Jumat, 29 Maret 2013

DISKURSUS METODOLOGI STUDI AGAMA : PERGULATAN YANG BELUM TUNTAS



Oleh : Hefni Zain *

Pendahuluan
Belakangan ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak (Ali, 1998 : 16). Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman dan  terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan hanyalah otopia.  Rendahnya mutu pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya.
Kesadaran seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global (Nasr, 1998 : 42)

Pergulatan Metodologi Studi Agama
Sejak badan penelitian dan pengembangan agama dibentuk pada tahun 1975, salah satu wacana yang hangat dibincang adalah mengenai Metodologi Studi Agama. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh Litbang  agama guna mendiskusikan  wacana tersebut, termasuk bekerjasama dengan Program Studi Purna Sarjana (PSPS) Dosen-dosen IAIN Tahun 1975 di Jogjakarta. Sejauh itu tampak dua trend pola fikir yang berkembang. Trend pertama menganggap bahwa untuk studi agama perlu dibangun suatu metodologi tersendiri yang khas yang mampu menggambarkan secara akurat  fakta-fakta, makna-makna dan nilai-nilai agama, bagi mereka metodologi yang selama ini dipergunakan untuk studi agama  yang notabene berasal  dari Barat acapkali tidak relevan, sehingga tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di balik fakta-fakta keagamaan tersebut. Trend kedua berpandangan bahwa dalam studi agama, tidak perlu dibangun metodologi baru, cukup memanfaatkan metodologi dari berbagai disiplin (multidisipliner dan interdisipliner) yang sudah ada, khususnya  metodologi dari disiplin ilmu-ilmu terdekat, sebab studi agama disebut studi agama, sebenarnya bukan karena metodologinya, melainkan karena bidang kajiannya. (Taufiq Abdulloh, 1998 : 17)
Waktu terus berjalan, perkembangan kajian keagamaan semakin pesat dan beragam, sementara referensi yang disusun khusus dalam rangka memberikan alternatif metodologis bagi studi agama baik sebagai doktrin maupun sebagai realitas sosial dan proses pengungkapannya belum memadai, apalagi buku-buku yang ada tentang hal tersebut  body of knowledge nya belum begitu memberikan kepuasan intelektual, karena itu, diskursus metodologi agama hingga kini sesungguhnya masih membutuhkan pergulatan dan kajian yang lebih intens dan mendalam.
Mengkaji agama secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, Pertama : bisakah agama dijadikan subjeck matter kajian akademis?. Pertanyaan ini muncul mengingat ranah agama sarat dengan ajaran Tuhan yang bersifat mu’jizi, transendental (gaib), dan menyangkut keimanan yang amat subjektif yang bisa jadi berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sementara ciri kajian akademis mesti dapat diamati, diukur, dianalisis, dan dibuktikan. Lalu bagaimana hal yang mu’jizi, gaib dan transenden dapat diukur, diamati dan dibuktikan ?. (Mudzhar, 1998 : 31)
Kedua, jika benar “studi agama” bermaksud mencari kebenaran,  bukankah  agama merupakan sumber kebenaran ?  bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran ?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat yang normatif sebagaimana ditegaskan Smith (2005:16),   bukankah agama adalah sumber segala norma ?. Ketiga, dalam realitasnya  agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik  kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas  dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas (Abdullah, 1996 : 4)
Disamping itu, kesulitan lain mencari metodologi studi dan kajian agama yang pas adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral  akan dianggap mereduksi, mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama (Weardenburg, 1973 : 2).  Disamping sifat agama sendiri yang sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,  hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter  studi akademis.
Kendati demikian  bukan berarti tidak ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad  14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan, menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu  memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah (Abdullah,1998 : xii). Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”  dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti itu. (Nata, 1998 : 18)
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman dari ajaran agama. (Arifin, 2001 : 1). Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Mencermati spektrum diatas, walau disadari betapa sulitnya menemukan postulat yang baku mengenai model metodologi keilmuan yang dapat secara efektif memberikan klarifikasi terhadap berbagai hambatan menjadikan agama sebagai sasaran kajian akademis, seperti campur aduknya wilayah yang profan dan sakral, yang normatif dan historis atau yang lainnya, tetapi bagaimanapun juga sebuah metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia tetap merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi (Abdulloh, 1996 : 32). Dengan metodologi dan pisau analisis yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan diselewengkan. Dengan  itu semua diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini, sejarah dan kepentingan kepentingan  tertentu.

Mapping Metodologi Studi Agama
            Konsep studi agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan masayarakat terhadapnya.  Dengan demikian maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity). (Eliade, 2000 : 61)
            Dari rumusan diatas, maka ada perbedaan antara :  studi sebagai usaha mencari kebenaran agama  dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana.
Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion) lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos dan magik, ia bisa dikaji  dari metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji  dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek organisasi sosial. (Middleton, 1986 : 73)
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan  metodologi tersendiri  yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Berbeda dengan Rahmat (1997 : 92) yang mengatakan bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
            Agama sebagai objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat  dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka mesti  menggunakan metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu sosial.           Tapi ada juga yang berpendapat bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut  ajaran dasar yang merupakan wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah konsepsional atau aras langit.
            Ajaran dasar dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural. (Abdulloh, 1996 : 52)
Senada dengan pendapat diatas, Arifin (2001 : 4) mengemukakan, agama samawi sejak zaman pra sejarah hingga zaman modern sekarang ini, dapat dilihat dari dua segi, yakni segi isi dan segi bentuk. Dari segi isinya, agama adalah ajaran (wahyu Tuhan) yang dengan sendirinya tidak dapat dikategorikan sebagai kebudayaan. Sedangkan dari segi bentuknya, agama dapat dipandang sebabagi kebudayaan batin manusia yang mengandung potensi psikologis dan mempengaruhi jalan hidup manusia. Karena itu, untuk agama samawi, hanya bentuk dan praktek agama yang nampak dalam kehidupan sosial budaya yang dapat dijadikan objek studi akademis, sementara isi agama  yang terdapat  dalam kitab suci, seperti ke esaan Tuhan, kehidupan akherat, adanya malaikat, siksa kubur, seperti apa bidadari, dan semacamnya, tidak bisa dijadikan objek studi akademis.
Kaitannya dengan wacana ini, Atho’ Mudhar (1988 : 13) menyebutkan minimal ada lima bentuk gajala agama yang perlu diperhatikan jika seseorang mau mengkaji sebuah agama : Pertama, Scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol teks, dan dokumen agama. Kedua, Prilaku dan penghayatan penganut agama. Ketiga,  Ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat agama, seperti : doa, semidi, sholat, dll. Keempat, menyangkut fungsi agama. Misalnya : Sejauhmana agama mempengaruhi pola hidup seseorang. Dan Kelima, menyangkut alat-alat dan sarana agama.
Jokhim merinci mapping metodologi studi agama dalam bentuk tabel berikut :

 TABEL  I
Gejala yang menjadi
objek studi
Bentuk
Metode yang dapat digunakan
Scripture
Naskah – naskah, teks sumber ajaran, simbol simboll dan dokumen
Filologi
Kritik Teks
Prilaku dan penghayatan pemeluk agama
Keyakinan, etika, militansi , kesadaran agama, dan semacamnya.
Filosofis
Antropologis
Psikologis
Sosiologis
Ritus-ritus, lembaga lembaga &ibadat  agama
Upacara suci dan sakral, doa, semedi, sholat, dll
Historis
Fungsi agama
Sejauhmana agama mempengaruhi pola hidup seseorang.
Sosiologi
Antropologi
Psikologi
Alat dan sarana agama
Masjid, ka’bah, candi, Wihara, gereja, pure, Cinagog, dll
Arkeologi

Ragam Paradigma, Pendekatan & Analisis Dalam Studi Agama
Pada dasarnya paradigma, metode dan analisis yang digunakan dalam studi agama adalah sangat tergantung pada objek studi itu sendiri. Sebab objeklah yang menentukan ketiganya dan bukan sebaliknya. Agama, sebagai fenomena sosial budaya sesungguhnya bersifat multi fased, karena itu untuk memahami fenomena tersebut dapat meminjam salah satu atau beberapa paradigma yang umumnya digunakan dalam studi sosial seperti paradigma naturalistik, paradigma rasionalistik, paradigma filosofis dan semacamnya. Namun  sejak pertengahan abad 20 berbagai paradigma diatas, mulai banyak dipertanyakan dan dikritik, karena dianggap belum sepenuhnya representatif mengakomodir persoalan–persoalan studi agama dan studi keagamaan. Lebih- lebih bagi mereka yang meyakini bahwa realitas sosial bukan hanya terdiri dari realitas empiris, logis dan etis seja, tetapi ada juga realitas normatif yang hanya mungkin didekati dengan paradigma khusus, yakni paradigma teologis (Suprayogo, 2001 : 78)
Menjadikan agama sebagai kajian akademis, minimal harus mencakup tiga paradigma besar, yakni : paradigma  ilmiyah (empirikal), paradigma aqliyah (logikal)  dan paradigma irfaniyah (mistikal). Paradigma ilmiyah dan aqliyah dalam perakteknya bisa menggunakan metode  positifistk, naturalistik dan rasionalistik, sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui takhliyah, tahliyah dan tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam penelitian nash, paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah alqur’an lebih menitik beratkan pada aspek sosial atau aspek teologis ?  b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada sekarang masih otentik atau tidak ?.  Sedangkan paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a) bagaimana pola penafsiran al-Ghazali tentang manusia ?  b). apakah terdapat konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifat-sifat Allah ?  Sementara paradigma Irfaniyah dapat digunakan untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek esoteris dari makna ayat-ayat Al-Qur’an (Rahmat, 1989 : 84)
Agama dalam pengertiannya yang universal dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma. Dan realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.  Karena itu  penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya, apakah kawin mut’ah dapat dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab oleh paradigma logis. Apakah fungsi ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah. Bagaimana kondisi batin seseorang ketika dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya bisa dijawab oleh paradigma mistikal. (Rahmat,1989 : 87)
Sama halnya dengan paradigma studi agama, model pendekatan yang digunakan dalam studi agama juga tergantung pada pilihan objek yang dikaji, sebab objeklah yang menentukan model pendekatan dan bukan sebaliknya. Banyak ragam pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji, agama, antara lain : pendekatan teologis normatif, sosiologis, antropologis, filosofis, histories, filologis, psikologis, dan semacamnya (Nata, 1998 : 45 )
Pendekatan teologis normatif  dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada ambiya’  agar kehendak Tuhan itu dapat difahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.  Pendekatan ini berupaya  mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara teks dan konteks. Antara ajaran agama yang universal dengan realitas hidup yang kontekstual. Pendekatan teologis normatif dalam tata kerjanya berupaya melakukan pengkajian, internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai iman ketuhanan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah  menemukan pemahaman keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normatif idealistik.
Pendekatan Sosiologis adalah model pendekatan yang mencoba menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama juga mempengaruhi mereka. Ia juga menyelidiki kelompok-kelompok yang berpengaruh terhadap agama, fungsi- fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga lembaga-keagamaan dan respon agama terhadap tata duniawi, interaksi antara sistem religius dan masyarakat.
Pendekatan Antropologis  adalah model pendekatan yang memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya mengenai kebiasaan yang tetap (everiday life), melalui pendekatan antropologis, dapat dilihat korelasi agama dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat, relasi agama dengan mekanisme pengorganisasian (social organization), korelasi agama dan negara, kaitan agama dengan psikoterrapi dan hubungan agama dengan kesehatan mental.
Pendekatan filosofis adalah model pendekatan yang  dalam tata kerjanya melakukan kajian mengenai hal-hal mendasar, inti, hakekat dan hikamh secara mendalam, sistematik , radikal dan universal  tentang sesuatu yang berada dibalik ungkapan linguistiknya atau dibalik objek formalnya. Misalnya  makna filosofis tentang : ihram, tawaf, sa’i, wuquf, jumrah, atau kenapa ketika takbir dalam sholat harus mengangkat tangan, atau kenapa dalam proses wudlu’ wajah mesti dibasuh pertama kali, dsb. Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, dan simbolik yang kering akan makna esoterik.
Pendekatan historis dalam studi agama adalah pendekatan yang menyelidiki periodeisasi atau derivasi sebuah fakta dan melakukan rekonstruksi proses genesis perubahan  dan perkembangan. Melalui pendekatan sejarah, akan  diketahui latar budaya, sosial, politik atau bias tertentu dari pemikiran manzhab, juga dapat dipakai untuk menganalisis asbabun nuzul dan asbabul wurud sebuah ayat atau  hadits dalam teks teks suci. Dan dengan pendekatan historis , akan diketahui streotipe dan kecenderungan keberagamaan kelompok kelompok pemikiran dalam agama (seperti: Mu’tazilah, Ahlus sunnah wal jamaah, Syiah, NU, Muhammadiyah, dsb).
Pendekatan filologi  dalam studi agama adalah model pendekatan yang menitik beratkan pada aspek bahasa. Artinya bahwa studi agama tidak dapat dilepaskan dari aspek bahasa. Manusia adalah mahluk berbahasa dan doktrin agama sebagaian terbesar disosialisasikan dan difahami melalui  bahasa. Dengan bahasa, manusia mengerti maksud orang lain dan dengan bahasa pula dia diberikan penamaan. Jadi bahasa merupakan medium yang mengantarkan seseorang pada pemahaman akan sesuatu. Studi agama dengan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga metode , yakni : metode tafsir,  content analisys dan hermeneutika. (Nata, 1998 : 94)
Pendekatan psikologis  adalah  pendekatan yang mengkaji tentang aspek psikologis (termasuk pengalaman religius) dari prilaku beragama baik individu maupun kelompok. Pendekatan ini juga mempelajari motif-motif, respon-respon, dan reaksi-reaksi dari psikis manusia dalam pengalamannya dengan yang supranatural. Fokus utama pendekatan psikologis dalam studi agama adalah menyangkut : (1) Pengalaman beragama atau kondisi jiwa ( fikiran, emosi) ketika berdoa, meditasi, berqurban, dll. (2) Pertumbuhan jiwa beragama (kanak-kanak, remaja dan dewasa). (3) Kondisi jiwa ketika seseorang melakukan konversi agama. (4) Prilaku beragama (apakah seseorang beragama itu secara intrinsik atau ektrinsik). (5) Hubungan agama dengan kesehatan jiwa. (6) Panggilan beragama (ketertarikan fitrah terhadap agama) dan (7) Kondisi jiwa ketika menjadi mayoritas atau minoritas. (Jones,1997 : 93).
Sama halnya dengan paradigma dan model pendekatan studi agama, teknis analisis dalam studi agama juga beragam, dan yang lazim kita kenal umpamanya analisis induktif, deduktif, komparatif  dan analogis. Bila induktif berusaha menemukan sesuatu dengan memulai dari yang khusus atau rinci lalu menarik kesimpulan general, maka deduktif adalah sebaliknya, yakni general ke detil partikular. Bila kompararatif menekankan aspek perbandingan pada sifatnya, maka analogis membandingkan pada fenomena dan gejalanya. Kecuali itu dalam studi agama dapat digunakan beberapa teknis analisis sesuai sifat dan bentuk objek yang dikaji, misalnya analisis isi (content analysis), analisis bingkai (frame analysis), analisis jalur (path analysis), analisis wacana (discursive analysis), analisis bahasa keseharian (ethno analysis), analisis sumber (source analysis ), analisis pesan (message analysis), analisis saluran (channel analysis), analisis penerima (receiver analysis) dan ananilis efek (effect analysis) (Abdulloh, 1998 : 47)

Signifikansi Studi Agama
Pengetahuan manusia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan  sejumlah kajian, penelitian dan penemua. Dengan penemuan baru itu manusia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu dan mengembangkannya kearah yang lebih baik.  Pemahaman seseorang terhadap agama adalah sangat menentukan kualitas seseorang akan agamanya. Agama tidak cukup difahami sebagai formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai, tetapi ia menyatu dalam hidup nyata para pemeluknya, dan ajaran  agama dapat hidup hanya sebanding dengan kematangan jiwa pemeluknya (Arkoen, 1997 : 33)
Dalam setiap agama, terutama Islam, terdapat prinsip taghyir, yakni kewajiban mencari dan mencari, menguji dan terus menguji keyakinan dan kebenaran secara tiada berkeputusan dalam etos mujahadah yang tak kenal henti. Garis  mujahadah ini, merupakan rentetan atau kontinom “penemuan demi penemuan” yang terus bertambah dan menumpuk dalam dimensi dinamis yang semakin baik. Sekalipun yang  terjadi adalah rentetan  pengalaman akan kebenaran relatif, namun karena ia bergerak dinamik akseleratif tiada henti menuju kebenaran mutlak, maka ia tetap punya suplementasi dan komplementasi yang tidak sedikit bagi khazanah keilmuan manusia. Karena itu dalam agama islam, misalnya, umatnya didorong untuk mencari kebenaran, bersikap kritis dan menanyakan kebenaran  yang sudah diterima dari nenek moyangnya (Qs . 2 : 170), selalu terbuka untuk dikoreksi atas keyakinan yang keliru (Qs. 43 : 22 – 24) , Dan senantiasa menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (Qs. 7 : 28 – 29 ).
Di era technoscience seperti saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama, dari yang dahulu terbatas pada “identitas” kearah “historitas”. Dari yang hanya berputar-putar pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus “essensi” kearah “eksistensi”.  Dalam pergaulan dunia yang makin transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk melihat fenomena agama  secara aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis normatif, dan memang disitulah letak “hard core” Dari pada keberagamaan  manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”. Sedang tradisi, sebagaimana maklum  adalah sulit dipisahkan dari faktor “human construction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih aspek teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan juga  melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong maraknya studi agama adalah terjadinya kesenjangan yang cukup parah antara  konsep ajaran agama dengan realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya ketika secara konseptual ajaran agama  diyakini dapat membawa manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas objektif umat beragama tidak demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya, maka berarti telah ada sesuatu yang salah,  faktor inilah yang memicu keinginan manusia untuk semakin intensif mengkaji dan meneliti agama, baik sebagai doktrin maupun sebagai produk sejarah. Sebab kalau hanya ajaran agama yang sempurna, tetapi  realitas masyarakat beragama masih tertinggal di banyak bidang, maka keberagamaan itu sesungguhnya mirip tripping yang melayang-layang di alam otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama pada aras konsepsional tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi yang riil, hanya akan berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Ajaran yang terbaik harusnya melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga mendorong maraknya studi agama adalah  tatkala sains dan teknologi mengalami kegagalan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi tertentu sains dan teknologi justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru. Sungguh sangat disayangkan, dibalik keberhasilan manusia modern -dengan IPTEK- menembus tata surya, membuat pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik, dll, ternyata disisi lain juga memunculkan nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi, kehilangan pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis. Dari sini lalu muncul kerinduan yang mendalam akan nilai-nilai spiritual dan agama yang diharapkan dapat  menyirami kegersangan psikologi mereka dan mengobati penyakit sindrom alienasi yang dideritanya. (Jones, 1997 : 182)
Pada titik inilah dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif justru labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat  yang dulunya menganggap agama hanyalah hayalan manusia terasing atau sublimasi dari keinginan manusia yang tak sampai.  Apalagi di era technoscience seperti sekarang ini yang menurut Jones (1997:187) ditandai  dengan fundamentalisme, revitalisme dan dekonstruksiisme ternyata kajian agama secara akademik semakin dibutuhkan manusia. Meski  cepat cepat harus dikatakan  bahwa  kajian  agama secara akademik  bukan dimaksudkan untuk membedah hal-hal  yang berada diluar jangkauan kapasitas nalar, tetapi lebih dimaksudkan agar  agama tidak saja relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan, way of  life, weltanschauung, dan falsafah al hayah.







Tidak ada komentar: