Pengantar
Dalam penulisan karya ilmiah berbasis riset, setidaknya
terdapat dua hal yang perlu dikuasai. Pertama, bagaimana
sesungguhnya seluruh proses penelitian itu dilakukan. Kedua, bagaimana hasil
sebuah penelitian itu harus dilaporkan, termasuk dalam jurnal ilmiah. Sesungguhnya yang menjadi tujuan utama dari
penulisan karya ilmiyah berbasis riset adalah memberitahukan kepada pembaca tentang masalah yang
diteliti, metode yang digunakan, hasil-hasil yang telah ditemukan dan
kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian tersebut. Dalam laporan
penelitian tugas utama penulis/peneliti adalah untuk melaporkan
hasil penelitiannya sebaik dan sejernih mungkin tentang apa yang telah
dilakukan, mengapa hal itu dilakukan, serta kesimpulan apa yang diambil dari penelitiannya
dan bukan untuk menyakinkan pembaca mengenai kegunaan hasil penelitian dan
sejenisnya[1].
Meskipun penulisan hasil penelitian
merupakan bagian akhir dari seluruh proses penelitian, tahap ini umumnya
dianggap paling menentukan dari seluruh agenda penelitian yang telah dilakukan.
Laporan penelitian yang lengkap tentu
tidak hanya menyanjikan hasil penelitian, tetapi juga, menampilkan proses
penelitian itu secara utuh [2]. Tulisan singkat ini berusaha membahas elemen-elemen pokok yang
ada dalam karya ilmiah berbasis hasil riset
:
1. Topik
atau judul.
Pemilihan topik atau lebih konkritnya judul, akan menggambarkan tingkat kedalaman dan cakupan
dari sebuah penelitian yang akan dibahas. Bagi pembaca judul akan dianggap
mewakili bobot sebuah hasil penelitian yang akan ditulis; bahkan gambaran mutu
tulisan yang akan digarap. Mulai dari luasan teorisasi yang akan ditemukan.
Karena itu biasanya ada beberapa kriteria minimal yang harus dipenuhi sebagai
sebuah pemilihan tema atau judul dalam karya ilmiah:
a.
Dalam judul laporan sebaiknya sudah mengambarkan apa
yang telah diteliti.
Dalam penetapan judul pada
dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, jika penelitian itu bersifat
kualitatif judul bisa dirumuskan dari perasan hasil temuan yang telah ada.
Sebaliknya jika penelitian itu bersifat kuantitatif, maka judul telah
ditentukan secara deduktif dan menggambarkan masalah yang akan diteliti. Apapun
proses penetapan judul yang dilakukan (induktif atau deduktif) maka hendaknya judul jangan terlalu luas cakupannya atau sebaliknya terlalu sempit. Demikian
juga judul penelitian juga jangan bersifat simbolik, terlalu abstrak atau
mungkin puitis. Judul yang baik adalah yang memperlihatkan
korelasi antara variable secara jelas, juga, mencerminkan arah penelitian yang
akan dilakukan.
b. Judul yang dipilih hendaknya
memiliki signifikansi sebagai karya ilmiah: baik dari segi kebutuhan akademis
(menjanjikan temuan teoritis) maupun dari segi praktis ( sebagai problem
solving). Jangan sampai sebuah penelitian kurang memberikan janji atas
kontribusi baik dalam wacana pemikiran ataupun deskripsi empiris yang
membutuhkan verifikasi kajian sejarah. Dengan kata lain
judul harus singkat, memikat,
informatif, menjanjikan tema-tema aktual dalam bidangnya, dan
disampaikan dalam bahasa yang jernih.
2. Latarbelakang
Meskipun tidak ada rumusan
baku bagaimana latarbelakang penelitian harus dibuat, namun isi pokok dari
latarbelakang adalah membangun argumen:
mengapa penelitian itu penting untuk
dilakukan. Tentu saja arti “penting” disini bukan menurut pengertian peneliti
yang subyektif, tetapi harus dilihat dari
kepentingan yang lebih luas dan obyektif. Misalnya, dari segi akademik mungkin akan melahirkan teori baru
dan/atau membatalkan teori lama. Sedangkan dari kepentingan yang lebih pragmatik akan dapat memecahkan masalah (problem solving) yang sedang dihadapi
masyarakat, misalnya. Dengan demikian masalah penelitian bukan hanya bermula
dari sensitifitas peneliti terhadap fenomena sosial yang ada, tetapi
juga, adanya kesenjangan fakta sosial yang ingin diketahui atau dipecahkan. Yang jelas masalah penelitian bukan semata-mata didasarkan interest peneliti yang subyektif.
Dalam membangun argumen
mengapa penelitian itu perlu dilakukan bisa saja terinspirasi oleh hasil
penelitian orang lain, data-data statistik, hasil bacaan jurnal penelitian,
studi pustaka, pengamatan yang menceritakan terjadinya kesenjangan antara yang
“seharusnya” (das sollen) dengan
fakta-fakta sosial “yang ada” (das sein),
misalnya. Dengan demikian seluruh bagunan dalam latarbelakang sebenarnya
merupakan sebuah argumentasi yang
menyakinkan mengapa penelitian itu penting untuk dilakukan. Oleh karena itu dukungan argumentasi baik
yang dipungut dari referensi: literatur, laporan research sejenis, diskusi
teoritik, dukungan statistik, artikel-artikel yang relevan sangat penting. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menulis latarbelakang:
a. Argumentasi yang disusun harus
bersifat sistematis mulai dari premis-premis atau pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat umum menuju hal-hal yang lebih khusus. Misalnya dari problem-problem
nasional, regional, lokal, utamanya jika penelitian itu bersifat empiris. Kalau sifatnya diskripsi paling tidak
menjanjikan sesuatu yang baru dan relevan dalam kehidupan yang sekarang. Apa
kira-kira relevansinya penelitian yang akan dilakukan dengan kebutuhan
akademik, pragmatis atau problem solving
hendaknya diungkapkan secara eksplisit. Sistematisasi argumen itu penting untuk dilakukan. Tidak jarang ditemui
argumentasi yang dibangun sering kali kesana-kemari tanpa adanya fokus yang
jelas. Dengan kata lain, meskipun tidak diungkapkan scara eksplisit, ruang
lingkup masalah penting untuk dijelaskan disini. Pertanyaan penelitian yang
hendak dicari jawabnya dalam penelitian
harus tergambarkan dalam latar belakang
ini.
b. Mengingat tidaklah mudah
memilih sebuah topik yang belum dilakukan orang lain, maka sekiranya topik yang
dipilih sudah banyak ditulis orang lain,
harus ada argumentasi yang memberikan penjelasan bahwa apa yang akan dilakukan
berdeda dengan yang dilakukan penulis yang sudah ada. Baik dari segi pendekatan
yang digunakan, teori yang akan digunakan maupun hasil yang diharapkan. Jadi disini sekali lagi penguasaan penulis
untuk mengetahui berbagai jenis penelitian yang telah dilakukan orang penting
untuk diuji. Meskipun begitu, studi literatur yang lebih serius tentu saja
tempatnya ada dalam studi literatur atau kerangka teori.
c. Dalam membangun argumentasi
harus memperlihatkan konsistensi logika
penelitian yang runtut, sistematis dan tidak meloncat dari satu masalah
kemasalah lain tanpa adanya penjelasan yang memadai. Jadi, diluar teknis kebahasaan hendaknya diperhatikan
kapan perubahan paragrap itu harus dilakukan (sesuai dengan main idea yang
ingin dijelaskan) juga harus koheren.
d. Pada akhirnya dalam latar
belakang harus mampu menjawab studi apa yang akan dilakukan, mengapa itu
penting untuk dilakukan dan bagaimana cara melakukannya termasuk limitasi atau
keterbatasan penelitian yang dihadapi.
Semuanya itu penting untuk
dijelaskan dalam latarbelakang.
e. Singkatnya dalam latarbelakang
harus memuat argumen yang jelas tentang mengapa penelitian itu penting untuk
dilakukan; argumen itu harus didukung oleh data atau pemikiran dalam setiap
point yang diturunkan; dan seluruh argumen itu harus ditunjukkan bagaimana
seluruh masalah (pertanyaan penelitian) yang diformulasikan itu terintegrasi
secara konseptual.
3. Perumusan
Masalah
Pertanyaan
penelitian pada dasarnya sangat
berkaitan dengan tujuan dan sifat penelitian yang akan dilakukan. Artinya
perumusan masalah sangat tergantung dengan tujuan penelitian yang hendak
dicapai dan jenis penelitian yang akan dilakukan. Sementara bentuk perumusan
masalah dapat berupa pertanyaan atau berbentuk peryataan. Jika tujuan
penelitian itu bersifat deskriptif (to
describe), misalnya, maka bentuk pertanyaannya biasanya dirumuskan dengan
pertanyaan “apakah” (what), tetapi
jika jenis penelitiannya bersifat eksplanasi (to explain), maka perumusan
masalahnya biasanya didahului oleh pertanyaan “mengapa” (why) atau sejauhmana (how).
Tentu saja ketentuan ini bukan rumus matematis. Apa yang dikemukakan dalam
rumusan masalah sebenarnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditemukan
jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan. Sementara hal-hal yang dapat
dipilih sebagai masalah antara lain: kontribusi terhadap khasanah ilmu
pengetahuan; menindaklanjuti temuan-temuan sebelumnya; dan mencari jawaban dari
(sesuatu) masalah dan sebagainya. Dan
yang lebih penting pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan
masalah minimal harus menyatakan hubungan antar dua gejala, apa yang akan diteliti harus dapat
ditiliti secara empiris dan dikemukakan secara eksplisit[3].
Dengan kata lain rumusan masalah pada dasarnya
merupakan rincian pertanyaan penelitian yang telah dituangkan dalam
latarbelakang. Karena itu, sekali lagi, yang terpenting dalam merumuskan masalah akan
sangat tergantung dengan jenis penelitian yang akan dilakukan. Apakah
penelitian itu sifatnya deskripsi, eksplanasi, prediksi, atau yang lain.
Semuanya ini akan membawa konsekuensi pada tujuan penelitian yang ingin
dicapai, termasuk metode yang akan digunakan.
Dalam field research ada
beberapa teknik untuk menjaga konsistensi antara perumusan masalah dengan
tujuan penelitian. Jika tujuan penelitiannya hanya ingin mendiskripsikan secara
mendalam atas realitas yang diteliti, maka bentuk rumusan pertanyaannya bisanya
di dahului oleh ”what”. Misalnya faktor-faktor apa saja yang menyebabkan cara
keberagamaan yang tektual lebih menarik dibandingkan yang subtansial.
Sebaliknya jika tujuan penelitiannya ingin melakukan eksplanasi (menjelaskan)
maka pertanyaan yang dikembangkan dalam perumusan masalah didahului oleh
pertanyaan ”why”. Misalnya, mengapa radikalisasi keagamaan yang menggunakan
kekerasan marak di Indonesia dan seterusnya. Tapi, magic question ini tentu
saja fungsinya hanya untuk mempermudah
dalam merumuskan pertanyaan penelitian yang sudah secara umum di bahas dalam
lalarbelakang pemikiran.
Mengingat bahwa sebagian besar dari penelitian yang dilakukan
di UIN adalah studi pustaka, maka rumusan masalah yang diturunkan, harus konsisten antara jenis penelitian yang
akan dilakukan dengan tujuan penelitian yang akan dirumuskan. Jika sekiranya
tujuannya ingin membandingkan dua pemikiran tokoh dalam hal metode dan
pemikiran dalam bidang teologis, misalnya,
maka rumusan deskripsinya minimal harus
mendalami kedua area itu. Jangan sampai yang dijanjikan adalah studi
perbandingan pemikiran dalam filsafat manusia antara Hasan Hanafi dengan
Arkoun, misalnya, yang dibahas malah pandangan kenduanya tentang teologis atau
politik.
Sementara itu jika penelitiannya bersifat field research maka pembahasan tentang
fungsi research question harus jelas;
bagaimana mengembangkan dan menyuling pertanyaan penelitian yang sesuai dengan
tujuan penelitian atau hipotesa kerja yang telah dirumuskan. Masalah ini
penting untuk ditegaskan, mengingat terlalu banyaknya laporan penelitian yang
tidak mencerminkan adanya: koherensi,
unity, konsistensi antara masalah penelitian, tujuan penelitian, teori yang
akan digunakan, hipotesa (jika ada) yang dikembangkan dan jawaban penelitian
yang dirumuskan dalam kesimpulan. Seringkali kesimpulan tidak menjawab
pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dan jauh dari tujuan penelitian
yang telah digariskan.
4. Tujuan
Penelitian
Sebagaimana dikemukakan
diatas bahwa antara rumusan masalah dan tujuan penelitian harus merupakan satu
kesatuan. Seperti diketahui dilihat dari
Basic Research paling tidak ada 5 tipe tujuan penelitian: [4]
a.
To
explore (penjajagan): tujuannya berusaha untuk pengembangan awal, mencari
gambaran kasar atau mencari pemahaman tentang fenomena sosial (keagamaan) yang
belum diketahui sebelumnya.
- To describe: tujuannya untuk menggambarkan realitas sosial (keagaman) secara apa adanya atau melakukan pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu, termasuk keajegan-keajegan sosial yang ada. Peneliti mengembangkan konsep atau teori, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.
- To explain: untuk menjelaskan hubungan kausal fenomena sosial (keagamaan) dengan mengembangkan pengujian hipotesa.
- To understand: untuk memahami fenomena sosial (keagamaan) secara mendalam, termasuk menentukan alasan-alasan dari tindakan sosial yang ada, kejadian-kejadian serangkain episode sosial, dengan berbagai alasannya yang diderivasi dari aktor sosial.
- To predict: untuk melakukan ramalan kejadian tertentu dimasa mendatang, setelah melakukan pemahaman dan penjelasan atas fenomena sosial tertentu sebagai landasan postulatnya.
- To change: untuk melakukan intervensi sosial, seperti membantu partisipasi
- To evaluate: untuk memonitor program intervensi sosial atau menilai apakah program yang telah ditetapkan sesuai dengan outcome yang telah direncanakan dan membantu memecahkan masalah dan membuat kebijakan.
- To asses social impact: untuk mengindentifikasi kemungkinan konsekuensi/dampak sosial-kebudayaan dari pelaksanaan proyek, perubahan teknologi atau kebijakan tindakan pada stuktur sosial, proses sosial dan sebagainya
Meskipun kategorisasi tujuan penelitian di
atas umumnya untuk field research,
tetapi prinsip-prinsipnya juga berlaku dalam studi literatur. Khususnya dalam
teknik membangun korelasi antara perumusan masalah dengan tujuan penelitian. Karena
itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan
penelitian:
a. Jika pertanyaan penelitian yang
ingin dijawab adalah faktor-faktor apa (what) saja yang mempengaruhi
radikalisasi keagamaan di Indonesia maka tujuan penelitiannya adalah
mendiskripsikan. Namun jika yang ingin diketahui adalah mengapa (why) formalisai agama lebih menarik di kalangan
mahasiswa umum daripada mahasiswa agama, maka tujuan penelitiannya adalah untuk
eksplanasi. Tentu saja hal ini bisa dibalik. Jika tujuan penelitian untuk
mengetahui atau mendiskripkan faktor-faktor
yang mempengaruhi radikaliasi, maka rumusan penelitiannya bisa
disesuaikan denagn tujuan penelitiannya. Yang jelas harus ada konsistensi
antara tujuan penelitian dengan rumusan masalah. Jangan sampai tujuannya untuk
intervensi (change) masalah yang dirumuskan untuk memprediksi dan seterusnya.
- Konsistensi antara rumuan masalah (pertanyaan penelitian) dengan tujuan penelitian juga menagih konsistensi dalam elemen lainnya, khususnya terhadap hipotesa (jika ada) yang dikembangkan dengan teori yang akan digunakan (akan dibahas dalam fungsi teori). Misalnya, kalau tujuan penelitiannya hanya untuk mendiskripsikan maka posisi teori paling banter hanya membantu memahami/ membahasakan atau menafsirkan realitas yang ditemukan dan bukan untuk membuktikan salah benarnya sebuah teori.
5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan
penelitian sebenarnya lebih diperuntukkan untuk menjawab kebutuhan yang lebih
pragmatik daripada kebutuhan akademik.
Karena itu rumusan yang dikemukakan, jika penelitian itu akan menjanjikan
rekomendasi, maka rumusannya harus
menyakinkan dan berhasil-guna
seperti yang telah ditawarkan dalam tujuan penelitian. Dalam banyak
kasus antara tujuan dan kegunaan penelitian tidak jarang dijadikan satu, meskipun umumnya dipisahkan.
6.
Studi Literatur
Studi
literatur merupakan bagian yang sangat penting dalam studi karya ilmiah seperti
tesis atau disertasi. Tingkat kedalaman atau
keleluasaan sebuah hasil penelitian sebagian akan ditentukan oleh
seberapa jauh peneliti memiliki pengetahuan
yang mendalam terhadap sesuatu masalah yang akan diteliti, yang salah satunya
ditentukan oleh keluasan bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Jadi studi literatur pada dasarnya merupakan ajang sana ilmiah yang
memperlihatkan keluasaan pengetahuan peneliti terhadap materi yang akan
dibahas. Ada beberapa fungsinya literatur review dalam karya ilmiah (penelitian):[5]
a. Untuk menunjukkan relevansi
antara masalah yang akan diteliti dengan pengalaman orang lain yang bergerak
dalam ranah yang serupa. Dengan melalukan review literatur diharapkan akan
membantu peneliti untuk mempertajam
masalah yang akan dikaji. Sebaliknya minimnya studi literatur akan
menggambarkan dangkalnya penguasaan material terhadap masalah yang akan dikaji.
- Literatur review juga akan memberikan back ground dan justifikasi atas penelitian yang akan dilakukan, baik dalam upaya membantu mempertajam masalah pertanyaan penelitian maupun dalam rangka memperluas cakrawala masalah yang akan diteliti.
- Untuk membantu kemungkinan menemukan jawaban penelitian atau membantu mengembangkan hipotesa (kerja) yang telah dirumuskan;
- Menunjukkan asumsi yang mendasari dibalik pertanyaan yang diajukan dalam penelitian. Jadi setiap pertanyaan yang dirumuskan harus dilandasi oleh kerangka teoritik yang jelas. Setiap pertanyaan penelitian idealnya tidak facum dari kerangka acuan teoritik yang tersedia.
- Menggambarkan asumsi paradigma yang digunakan serta asumsi-asumsi nilai-nilai yang diusahakan dalam penelitian; menunjukkan peneliti cukup mengetahui antara penelitian yang dilakukan dengan intellectual traditions yang ada dalam topic itu dan mensupport atas studi yang dilakukan.
- Menunjukkan bahwa peneliti telah mengidentifikasi masalah yang terjadi sebelumnya dan studi yang akan dilakukan akan mengisi apa yang dibutuhkan dan belum dilakukan orang lain atau mengisi slot-slot yang belum dikaji peneliti lain;
- Membantu untuk meredefinisi atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar dari ”empirical traditions” yang pernah ada. Jadi studi literatur akan menghindarkan peneliti untuk melakukan pengulangan terhadap masalah yang pernah diteliti orang lain dan membebaskan diri dari kedangkalan kajian.
7. Kerangka
Teori
Kerangka teori merupakan bagian yang paling krusial dalam
sebuah penelitian. Hampir tidak ada sebuah penelitian apapun—kecuali grounded
research-- jenisnya yang tidak menggunakan teori sebagai alat untuk membantu
menggambarkan, memahami, menganalisa atau memprediksi data yang telah
diperoleh. Meskipun begitu, ada pendapat yang menyatukan antara kerangka teori dengan
studi literatur. Namun dalam tradisi yang lebih baku keduanya dipisahkan. Satu
hal yang harus diperhatikan dalam sebuah penelitian bahwa posisi atau fungsi
teori dalam penelitian ilmiah harus disesuaikan dengan rumusan masalah dan
tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Tidak boleh terjadi,
misalnya, tujuan penelitiannya hanya untuk menggambarkan realitas sosial
keagamaan, tetapi teori yang digunakan diposisikan sebagai pembuktian hipotesa
(to explain). Paling tidak ada bebeapa posisi teori dalam penelitian empiris:
a. Dalam penelitian yang masih
dalam tahap penjelajahan (to explore), maka posisi teori pada dasarnya tidak
terlalu dominan. Kecuali untuk membantu memahami realitas sosial yang ada.
Misalnya kita belum tahu mengapa sistem perkawinan poliandri bisa diterima oleh
masyarakat di kecamatan x di Pasuruan: atau kita juga belum tahu secara persis,
mengapa di kampus-kampus sekuler paham wahabi, Salafi, dan sejenisnya lebih
menarik dibandingkan paham sunnni, umpamanya. Atau kita belum tahu persis
apakah benar NU dan Muhammadiyah
sekarang cenderung ke kanan sehingga
perlu dilakukan penjelajahan.
b. Dalam penelitian desktiptif (to
describe), meskipun tujuan penelitian hanya menggambarkan realitas sosial
secara apa adanya, teori akan sangat membantu untuk menafsirkan atau memahami
realitas sosial yang ada. Misalnya, untuk menggambarkan orientasi ideologis
dikalangan mahasiswa kita dapat membuat kategorisasi ideologis ( religius, moderat, kosmopolitan dan
nasionalis), tentu saja banyak teori yang bisa digunakan untuk membuat
kategorisasi seperti ini. Apapun kategorisasi yang dibuat fungsinya dapat membantu untuk memahami gejala social-keagamaan yang
telah ditemukan.
c. Dalam penelitian penjelasan (to
explain), posisi teori sangat jelas, yakni untuk landasan penjelasan realitas
sosial yang diturunkan dalam hipotesa yang hendak diuji. Jadi posisi teori
adalah untuk menuntun hipotesa yang ingin dibuktikan melalui uji statistik.
Meskipun jenis penelitian ini hampir tidak menjadi kecenderungan utama dalam
disertasi di UIN, tetapi konteks teori dalam jenis penelitian seperti ini
penting untuk dipahami.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teori dalam sebuah karya
ilmiah seperti tesis atau disertasi adalah sejauhmana teori yang sudah disusun itu telah dibunyikan dalam temuan (analisa
data) sesuai dengan jenis penelitian yang telah dirumuskan. Dalam banyak kasus,
teori seringkali tidak dibahasakan sama sekali dalam bab analisa data. Sehingga
bab teori seolah-oleh menjadi terpisah sama sekali dengan data yang telah
ditemukan. Jadi, sekali lagi, pilihan
terhadap teori yang dikutip dalam sebuah penelitian harus sesuai dengan jenis
dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Teori tidak bisa dikutip secara
begitu saja tanpa disadari kegunaannya dalam penelitian yang akan dilakukan.
Tidak boleh terjadi teori akhirnya terpisah sama sekali dengan temuan-temuan
lapangan yang ada. Atau bahasan teori kesana-kemari dan tidak relevan dengan
amalah yang akan diabhas.
Yang terpenting dalam bab teori adalah adanya pembahasan yang mendalam
terhadap teori yang akan digunakan. Misalnya peneliti akan melihat kesetaraan
jender dalam perspektif al-Qur’an. Meskipun disini yang dilihat adalah
kesetaran perpektif jender menurut al-Qur’an dan bukan dalam perspektif cultural studies, misalnya, maka
pembahasan teori tentang jender tetap diperlukan. Penguasaan perspektif teori
jender, minimal dalam perkspektif teori feminimisme liberal, feminimisme
Marxis-sosialis atau feminimisme radikal dsb jelas akan berguna atau membantu
untuk menganalisa kesetaraan jender (sebagai konsep kontemporer). Atau jika
kita mau membahas relasi agama (Islam)
dan negara pada masa orba,
misalnya, maka minimal pembahasan perspektif yang ada dalam Islam harus
dibahas. Yaitu pandangan Abu A’la
al-Maududi yang mewakili pandangan keharusan formaliasi agama (“Islam addin wa-daulah”) : pandangan teori pemisahan antara agama dan
negara model Ali Abdurroziq yang menggangap tidak ada cetak biru dalam
al-Qur’an kecuali hanya prinsip-prinsip umum, seperti keadilah (‘adalah), persamaan (mushawah) dan demokrasi (syura)
dan pandangan yang menggambarkan hububungan antara agama dan negara bersifat
simbiose mutualistik, yang diwakili oleh Al- Mawardi, misalnya. Disamping
perlunya pembahasan tentang teori negara (yang mendasari perspektif orde baru).
8. Metodology
Hal lain yang harus dibedakan secara
ketat dalam sebuah penelitian ilmiah
adalah apa yang disebut metodologi dengan metode. Per
definisi perbedaan itu antara
lain:
a.
epistemology
is the science of knowing , methodology
(a subfield of epistemology) might be called “the science of finding out” [6]
b.
… methods
as the techniques or procedures used to collect and analyse data. Methodology,
on the hand, refers to discussions of how research is done, or should be done,
and to the critical analysis of research[7]
Jadi jika metodologi merupakan pendekatan atau perspekstif maka metode
adalah sebuah presedur atau teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisa data. Bagi sebuah karya ilmiah seperti disertasi
masalah metodologi dan metode yang digunakan mestinya diuraikan secara detail
dan mendalam. Dengan demikian dalam metode penelitian paling tidak yang harus
diuraikan adalah: bagaimana data akan dikumpulkan dan dianalisa.
Misalnya kita sedang peneliti
tentang karya sastra dengan teori dekontruksinya Foucult dan Derrida: Atau kita
mau merekontruksi perdebatan Al-Ghozali dengan Ibnu Rusyd tentang “takhafut
takhafut dan takhafut falasifah” dan relevansinya dengan perkembangan pemikiran
di Indonesia dalam kasus NU atau MUI, misalnya. Maka pendekatan yang dijanjikan
tidak bisa hanya menyebut komparatif kritis, tetapi harus lebih detail apa yang
dimaksud komparatif kritis tersebut. Atau judul “Lajnah Bahtsul Masail Nahdatul
Ulama, 1926-1999, Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqh:, maka pendekatan
yang digunakan tidak bisa hanya disebut Analisis Kuantitatif, kualitatif,
Kombinasi keduanya, reflektif, komparatif, kritis. Harus dijelaskan dalam hal apa
pendekatan kuantitatif digunakan termasuk analisa yang dijanjikan. Demikian
juga apa yang dimaksud reflektif, kritis harus disebutkan. Singkatnya setiap
metodolgi dan metode yang digunakan bukan hanya perlu dijelaskan tetapi juga
dipertangungjawabkan relevansinya dengan masalah yang akan diteliti.
Teknik Pengumpulan Data
Hal lain yang juga perlu disebutkan
dalam laporan penelitian adalah masalah teknik pengambilan datanya. Sebagaimana yang kita ketahui beberapa teknik
pengumpulan data dalam penelitian kuantitatif antara lain: observasi
terstruktur (structured observation);
questionnaire; structured interview; content analysis of documents.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif
antara lain kita kenal pengumpulan datanya seperti: Participant observation; focused interview; indepth interview;
oral/life histories; focus groups/Group interviews dan content analysis
document. Semuanya harus diuraikan sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan dan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan.
Dalam penulisan laporan semua tehnik
pengumpulan data itu harus diuraikan secara jelas. Termasuk menceritakan
seluruh cara kerja yang dilakukan.
Analisa data
Mengingat bahwa dalam analisa data
merupakan bab kunci dalam sebuah karya ilmiah seperti tesis atau disertasi, ada
beberapa hal teknis yang perlu diperhatikan:
a. Dari segi teknis harus ada
konsistensi antara posisi teori yang digunakan dengan temuan data yang ada. Apakah
teori difungsikan sebagai alat untuk memahami atau menafsirkan realitas sosial
keagamaan yang diteliti atau berfungsi untuk diverifikasi (ini jarang ada dalam
disertasi di UIN). Yang tidak boleh terjadi jika teori yang diuraikan sama sekali
tidak dibunyikan dalam analisa data.
b. Dalam analisa data harus konsisten antara pertanyaan penelitian yang
telah dirumuskan, tujuan penelitian, hipotesa (kerja) yang telah dikembangkan.
Jika misalnya, apa yang dijanjikan dalam tujuan penelitian ingin memetakan
polarisasi pemikiran Ulama dalam kalangan NU dalam menanggapi hubungan agama
dan negara, maka kategorisasi (analisa data) yang ada akan menggunakan tiga
perspektif yang sudah disebutkan dalam teorisasi (Maududian, Abduroziqian,
Mawardian) atau mungkin menemukan
kategori lain. Tentu saja dalam analisa mungkin tidak hanya memetakan
polarisasinya tetapi juga mencari penyebabnya.
c. Prosedur atau teknik yang
paling lazim dalam penelitian kualitaif
antara lain: Description; Theory generation; Analytic induction,
Grounded theory (open and axial coding), Categorizing and connecting, From
everyday typications to typologies. Atau
seperti analysis interactive model yang dikembangkan Miles dan
Huberman (1998) mulai data collection and timing, data display, data
reduction and analysis, hingga conclusion. Terlalu banyak sebenarnya model analisa dalam
penelitian kualitatif. Yang penting harus disadari bahwa dalam penelitian
kualitatif antara analisa data dan pengumpulan data tidak terjadi secara
terpisah (seperti dalam penelitian kuantitatif). Data dikumpulkan baru
dianalisa. Jadi tidak harus ada bab yang terpisah antara temyan data dan
analisanya. Apalagi dalam studi literartur. Analisa data bisa jadi sudah
inheren dengan dengan urain tentang masalah yang dibahas.
d. Bagi jenis penelitian yang
melakukan field research dan menggunakan metode kualitatif (etnografi)
misalnya, satu hal yang harus diingat adalah perlunya pembedaan ayng ketat
antara emic dan ethic. Antara
pendapat informan dengan pendapat peenliti ahrus dipisahkan secara jelas. Sehingga
antara opini dan fakta harus jelas pemisahannya.
e. Apabila penelitian itu
kuantitatif (survey), maka analisis statistik yang akan digunakan
diuraikan secara singkat sesuai dengan tujuan dan jenis hipotesa yang telah
dikembangkan. Misalnya, jika tujuan penelitiannya hanya deskriptif, maka teknis
analisisnya hanya menggunakan statistika dasar yang berkaitan dengan parameter
statistika deskriptif (tabel frekuensi, mean, median standar deviasi dan
sebagainya). Namun jika tujuan penelitiannya adalah eksplanatoris atau untuk
menguji hipotesa, maka teknis analisa
akan lebih komplek dengan mengunakan statistika inferensi.
f. Singkatnya jenis teknik
analisis yang digunakan sangat tergantung pada aras pengukuran dan tipe
hipotesa atau model yang hendak diuji. Jika hipotesis kontigensi, yaitu
mengujian antar dua variabel yang diukur pada skala nominal, dapat menggunakan
analisa chi square: Jika hipotesis perbedaan antar kelompok, maka dapat
menggunakan uji beda mean (bila terdiri dari dua kelompok) dan F-test (bila
terdiri dari dua kelompok) atau yang dikenal dengan ANOVA (Analisis varian)
demikian seterusnya.
10. Kesimpulan
Salah satu hal yang perlu diingatkan
dalam penulisan kesimpulan bahwa isinya harus merupakan jawaban dari pertanyaan
dan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan. Yang seringkali ditemui
adalah kesimpulan cenderung
berdiri sendiri yang tidak ada hubungannya dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
11. Kepustakaan
Istilah bibliografi dan/atau kepustakaan seringkali dianggap kurang terlalu
lazim dalam karya ilmiah, karena istilah itu
mengacu pada semua pustaka yang belum tentu relevan dengan karya tulis
yang disiapkan penulisnya. Demikian juga istilah “kepustakaan” juga, dianggap terlalu luas karena mengacu
pada segala hal yang berkenaan dengan pustaka.[8] Istilah yang dianjurkan adalah referensi, daftar
pustaka, atau daftar acuan.[9] Apa yang paling diperlukan dalam menyusun daftar
acuan, diluar kecermatan dan ketelitian, juga kejujuran. Sebab, tujuan utama
dari penulisan daftar pustaka itu, disamping untuk memberi informasi kepada
pembaca tentang sumber tulisan yang telah diacu, juga menunjukkan kejujuran
penulis untuk menghindari tuduhan plagiat. Sementara ada beberapa variasi dalam
penyusunan referensi dalam karya ilmiah. Beberapa variasi itu antara lain :
a. menulis nama
penulis/penyunting: lengkap untuk nama kecil dan nama keluarga, ataukah dengan
inisial saja untuk nama kecil;
b. meletakkan tahun penerbitan: di
bawah nama penulis/penyunting, disamping nama penulis/penyunting, atau dibagian
referensi;
c. menulis dan meletakkan judul
buku dan nama penyunting bagi sumber referensi berupa sebuah artikel dalam
buku; atau
d.
menulis
volume, nomor, dan nomor halaman bagi jurnal ilmiah.
Daftar Pustaka
Blaikie,
Norman, 2000. Designing Social Research, First Published in 2000 by
Polity Press in association with Blackwell Publishers Ltd.
B. Miles, Matthew , Huberman, A. Michael. 1994. Qualitative
Data Analysis, Second Edition, Sage Publications International Educational
and Professional Publisher, Thousand Oaks London, New Delhi.
Babbie,Earl.1992. The Practice of Social Research.Belmont:Wadsworth Publishing
Company.
Denzin K. Norman and Lincoln S.
Yvonna (eds).1994. Hand Book of Qualitative Research, Sage Publications, Thousand Oaks. London. New Delhi.
Kvale, Steinar. 1996. Interviews An Introduction to Qualitative Research Research
Interviewing. SAGE Publications. Thousand Oaks. London. New Delhi.
Rahadjo, Rahardjo. 2004 Makalah “ Metodologi Penelitian,” PPK-LIPI,
Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian
Effendi (eds), 1989. Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.
Winarno, Yunita T. dkk (eds). 2004.
Karya Tulis Ilmiah Sosial
Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
[1] Fred N. Kerlinger, Forundation of Behavioral Research, Thrid Edition, 1986; diterjemahkan oleh
Landung R. Simatupang, Asas-Asas
Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, 1993.
[2] Masri Singarimbun, Sofian Efendi (eds), Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 319.
[3] Lihat Yulfita Rahardjo, Metodologi Penelitian, PPK-LIPI,2004.
hal.2.
[4] Norman Blikie, Designing
Social Research, First Published in 2000 by Polity Press in association
with Blackwell Publishers Ltd, 2000. hal. 72.
[6] Earl,Babie. The Practice of Social Research.Belmont: Wadswoth
Publishing Company, 1992.hal.7.
[7] Blaikie,op.cit. hal.8.
[8] Yunita T. Winarto, Menyusun
Referensi, dalam Yunita T.Winanto dkk (eds)., Karya Tulis Ilmiah Sosial Menyiapkan,
Menulis, dan Mencermatinya, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2004,
hal. 76.
[9] Loc.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar