Jumat, 29 Maret 2013

DOSEN, PTAI DAN CITA RESEARCH UNIVERCITY



Oleh: Hefni Zain

            Dosen sejatinya adalah peneliti yang mengajar, dari sini tampak perbedaan antara dosen dan guru, bagi dosen kegiatan meneliti menjadi konsentrasi utama dalam mengembangkan kariernya, karena itu dosen harus memiliki komitmen bahkan karakter sebagai peneliti. Mereka tidak boleh ketinggalan  dalam mencermati perkembangan teori-teori baru yang berkaitan dengan kehliannya untuk dipertajam  melalui penelitian. Dengan profesi itu yang paling ditunggu oleh konsumen dari seorang dosen adalah  karya ilmiah mereka sebagai hasil penelitianya itu, karya ilmiah dimaksud dapat berupa makalah, artikel, buku ajar, laporan penelitian atau buku populer yang memuat gagasan, ide, konsep dan teori baru..
            Sebagai peneliti,  dosen betindak sebagai penjual ide dan konsep kepada pasar, mampukah ide ide itu menghasilkan bangunan wacana ilmiah yang akan dibedah diberbagai wilayah komunitas akademik? Inilah tantangan yang mesti direspon dosen. Berdasarkan tuntutan- tuntutan tersebut, parameter untuk menilai kualitas dosen, setidaknya melalui dua kreteria secara berkelanjutan, pertama dari produktivitas karya-karya ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya itu mampu memberi pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik, konsep cemerlang atau teori baru. Maka kehadian buku ilmiyah dalam segala jenisnya bagi dosen merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang tidak bisa ditawar lagi.
            Kelemahan masyarakat kita selama ini adalah kecenderungan mereka yang masih berada pada level budaya mendengarkan dan berbicara (listening speaking society) belum pada level membaca dan menulis (reading-writing society), akibatnya jargon bahwa masyarakat kampus sebagai agent of change, agent of innovation, dan agent of modernization hanyalah jargon kosong yang tidak dapat dipertanggung jawabkan  sepenuhnya, padahal sejak awal mereka telah memahami tausiah  “ kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan”

Tradisi ilmiah dikalangan umat Islam sebenarnya telah dilakukan dan dirintis oleh para mujtahid besar. Sebagai salafuna ash-sholeh, aktivitas mereka yang dapat menghasilkan karya besar patut dicermati sebagai buah ketekunanya. As-syuyuti dalam ilmu tafsir, Al-Gazali  dalam ilmu filsafat dan tasawuf, Ibnu Khaldun dalam Ilmu sejarah sosial merupakan bukti otentik bahwa dikalangan ulama’ terdahulu telah memiliki tradisi penelitian yang sangat kuat.
            PTAI sebagai pusat kajian ilmu keislaman, seyogyanya terus berupaya menghidupkan kembali tradisi keilmuan dan penelitian yang telah sirintis oleh para shalafuna ash-sholeh tersebut, kemudian dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Namun demikian, keberhasilan masa lalu hendaknya jangan sampai menenggelamkan kita kepada kebanggaan nostalgis. Betapa sering kita takjub dengan tokoh-tokoh Islam dimasa lalu, tapi sedikit sekali yang meniru kiprah mereka.
            Dinamika zaman yang terus berubah secara cepat dan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat menuntut perguruan tinggi  untuk selalu melakukan self evaluation dan menggagas berbagai terobosan strategik inovatif baik menyangkut visi, sistem nilai, standart mutu maupun pola manajemen dan pengembangan SDM, sebab saat ini tantangan  PTAI bukan sekedar mampu meluruskan mahasiswanya sesuai batas waktu yang ditentukan, tetapi yang lebih substansial adalah bagaimana mengoptimalkan target essensialnya, yakni; institutionalization and profesionalism building, bahkan dalam tataran ideal PTAI harus mulai bergerak dari posisi teaching university ke arah research univesity menuju otonomi university.
Misi utama penelitian adalah melakuan pengkajian, pengujian, pemecahan masalah dan penemuan-penemuan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, karena itu cita-cita ideal menjadikan lembaga perguruan tinggi dari teaching university kearah research university apalagi menuju otonomi university hanyalah imajinasi utopis jika atensi terhadap penelitian kurang mendapat fokus yang memadai.
Namun realitas yang terjadi selama ini, aplikasi tri dharma dari sebagian besar PTAI masih berlangsung timpang, Dalam hal pengembangan akademik, mereka masih terfakus pada aspek pendidikan dan pengajaran saja, sementara aspek penelitian dan pengabdian masyarakat acapkali terabaikan, akibatnya banyak muncul tenaga pengajar, tetapi sulit menjadi tenaga peneliti, padahal hanya dengan penelitian, temuan-temuan baru akan diperoleh sebagai acuan dan syarat utama bagi pengembangan upaya lebih lanjut
            Untuk mewujudkan teaching university menjadi research university, banyak hal yang harus dirubah. Seorang dosen yang biasanya hanya to teach knowlegde harus berubah menjadi to teach how to think critically, creativelly, and dinamically. Model pembelajaran yang seperti ini akan mampu menumbuhkan budaya meneliti. Jika semua mata kuliah yang diajarkan di PTAI memiliki nuansa penelitian dalam arti research and development, maka iklim reseach university dengan sendirinya akan terwujud. Iklim pembelajaran seperti ini biasanya populer disebut class room actian research. Artinya, keberadaan dosen di kelas bukan sebatas sebagai pengajar, tetapi pembimbing, pelatih, manajer dan peneliti. Jika iklim ini berkembang baik, maka mahasiswa tidak akan kesulitan menulis skripsi, tesis atau disertas Demikian juga para dosen tidak akan kesulitan memenuhi persyaratan kenaikan pangkat pada sub bidang penelitian.
            Disadari mengubah kebiasaan ini tentu tidak mudah, karena membutuhkan berbagai kesiapan. Untuk itu ikhtiar menggagas research university bagi PTAI harus diikuti oleh aktivitas warga civitas akademika PTAI untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang penelitian. Kemampuan penelitian ini dapat ditumbuhkan melalui: (a) peningkatan kemampuan tenaga peneliti melalui program pelatian dan pengayaan (enrichment program), (b) peningkatan kemampuan pengelolaan dan administrasi melalui perbaikan sistem alokasi pendanaan (budgeting system) dan (c) efektifitas serta efisiensi sistem imbalan atau reward kepada civitas akademika. Dengan iklim penelitian yang seperti ini, upaya mewujudkan research university  bukan sekedar mimpi.
       Dalam merealisasikan iklim seperti diatas, tentu masih banyak kendala,  diantarannya : (1) Tenaga peneliti yang terbatas, baik dari segi kuantitas, maupun kualitas, banyak dosen yang diharapkan mampu menjadi prime mover  penelitian, ternyata belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang memadai. (2) Banyak tenaga edukatif atau peneliti yang kurang memiliki waktu meneliti karena  berbagai kesibukan, sehingga penelitiannya semata-mata berorientasi pada KUM untuk kenaikan pangkatnya. (3) Alokasi dana penelitian yang relatif rendah. Bahkan masih banyak PTAI yang melihat penelitian sebagai kebutuhan sekunder, sehingga alokasi dana ditentukan secara “tentatif”. (4) Kurang gencarnya publikasi penelitian disatu pihak dan belum tumbuhnnya kelompok pembaca yang research mainded pada pihak lainnya. Dan (5) Belum tumbuhnya oganisasi-organiasi profesi serta lembaga-lembaga penelitian non perguruan tinggi yang profesional sebagai mitra sekaligus “kompetitor” PTAI.
            Untuk mendesain PTAI menuju “research university” ada beberap langkah prakondisi yang perlu dipersiapkan, yaitu : (1) Kemampuan SDM peneliti harus tetap menjadi prioritas pengembangan, karena ia merupakan investasi pengembangan SDM merupakan investasi jangka panjang, karena hasilnya baru akan dinikmati dalam tempo yang relatif lama. Namun demikian kemampuan menelti perlu terus ditingkatkan, perlu ada suasana refressing yang memungkinkan peneliti terus belajar dan mengembangkan diri, khususnya bagaimana membuat proposal dan design riset yang sesuai dengan selera funding dan sekaligus strategi pelaporan. (2) Perlunya ada upaya rekonstruksi pada sistem pembelajaran PTAI. Selama ini kita belajar hanya dari papan tulis. Kita belum membiasakan pengembangan tradisi pembelajaran yang lebih bermakna, seperti di laboratorium, di media-media praktikum, sehingga kompetensi yang selama ini dihasilkan PTAI belum memuaskan. (3) Secara internal perlu ada iklim yang kondusif berupa; kemampuan SDM peneliti, kultur penelitian, dana yang disediakan secara kompetitif, dan publikasi dari hasil penelitian sehingga peneliti- peneliti berbakat benar-benar ditumbuhkan dari dalam. (4) Secara eksternal perlu dikembangkan kultur yang kompetitif, melalui tersedianya informasi funding-funding penelitian yang menawarkan dana penelitian secara kompetitif. Informasi ini sangat penting dalam rangka menciptakan kultur berkompetensi secara sehat bagi mereka yang memang secara mandiri mampu melakukan penelitian..
            Sebagai bahan refleksi, relevan dikemukakan apresiasi Qomaruddin Hidayat bahwa “kampus bukan sekedar lembaga pelayanan pendidikan tetapi juga sebagai pusat pengembangan research, Alhasil seorang dosen mesti  membuktikan bahwa dirinya adalah betul betul seorang  dosen dan bukan sekedar seorang guru

Tidak ada komentar: