Ust. Hefni Zain
Kata kyai atau ulama saat ini tidak lagi menjadi terma kitab
kuning saja, tetapi sudah membumi dan mejadi bahasa masyarakat, bahasa koran
dan bahasa majalah yang sudah sering diucapkan orang dalam segala lapisan.
Namun arti yang sebenarnya,belum banyak diketahui secara pasti. Sehingga muncul
pengetian – pengertian yang beragam menurut sudut mana dia memandang fungsi,
peran dan pentingnya ulama dihadapan mereka. Satu fihak mengagap bahwa
seseorang berhak dikategorikan ulama bilamana ia mampu mamahami ilmu agama yang
indikasinya bisa membaca kitab kuning, ahli ibadah, berwibawa, punya pengaruh
luas dimasyarakat, berkhlaq mulia, khusyu’, tawadhu, zuhud, konsisten dan tentu
saja harus punya santri dan pesantren. Sementara pihak lain berpandangan bahwa
ulama itu adalah seseorang yang ahli dalam belbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu
pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, sebab dalam Islam sebetulnya
tidak dikenal dikotomi ilmu pengetahuan.
Secara etimologi kata ulama berasal dari
kata kerja alima yang berarti mengetahui, ulama adalah
bentuk jamak dari alim yang berarti orang yang berilmu, akan tetepi dalam konteks sosiologi yang khas
ternyata tidak semua ahli pengetahuan dapat disebut ulama. Hasanuddin menyebutkan kreteria dasar yang
mutlak harus di miliki oleh seorang ulama adalah pertama, memiliki
kedalaman dan keluasan pengetahuan agama. Kedua, paling taqwa kepada
Allah diantara hamba-hamba yang lain, hal ini mengacu pada firman Allah surat
fathir ayat 28. Terjemahan “takut”untuk
kata khasyia dalam ayat tersebut menurut para mufasir adalah orang yang
takut kepada Allah selama hidup di dunia, baik ketika sendiri maupun di muka
umum. Ia memegang teguh taqwanya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
segala larangannNya. Ketiga, seorang ulama harus mewarisi kepribadian
Nabi, yang meliputi ucapan, perbuatan, mental dan muralnya, sehingga dirinya betul-betul
menjadi uswatun hasanah bagi model Abdullah yang patuh dan kholifatullah yang sukses. Keempat, seseorang di sebut
ulama biasanya karma kemanfaatannya
terhadap lingkungan masyarakat sekitar, sehingga mendapat pengakuan kolektif
yang jujur dari masyarakatnya. Tidak sedikit orang yang ilmunya luar biasa dan
moralnya baik, tetapi tidak mendapatkkan pengakuan dari masyarakat sebagai
ulama, hal ini dikarenakan jasa kemanfaatannya dalam kehidupan masyarakat belum
di rasakan secara nyata.
Dalam budaya kita istilah kyai, pengeran, tengkum atau buya
sering digunakan untuk memaknai ulama. Padahal menurut Zamakhsyari Dhofir,
istilah kyai pada mulanya dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar
yakni, pertama sebagai gelar kehormatan bagi barang – barang yang dianggap
keramat, misalnya kyai garuda kencana untuk menyebut kereta kenana keratin
Yogya, kedua gelar kehormatan untuk orang – orang tua pada umumnya, dan ketiga
adalah gelar yang diberikan masyarakat untuk menyebut seorang ahli agama Islam
yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab kitab klasikl. Kyiai dlam
arti yang terakhir in yang kemudian dijadikan sejarah oleh sebagai took yang
memerankan tugas ulama, dimana dia dianggap sebagai orang yang paling tahu
tentang agama, kemudian diberikan padanya otoitas untuk berdakwah dan
mengajarkan agma pada masyarakat serta memberikan jawaban atas persoatalan –
persoalan uamat. Disinilah kemudian menurut Zamakhsyari system feudal
melenmbagakan kyai sebagai seorang yang harus diikuti dan dipatuhi oleh
masyarakat yang awam tentang agama.
Dalam lintas sejarah memang tidak dapat dipungkiri bahwa ulama memainkan pernanan yang
sangat besar dalam peletaan dasar – dasar bgagi pembentukan system nilai,
perilaku masyarakat dan peradaban umat manusia. Kalau kita lihat sejarah,
nampak bahwa pada awalnya ulama tidak saja berperan sebagai pusat rujukan dan
panutuan masyarakat dalam persoalan agama, melaikan persoalan duniapun terkadang
dimintakan petunjuknya kepada ulama, misalnya mengobati berbagai penyakit,
persoalan persoalan rumah tangga dan sosial, benrcana alam, ilmu kekebalan atau
bahwak mengatasi gantuan hantu atau campir.
Walhasil bahwa tempo dulu sejarah mencatat ulama merupakan
pimpinan cultural yang pengaruhnya dimasyarakat melebihi pimpinan structural
seperti raja misalnya. Bahkan pada zaman pasca Majapahit, ulama bukan saja
mendampingi raja tetepi justeru memiliki kedudukan yang lebih tinggi yakni
sebagai pewisuda (legitimitator) para raja.
Di Jawa, peranan para wali sangatlah besar. Selain merintis
berdirinya lembaga pendidikan Islam yang kemudian dikenal dengan nama pesantren
juga menjadikan lembaga tersebut berfungsi sebagai semacam balai kependetaan.
Para sultan berkonsultasi mengenai urusan politik dan ketatanegaraan. Saat itu para
wali bukan sekedar pemimpin bukan pengayoman kaum muslimin, tetapi sekaligus
juga memegang kunci pemerintahan yang cukup strategis. hal ini bukan semata
terlihat dari peran mereka dalam ikut menata pemerintahan kesultanan,t etapi
juga sebagaimana ditulis sejarah barat yang memukakan : “kalaulah sultan demak
itu penobatannya tidak langsung dilakukan di Gersik, maka paling kurang sunan
Girilah yang memberikan legalitas keabsahan dalam prosesi jumenengnya di Istana
Demak “.
Akan tetapi, kira – kira satu abad kemudian, kecemerlangan para
wali mulai digoyahkan malah kemudian di koyaskkan oleh penjajah dengan
strartegi”divide et empera”yang kemudian melahirkan sifat nekat kaum
muslim yang di pimpin ulamak untuk mernjasdi pihak yang beroposisi.
Sebagai konsekuensi logisnya,ulamak mulai meninggalkan
pusatkekuasaan dan kekuatan di masyarakat kota untuk uzlah kepolosok desa
terpencil.satu segi sikap tersebut layakdi sebut sebagai menegakkan munculnya
kepribadian umat yang teguh,mandiri dan
tidak membio terhadap kaum kolonialis.tetapi di sisi lain membuat umat Islam
terplanting tampuk kekuasaan dan kekuatan
sehingga nyaris menimbulkan marginsalisasi peran-peran kehidupan sosial
di masa-masa selanjutnya.bahkan Nurcholis Madjid menyebutkan,seandainya Negeri
ini tidak mengalami penjajahan,tentunya pertumbuhan sestetm pendidikan akan
mengekuti jalur-jalur yang di tempuh pesantren.sehingga perguruan tinggi tidak
berupa UI,UGM,ITB dll,mungkin akan berbentuk seperti Univ.krapyak dll.
Pada awalnya peran kyai sebagai ulama masyarakat jawa khususnya
bertolak dari sebuah realitas bahwa ulama menduduki posnya tidak hanya karena
faktor keturunan dan ekonomi. Tetapi juga karana
ketekunannya mengakaji literature – literature Islam klasik diberbagai
pesantren. Secara geneologis keilmuan, ulama – ulama menurut Zamakhsyari Dhofir
berpegang teguh kepada tradisi keagamaan yang teleh diletakkan oleh imam –
ikmam madzhab. Pemikiran dan pemahaman imam – imam tersebut telah mengalami
poses sakralisasi sedemikan rupa, sehingga fikiran imam – imam itu tidak hanya
sebagai bahan refrensi dalam memahami al qur’an dan al Hadits. Dalam menjawab
persoalan keumatan, malainkan telah menjadi bagaian dari agama yang tak
tepisahkan. Wujud dari sakralisasi ini adalah ditempatkannya hasil – hasil
ijtihad para imam imamam mazhab (ijma’/dalam hirarki sumber hukum Islam setelah
Hadits).
Sekralitas ini dipegang secara ketat segingga dalam
menghadapi beberapa persoalan mereka belumberani mengeluarkan pendapat sendiri
sebelumterb ukti secara jelas apakah telah ada kesepakatan dari ulama’
terdahulu. Dalam lapangan politik seperti dicatat
Kuntowijoyo Ulama talah memainkan peranan politik dalam mempertahankan
komunitansnya dari gangguan – gangguan kekuasaaan. Sehingga ualam dapat menjadi
netralisator kerusuhan dan protes terhadap kekuasaan yang dianggap zalim, serta
dapat pula sebagai legimotator bagi kebijakan kekuasaan yang dianggap sesuai
dengan Islam.
Sebagai sosok ang mewarisi risalah para nabi, ulama
adalah orang yang terus berusaha mencari tahu dan mencari jawaban atas
persoalan keumatan. Sehingga tidaklah tapat mengartikan ulama hanya sebagai
tokoh agama yang dianggap lebih faham pada dotrin – doktrin atau hukum – hukum
yang digariskan tuham. Tugas ulama tidak sekedar bercaramah, mengeluarkan fatwa
atau kutukan. Lebih dari itu adalah memberdaakan masyarakat, mengembalikannya
pada hakikat manusia dan memperjuangkan aspirasi – aspirasinya. Untuk itu semua
ulama perlu mempunyai visi dan orientasi perjuangan yang jelas sehingga tidak
tergoyahkan oleh kepentingan – kepentingan dan tak terkaburkan oleh strategi –
strategi yang digunakan.
Peranan ulama yang demikian signifikan sudah seharusnya
difahami oleh semua kalangan sehingga ulama dapat memposisikan dirinya dengan
akurat ditengah tengah masyarakat, tanpa pengaruh intimidasi pihak – pihak
lain. Hal ini menuntut perubahan persepsi masyarakat dan pemerintah terhadap ulama
yang selama ini hanya ditempatkan sebagai sub ordinat kesuksesan pembangunan dibidang
agama dan penyejuk masyarakat ketika terjadi ketegangan dan kesenjangan.
Pemerintah harus menjadikan ulama sebagai mitra yang sejajar dalam rangka
pembinaan kerakyatan. Bukan hanya dimanfaatkan ketika akan pemilu atau ketika
bangsa ini mengalami musibah nasional. Pemerintah secara radika juga harus
merubah pandangan terhadap ulama selama ini dengan mendorong terwujudnya system
yang demokratis, yaitu memberi peluang kepada masyarakat untuk menentukan
masadepannya sendiri tanpa intervensi dan tekanan – tekanan baik yang berwujud
penteragaman pola dan arah pembangunan, sehingga semua proses pemberdayaan umat
dapat dilakukan bersama – sama secaa bebas dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, maka sudah saatnya bangsa kita
memberikan tempat ;yang psoporsinal pada ulama, terutama dalam melanjutkan
proses pembangaunan nasional yang intinya adalah melahirkan manusia ondonesia
yang berkualitas, bertakwa, berakhlaq mulia, sehat lahir batin, dsb. Sehingga
kebijakan – kebijakan pemerintah yang berkaitan lengsung dengan pemberdayaan
masyarakat peling tidak berbau nilai nilai ulama, bukan bernuansa ulama – ulama
bau.
Nilai – nilai yang dimaksud adalah pengejawantahan dari
risalah nabi yang dalam tataran implementasinya jharus mengacu kepada empat
indikasi, yaitu Shiddiq (jujur dan benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (melakukan
komunikasi dan menyampaikan pesan – pesan agama kepada manusia), dan fatonah (cerdas, cendekia
dan bijaksana dalam menghadapi persoalan dan situasi yang dihadapi). Jika
mekanisme ini dipraktekkan dalam kehidupan bernangsa dan bernegarainsya Allah
kita tidak perlu menghadapi berbagai persoalan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar