Istilah paradigma pertamakali
dikemukakan oleh Thomas S Khun dalam The Structure of scientific Revolutions
yang diterbitkan untuk edisi kedua tahun
1970. Kuhn Mendefinisikan paradigma sebagai World view atau
Weltanscauung (pandangan hidup) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam suatu
disiplin tertentu. Robert Friedrichs
dalam bukunya “ Sociology of sociology (1970) mendefinisikan paradigma sebagai suatu gambaran yang
mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin.
Sementara Bogdan dan Bikllen dalam Qualitative Research for education
: An introduction to theory and methods (1982) mengartikan paradigma
sebagai kumpulan lepas dari asumsi, konsep atau proposisi yang
disatukan secara logis yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian.
Dari ketiga pendapat diatas,
kiranya dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah pandangan
dunia (world view) yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki
krangka berfikir (frame), asumsi, teori atau proposisi dan konsep terhadap
suatu permasalahan penelitian yang dikaji.
Beberpa pakar lain menyebutkan
paradigma
adalah pandangan dunia yang dimiliki oleh seorang peneliti terdiri dari konsep,
krangka fikir, asumsi, teori dan proposisi terhadap focus atau permasalahan
penelitian yang dilakukan.
Konsep merupakan rancangan (bahan mentah) bangunan teori yang paling dasar yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami
hal hal lain. Asumsi adalah anggapan dasar yang tidak
memerlukan pengujian, tetapi berfungsi
sebagai dasar pemilihan masalah penelitian. Teori dalam konteks
penelitian diartikan sebagai seperangkat
pernyataan, asas, dan hukum umum yang disusun secara sistimatis (Mantja, 1997 :
6). Sedangkan Proposisi adalah
ide logis atau dalil dalam rancangan penelitian sosial (termasuk Keagamaan)
yang digunakan untuk mencari atau mendapatkan fokus penelitian (Imam Suprayogo,
2001 : 92)
Dalam konteks penelitian,
Menurut Patton (1980 : 203) paradigma adalah metode yang dipakai oleh seorang
peneliti ketika dirinya berupaya untuk sampai kepada suatu realitas hasil
cerapannya ( Perceived reality). A paradigm is a world view, a general perspective, a
way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are
deeply embedded in the in the
sociazation of edherents and practicioners; paradigm tell them what is
important, legitimate.
Dalam penelitian kwalitatif yang bersifat
naturalistik, fungsi paradigma bukan dalam rangka membentuk fakta, melakukan
prediksi dan menunjukkan hubungan dua variable sebagaimana dalam penelitian
kwantitatif, melainkan lebih banyak untuk mengembangkan konsep dan pemahaman
serta kepekaan (sensibelitas) peneliti.
Agama, sebagai fenomina sosial
budaya bersifat multi fased. Karena itu untuk memahami fenomina tersebut dapat
digunakan salah satu atau beberapa paradigma yang umumnya digunakan dalam
penelitian sosial. Ia dapat menggunakan berbagai perspektif, baik makro ataupun
mikro, subjektif maupun subjektif, kwalitatif ataupun kwantitatif atau bisa
juga gabungan dari berbagai perspektif yang ada.
Terdapat beberapa model
paradigma yang lumrah digunakan dalam penelitian sosial, antara lain :
1. Paradigma
positivistik. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma fakta sosial. Dalam
paradigma ini fenomina sosial difahami sebagaimana fenomina alam, cara kerja
ilmu sosial menggunakan metode ilmu alam yang disebut fisika sosial. Dalam
mengkaji fenomina sosial, digunakan pendekatan positivisme August Comte. Yakni fenomina sosial difahami
dari perspektif luar (other perspective) berdasarkan teori – teori yang ada.
Penelitian dengan menggunakan paradigma positivistik ini biasanya bertujuan
untuk menjelaskan (eksplanasi), penjajakan (eksplorasi),
penggambaran (deskripsi) dan Pengujian (verivikasi) tentang
fenomena mengapa suatu peristiwa terjadi, bagaimana frekwensinya (intensitasnya),
proses kejadiannya, hubungan antar variable, rekaman perkembangan, diskripsi,
bentuk dan polanya.
Istilah
“positif” sebagai sebuah paradigma. Lahir dari August Comte, yang
dijuluki “Bapak Positivisme” adalah faham filsafat yang cenderung membatasi
kebenaran pengetahuan kepada hal hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode
Science. Sesuatu dianggap positif (a positive fact) adalah hal yang
mesti dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk
menilainya. Positivisme mengajarkan bahwa hanya fakta atau hal yang dapat
ditinjau dan diuji yang dapat melandasi penghetahuan yang sah. Dalam Filsafat
Sains, positivisme biasanya ditandai dengan system MERK (Materialistis,
empiris, rasional dan kwantitatif).
Dalam
memahami realitas sosial, paradigma positivistik identik dangan perspektif
makro, yaitu : pertama, realita adalah fenomina yang keberadaannya
ditentukan oleh fenomina lain ( Investigasi ilmiyah ), karena itu ditandai oleh
bangunan hubungan sebab akibat. Kedua,
positivisme yakin bahwa realitas sosial dapat diklasifikasi dan keberadaannya
dapat digambarkan dalam sebuah simbol dengan atribut tertentu. Positivisme
yakin bahwa kategori yang dilekati
simbol tersebut dianggap sesuatu yang riil dan dapat digali secara empirik
dengan cara membuat hipotesis dalam bentuk hubungan sebab akibat antar
variabel. Untuk menguji hipotesis yang
telah dirumuskan, variabel - variabel
tersebut dikonsep sedemikian rupa
sehingga dapat diukur, langkahnya adalah membuat definisi nominal, definisi operasional, kemudian melakukan pengukuran
dengan tehnik statistik. Hasilnya ditemukan adanya derajat korelasi yang bisa
dikemas dalam bentuk angka.
2. Paradigma
naturalistik.Disebut juga paradigma definisi sosial, paradigma non positivistik
dan paradigma mikro atau pemberdayaan. Walaupun istilahnya berbeda beda,
keempat istilah tersebut pada umumnya memiliki pengertian yang sama dan
merupakan rumpun paradigma dalam penelitian kwalitatif. Paradigma ini
dikembangkan oleh Max weber dengan mengembangkan sosiologi interpretatif.. Bagi
kelompok ini sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencoba
memberikan pemahaman interpretative mengenai tindakan social, dan dimaksud dengan
tindakan sosial adalah semua prilaku
manusia sejauh individu yang bertindak
itu memberikannya suatu arti yang subjektif (lihat Jonson,1994 :54). Aliran aliran yang tercakup dalam paradigma
ini adalah : fenomenologi, intraksionisme simbolik dan etnometodologi. Fenomina
sosial tidak sama dengan fenomina alam. Karena itu tidak dapat menggunakan
metode metode ilmu alam dalam ilmu sosial. Fenomena sosial harus difahami dari
perspektif dalam (inner perspective) berdasarlan subjek pelaku.
Penelitian dengan paradigma naturalistik bertujuan untuk memahami
(understanding) makna prilaku, simbol simbol dan fenomena fenomena.
Bagi
Paradigma Naturalistik / non positivistic, realitas sosial yang menjadi objek
penelitian tidajk mesti bersifat prilaku prilaku social yang kasat mata
sebagaimana pandangan positivistik, melainkan keseluruhan makna cultural yang
simbolik yang ada dibalik semua gerak tindakan manusia yang kasat mata itu.
Sedangkan sumber dari prilaku sosial tidak berasal dari luar individu sebagai
aktor dan semata mata mengikuti hukum sebab akibat, melainkan bersumber dari
dalam diri subjek (inner perspektif of human bahavior) dan makna
pengalaman individu ( the meaning of an individual’s experience of
the world). Dengan kata lain, realitas (konsep) dalam paradigma makro ditentukan oleh peneliti berdasarkan perspektif teori yang digunakan,
sedangkan dalam paradigma mikro ditentukan sendiri oleh subjek yang diteliti.
Sekurang
kurangnya terdapat tiga prinsip dasar yang dikembangkan oleh aliran non
positivistik dalam membaca fenomena social : Pertama , Individu menyikapi
sesuatu atau apa saja di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi
dirinya. Kedua, makna tersebut diberikan berdasar intraksi social yang dijalin
dengan individu lain. Dan ketiga, makna tersebut difahami dan dimodoivikasi oleh individu melalui
proses interpretative yang berkaitan dengan hal hal lain yang dijumpainya.
Mengenai masalah objektifitas,
paradigma Mikro berpendapat bahwa yang objektif tidak ditentukan oleh peneliti bersdasarkan teori
atau asumsi tertentu yang telah diyakini kebenarannya, karena hal itu justru mengandung bias cultural, yang disebut
objektif adalah realitas sebagaimana
difahami oleh subjek, sehingga bukan
sembarang subjektif melainkan justru
objektif menurut para subjek (objectivied subjectivities), sementara
menurut paradigma makro, yang disebut
objektif adalah The subjectivied objectivies.
Tentang hubungan peneliti dengan
yang diteliti, bagi kaum Strukturalis, peneliti mempelajari masyarakat (To
learn about the people) sehingga masuyarakat uyang diteliti diperlakukan
sebagai objek. Sedangkan bagi kaum non strukturalis, peneliti justru belajar
kepada masyarakat (to learn from the people) dan hubungan peneliti dengan yang
diteliti merupakan hubungan antar subjek.
Tujuan Penelitian dengan
menggunakan paradigma mikro sangat bergantung pada perspektif yang digunakan
serta permasalahan yang diteliti, yang pada umumnya dalam rangka melakukan
deskripsi (penggambaran), pemahaman atau pemaknaan, interpretasi (penafsiran),
pengembangan, eksplorasi (pengungkapan dan penemuan) serta komparasi
(perbandingan).
3. Paradigma
rasionalistik, disebut juga paradigma
verstehen. Ia memandang realitas sosial sebagaimana difahami oleh peneliti
berdasarkan teori teori yang ada dan
didialogkan dengan pemahaman subjek yang diteliti/data empirik. Paradigma
rasionalistik ini bisa juga disebut gabungan dari dua paradigma yang ada atau
paradigma strukturasi menurut Gidden. Paradigma penelitian ini banyak digunakan
antara lain dalam penelitian filsafat, bahasa, agama dan komonikasi. Metode
yang digunakan biasanya verstehen, hermeneutika (filologi), analisis isi
(content analysis)
Metode
penelitian sosial agama dengan menggunakan paradigma Rasionalitistik identik dengan penelitian dengan menggunakan
pendekatan filsafat. Yakni sebuah metode penelitian yang focus pada substansi
pemikiran. Ia lebih menekankan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang
memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah fikir peneliti mengenai suatu
masalah atau topik kajian.
Sebagian
pakar penelitian, seperti : Bakar,
Zubair dan Krippendorff, menyamakan metode penelitian filsafat dengan metode
hermeneutika atau filologi dan content analysis. Menurut mereka, sebuah
penelitian dikatakan menggunakan meteode flsafat apabila mampu menerapkan salah
satu atau beberapa analisis, seperti : interpreatasi, pola fikir induksi
deduksi, koherensi intern, holistika kesinambungan histories, idealidsasi,
komparasi, heuristika, bahasa inklusia dan analogal dan deskripsi (1992 : 41).
4. Paradigma Teologis
Sejak pertengahan
abad dua puluh berbagai paradigma sebagaimana diurai diatas, mulai banyak
dipertanyakan, bahkan mulai dikritik, karena dianggap belum memuaskan para
ilmuwan sosial, lebih lebih bagi mereka yang meyakini wahyu sebagai suatu
kebenaran. Bagi mereka , realitas social bukan hanya terdiri dari realitas emperik, realitas logis, dan realitas etis,
tetapi Wahyu juga merupakan sebuah realitas, yakni realitas normatif. Realitas universal bagui mereka terdiri dari
fenomina (ayat, tanda, symbol) yang tercipta (ayat ayat kauniyah) seperti
fenomena alam dan fenomena social, juga fenomena ayat yang terucap yaitu wahyu
(ayat qauliyah).
Menurut mereka
paradigma yang ada ternyata belum sepenuhnya representatif mengakomodir
persoalan – persoalan penelitian agama atau keagamaan. Karena itu Perlu
paradigma khusus ( tersendiri) bagi
penelitian agama dan keagamaan. Mereka menawarkan perspektif ontologi,
epistimologi dan aksiologi yang bereferensi dari nilai nilai dan kaidah kaidah
agama yang secara empirik ada dalam wahyu sebagai paradigma tersendiri. Artinya
bahwa Wahyu Tuhan adalah benar benar realitas yang diyakini dapat ditempatkan
sebagai referensi dalam membaca fenomena fenomena sosial keagamaan yang nampak
pada saat ini.
Untuk rincinya dapat dilihat
pada tabel berikut :
Paradigma
|
Pendekatan Ilmiyah
|
Teori/metodologi
|
Digunakan untuk
|
Positivistik/
Strukturalis/
Fakta sosial
|
Sosiologi
Struktural/Konflik
Sejarah/Psikologi
|
Teori,
Struktural,Konflik,
Bahaviorisme,
Kolektivisme, organisme,
Metode :
survey,Study kasus,
Operation research
|
Memahami individu,kelompok,hubungan
antara variable, rekaman perkembangan, deskripsi, dll
|
Naturalisme/
Fenomenologi/
Etnometodologi
|
Sosiologi
(interpretative)
Antropologi
Sejarah Sosial
Filologi
Psikologi
|
Teori:
Fenomenologi,
Interasionalisme
simbolik, Everiday live,
Metode :
Survey,Studi kasus,
Grounded research.
|
Memahami
makna, prilaku, budaya, fenomina, intraksi, symbol symbol,
karakteristik, keunikan, fenomina social, teori baru
|
Rasionalistik
(verstehen)
|
Sosiologi(kognitif)
Antropologi
Filsafat,teologi,
Filologi
|
Content analyis
Hermeneutika,
Verstehen
|
Memahami
idealisasi,
mengkritisi, komparasi antar teks, naskah, simbol, budaya, dsb
|
Wahyu/Teologis
|
Ilmu ilmu agama
(tafsir,Hadits,Fiqih,
Tasawuf,Ilmu kalam,
Sejarah)
|
Metode tafsir
Content analysis,
Hermeneutika,
Verstehen
|
Pemahaman, idealisasi, komparasi antara teks, naskah, dsb
|
Namun
beberapa pakar penelitian Agama yang lain mengatakan bahwa Agama dalam
pengertiannya yang universal, dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma, tetapi tentu saja, realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai
nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu
penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil
kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat
dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya Menurut jalaluddin Rahmat (1989
: 84) : Apakah kawin Mut’ah dapat dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab
oleh paradigma logical. Apakah fungsi ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya
dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah. Bagaimana kondisi batin seseorang ketika
dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya bisa dijawab oleh paradigma mistikal.
Guba
dan Lincoln (1983 : 53 – 55) menunjukkan tujuh paradigma penelitian, yang
setiap paradigma itu mempunyai tehnik utama sendiri sendiri serta menghasilkan
jenis kebenaran sendiri sendiri pula :
Paradigma
|
Tehnik utama
|
Jenis Kebenaran
|
Contoh
|
Logis
|
Analisis
|
Demonstrable
|
Matematika,
filsafat
|
Positivistik
|
Eksprimen
|
Confirmable
|
Fisika, biologi
|
Naturalistik
|
Study lapangan
|
Inclutable
|
Etnografi,
antropologi
|
Judgemental
|
Pengindraan
|
Recognizable
|
Musik.Seni rupa,
arsitektur
|
Adversarial
|
Eksaminasi silang
Trianggulasi
|
Energent
|
Hukum, Jurnalistik
|
Modus operandi
|
Uji sekuenes
|
Trackable
|
Diagnosis medis,
Metodologi forensik
|
Demographic
|
Indikator
|
Macroscopically
determinable
|
Demografi,ekonomi,
geografi
|
Ketujuh paradigma yang ditawarkan Guba dan Lincoln
diatas tampak belum menyinggung secara mendalam tentang penelitian
agama dan penelitian keagamaan,
sebab tujuh paradigma tersebut jika
diringkas hanya terbagi dalam dua paradigma besar, yakni paradigma aqliyah untuk paradigma logis dan paradigma
ilmiyah untuk paradigma sisanya. Rahmat memberikan bandingan, bahwa untuk
penelitian agama minimal harus mencakup tiga paradigma besar, yakni :
Paradigma ilmiyah (empirikal), paradigma
aqliyah (logikal) dan paradigma
irfaniyah (mistikal).
Paradigma ilmiyah dan aqliyah,
menurut Rahmat, dalam perakteknya bisa menggunakan metode positifistk, naturalistik dan Rasionalistik,
sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui
Takhliyah, tahliyah dan Tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam penelitian Nash,
paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah alqur’an lebih
menitik beratkan pada aspek social atau aspek teologis ? b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada
sekarang masih otentik atau tidak ?.
Sedangkan paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a)
bagaimana pola penafsiran al Ghazali tentang manusia ? b). apakah terdapat konsistensi logis dalam
beberapa teks hadits tentang sifat sifat Allah ? Sementara Paradigma Irfaniyah dapat digunakan
untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek esoteris dari makna
ayat ayat Alqur’an atau al Hadits ?
Uraian Rahmat untuk lebih jelasnya digambarkan dalam
table berikut :
Bidang kajian
: : Dimensi
Keagamaan
Paradigma
|
Ajaran
|
Ideologis
|
intelektual
|
eksperensial
|
ritualistik
|
Konsekuensial
|
Ilmiyah
Aqliyah
Irfaniyah
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
Bagi Simuh, sebagaimana dikuti
Amin Abdullah (1992 : 63) apa yang ditawarkan Rahmat mengenai paradigma
irfaniyah, sesungguhnya tidak harus
didekati dengan metode tasawuf saja, tetapi juga bisa menggunakan
pendekatan verstehen atau fenomenologi. Sebab dengan fenomenologi dapat mengungkap empat
kebenaran empiris agama, yakni empirik sensual, empirik logic, empirik etik dan
empirik transcendental. Menurutnya, pendekatan fenomenologi yang digunakan
Imron Arifin ketika meneliti tentang Dabus dalam tarekat Rifa’iyah (1993) dan
gerakan misianik darul arqom bangsa Melayu (1995) menunjukkan akurasi yang
cemerlang dari pendekatan verstehen bagi penelitian irfaniyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar