Minggu, 05 Mei 2013

Peranan Ulama dalam perspektif hostoris




Ust. Hefni Zain

Kata kyai atau ulama saat ini tidak lagi menjadi terma kitab kuning saja, tetapi sudah membumi dan mejadi bahasa masyarakat, bahasa koran dan bahasa majalah yang sudah sering diucapkan orang dalam segala lapisan. Namun arti yang sebenarnya,belum banyak diketahui secara pasti. Sehingga muncul pengetian – pengertian yang beragam menurut sudut mana dia memandang fungsi, peran dan pentingnya ulama dihadapan mereka. Satu fihak mengagap bahwa seseorang berhak dikategorikan ulama bilamana ia mampu mamahami ilmu agama yang indikasinya bisa membaca kitab kuning, ahli ibadah, berwibawa, punya pengaruh luas dimasyarakat, berkhlaq mulia, khusyu’, tawadhu, zuhud, konsisten dan tentu saja harus punya santri dan pesantren. Sementara pihak lain berpandangan bahwa ulama itu adalah seseorang yang ahli dalam belbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, sebab dalam Islam sebetulnya tidak dikenal  dikotomi ilmu pengetahuan.
Secara etimologi kata ulama berasal dari kata kerja  alima  yang berarti mengetahui, ulama adalah bentuk jamak dari alim yang berarti orang yang berilmu,  akan tetepi dalam konteks sosiologi yang khas ternyata tidak semua ahli pengetahuan dapat disebut ulama.  Hasanuddin menyebutkan kreteria dasar yang mutlak harus di miliki oleh seorang ulama adalah pertama, memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan agama. Kedua, paling taqwa kepada Allah diantara hamba-hamba yang lain, hal ini mengacu pada firman Allah surat fathir ayat 28.  Terjemahan “takut”untuk kata khasyia dalam ayat tersebut menurut para mufasir adalah orang yang takut kepada Allah selama hidup di dunia, baik ketika sendiri maupun di muka umum. Ia memegang teguh taqwanya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannNya. Ketiga, seorang ulama harus mewarisi kepribadian Nabi, yang meliputi ucapan, perbuatan, mental dan muralnya, sehingga dirinya betul-betul menjadi uswatun hasanah bagi model Abdullah yang patuh dan kholifatullah  yang sukses. Keempat, seseorang di sebut ulama  biasanya karma kemanfaatannya terhadap lingkungan masyarakat sekitar, sehingga mendapat pengakuan kolektif yang jujur dari masyarakatnya. Tidak sedikit orang yang ilmunya luar biasa dan moralnya baik, tetapi tidak mendapatkkan pengakuan dari masyarakat sebagai ulama, hal ini dikarenakan jasa kemanfaatannya dalam kehidupan masyarakat belum di rasakan secara nyata.
Dalam budaya kita istilah kyai, pengeran, tengkum atau buya sering digunakan untuk memaknai ulama. Padahal menurut Zamakhsyari Dhofir, istilah kyai pada mulanya dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yakni, pertama sebagai gelar kehormatan bagi barang – barang yang dianggap keramat, misalnya kyai garuda kencana untuk menyebut kereta kenana keratin Yogya, kedua gelar kehormatan untuk orang – orang tua pada umumnya, dan ketiga adalah gelar yang diberikan masyarakat untuk menyebut seorang ahli agama Islam yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab kitab klasikl. Kyiai dlam arti yang terakhir in yang kemudian dijadikan sejarah oleh sebagai took yang memerankan tugas ulama, dimana dia dianggap sebagai orang yang paling tahu tentang agama, kemudian diberikan padanya otoitas untuk berdakwah dan mengajarkan agma pada masyarakat serta memberikan jawaban atas persoatalan – persoalan uamat. Disinilah kemudian menurut Zamakhsyari system feudal melenmbagakan kyai sebagai seorang yang harus diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat yang awam tentang agama.
Dalam lintas sejarah memang tidak dapat dipungkiri bahwa ulama memainkan pernanan yang sangat besar dalam peletaan dasar – dasar bgagi pembentukan system nilai, perilaku masyarakat dan peradaban umat manusia. Kalau kita lihat sejarah, nampak bahwa pada awalnya ulama tidak saja berperan sebagai pusat rujukan dan panutuan masyarakat dalam persoalan agama, melaikan persoalan duniapun terkadang dimintakan petunjuknya kepada ulama, misalnya mengobati berbagai penyakit, persoalan persoalan rumah tangga dan sosial, benrcana alam, ilmu kekebalan atau bahwak mengatasi gantuan hantu atau campir.
Walhasil bahwa tempo dulu sejarah mencatat ulama merupakan pimpinan cultural yang pengaruhnya dimasyarakat melebihi pimpinan structural seperti raja misalnya. Bahkan pada zaman pasca Majapahit, ulama bukan saja mendampingi raja tetepi justeru memiliki kedudukan yang lebih tinggi yakni sebagai pewisuda (legitimitator) para raja.
Di Jawa, peranan para wali sangatlah besar. Selain merintis berdirinya lembaga pendidikan Islam yang kemudian dikenal dengan nama pesantren juga menjadikan lembaga tersebut berfungsi sebagai semacam balai kependetaan. Para sultan berkonsultasi mengenai urusan politik dan ketatanegaraan. Saat itu para wali bukan sekedar pemimpin bukan pengayoman kaum muslimin, tetapi sekaligus juga memegang kunci pemerintahan yang cukup strategis. hal ini bukan semata terlihat dari peran mereka dalam ikut menata pemerintahan kesultanan,t etapi juga sebagaimana ditulis sejarah barat yang memukakan : “kalaulah sultan demak itu penobatannya tidak langsung dilakukan di Gersik, maka paling kurang sunan Girilah yang memberikan legalitas keabsahan dalam prosesi jumenengnya di Istana Demak “.
Akan tetapi, kira – kira satu abad kemudian, kecemerlangan para wali mulai digoyahkan malah kemudian di koyaskkan oleh penjajah dengan strartegi”divide et empera”yang kemudian melahirkan sifat nekat kaum muslim yang di pimpin ulamak untuk mernjasdi pihak yang beroposisi.
Sebagai konsekuensi logisnya,ulamak mulai meninggalkan pusatkekuasaan dan kekuatan di masyarakat kota untuk uzlah kepolosok desa terpencil.satu segi sikap tersebut layakdi sebut sebagai menegakkan munculnya kepribadian umat yang teguh,mandiri  dan tidak membio terhadap kaum kolonialis.tetapi di sisi lain membuat umat Islam terplanting tampuk kekuasaan dan kekuatan  sehingga nyaris menimbulkan marginsalisasi peran-peran kehidupan sosial di masa-masa selanjutnya.bahkan Nurcholis Madjid menyebutkan,seandainya Negeri ini tidak mengalami penjajahan,tentunya pertumbuhan sestetm pendidikan akan mengekuti jalur-jalur yang di tempuh pesantren.sehingga perguruan tinggi tidak berupa UI,UGM,ITB dll,mungkin akan berbentuk seperti Univ.krapyak dll.
Pada awalnya peran kyai sebagai ulama masyarakat jawa khususnya bertolak dari sebuah realitas bahwa ulama menduduki posnya tidak hanya karena faktor keturunan dan ekonomi. Tetapi juga karana ketekunannya mengakaji literature – literature Islam klasik diberbagai pesantren. Secara geneologis keilmuan, ulama – ulama menurut Zamakhsyari Dhofir berpegang teguh kepada tradisi keagamaan yang teleh diletakkan oleh imam – ikmam madzhab. Pemikiran dan pemahaman imam – imam tersebut telah mengalami poses sakralisasi sedemikan rupa, sehingga fikiran imam – imam itu tidak hanya sebagai bahan refrensi dalam memahami al qur’an dan al Hadits. Dalam menjawab persoalan keumatan, malainkan telah menjadi bagaian dari agama yang tak tepisahkan. Wujud dari sakralisasi ini adalah ditempatkannya hasil – hasil ijtihad para imam imamam mazhab (ijma’/dalam hirarki sumber hukum Islam setelah Hadits).
Sekralitas ini dipegang secara ketat segingga dalam menghadapi beberapa persoalan mereka belumberani mengeluarkan pendapat sendiri sebelumterb ukti secara jelas apakah telah ada kesepakatan dari ulama’ terdahulu. Dalam lapangan politik seperti dicatat Kuntowijoyo Ulama talah memainkan peranan politik dalam mempertahankan komunitansnya dari gangguan – gangguan kekuasaaan. Sehingga ualam dapat menjadi netralisator kerusuhan dan protes terhadap kekuasaan yang dianggap zalim, serta dapat pula sebagai legimotator bagi kebijakan kekuasaan yang dianggap sesuai dengan Islam.

Sebagai sosok ang mewarisi risalah para nabi, ulama adalah orang yang terus berusaha mencari tahu dan mencari jawaban atas persoalan keumatan. Sehingga tidaklah tapat mengartikan ulama hanya sebagai tokoh agama yang dianggap lebih faham pada dotrin – doktrin atau hukum – hukum yang digariskan tuham. Tugas ulama tidak sekedar bercaramah, mengeluarkan fatwa atau kutukan. Lebih dari itu adalah memberdaakan masyarakat, mengembalikannya pada hakikat manusia dan memperjuangkan aspirasi – aspirasinya. Untuk itu semua ulama perlu mempunyai visi dan orientasi perjuangan yang jelas sehingga tidak tergoyahkan oleh kepentingan – kepentingan dan tak terkaburkan oleh strategi – strategi yang digunakan.
Peranan ulama yang demikian signifikan sudah seharusnya difahami oleh semua kalangan sehingga ulama dapat memposisikan dirinya dengan akurat ditengah tengah masyarakat, tanpa pengaruh intimidasi pihak – pihak lain. Hal ini menuntut perubahan persepsi masyarakat dan pemerintah terhadap ulama yang selama ini hanya ditempatkan sebagai sub ordinat kesuksesan pembangunan dibidang agama dan penyejuk masyarakat ketika terjadi ketegangan dan kesenjangan. Pemerintah harus menjadikan ulama sebagai mitra yang sejajar dalam rangka pembinaan kerakyatan. Bukan hanya dimanfaatkan ketika akan pemilu atau ketika bangsa ini mengalami musibah nasional. Pemerintah secara radika juga harus merubah pandangan terhadap ulama selama ini dengan mendorong terwujudnya system yang demokratis, yaitu memberi peluang kepada masyarakat untuk menentukan masadepannya sendiri tanpa intervensi dan tekanan – tekanan baik yang berwujud penteragaman pola dan arah pembangunan, sehingga semua proses pemberdayaan umat dapat dilakukan bersama – sama secaa bebas dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, maka sudah saatnya bangsa kita memberikan tempat ;yang psoporsinal pada ulama, terutama dalam melanjutkan proses pembangaunan nasional yang intinya adalah melahirkan manusia ondonesia yang berkualitas, bertakwa, berakhlaq mulia, sehat lahir batin, dsb. Sehingga kebijakan – kebijakan pemerintah yang berkaitan lengsung dengan pemberdayaan masyarakat peling tidak berbau nilai nilai ulama, bukan bernuansa ulama – ulama bau.
Nilai – nilai yang dimaksud adalah pengejawantahan dari risalah nabi yang dalam tataran implementasinya jharus mengacu kepada empat indikasi, yaitu Shiddiq (jujur dan benar), amanah  (dapat dipercaya), tabligh (melakukan komunikasi dan menyampaikan pesan – pesan agama kepada manusia), dan fatonah (cerdas, cendekia dan bijaksana dalam menghadapi persoalan dan situasi yang dihadapi). Jika mekanisme ini dipraktekkan dalam kehidupan bernangsa dan bernegarainsya Allah kita tidak perlu menghadapi berbagai persoalan nasional.


Tidak ada komentar: