|
Filologi
Kritik Teks
|
Prilaku
dan penghayatan pemeluk agama
|
Keyakinan, etika, militansi
, kesadaran agama, dan semacamnya.
|
Filosofis
Antropologis
Psikologis
Sosiologis
|
Ritus-ritus,
lembaga lembaga &ibadat agama
|
Upacara suci dan sakral,
doa, semedi, sholat, dll
|
Historis
|
Fungsi agama
|
Sejauhmana agama
mempengaruhi pola hidup seseorang.
|
Sosiologi
Antropologi
Psikologi
|
Alat dan sarana agama
|
Masjid, ka’bah, candi,
Wihara, gereja, pure, Cinagog, dll
|
Arkeologi
|
Ragam Paradigma, Pendekatan & Analisis Dalam Studi Agama
Pada dasarnya paradigma, metode dan analisis yang digunakan dalam studi
agama adalah sangat tergantung pada objek studi itu sendiri. Sebab objeklah
yang menentukan ketiganya dan bukan sebaliknya. Agama, sebagai fenomena sosial
budaya sesungguhnya bersifat multi fased, karena itu untuk memahami
fenomena tersebut dapat meminjam salah satu atau beberapa paradigma yang
umumnya digunakan dalam studi sosial seperti paradigma naturalistik, paradigma
rasionalistik, paradigma filosofis dan semacamnya. Namun sejak pertengahan abad 20 berbagai paradigma
diatas, mulai banyak dipertanyakan dan dikritik, karena dianggap belum
sepenuhnya representatif mengakomodir persoalan–persoalan studi agama dan studi
keagamaan. Lebih- lebih bagi mereka yang meyakini bahwa realitas sosial bukan
hanya terdiri dari realitas empiris, logis dan etis seja, tetapi ada juga
realitas normatif yang hanya mungkin didekati dengan paradigma khusus, yakni
paradigma teologis (Suprayogo, 2001 : 78)
Menjadikan agama sebagai kajian akademis, minimal harus mencakup tiga
paradigma besar, yakni : paradigma
ilmiyah (empirikal), paradigma aqliyah (logikal) dan paradigma irfaniyah (mistikal). Paradigma
ilmiyah dan aqliyah dalam perakteknya bisa menggunakan metode positifistk, naturalistik dan rasionalistik,
sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui takhliyah,
tahliyah dan tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam
penelitian nash, paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah
alqur’an lebih menitik beratkan pada aspek sosial atau aspek teologis ? b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada sekarang
masih otentik atau tidak ?. Sedangkan
paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a) bagaimana pola penafsiran
al-Ghazali tentang manusia ? b).
apakah terdapat konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifat-sifat
Allah ? Sementara paradigma Irfaniyah
dapat digunakan untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek
esoteris dari makna ayat-ayat Al-Qur’an (Rahmat, 1989 : 84)
Agama dalam pengertiannya yang universal dapat dikaji
dengan menggunakan berbagai paradigma. Dan realitas keagamaan yang diungkapkan
mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu
penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil
kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat
dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya, apakah kawin mut’ah dapat
dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab oleh paradigma logis. Apakah fungsi
ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah.
Bagaimana kondisi batin seseorang ketika dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya
bisa dijawab oleh paradigma mistikal. (Rahmat,1989 : 87)
Sama halnya dengan paradigma studi agama, model pendekatan yang digunakan
dalam studi agama juga tergantung pada pilihan objek yang dikaji, sebab
objeklah yang menentukan model pendekatan dan bukan sebaliknya. Banyak ragam pendekatan
yang dapat digunakan dalam mengkaji, agama, antara lain : pendekatan teologis normatif,
sosiologis, antropologis, filosofis, histories, filologis, psikologis, dan
semacamnya (Nata, 1998 : 45 )
Pendekatan teologis normatif dalam studi
agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang
disampaikan kepada ambiya’ agar kehendak
Tuhan itu dapat difahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu. Pendekatan ini berupaya
mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara teks dan
konteks. Antara ajaran agama yang universal dengan realitas hidup
yang kontekstual. Pendekatan teologis normatif dalam tata kerjanya berupaya
melakukan pengkajian, internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai iman ketuhanan
dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah menemukan pemahaman keagamaan yang lebih
dapat dipertanggung jawabkan secara normatif idealistik.
Pendekatan Sosiologis adalah model pendekatan yang mencoba menyelidiki
bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi
agama, sebagaimana agama juga mempengaruhi mereka. Ia juga menyelidiki kelompok-kelompok
yang berpengaruh terhadap agama, fungsi- fungsi ibadat untuk masyarakat,
tipologi dari lembaga lembaga-keagamaan dan respon agama terhadap tata duniawi,
interaksi antara sistem religius dan masyarakat.
Pendekatan Antropologis adalah model
pendekatan yang memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya
yang beragam, khususnya mengenai kebiasaan yang tetap (everiday life), melalui
pendekatan antropologis, dapat dilihat korelasi agama dengan etos kerja dan
perkembangan ekonomi suatu masyarakat, relasi agama dengan mekanisme
pengorganisasian (social organization), korelasi agama dan negara,
kaitan agama dengan psikoterrapi dan hubungan agama dengan kesehatan mental.
Pendekatan filosofis adalah model pendekatan yang dalam tata kerjanya melakukan kajian mengenai
hal-hal mendasar, inti, hakekat dan hikamh secara mendalam, sistematik ,
radikal dan universal tentang sesuatu
yang berada dibalik ungkapan linguistiknya atau dibalik objek formalnya.
Misalnya makna filosofis tentang :
ihram, tawaf, sa’i, wuquf, jumrah, atau kenapa ketika takbir dalam sholat harus
mengangkat tangan, atau kenapa dalam proses wudlu’ wajah mesti dibasuh pertama
kali, dsb. Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada
pengamalan agama yang bersifat formalistik, dan simbolik yang kering akan makna
esoterik.
Pendekatan historis dalam studi agama adalah pendekatan yang menyelidiki
periodeisasi atau derivasi sebuah fakta dan melakukan rekonstruksi proses
genesis perubahan dan perkembangan. Melalui
pendekatan sejarah, akan diketahui latar
budaya, sosial, politik atau bias tertentu dari pemikiran manzhab, juga dapat
dipakai untuk menganalisis asbabun nuzul dan asbabul wurud sebuah ayat
atau hadits dalam teks teks suci. Dan
dengan pendekatan historis , akan diketahui streotipe dan kecenderungan
keberagamaan kelompok kelompok pemikiran dalam agama (seperti: Mu’tazilah, Ahlus
sunnah wal jamaah, Syiah, NU, Muhammadiyah, dsb).
Pendekatan filologi dalam studi
agama adalah model pendekatan yang menitik beratkan pada aspek bahasa. Artinya
bahwa studi agama tidak dapat dilepaskan dari aspek bahasa. Manusia adalah
mahluk berbahasa dan doktrin agama sebagaian terbesar disosialisasikan dan difahami
melalui bahasa. Dengan bahasa, manusia
mengerti maksud orang lain dan dengan bahasa pula dia diberikan penamaan. Jadi
bahasa merupakan medium yang mengantarkan seseorang pada pemahaman akan
sesuatu. Studi agama dengan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga metode
, yakni : metode tafsir, content
analisys dan hermeneutika. (Nata, 1998 : 94)
Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang mengkaji tentang aspek
psikologis (termasuk pengalaman religius) dari prilaku beragama baik individu
maupun kelompok. Pendekatan ini juga mempelajari motif-motif, respon-respon,
dan reaksi-reaksi dari psikis manusia dalam pengalamannya dengan yang
supranatural. Fokus utama pendekatan psikologis dalam studi agama adalah
menyangkut : (1) Pengalaman beragama atau kondisi jiwa ( fikiran, emosi) ketika
berdoa, meditasi, berqurban, dll. (2) Pertumbuhan jiwa beragama (kanak-kanak,
remaja dan dewasa). (3) Kondisi jiwa ketika seseorang melakukan konversi agama.
(4) Prilaku beragama (apakah seseorang beragama itu secara intrinsik atau
ektrinsik). (5) Hubungan agama dengan kesehatan jiwa. (6) Panggilan beragama
(ketertarikan fitrah terhadap agama) dan (7) Kondisi jiwa ketika menjadi
mayoritas atau minoritas. (Jones,1997 : 93).
Sama halnya dengan paradigma
dan model pendekatan studi agama, teknis analisis dalam studi agama juga
beragam, dan yang lazim kita kenal umpamanya analisis induktif, deduktif,
komparatif dan analogis. Bila induktif
berusaha menemukan sesuatu dengan memulai dari yang khusus atau rinci lalu
menarik kesimpulan general, maka deduktif adalah sebaliknya, yakni general ke
detil partikular. Bila kompararatif menekankan aspek perbandingan pada
sifatnya, maka analogis membandingkan pada fenomena dan gejalanya. Kecuali itu
dalam studi agama dapat digunakan beberapa teknis analisis sesuai sifat dan
bentuk objek yang dikaji, misalnya analisis isi (content analysis), analisis
bingkai (frame analysis), analisis jalur (path analysis), analisis wacana
(discursive analysis), analisis bahasa keseharian (ethno analysis), analisis sumber
(source analysis ), analisis pesan (message analysis), analisis saluran
(channel analysis), analisis penerima (receiver analysis) dan ananilis efek
(effect analysis) (Abdulloh, 1998 : 47)
Signifikansi Studi Agama
Pengetahuan manusia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan sejumlah kajian, penelitian dan penemua.
Dengan penemuan baru itu manusia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa
lalu dan mengembangkannya kearah yang lebih baik. Pemahaman seseorang terhadap agama adalah
sangat menentukan kualitas seseorang akan agamanya. Agama tidak cukup difahami
sebagai formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai, tetapi ia menyatu dalam
hidup nyata para pemeluknya, dan ajaran
agama dapat hidup hanya sebanding dengan kematangan jiwa pemeluknya (Arkoen,
1997 : 33)
Dalam setiap agama, terutama Islam, terdapat prinsip taghyir, yakni
kewajiban mencari dan mencari, menguji dan terus menguji keyakinan dan
kebenaran secara tiada berkeputusan dalam etos mujahadah yang tak kenal henti. Garis mujahadah ini, merupakan rentetan atau
kontinom “penemuan demi penemuan” yang terus bertambah dan menumpuk dalam
dimensi dinamis yang semakin baik. Sekalipun yang terjadi adalah rentetan pengalaman akan kebenaran relatif, namun
karena ia bergerak dinamik akseleratif tiada henti menuju kebenaran mutlak,
maka ia tetap punya suplementasi dan komplementasi yang tidak sedikit bagi
khazanah keilmuan manusia. Karena itu dalam agama islam, misalnya, umatnya
didorong untuk mencari kebenaran, bersikap kritis dan menanyakan kebenaran yang sudah diterima dari nenek moyangnya (Qs
. 2 : 170), selalu terbuka untuk dikoreksi atas keyakinan yang keliru (Qs. 43 :
22 – 24) , Dan senantiasa menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu
kebenaran (Qs. 7 : 28 – 29 ).
Di
era technoscience seperti
saat ini, telah
terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama, dari yang dahulu terbatas
pada “identitas” kearah “historitas”. Dari yang hanya berputar-putar
pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus “essensi” kearah
“eksistensi”. Dalam pergaulan dunia yang
makin transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk melihat fenomena agama secara aspektual, dimensional dan bahkan
multi dimensional. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis normatif, dan
memang disitulah letak “hard core” Dari pada keberagamaan manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai
“tradisi”. Sedang tradisi, sebagaimana maklum
adalah sulit dipisahkan dari faktor “human construction” yang
semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya
yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih aspek teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar
menerangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan
juga melibatkan kesadaran berkelompok
(sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan
kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis)
bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan
corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong maraknya studi agama adalah terjadinya
kesenjangan yang cukup parah antara
konsep ajaran agama dengan realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya
ketika secara konseptual ajaran agama
diyakini dapat membawa manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas
objektif umat beragama tidak demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya,
maka berarti telah ada sesuatu yang salah,
faktor inilah yang memicu keinginan manusia untuk semakin intensif
mengkaji dan meneliti agama, baik sebagai doktrin maupun sebagai produk
sejarah. Sebab kalau hanya ajaran agama yang sempurna, tetapi realitas masyarakat beragama masih tertinggal
di banyak bidang, maka keberagamaan itu sesungguhnya mirip tripping yang
melayang-layang di alam otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama
pada aras konsepsional tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi
yang riil, hanya akan berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Ajaran yang
terbaik harusnya melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga mendorong maraknya studi agama adalah tatkala sains dan teknologi mengalami
kegagalan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan riil yang
dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi tertentu sains dan teknologi
justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru. Sungguh sangat disayangkan,
dibalik keberhasilan manusia modern -dengan IPTEK- menembus tata surya, membuat
pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik, dll, ternyata disisi lain
juga memunculkan nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi,
kehilangan pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis. Dari sini lalu muncul
kerinduan yang mendalam akan nilai-nilai spiritual dan agama yang diharapkan
dapat menyirami kegersangan psikologi
mereka dan mengobati penyakit sindrom alienasi yang dideritanya. (Jones,
1997 : 182)
Pada titik inilah dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif justru
labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat yang dulunya menganggap agama hanyalah
hayalan manusia terasing atau sublimasi dari keinginan manusia yang tak
sampai. Apalagi di era technoscience seperti sekarang
ini yang menurut Jones (1997:187) ditandai
dengan fundamentalisme, revitalisme dan dekonstruksiisme ternyata kajian
agama secara akademik semakin dibutuhkan manusia. Meski cepat cepat harus dikatakan bahwa
kajian agama secara akademik bukan dimaksudkan untuk membedah hal-hal yang berada diluar jangkauan kapasitas nalar,
tetapi lebih dimaksudkan agar agama
tidak saja relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi juga untuk
mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan, way of life, weltanschauung, dan falsafah al
hayah.