Selasa, 07 Mei 2013

KONTRIBUSI ASWAJA DALAM KANCAH PEMIKIRAN ISLAM



Ust.Hefni Zain

Pengertian & LB  lahirnya Aswaja

Secara sederhana, Ahlus sunnah wal jama’ah dapat dirumuskan sebagai “Ma ana alaihi wa ashabi”, yaitu sebuah metode berfikir, paradigma dan pola laku yang berpegang teguh pada ajaran Islam sebagaimana  dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.  Rumusan ini  merujuk pada  hadits Nabi saw, antara lain :
ستفترق  ا متي  على ثلا ث  و سبعــين  فرقة  كلهم  فى النا ر  ا لا و ا حد ة
قيل   من هي  يا رســـــــــو ل الله    قال ما ا نا علــــــــــــــــيه و ا صحا بى   (رواه ترمو ذي) 
Akan  berselisih umatku sebanyak  73  golongan, Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. sahabat bertanya, siapa golongan  yang satu  itu  ya Rasulullah ?  Beliau menjawab : Orang orang yang berpegang teguh pada ajaranku dan para sahabatku  (HR. Turmudzi).

Hadits diatas menunjukkan bahwa  sebagai   nilai,   sesungguhnya Aswaja sudah ada sejak Nabi saw masih hidup. Tetapi  sebagai  lembaga dan gerakan, ia baru muncul pada abad ke 3 hijriyah  sebagai reaksi -lebih tepatnya- sebagai gerakan rekonsiliatif dan kompromistis atas  pelbagai konflik politis, ideologis dan teologis antar kelompok Islam yang saat itu benturannya sangat tajam antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Seperti diketahui, pasca wafatnya Rasululloh saw, sebagian kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam tiga kelompok politis yakni Khawarij, Syi’ah, dan Muawiyyin. Konfrontasi politis tiga kelopok besar  ini terus memanas hingga  merembet pada soal teologis, dan jauh setelah itu muncul lagi berbagai kelompok kalam yang satu sama lain berbeda pandangan dalam banyak hal, terutama menyangkut soal-soal ketuhanan dengan segala bentuknya, mereka adalah : Murji’ah, Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Jahamiyah, Najariyah dan Musabbihah.
 Dengan adanya perbedaan pandangan yang sulit ketemu diantara mereka tentu berpengaruh besar terhadap pemahaman keagamaan sebagian kaum muslimin, apalagi   untuk mempertahankan persepsinya masing-masing, ada yang mulai berani melakukan penyimpangan dengan cara membuat hadits palsu, hal tersebut membuat umat kebingunan dalam mengamalkan agamanya. Ditambah lagi dengan pelbagai penyimpangan yang cukup serius akibat akses filsafat dan budaya diluar islam. Inilah yang oleh ahli sejarah disebut “al fitnatul qubra” (prahara besar).  Melihat realitas ini Abul Hasan Asy’ari  dan Abu Mansur Maturidy memandang perlu mempopulerkan kembali gerakan Asawaja untuk menyerukan agar kaum muslimin kembali kepada keutuhan persatuan (inna hadzihi ummatukum ummatan wahidah).
 

Prinsip dasar Aswaja

Sebagai gerakan yang ingin netral dari berbagai bentuk pemihakan, maka ajaran aswaja adalah ajaran pemersatu, perdamaian dan kompromi. Ia tampil dengan prinsip jalan tengah (ummatan wasatan) agar  dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang beragam. Karena itu prinsip yang dikembangkan seluruhnya mengacu pada orientasi dimaksud, Seperti : Tawasuth (jalan tengah /netral), Tawazun (keseimbngan dan harmonisasi), Tatsamuh (toleran terhadap perbedaan), I’tidal (adil, tegak lurus dan tidak ekstrim), iqtisod (sederhana dan tidak berlebihan) dan amr am’ruf nahi mungkar (konsisten dalam menegakkan yang haq dan mencegah yang bathil).
Dengan prinsip  prinsip tersebut, dapat dilihat bahwa aswaja merupakan sentesa dari berbagai faham islam yang ada. Ia berdiri diantara  gerakan islam simbolis dan substansialis, antara gerakan islam normatif tekstualis dan rasional kontekstualis, antara gerakan islam leberalis dan fundamentalis. Begitu seterusnya. Aswaja mengembangkan metode moderat  dan konvergensi yang berusaha  memahami berbagai kontrdiksi ekstrimis secara berimbang. Sehingga dalam banyak hal kita lihat manefestasinya sebagai berikut :
1.    Dalam hal aqidah,  Akal dan Naqal  diterapkan secara seimbang, karena keduanya dianggap sama sama urgen dalam aqidah islam.
2.    Dalam bidang Syari’ah, kaum sunni berlaku seimbang antara kepentingan dunuiawi dan kepentingan ukhrawi, seimbang antara ketaqwaan individu spiritual dan ketaqwaan sosial intelektual, seimbang antara proses pencerahan rasional  dengan proses pembeningan emosional.
3.    Dalam Bidang akhlaq, kaum sunni selalu berposisi diantara dua ujung tathorruf, mereka tidak takabbur (Over self Confidence) dan tidak Tadzallul (terlalu rendah diri), tidak tathawwur (berani yang sembrono) dan tidak pula al jubn (penakut). Intinya mereka selalu berusaha netral dipersimpangan ekstrimitas.

Dengan prinsip Tawasuth, Tawazun, Tatsamuh. Iqtisod, I’tidal dan amar ma’ruf nahi munkar, sesungguhnya dapat dimaknai bahwa Aswaja secara sistematis telah mengembangkan dengan sungguh-sungguh sebuah cara beragama  yang “al hanifiyyah al samhah” yaitu cara beragama yang lapang dan terbuka. Artinya dangan berbagai prinsip diatas, Aswaja telah menegaskan diri  sebagai manhaj fikr yang inklusif dan toleran terhadap yang lain.
Bagi sunni kemajemukan adalah sunnatulloh. Karena itu perbedaan pendapat tidak perlu menimbulkan kegusaran, justru harus dijadikan motivasi untuk fastabiqul khoirat, karena Tuhanlah yang akan menjelaskan kenapa manusia berbeda. Dalam Al-Qur'an ditegaskan :
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.

Yang diperlukan dalam kerangka ini adalah  kalimah sawa’ (pencarian titik temu) dan ini berarti harus memulai mengembangkan budaya kritis dan budaya dialog, guna memperoleh wawasan baru untuk bersama sama meningkatkan kemampuannya dalam menjawab persoalan persoalan kemanusiaan.

Aswaja sebagai Manhaj al fikr

Pada awalnya semua firqoh dalam islam adalah manhaj bukan manzhab, lalu campur tangan penguasa politiklah (baca : pemerintah) yang merubah  orientasi manhaj al fikr menjadi manzhab yang terlembaga. Dengan kata lain dukungan politik pemerintah mempunyai kontribusi signifikan terhadap pelembagaan pemikiran firqoh dalam islam.
Sebagai contoh, adalah Yazid bin walid (bani umayyah) 125-126 H, al Makmun, Harun al Rasyid (bani Abbasiyah) 198-218 H, al Mu’tasim (bani Abbasiyah) 218-227 H  dan al Watsiq (bani Abbasiyah) 227 – 232 H   adalah penguasa-penguasa yang monsosialisasi dan bahkan mewajibkan faham Mu’tazilah sebagai faham resmi negara. Semua yang menolak faham Mu’tazilah pada saat itu dianggap telah melakukan subversi dan makar, sehingga ditangkapi, dipenjarakan bahkan ada yang dibunuh.
Lalu setelah al Mutawakkil berkuasa (bani Abbasiyah) 232-486 H, ajaran mu’tazilah dilikuidasi sebagai faham resmi negara dan digantikan oleh faham aswaja.Demikian juga ketika bani Fatimiyah berkuasa, faham Syi’ah yang dijadikan faham resmi negara, baru setelah Salahuddin al Ayyubi berkuasa faham syi’ah dugusur dan digantikan dengan faham aswaja.
Meski logika penggantian itu, karena aswaja dinilai sebagai ajaran iqtisody yang memberikan peluang untuk berbeda dalam ideologi, tetapi jelas bahwa faktor campur tangan penguasa telah memberikan andil besar bagi bergesernya Aswaja dari manhaj al fikr menjadi manzhab yang establish. 

Khotimah    

Kaum Sunni yang sejak awal telah bertekad untuk berpegang teguh pada ajaran islam sebagaimana diajarkan Nabi saw dan sahabatnya, hingga kini tetap konsisten dengan prinsip prinsip dasarnya, apapun resikonya. Karena itu kesunnian seseorang tentu saja bukan diukur oleh fasihnya ia mengucapkan Wallohul muwafiq ila aqwamitthoriq, melainkan lebih diukur oleh sejauhmana konsistensinya berpegang pada prinsip dasarnya tersebut.

Tidak ada komentar: