|
Ust.
Hefni Zain
|
Manajemen sebagai disiplin ilmu yang baru dikenal pada
pertengahan abad ke 19, dewasa ini menjadi sangat popular, bahkan dianggap
sebagai salah satu kunci keberhasilan pengelolaan berbagai organisasi, termasuk lembaga pendidikan Islam. Karena itu penguasaan terhadap teori dan praktek manajemen
merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap lembaga
dalam rangka mengembangkan lembaganya secara
optimal, efektif dan efisien, lebih-lebih ditengah arus revolusi
informasi dimana berbagai lembaga pendidikan terus
dihadapkan pada berbagai kompetisi dan tantangan yang kian
kompleks, maka untuk mempertahankan eksistensi dan keunggulan daya saing lembaga tersebut, juga untuk menghasilkan
out put yang bermutu tinggi, diperlukan trobosan manajemen yang dapat
memobilisasi segala sumber daya yang tersedia secara optimal dan akurat, baik
melalui pengembangan dan penataan SDM maupun peningkatan kompetensi dan
penguatan institusi, dan semua itu mustahil tanpa pemahaman yang memadai
mengenai teori dan praktek manajemen.
Namun yang paling mendesak diperlukan dalam rangka memajukan
sebuah lembaga pendidikan adalah manajemen kreatifitas, sebab kunci kemajuan dari sebuah lembaga apapun sejatinya adalah jika terdapat kreativitas dari orang-orang yang berada di lembaga
itu. Kreativitas merupakan kata kunci
dan pintu masuk dari
berkembangnya inovasi,
pikiran-pikiran baru dan juga modernisasi. Namun kreativitas memerlukan
iklim, ruang, atau space untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa itu, maka kreativitas akan mati membusuk, dan yang terjadi adalah kegiatan yang bersifat rutinitas
yang bersifat teknis.
Akhir-akhir
ini ada trend bahwa banyak
pihak yang dalam menggerakkan lembaganya lebih memilih menggunakan pendekatan
birokrasi mesin, dimana semua kegiatan dijalankan atas dasar aturan
yang ketat dan saklek. Perencanaan yang telah
disusun harus bisa dilaksanakan. Selain itu, pelaksanaannya
harus sesuai dengan aturan yang ada. Menyimpang sedikit dari aturan yang ada dianggap salah dan melanggar, dan kalau perlu harus mendapat sanksi, sekalipun sebenarnya justru menguntungkan lembaga itu sendiri.
Model manajemen yang seperti itu sangat sulit dilakukan oleh
perguruan tinggi. Pimpinan perguruan
tinggi, harus mengikut saja apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Sementara sehari-hari, pimpinan perguruan tinggi menghadapi orang kreatif dan
bahkan juga keadaan yang selalu berubah. Menghadapi persoalan seperti itu,
maka pimpinan perguruan tinggi dihadapkan pada situasi yang dilematis dan amat sulit. Tidak memenuhi aspirasi
dosen dan mahasiswa dianggap jumud, sedangkan menyimpang dari
aturan, akan dianggap salah dan bahkan dikenai sanksi.
Dalam keadaan seperti itu, maka yang sering terjadi adalah penyesuaian
kebijakan dengan tuntutan
birokrasi, sekalipun hal itu sebenarnya juga salah. Contoh yang
paling mudah tentang adaptasi itu misalnya, ketika kampus memerlukan
masjid, sedangkan dana untuk membangun tempat ibadah itu tidak mungkin
disetujui, maka masjid itu dinamai
saja laboratorium. Dana dari pemerintah hanya boleh digunakan untuk membangun
laboratorium, tetapi tidak boleh untuk membangun masjid. Maka, jalan
keluarnya masjid itu harus dinamai gedung labortatorium kajian Islam.
Itulah salah satu contoh adaptasi yang harus dilakukan. Selain itu masih
banyak kegiatan yang diberi nama hanya untuk
menyesuaikan dengan mata anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Hal
demikian itu telah dipahami dan dilaksanakan di mana-mana, di kantor
pemerintah. Dengan demikian, rekayasa-rekayasa seperti itu
dianggap wajar dan atau hal biasa. Padahal sebenarnya, dengan cara
itu secara otomatis, telah mengajari birokrat untuk tidak jujur.
Pada akhir-akhir ini, berbagai pihak mendorong tumbuhnya kaum
entrepreneur. Ciri khas entrepreneur adalah keberanian, kebesan dan berani mengambil resiko. Tidak pernah ada
entrepreneur sukses manakala harus dihadapkan pada berbagai aturan yang
membelenggu. Entrepreneur selalu kreatif untuk melakukan ekprerimentasi atau
uji coba dan uji coba. Kreatifitas itulah yang menjadikan
entrepreneur menjadi maju. Sebaliknya,
banyak usaha yang ditangani oleh pemerintah justru menjadi mandeg dan bahkan
bangkrut. Hal itu dikarenakan dijalankan oleh birokrat pemerintah dengan
aturan yang ketat.
Bangsa Indonesia sekarang ini, dirasakan banyak tertinggal dari bangsa
lain. Akan tetapi anehnya yang dikerjakan sehari-hari adalah membuat
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dirjen, dan
seterusnya. Akibatnya, para birokrat terbelenggu dan sulit melakukan
langkah-langkah cerdas dan stratagis. Cerdas dianggap menyimpang, dan
menyimpang selalu berkonotasi salah.
Mestinya dalam suasana seperti ini, di kalangan pemerintah perlu
ditumbuh-kembangkan manajemen yang berpihak pada kreativitas, atau
mungkin cocok disebut entrepreneur
birokrasi. Yaitu, birokrasi yang memberi ruang bagi para birokrat
untuk mengambil langkah-langkah cerdas dan strategis guna mengakselerasi pertumbuhan dan sekaligus memperkokoh
institusinya. Mungkin dalam kebijakan ini akan muncul
kekhawatiran, yaitu terjadi penyelewengan terhadap aset dan kekayaan
negara. Padahal sebaliknya, jika kreativitas diberi ruang, maka akan
berpeluang menguntungkan negara. Saya pribadi
lebih memilih untuk memberikan peluang berkreativitas.
Saya melihat bahwa berbagai penyimpangan yang terjadi di
birokrasi selama ini, berupa korupsi, kolusi
dan nepotisme, adalah justru dilahirkan dari manajemen yang kaku
atau disebut manajemen mesin itu. Manusia tidak akan merasa nyaman jika
berada di lingkungan yang sedemikian membelenggu. Oleh karena itu,
mereka mencari peluang-peluang untuk menumbuh-kembangkan kreativitas itu.
Kreativitas adalah kebutuhan bagi semua orang, sehingga harus disalurkan.
Saya berpendapat bahwa, terjadinya kasus-kasus korupsi dan juga mental
mendua selama ini, sebenarnya adalah bersumber dari birokrasi yang
dikendalikan secara ketat seperti itu.
Oleh karena itu saya berpandangan bahwa untuk mengejar ketertinggalan dan
sekaligus mempercepat pertumbuhan bangsa ini perlu dikembangkan entrepreneur
birokrasi. Dengan cara itu maka para birokrat pemerintah
akan merasa lebih dihargai, dipercaya, dan akan tumbuh rasa
tanggung jawab untuk mengejar prestasi masing-masing. Birokrasi pemerintah
yang dirasakan membelenggu akan mengakibatkan
lahirnya orang-orang yang tidak kreatif dan bahkan banyak berbuat
semu atau seolah-olah. Buktinya, cukup banyak, di antaranya adalah keadaan
yang kita lihat dan rasakan sekarang ini. (Tulisan diresensi dari ceramah Prof.
Dr. Imam Suprayogo di S3 UIN Maliki Malang Jawa Timur)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar