Selasa, 07 Mei 2013

BERBAGAI PARADIGMA DALAM PENELITIAN AGAMA.



Istilah paradigma pertamakali dikemukakan oleh Thomas S Khun dalam The Structure of scientific Revolutions yang diterbitkan untuk edisi  kedua tahun 1970. Kuhn Mendefinisikan paradigma sebagai World view atau Weltanscauung (pandangan hidup) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu. Robert  Friedrichs dalam bukunya “ Sociology of sociology (1970) mendefinisikan  paradigma sebagai suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin. Sementara Bogdan dan Bikllen dalam Qualitative Research for education : An introduction to theory and methods (1982) mengartikan paradigma sebagai  kumpulan  lepas dari asumsi, konsep atau proposisi yang disatukan secara logis yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian.
Dari ketiga pendapat diatas, kiranya dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah pandangan dunia (world view) yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki krangka berfikir (frame), asumsi, teori atau proposisi dan konsep terhadap suatu permasalahan penelitian yang dikaji.
Beberpa pakar lain menyebutkan paradigma adalah pandangan dunia yang dimiliki oleh seorang peneliti terdiri dari konsep, krangka fikir, asumsi, teori dan proposisi terhadap focus atau permasalahan penelitian yang dilakukan. Konsep  merupakan rancangan  (bahan mentah)  bangunan teori yang paling dasar yang digunakan oleh akal budi untuk memahami  hal  hal  lain. Asumsi  adalah anggapan dasar yang tidak memerlukan  pengujian, tetapi berfungsi sebagai dasar pemilihan masalah penelitian. Teori dalam konteks penelitian diartikan sebagai  seperangkat pernyataan, asas, dan hukum umum yang disusun secara sistimatis (Mantja, 1997 : 6).  Sedangkan Proposisi adalah ide logis atau dalil dalam rancangan penelitian sosial (termasuk Keagamaan) yang digunakan untuk mencari atau mendapatkan fokus penelitian (Imam Suprayogo, 2001 : 92)
Dalam konteks penelitian, Menurut Patton (1980 : 203) paradigma adalah metode yang dipakai oleh seorang peneliti ketika dirinya berupaya untuk sampai kepada suatu realitas hasil cerapannya ( Perceived reality). A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the  in the sociazation of edherents and practicioners; paradigm tell them what is important, legitimate.
Dalam penelitian kwalitatif yang bersifat naturalistik, fungsi paradigma bukan dalam rangka membentuk fakta, melakukan prediksi dan menunjukkan hubungan dua variable sebagaimana dalam penelitian kwantitatif, melainkan lebih banyak untuk mengembangkan konsep dan pemahaman serta kepekaan (sensibelitas) peneliti.
Agama, sebagai fenomina sosial budaya bersifat multi fased. Karena itu untuk memahami fenomina tersebut dapat digunakan salah satu atau beberapa paradigma yang umumnya digunakan dalam penelitian sosial. Ia dapat menggunakan berbagai perspektif, baik makro ataupun mikro, subjektif maupun subjektif, kwalitatif ataupun kwantitatif atau bisa juga gabungan dari berbagai perspektif yang ada.
Terdapat beberapa model paradigma yang lumrah digunakan dalam penelitian sosial, antara lain :
1.      Paradigma positivistik. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma fakta sosial. Dalam paradigma ini fenomina sosial difahami sebagaimana fenomina alam, cara kerja ilmu sosial menggunakan metode ilmu alam yang disebut fisika sosial. Dalam mengkaji fenomina sosial, digunakan pendekatan positivisme  August Comte. Yakni fenomina sosial difahami dari perspektif luar (other perspective) berdasarkan teori – teori yang ada. Penelitian dengan menggunakan paradigma positivistik ini biasanya bertujuan untuk menjelaskan (eksplanasi), penjajakan (eksplorasi), penggambaran (deskripsi) dan Pengujian (verivikasi) tentang fenomena mengapa suatu peristiwa terjadi, bagaimana frekwensinya (intensitasnya), proses kejadiannya, hubungan antar variable, rekaman perkembangan, diskripsi, bentuk dan polanya.
Istilah “positif” sebagai sebuah paradigma. Lahir dari August Comte, yang dijuluki “Bapak Positivisme” adalah faham filsafat yang cenderung membatasi kebenaran pengetahuan kepada hal hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode Science. Sesuatu dianggap positif (a positive fact) adalah hal yang mesti dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk menilainya. Positivisme mengajarkan bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji yang dapat melandasi penghetahuan yang sah. Dalam Filsafat Sains, positivisme biasanya ditandai dengan system MERK (Materialistis, empiris, rasional dan kwantitatif).
Dalam memahami realitas sosial, paradigma positivistik identik dangan perspektif makro, yaitu : pertama, realita adalah fenomina yang keberadaannya ditentukan oleh fenomina lain ( Investigasi ilmiyah ), karena itu ditandai oleh bangunan  hubungan sebab akibat. Kedua, positivisme yakin bahwa realitas sosial dapat diklasifikasi dan keberadaannya dapat digambarkan dalam sebuah simbol dengan atribut tertentu. Positivisme yakin bahwa kategori yang dilekati  simbol tersebut dianggap sesuatu yang riil dan dapat digali secara empirik dengan cara membuat hipotesis dalam bentuk hubungan sebab akibat antar variabel.  Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, variabel  - variabel tersebut dikonsep sedemikian rupa  sehingga dapat diukur, langkahnya adalah membuat definisi nominal, definisi  operasional, kemudian melakukan pengukuran dengan tehnik statistik. Hasilnya ditemukan adanya derajat korelasi yang bisa dikemas dalam bentuk angka.

2.      Paradigma naturalistik.Disebut juga paradigma definisi sosial, paradigma non positivistik dan paradigma mikro atau pemberdayaan. Walaupun istilahnya berbeda beda, keempat istilah tersebut pada umumnya memiliki pengertian yang sama dan merupakan rumpun paradigma dalam penelitian kwalitatif. Paradigma ini dikembangkan oleh Max weber dengan mengembangkan sosiologi interpretatif.. Bagi kelompok ini  sosiologi adalah  suatu ilmu pengetahuan yang mencoba memberikan pemahaman interpretative mengenai tindakan social, dan dimaksud dengan tindakan sosial adalah  semua prilaku manusia  sejauh individu yang bertindak itu memberikannya suatu arti yang subjektif (lihat Jonson,1994 :54).  Aliran aliran yang tercakup dalam paradigma ini adalah : fenomenologi, intraksionisme simbolik dan etnometodologi. Fenomina sosial tidak sama dengan fenomina alam. Karena itu tidak dapat menggunakan metode metode ilmu alam dalam ilmu sosial. Fenomena sosial harus difahami dari perspektif dalam (inner perspective) berdasarlan subjek pelaku. Penelitian dengan paradigma naturalistik bertujuan untuk memahami (understanding) makna prilaku, simbol simbol dan fenomena fenomena.
Bagi Paradigma Naturalistik / non positivistic, realitas sosial yang menjadi objek penelitian tidajk mesti bersifat prilaku prilaku social yang kasat mata sebagaimana pandangan positivistik, melainkan keseluruhan makna cultural yang simbolik yang ada dibalik semua gerak tindakan manusia yang kasat mata itu. Sedangkan sumber dari prilaku sosial tidak berasal dari luar individu sebagai aktor dan semata mata mengikuti hukum sebab akibat, melainkan bersumber dari dalam diri subjek (inner perspektif of human bahavior) dan makna pengalaman individu ( the meaning of an individual’s experience of the world). Dengan kata lain, realitas (konsep) dalam paradigma  makro ditentukan oleh  peneliti berdasarkan perspektif teori yang digunakan, sedangkan dalam paradigma mikro ditentukan sendiri oleh subjek yang diteliti.
Sekurang kurangnya terdapat tiga prinsip dasar yang dikembangkan oleh aliran non positivistik dalam membaca fenomena social : Pertama , Individu menyikapi sesuatu atau apa saja di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi dirinya. Kedua, makna tersebut diberikan berdasar intraksi social yang dijalin dengan individu lain. Dan ketiga, makna tersebut difahami  dan dimodoivikasi oleh individu melalui proses interpretative yang berkaitan dengan hal hal lain yang dijumpainya.
Mengenai masalah objektifitas, paradigma Mikro berpendapat bahwa yang objektif tidak  ditentukan oleh peneliti bersdasarkan teori atau asumsi tertentu yang telah diyakini kebenarannya, karena hal itu  justru mengandung bias cultural, yang disebut objektif adalah  realitas sebagaimana difahami  oleh subjek, sehingga bukan sembarang subjektif  melainkan justru objektif menurut para subjek (objectivied subjectivities), sementara menurut  paradigma makro, yang disebut objektif adalah The subjectivied objectivies.
Tentang hubungan peneliti dengan yang diteliti, bagi kaum Strukturalis, peneliti mempelajari masyarakat (To learn about the people) sehingga masuyarakat uyang diteliti diperlakukan sebagai objek. Sedangkan bagi kaum non strukturalis, peneliti justru belajar kepada masyarakat (to learn from the people) dan hubungan peneliti dengan yang diteliti merupakan hubungan antar subjek.
Tujuan Penelitian dengan menggunakan paradigma mikro sangat bergantung pada perspektif yang digunakan serta permasalahan yang diteliti, yang pada umumnya dalam rangka melakukan deskripsi (penggambaran), pemahaman atau pemaknaan, interpretasi (penafsiran), pengembangan, eksplorasi (pengungkapan dan penemuan) serta komparasi (perbandingan).

3.      Paradigma rasionalistik, disebut juga  paradigma verstehen. Ia memandang realitas sosial sebagaimana difahami oleh peneliti berdasarkan teori  teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman subjek yang diteliti/data empirik. Paradigma rasionalistik ini bisa juga disebut gabungan dari dua paradigma yang ada atau paradigma strukturasi menurut Gidden. Paradigma penelitian ini banyak digunakan antara lain dalam penelitian filsafat, bahasa, agama dan komonikasi. Metode yang digunakan biasanya verstehen, hermeneutika (filologi), analisis isi (content analysis)
Metode penelitian sosial agama dengan menggunakan paradigma Rasionalitistik  identik dengan penelitian dengan menggunakan pendekatan filsafat. Yakni sebuah metode penelitian yang focus pada substansi pemikiran. Ia lebih menekankan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah fikir peneliti mengenai suatu masalah atau topik kajian.
Sebagian pakar penelitian, seperti :  Bakar, Zubair dan Krippendorff, menyamakan metode penelitian filsafat dengan metode hermeneutika atau filologi dan content analysis. Menurut mereka, sebuah penelitian dikatakan menggunakan meteode flsafat apabila mampu menerapkan salah satu atau beberapa analisis, seperti : interpreatasi, pola fikir induksi deduksi, koherensi intern, holistika kesinambungan histories, idealidsasi, komparasi, heuristika, bahasa inklusia dan analogal dan deskripsi (1992 : 41).
4.      Paradigma Teologis
Sejak pertengahan abad dua puluh berbagai paradigma sebagaimana diurai diatas, mulai banyak dipertanyakan, bahkan mulai dikritik, karena dianggap belum memuaskan para ilmuwan sosial, lebih lebih bagi mereka yang meyakini wahyu sebagai suatu kebenaran. Bagi mereka , realitas social bukan hanya terdiri dari realitas  emperik, realitas logis, dan realitas etis, tetapi Wahyu juga merupakan sebuah realitas, yakni realitas normatif.  Realitas universal bagui mereka terdiri dari fenomina (ayat, tanda, symbol) yang tercipta (ayat ayat kauniyah) seperti fenomena alam dan fenomena social, juga fenomena ayat yang terucap yaitu wahyu (ayat qauliyah).
Menurut mereka paradigma yang ada ternyata belum sepenuhnya representatif mengakomodir persoalan – persoalan penelitian agama atau keagamaan. Karena itu Perlu paradigma khusus ( tersendiri)  bagi penelitian agama dan keagamaan. Mereka menawarkan perspektif ontologi, epistimologi dan aksiologi yang bereferensi dari nilai nilai dan kaidah kaidah agama yang secara empirik ada dalam wahyu sebagai paradigma tersendiri. Artinya bahwa Wahyu Tuhan adalah benar benar realitas yang diyakini dapat ditempatkan sebagai referensi dalam membaca fenomena fenomena sosial keagamaan yang nampak pada saat ini.
Untuk rincinya dapat dilihat pada tabel berikut :
Paradigma
Pendekatan Ilmiyah
Teori/metodologi
Digunakan untuk
Positivistik/
Strukturalis/
Fakta sosial
Sosiologi
Struktural/Konflik
Sejarah/Psikologi
Teori,
Struktural,Konflik,
Bahaviorisme, Kolektivisme, organisme,

Metode :
survey,Study kasus,
Operation research
Memahami individu,kelompok,hubungan antara variable, rekaman perkembangan, deskripsi, dll
Naturalisme/
Fenomenologi/
Etnometodologi
Sosiologi
(interpretative)
Antropologi
Sejarah Sosial
Filologi
Psikologi
Teori:
Fenomenologi,
Interasionalisme simbolik, Everiday live,
Metode :
Survey,Studi kasus,
Grounded research.

Memahami
makna, prilaku, budaya, fenomina, intraksi, symbol symbol, karakteristik, keunikan, fenomina social, teori baru
Rasionalistik
(verstehen)
Sosiologi(kognitif)
Antropologi
Filsafat,teologi,
Filologi
Content analyis
Hermeneutika,
Verstehen

Memahami
idealisasi, mengkritisi, komparasi antar teks, naskah, simbol, budaya, dsb
Wahyu/Teologis
Ilmu ilmu agama
(tafsir,Hadits,Fiqih,
Tasawuf,Ilmu kalam, Sejarah)
Metode tafsir
Content analysis,
Hermeneutika,
Verstehen

Pemahaman, idealisasi, komparasi antara teks, naskah, dsb

Namun beberapa pakar penelitian Agama yang lain mengatakan bahwa Agama dalam pengertiannya yang universal, dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma, tetapi tentu saja, realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.  Karena itu  penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya Menurut jalaluddin Rahmat (1989 : 84) : Apakah kawin Mut’ah dapat dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab oleh paradigma logical. Apakah fungsi ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah. Bagaimana kondisi batin seseorang ketika dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya bisa dijawab oleh paradigma mistikal.
Guba dan Lincoln (1983 : 53 – 55) menunjukkan tujuh paradigma penelitian, yang setiap paradigma itu mempunyai tehnik utama sendiri sendiri serta menghasilkan jenis kebenaran sendiri sendiri pula :
Paradigma
Tehnik utama
Jenis Kebenaran
Contoh
Logis
Analisis
Demonstrable
Matematika, filsafat
Positivistik
Eksprimen
Confirmable
Fisika, biologi
Naturalistik
Study lapangan
Inclutable
Etnografi, antropologi
Judgemental
Pengindraan
Recognizable
Musik.Seni rupa, arsitektur
Adversarial
Eksaminasi silang
Trianggulasi
Energent
Hukum, Jurnalistik
Modus operandi
Uji sekuenes
Trackable
Diagnosis medis,
Metodologi forensik
Demographic
Indikator
Macroscopically
determinable
Demografi,ekonomi, geografi

Ketujuh paradigma yang ditawarkan Guba dan Lincoln diatas tampak belum menyinggung secara mendalam tentang penelitian agama dan penelitian keagamaan, sebab tujuh paradigma tersebut jika diringkas hanya terbagi dalam dua paradigma besar, yakni  paradigma aqliyah untuk paradigma logis dan paradigma ilmiyah untuk paradigma sisanya. Rahmat memberikan bandingan, bahwa untuk penelitian agama minimal harus mencakup tiga paradigma besar, yakni : Paradigma  ilmiyah (empirikal), paradigma aqliyah (logikal)  dan paradigma irfaniyah (mistikal).
Paradigma ilmiyah dan aqliyah, menurut Rahmat, dalam perakteknya bisa menggunakan metode  positifistk, naturalistik dan Rasionalistik, sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui Takhliyah, tahliyah dan Tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam penelitian Nash, paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah alqur’an lebih menitik beratkan pada aspek social atau aspek teologis ?  b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada sekarang masih otentik atau tidak ?.  Sedangkan paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a) bagaimana pola penafsiran al Ghazali tentang manusia ?  b). apakah terdapat konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifat sifat Allah ?  Sementara Paradigma Irfaniyah dapat digunakan untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek esoteris dari makna ayat ayat Alqur’an atau al Hadits ?
Uraian Rahmat untuk lebih jelasnya digambarkan dalam table berikut :
Bidang kajian    :                      :                                Dimensi Keagamaan
Paradigma
Ajaran
Ideologis
intelektual
eksperensial
ritualistik
Konsekuensial
Ilmiyah
Aqliyah
Irfaniyah
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X

Bagi Simuh, sebagaimana dikuti Amin Abdullah (1992 : 63) apa yang ditawarkan Rahmat mengenai paradigma irfaniyah, sesungguhnya tidak harus  didekati dengan metode tasawuf saja, tetapi juga bisa menggunakan pendekatan verstehen atau fenomenologi. Sebab dengan fenomenologi dapat mengungkap empat kebenaran empiris agama, yakni empirik sensual, empirik logic, empirik etik dan empirik transcendental. Menurutnya, pendekatan fenomenologi yang digunakan Imron Arifin ketika meneliti tentang Dabus dalam tarekat Rifa’iyah (1993) dan gerakan misianik darul arqom bangsa Melayu (1995) menunjukkan akurasi yang cemerlang dari pendekatan verstehen bagi penelitian irfaniyah.

Tidak ada komentar: