Oleh:
Hefni Zain
Dosen sejatinya adalah peneliti yang
mengajar, dari sini tampak perbedaan antara dosen dan guru, bagi dosen kegiatan
meneliti menjadi konsentrasi utama dalam mengembangkan kariernya, karena itu dosen
harus memiliki komitmen bahkan karakter sebagai peneliti. Mereka tidak boleh
ketinggalan dalam mencermati perkembangan
teori-teori baru yang berkaitan dengan kehliannya untuk dipertajam melalui penelitian. Dengan profesi itu yang
paling ditunggu oleh konsumen dari seorang dosen adalah karya ilmiah mereka sebagai hasil penelitianya
itu, karya ilmiah dimaksud dapat berupa makalah, artikel, buku ajar, laporan
penelitian atau buku populer yang memuat gagasan, ide, konsep dan teori baru..
Sebagai peneliti, dosen betindak sebagai penjual ide dan konsep
kepada pasar, mampukah ide ide itu menghasilkan bangunan wacana ilmiah yang
akan dibedah diberbagai wilayah komunitas akademik? Inilah tantangan yang mesti
direspon dosen. Berdasarkan tuntutan- tuntutan tersebut, parameter untuk
menilai kualitas dosen, setidaknya melalui dua kreteria secara berkelanjutan, pertama
dari produktivitas karya-karya ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya
itu mampu memberi pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik,
konsep cemerlang atau teori baru. Maka kehadian buku ilmiyah dalam segala
jenisnya bagi dosen merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang
tidak bisa ditawar lagi.
Kelemahan masyarakat kita selama ini
adalah kecenderungan mereka yang masih berada pada level budaya mendengarkan
dan berbicara (listening speaking society) belum pada level membaca dan
menulis (reading-writing society), akibatnya jargon bahwa masyarakat
kampus sebagai agent of change, agent of innovation, dan agent
of modernization hanyalah jargon kosong yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan sepenuhnya, padahal sejak awal
mereka telah memahami tausiah “ kerjakan
apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan”
Tradisi ilmiah dikalangan umat Islam sebenarnya telah dilakukan dan
dirintis oleh para mujtahid besar. Sebagai salafuna ash-sholeh, aktivitas
mereka yang dapat menghasilkan karya besar patut dicermati sebagai buah
ketekunanya. As-syuyuti dalam ilmu tafsir, Al-Gazali dalam ilmu filsafat dan tasawuf, Ibnu Khaldun
dalam Ilmu sejarah sosial merupakan bukti otentik bahwa dikalangan ulama’
terdahulu telah memiliki tradisi penelitian yang sangat kuat.
PTAI sebagai pusat kajian ilmu
keislaman, seyogyanya terus berupaya menghidupkan kembali tradisi keilmuan dan
penelitian yang telah sirintis oleh para shalafuna ash-sholeh tersebut, kemudian
dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Namun demikian,
keberhasilan masa lalu hendaknya jangan sampai menenggelamkan kita kepada
kebanggaan nostalgis. Betapa sering kita takjub dengan tokoh-tokoh Islam dimasa
lalu, tapi sedikit sekali yang meniru kiprah mereka.
Dinamika zaman yang terus berubah
secara cepat dan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat menuntut perguruan
tinggi untuk selalu melakukan self
evaluation dan menggagas berbagai terobosan strategik inovatif baik
menyangkut visi, sistem nilai, standart mutu maupun pola manajemen dan
pengembangan SDM, sebab saat ini tantangan PTAI bukan sekedar mampu meluruskan
mahasiswanya sesuai batas waktu yang ditentukan, tetapi yang lebih substansial
adalah bagaimana mengoptimalkan target essensialnya, yakni; institutionalization
and profesionalism building, bahkan dalam tataran ideal PTAI harus mulai
bergerak dari posisi teaching university ke arah research univesity menuju
otonomi university.
Misi utama penelitian adalah melakuan pengkajian, pengujian,
pemecahan masalah dan penemuan-penemuan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, karena itu cita-cita ideal menjadikan lembaga perguruan tinggi
dari teaching university kearah research university apalagi menuju otonomi university hanyalah imajinasi
utopis jika atensi terhadap penelitian kurang mendapat fokus yang memadai.
Namun realitas yang terjadi selama ini, aplikasi tri dharma dari
sebagian besar PTAI masih berlangsung timpang, Dalam hal pengembangan akademik,
mereka masih terfakus pada aspek pendidikan dan pengajaran saja, sementara aspek
penelitian dan pengabdian masyarakat acapkali terabaikan, akibatnya banyak
muncul tenaga pengajar, tetapi sulit menjadi tenaga peneliti, padahal hanya
dengan penelitian, temuan-temuan baru akan diperoleh sebagai acuan dan syarat
utama bagi pengembangan upaya lebih lanjut
Untuk mewujudkan teaching university menjadi research university, banyak hal yang
harus dirubah. Seorang dosen yang biasanya hanya to teach knowlegde
harus berubah menjadi to teach how to think critically, creativelly, and
dinamically. Model pembelajaran yang seperti ini akan mampu menumbuhkan
budaya meneliti. Jika semua mata kuliah yang diajarkan di PTAI memiliki nuansa
penelitian dalam arti research and development, maka iklim reseach university dengan sendirinya
akan terwujud. Iklim pembelajaran seperti ini biasanya populer disebut class room actian research. Artinya,
keberadaan dosen di kelas bukan sebatas sebagai pengajar, tetapi pembimbing,
pelatih, manajer dan peneliti. Jika iklim ini berkembang baik, maka mahasiswa tidak
akan kesulitan menulis skripsi, tesis atau disertas Demikian juga para dosen
tidak akan kesulitan memenuhi persyaratan kenaikan pangkat pada sub bidang
penelitian.
Disadari mengubah kebiasaan ini
tentu tidak mudah, karena membutuhkan berbagai kesiapan. Untuk itu ikhtiar
menggagas research university bagi
PTAI harus diikuti oleh aktivitas warga civitas akademika PTAI untuk meningkatkan
kemampuannya dalam bidang penelitian. Kemampuan penelitian ini dapat
ditumbuhkan melalui: (a) peningkatan kemampuan tenaga peneliti melalui program pelatian
dan pengayaan (enrichment program),
(b) peningkatan kemampuan pengelolaan dan administrasi melalui perbaikan sistem
alokasi pendanaan (budgeting system)
dan (c) efektifitas serta efisiensi sistem imbalan atau reward kepada civitas akademika. Dengan iklim penelitian yang seperti
ini, upaya mewujudkan research university bukan sekedar mimpi.
Dalam merealisasikan
iklim seperti diatas, tentu masih banyak kendala, diantarannya : (1) Tenaga peneliti yang terbatas, baik dari segi
kuantitas, maupun kualitas, banyak dosen yang diharapkan mampu menjadi prime mover penelitian, ternyata belum mempunyai pengetahuan
dan pengalaman yang memadai. (2) Banyak
tenaga edukatif atau peneliti yang kurang memiliki waktu meneliti karena berbagai kesibukan, sehingga penelitiannya
semata-mata berorientasi pada KUM untuk kenaikan pangkatnya. (3) Alokasi dana penelitian yang relatif rendah. Bahkan masih banyak
PTAI yang melihat penelitian sebagai kebutuhan sekunder, sehingga alokasi dana
ditentukan secara “tentatif”. (4) Kurang gencarnya publikasi penelitian disatu pihak dan belum
tumbuhnnya kelompok pembaca yang research
mainded pada pihak lainnya. Dan (5) Belum tumbuhnya oganisasi-organiasi profesi serta lembaga-lembaga
penelitian non perguruan tinggi yang profesional sebagai mitra sekaligus
“kompetitor” PTAI.
Untuk mendesain PTAI
menuju “research university” ada
beberap langkah prakondisi yang perlu dipersiapkan, yaitu : (1) Kemampuan SDM
peneliti harus tetap menjadi prioritas pengembangan, karena ia merupakan
investasi pengembangan SDM merupakan investasi jangka panjang, karena hasilnya
baru akan dinikmati dalam tempo yang relatif lama. Namun demikian kemampuan
menelti perlu terus ditingkatkan, perlu ada suasana refressing yang
memungkinkan peneliti terus belajar dan mengembangkan diri, khususnya bagaimana
membuat proposal dan design riset yang sesuai dengan selera funding dan
sekaligus strategi pelaporan. (2) Perlunya ada upaya rekonstruksi pada sistem pembelajaran PTAI. Selama
ini kita belajar hanya dari papan tulis. Kita belum membiasakan pengembangan
tradisi pembelajaran yang lebih bermakna, seperti di laboratorium, di media-media
praktikum, sehingga kompetensi yang selama ini dihasilkan PTAI belum memuaskan. (3) Secara internal perlu
ada iklim yang kondusif berupa; kemampuan SDM peneliti, kultur penelitian, dana
yang disediakan secara kompetitif, dan publikasi dari hasil penelitian sehingga
peneliti- peneliti berbakat benar-benar ditumbuhkan dari dalam. (4) Secara eksternal
perlu dikembangkan kultur yang kompetitif, melalui tersedianya informasi funding-funding
penelitian yang menawarkan dana penelitian secara kompetitif. Informasi ini
sangat penting dalam rangka menciptakan kultur berkompetensi secara sehat bagi
mereka yang memang secara mandiri mampu melakukan penelitian..
Sebagai bahan
refleksi, relevan dikemukakan apresiasi Qomaruddin Hidayat bahwa “kampus bukan
sekedar lembaga pelayanan pendidikan tetapi juga sebagai pusat pengembangan research,
Alhasil seorang dosen mesti membuktikan
bahwa dirinya adalah betul betul seorang
dosen dan bukan sekedar seorang guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar