Selasa, 26 Maret 2013

STUDI TEKS : DARI CONTENT ANALISYS HINGGA POS-MODERNISME



Ditengah dinamika perkembangan metodologi penelitian, studi teks (merujuk pada jenis atau model metode analisis penelitian kualitatif) belakangan ini menjadi marak dan populer dipakai oleh para ahli di bidang ilmu sosial dan humaniora sebagai bentuk dan jenis varian baru dalam penelitian. Semula studi teks hanya dipakai di bidang komunikasi, khususnya komunikasi politik, tetapi sekarang sudah berkembang ke banyak disiplin seperti sosiologi, geografi, sejarah, bahasa, seni, sastra, media dan bahkan perfilman. Tidak kalah dari penelitian lapangan yang menggunakan sumber-sumber primer untuk memperoleh data sebagai salah satu keunggulannya, studi teks memiliki keluasan tafsir dan otentisitas sebagai keunggulannya. Pengkaji teks fokus pada bagaimana teks dikonstruksi, bagaimana makna diproduksi, dan apa hakikat makna tersebut. Teks dianggap sebagai wilayah kajian yang menantang para peneliti karena senantiasa hidup dan dinamis.
Sejatinya studi teks merupakan analisis data yang mengkaji teks secara mendalam baik mengenai isi dan maknanya maupun struktur dan wacana. Teks yang dimaksudkan tidak saja berupa narasi tertulis yang diambil dari koran, majalah, acara TV, naskah pidato, tetapi apapun yang bisa ditafsir dapat diperlakukan sebagai teks, termasuk arsitektur, model pakaian, perabot rumah tangga, rumah makan perkantoran dan sarana lain  di ruang publik.(Lockyer dalam Given 2008: 865).
Terdapat beberapa jenis studi teks, antara lain :  Analisis Isi (Content Analysis), semiotika (semiotics), fenomenologi (phenomenology), dan  hermeneutika (hermeneutics). Untuk metode hermeneutika terdapat dua macam: hermeneutika intensionalisme dan Gadamerian. Metode yang dipakai untuk mengkaji struktur teks dan wacanapun ada beberapa macam, yaitu: 1) Analisis Gaya Teks, 2) Analisis Naratif, 3) Analisis Wacana, 4) Analisis Struktural, 5) Analisis Pos-struktural, dan 6) Analisis Pos-modernisme.  Analisis Wacana kemudian juga dikembangkan menjadi Analisis Wacana Kritis. Jika Analisis Wacana lebih menekankan secara murni pada aspek-aspek linguistik, maka Analisis Wacana Kritis atau sering disebut Critical Discourse Analysis (CDA) lebih memusatkan pada pertarungan kekuasaan (power struggle) melalui wacana, feminisme, dan dominasi kekuasaan (politik).
Ada banyak macam cara yang dapat digunakan untuk melakukan studi teks tergantung pada minat akademik masing-masing. Ada yang mengkaji teks dengan memusatkan perhatian pada relasi antara makna yang ada di dalam teks dengan keadaan di lapangan atau di luar teks.  Ada kesesuaian atau tidak. Sedangkan yang lain mengkaji konstruksi dan kekuatan mitos-mitos kultural di balik kehadiran teks.
 Mengingat setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan, termasuk masing-masing metode diatas, maka untuk mengurangi kelemahan tersebut,  para pengkaji teks  mencoba menggunakan metode konvergensi (gabungan). Misalnya, metode Analisis Isi dengan analisis semiotika. Yang pertama menekankan frekuensi penggunaan kata yang dipakai dalam teks dan berparadigma positivistik, dan yang kedua lebih menekankan simbol sebagai tempat tersimpannya makna. Sebagaimana diketahui paradigma positivistik memiliki kelemahan mendasar, yakni tidak mampu mengungkap hakikat makna yang lebih dalam karena bertumpu pada apa yang ada (tertulis) secara empirik. Sementara, semiotika juga memiliki kelemahan yakni terlalu dominannya subjektivitas pengkaji. Dengan menggabungkan keduanya diharapkan diperoleh makna yang lebih objektif. Para pengkaji teks juga mengembangkan wilayah pencariannya, tidak saja menggali makna teks  secara tesktual, tetapi juga memahami implikasi ideologis dari teks, baik teks riel maupun fiksi.
Semua teks pada dasarnya memiliki struktur naratif  dan kekuatan persuasif serta  dimaksudkan untuk menyampaikan makna tertentu sesuai maksud penulisnya. Yang penting diperhatian pengguna metode ini adalah studi teks tidak dimaksudkan untuk mencari interpretasi yang ‘benar’ mengenai teks, melainkan untuk mencari interpretasi macam apa yang digunakan. Sebab, kebenaran makna teks secara utuh mustahil dapat diperoleh. Maka, tak heran jika hasil interpretasi sering kali lebih luas daripada maksud pengarangnya. Dan, itu boleh-boleh saja dengan asumsi the author is dead  (teks yang sudah berada di ruang publik telah lepas dari pengarangnya).
Teks adalah bersifat polisemik, sehingga  membuka ruang untuk multimakna dan multitafsir. Jadi, makna teks tidak pernah tunggal. Namun demikian, tidak berarti penafsir teks bisa dengan sesuka hati  menafsir teks sesuai yang diinginkan. Sebab, makna dibawa oleh kode (kata), konvensi, dan yang lebih penting lagi oleh gaya (genre) bagaimana  teks ditulis, konteks sosial, kultural, historis, dan ideologis yang melingkupi teks tersebut. Semuanya menyatu mengantarkan makna teks secara utuh. Dengan demikian, pengkaji teks  tidak dapat dengan sebebas-bebasnya menafsir teks berdasarkan kemauan dan kepentingan pribadinya.
Ada juga pengkaji teks  yang  menitiberatkan kajiannya pada interkoneksi makna yang ada di dalam teks dan makna di luar teks. Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai konteks retorika teks, seperti (Siapa yang menulis teks?, Apa intensi atau maksud penulisnya?, Siapa pembaca yang diharapkan?, Topik atau isu apa yang diajukan?, Bagaimana pembaca disapa?, Apa tema dan klaim yang dibuat?, Apakah ada bukti atau penjelasan yang mendukung tema tersebut? Apa hakikat bukti tersebut?., dan pertanyaan yang lebih luas lagi menyangkut ‘Bagaimana kaitan teks  tersebut dengan teks-teks yang lain dengan gaya dan format yang sama?)’. Di sini pengkaji teks melakukan apa yang disebut dengan pembacaan intertekstualitas. Makna  dari sebuah teks bisa juga ditelusuri dengan membaca teks yang lain. Logikanya adalah teks tidak pernah muncul tiba-tiba dan hadir sendirian. Karena itu, co-texts dan intertextuality senantiasa ada.
 Terlepas dari kekurangan yang ada, analisis teks merupakan metodologi yang sangat menarik dan berkembang cepat seiring dengan perkembangan teks-teks sosial dan kemanusiaan.  Studi teks dapat dipakai untuk memahami konstruksi makna teks dari berbagai teks kultural. Melalui pengkajian yang mendalam, analisis teks bisa melahirkan lahan diskusi akademik yang hidup dan luas, karena luasnya cakupan makna yang dibawa oleh teks. Salah satu kelebihan studi teks adalah menyangkut ke’alamiah’an data. Teks lebih dulu ada di masyarakat sebelum peneliti teks memulai mengkajinya. Namun demikian, mampu memahami konstruksi makna teks dan implikasi ideologisnya tidak berarti pengkaji bisa lepas dari bias yang muncul. Bias tafsir sulit dihindari. Untuk itu, upaya yang dilakukan oleh setiap pengkaji teks ialah mengurangi sebanyak mungkin bias yang timbul pada saat analasis dan saat data dikumpulkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka para pengritik studi teks mempertanyakan validitas pendekatan studi teks. Alasannya adalah membaca teks memantulkan perspektif pengkajinya dan metode memahami teks sangat ideologis. Menyadari hal itu, para ahli studi teks, seperti  Paula Saukko menggaris bawahi bahwa sebuah teks sebenarnya tidak pernah bisa dipahami secara lengkap. Sebab, aktivitas membaca dan mengkaji teks sangat  ditentukan oleh kondisi sosial yang sedang terjadi baik pada saat teks dibuat maupun dikaji.Selanjutnya, pengkaji teks harus mampu secara kritis melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan, dengan melihat aspek-aspek politis dan sosial yang ada. Untuk mencapai hal itu, Saukko menyarankan pengkaji teks bisa menggunakan model analisis teks multiperspektif dengan cara menggabungkan beberapa pendekatan studi teks secara bersamaan. Misalnya, pendekatan semiotika dengan pos-modernisme, Analisis Wacana  dengan Hermeneutika, Analisis Isi (yang kuantitatif) dan mengkajinya secara kualitatif (Qualitative Content Analysis).
Yang menarik, jika selama ini Content Analysis dikenal sebagai metode studi teks berparadigma positivisme yang tentu menggunakan metode penelitian kuantitatif, maka dengan kelahiran Qualitative Content Analysis asumsi tersebut telah bergeser. Jika dalam penelitian lapangan belakangan ini dikenalkan metode campuran yang mencoba menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan - mengingat masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan - atau yang dikenal dengan istilah mixed method, maka studi teks pun tidak mau ketinggalan, yakni dengan menawarkan pendekatan sejenis yang disebut Qualitative Content Analysis.
Sebagai sebuah disiplin, metodologi penelitian - seperti halnya disiplin-disiplin  yang lain - senantiasa terus berkembang dan berubah. Metode yang sudah baku sekian lama pun bisa bergeser untuk mengikuti tuntutan dan tantangan jaman.

Tidak ada komentar: