Jumat, 29 Maret 2013

DISKURSUS METODOLOGI STUDI AGAMA : PERGULATAN YANG BELUM TUNTAS



Oleh : Hefni Zain *

Pendahuluan
Belakangan ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak (Ali, 1998 : 16). Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman dan  terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan hanyalah otopia.  Rendahnya mutu pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya.
Kesadaran seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global (Nasr, 1998 : 42)

Pergulatan Metodologi Studi Agama
Sejak badan penelitian dan pengembangan agama dibentuk pada tahun 1975, salah satu wacana yang hangat dibincang adalah mengenai Metodologi Studi Agama. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh Litbang  agama guna mendiskusikan  wacana tersebut, termasuk bekerjasama dengan Program Studi Purna Sarjana (PSPS) Dosen-dosen IAIN Tahun 1975 di Jogjakarta. Sejauh itu tampak dua trend pola fikir yang berkembang. Trend pertama menganggap bahwa untuk studi agama perlu dibangun suatu metodologi tersendiri yang khas yang mampu menggambarkan secara akurat  fakta-fakta, makna-makna dan nilai-nilai agama, bagi mereka metodologi yang selama ini dipergunakan untuk studi agama  yang notabene berasal  dari Barat acapkali tidak relevan, sehingga tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di balik fakta-fakta keagamaan tersebut. Trend kedua berpandangan bahwa dalam studi agama, tidak perlu dibangun metodologi baru, cukup memanfaatkan metodologi dari berbagai disiplin (multidisipliner dan interdisipliner) yang sudah ada, khususnya  metodologi dari disiplin ilmu-ilmu terdekat, sebab studi agama disebut studi agama, sebenarnya bukan karena metodologinya, melainkan karena bidang kajiannya. (Taufiq Abdulloh, 1998 : 17)
Waktu terus berjalan, perkembangan kajian keagamaan semakin pesat dan beragam, sementara referensi yang disusun khusus dalam rangka memberikan alternatif metodologis bagi studi agama baik sebagai doktrin maupun sebagai realitas sosial dan proses pengungkapannya belum memadai, apalagi buku-buku yang ada tentang hal tersebut  body of knowledge nya belum begitu memberikan kepuasan intelektual, karena itu, diskursus metodologi agama hingga kini sesungguhnya masih membutuhkan pergulatan dan kajian yang lebih intens dan mendalam.
Mengkaji agama secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, Pertama : bisakah agama dijadikan subjeck matter kajian akademis?. Pertanyaan ini muncul mengingat ranah agama sarat dengan ajaran Tuhan yang bersifat mu’jizi, transendental (gaib), dan menyangkut keimanan yang amat subjektif yang bisa jadi berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sementara ciri kajian akademis mesti dapat diamati, diukur, dianalisis, dan dibuktikan. Lalu bagaimana hal yang mu’jizi, gaib dan transenden dapat diukur, diamati dan dibuktikan ?. (Mudzhar, 1998 : 31)
Kedua, jika benar “studi agama” bermaksud mencari kebenaran,  bukankah  agama merupakan sumber kebenaran ?  bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran ?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat yang normatif sebagaimana ditegaskan Smith (2005:16),   bukankah agama adalah sumber segala norma ?. Ketiga, dalam realitasnya  agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik  kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas  dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas (Abdullah, 1996 : 4)
Disamping itu, kesulitan lain mencari metodologi studi dan kajian agama yang pas adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral  akan dianggap mereduksi, mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama (Weardenburg, 1973 : 2).  Disamping sifat agama sendiri yang sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,  hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter  studi akademis.
Kendati demikian  bukan berarti tidak ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad  14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan, menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu  memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah (Abdullah,1998 : xii). Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”  dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti itu. (Nata, 1998 : 18)
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman dari ajaran agama. (Arifin, 2001 : 1). Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Mencermati spektrum diatas, walau disadari betapa sulitnya menemukan postulat yang baku mengenai model metodologi keilmuan yang dapat secara efektif memberikan klarifikasi terhadap berbagai hambatan menjadikan agama sebagai sasaran kajian akademis, seperti campur aduknya wilayah yang profan dan sakral, yang normatif dan historis atau yang lainnya, tetapi bagaimanapun juga sebuah metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia tetap merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi (Abdulloh, 1996 : 32). Dengan metodologi dan pisau analisis yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan diselewengkan. Dengan  itu semua diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini, sejarah dan kepentingan kepentingan  tertentu.

Mapping Metodologi Studi Agama
            Konsep studi agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan masayarakat terhadapnya.  Dengan demikian maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity). (Eliade, 2000 : 61)
            Dari rumusan diatas, maka ada perbedaan antara :  studi sebagai usaha mencari kebenaran agama  dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana.
Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion) lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos dan magik, ia bisa dikaji  dari metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji  dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek organisasi sosial. (Middleton, 1986 : 73)
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan  metodologi tersendiri  yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Berbeda dengan Rahmat (1997 : 92) yang mengatakan bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
            Agama sebagai objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat  dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka mesti  menggunakan metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu sosial.           Tapi ada juga yang berpendapat bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut  ajaran dasar yang merupakan wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah konsepsional atau aras langit.
            Ajaran dasar dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural. (Abdulloh, 1996 : 52)
Senada dengan pendapat diatas, Arifin (2001 : 4) mengemukakan, agama samawi sejak zaman pra sejarah hingga zaman modern sekarang ini, dapat dilihat dari dua segi, yakni segi isi dan segi bentuk. Dari segi isinya, agama adalah ajaran (wahyu Tuhan) yang dengan sendirinya tidak dapat dikategorikan sebagai kebudayaan. Sedangkan dari segi bentuknya, agama dapat dipandang sebabagi kebudayaan batin manusia yang mengandung potensi psikologis dan mempengaruhi jalan hidup manusia. Karena itu, untuk agama samawi, hanya bentuk dan praktek agama yang nampak dalam kehidupan sosial budaya yang dapat dijadikan objek studi akademis, sementara isi agama  yang terdapat  dalam kitab suci, seperti ke esaan Tuhan, kehidupan akherat, adanya malaikat, siksa kubur, seperti apa bidadari, dan semacamnya, tidak bisa dijadikan objek studi akademis.
Kaitannya dengan wacana ini, Atho’ Mudhar (1988 : 13) menyebutkan minimal ada lima bentuk gajala agama yang perlu diperhatikan jika seseorang mau mengkaji sebuah agama : Pertama, Scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol teks, dan dokumen agama. Kedua, Prilaku dan penghayatan penganut agama. Ketiga,  Ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat agama, seperti : doa, semidi, sholat, dll. Keempat, menyangkut fungsi agama. Misalnya : Sejauhmana agama mempengaruhi pola hidup seseorang. Dan Kelima, menyangkut alat-alat dan sarana agama.
Jokhim merinci mapping metodologi studi agama dalam bentuk tabel berikut :

 TABEL  I
Gejala yang menjadi
objek studi
Bentuk
Metode yang dapat digunakan
Scripture
Naskah – naskah, teks sumber ajaran, simbol simboll dan dokumen
Filologi
Kritik Teks
Prilaku dan penghayatan pemeluk agama
Keyakinan, etika, militansi , kesadaran agama, dan semacamnya.
Filosofis
Antropologis
Psikologis
Sosiologis
Ritus-ritus, lembaga lembaga &ibadat  agama
Upacara suci dan sakral, doa, semedi, sholat, dll
Historis
Fungsi agama
Sejauhmana agama mempengaruhi pola hidup seseorang.
Sosiologi
Antropologi
Psikologi
Alat dan sarana agama
Masjid, ka’bah, candi, Wihara, gereja, pure, Cinagog, dll
Arkeologi

Ragam Paradigma, Pendekatan & Analisis Dalam Studi Agama
Pada dasarnya paradigma, metode dan analisis yang digunakan dalam studi agama adalah sangat tergantung pada objek studi itu sendiri. Sebab objeklah yang menentukan ketiganya dan bukan sebaliknya. Agama, sebagai fenomena sosial budaya sesungguhnya bersifat multi fased, karena itu untuk memahami fenomena tersebut dapat meminjam salah satu atau beberapa paradigma yang umumnya digunakan dalam studi sosial seperti paradigma naturalistik, paradigma rasionalistik, paradigma filosofis dan semacamnya. Namun  sejak pertengahan abad 20 berbagai paradigma diatas, mulai banyak dipertanyakan dan dikritik, karena dianggap belum sepenuhnya representatif mengakomodir persoalan–persoalan studi agama dan studi keagamaan. Lebih- lebih bagi mereka yang meyakini bahwa realitas sosial bukan hanya terdiri dari realitas empiris, logis dan etis seja, tetapi ada juga realitas normatif yang hanya mungkin didekati dengan paradigma khusus, yakni paradigma teologis (Suprayogo, 2001 : 78)
Menjadikan agama sebagai kajian akademis, minimal harus mencakup tiga paradigma besar, yakni : paradigma  ilmiyah (empirikal), paradigma aqliyah (logikal)  dan paradigma irfaniyah (mistikal). Paradigma ilmiyah dan aqliyah dalam perakteknya bisa menggunakan metode  positifistk, naturalistik dan rasionalistik, sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui takhliyah, tahliyah dan tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam penelitian nash, paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah alqur’an lebih menitik beratkan pada aspek sosial atau aspek teologis ?  b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada sekarang masih otentik atau tidak ?.  Sedangkan paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a) bagaimana pola penafsiran al-Ghazali tentang manusia ?  b). apakah terdapat konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifat-sifat Allah ?  Sementara paradigma Irfaniyah dapat digunakan untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek esoteris dari makna ayat-ayat Al-Qur’an (Rahmat, 1989 : 84)
Agama dalam pengertiannya yang universal dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma. Dan realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.  Karena itu  penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya, apakah kawin mut’ah dapat dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab oleh paradigma logis. Apakah fungsi ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah. Bagaimana kondisi batin seseorang ketika dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya bisa dijawab oleh paradigma mistikal. (Rahmat,1989 : 87)
Sama halnya dengan paradigma studi agama, model pendekatan yang digunakan dalam studi agama juga tergantung pada pilihan objek yang dikaji, sebab objeklah yang menentukan model pendekatan dan bukan sebaliknya. Banyak ragam pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji, agama, antara lain : pendekatan teologis normatif, sosiologis, antropologis, filosofis, histories, filologis, psikologis, dan semacamnya (Nata, 1998 : 45 )
Pendekatan teologis normatif  dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada ambiya’  agar kehendak Tuhan itu dapat difahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.  Pendekatan ini berupaya  mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara teks dan konteks. Antara ajaran agama yang universal dengan realitas hidup yang kontekstual. Pendekatan teologis normatif dalam tata kerjanya berupaya melakukan pengkajian, internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai iman ketuhanan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah  menemukan pemahaman keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normatif idealistik.
Pendekatan Sosiologis adalah model pendekatan yang mencoba menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama juga mempengaruhi mereka. Ia juga menyelidiki kelompok-kelompok yang berpengaruh terhadap agama, fungsi- fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga lembaga-keagamaan dan respon agama terhadap tata duniawi, interaksi antara sistem religius dan masyarakat.
Pendekatan Antropologis  adalah model pendekatan yang memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya mengenai kebiasaan yang tetap (everiday life), melalui pendekatan antropologis, dapat dilihat korelasi agama dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat, relasi agama dengan mekanisme pengorganisasian (social organization), korelasi agama dan negara, kaitan agama dengan psikoterrapi dan hubungan agama dengan kesehatan mental.
Pendekatan filosofis adalah model pendekatan yang  dalam tata kerjanya melakukan kajian mengenai hal-hal mendasar, inti, hakekat dan hikamh secara mendalam, sistematik , radikal dan universal  tentang sesuatu yang berada dibalik ungkapan linguistiknya atau dibalik objek formalnya. Misalnya  makna filosofis tentang : ihram, tawaf, sa’i, wuquf, jumrah, atau kenapa ketika takbir dalam sholat harus mengangkat tangan, atau kenapa dalam proses wudlu’ wajah mesti dibasuh pertama kali, dsb. Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, dan simbolik yang kering akan makna esoterik.
Pendekatan historis dalam studi agama adalah pendekatan yang menyelidiki periodeisasi atau derivasi sebuah fakta dan melakukan rekonstruksi proses genesis perubahan  dan perkembangan. Melalui pendekatan sejarah, akan  diketahui latar budaya, sosial, politik atau bias tertentu dari pemikiran manzhab, juga dapat dipakai untuk menganalisis asbabun nuzul dan asbabul wurud sebuah ayat atau  hadits dalam teks teks suci. Dan dengan pendekatan historis , akan diketahui streotipe dan kecenderungan keberagamaan kelompok kelompok pemikiran dalam agama (seperti: Mu’tazilah, Ahlus sunnah wal jamaah, Syiah, NU, Muhammadiyah, dsb).
Pendekatan filologi  dalam studi agama adalah model pendekatan yang menitik beratkan pada aspek bahasa. Artinya bahwa studi agama tidak dapat dilepaskan dari aspek bahasa. Manusia adalah mahluk berbahasa dan doktrin agama sebagaian terbesar disosialisasikan dan difahami melalui  bahasa. Dengan bahasa, manusia mengerti maksud orang lain dan dengan bahasa pula dia diberikan penamaan. Jadi bahasa merupakan medium yang mengantarkan seseorang pada pemahaman akan sesuatu. Studi agama dengan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga metode , yakni : metode tafsir,  content analisys dan hermeneutika. (Nata, 1998 : 94)
Pendekatan psikologis  adalah  pendekatan yang mengkaji tentang aspek psikologis (termasuk pengalaman religius) dari prilaku beragama baik individu maupun kelompok. Pendekatan ini juga mempelajari motif-motif, respon-respon, dan reaksi-reaksi dari psikis manusia dalam pengalamannya dengan yang supranatural. Fokus utama pendekatan psikologis dalam studi agama adalah menyangkut : (1) Pengalaman beragama atau kondisi jiwa ( fikiran, emosi) ketika berdoa, meditasi, berqurban, dll. (2) Pertumbuhan jiwa beragama (kanak-kanak, remaja dan dewasa). (3) Kondisi jiwa ketika seseorang melakukan konversi agama. (4) Prilaku beragama (apakah seseorang beragama itu secara intrinsik atau ektrinsik). (5) Hubungan agama dengan kesehatan jiwa. (6) Panggilan beragama (ketertarikan fitrah terhadap agama) dan (7) Kondisi jiwa ketika menjadi mayoritas atau minoritas. (Jones,1997 : 93).
Sama halnya dengan paradigma dan model pendekatan studi agama, teknis analisis dalam studi agama juga beragam, dan yang lazim kita kenal umpamanya analisis induktif, deduktif, komparatif  dan analogis. Bila induktif berusaha menemukan sesuatu dengan memulai dari yang khusus atau rinci lalu menarik kesimpulan general, maka deduktif adalah sebaliknya, yakni general ke detil partikular. Bila kompararatif menekankan aspek perbandingan pada sifatnya, maka analogis membandingkan pada fenomena dan gejalanya. Kecuali itu dalam studi agama dapat digunakan beberapa teknis analisis sesuai sifat dan bentuk objek yang dikaji, misalnya analisis isi (content analysis), analisis bingkai (frame analysis), analisis jalur (path analysis), analisis wacana (discursive analysis), analisis bahasa keseharian (ethno analysis), analisis sumber (source analysis ), analisis pesan (message analysis), analisis saluran (channel analysis), analisis penerima (receiver analysis) dan ananilis efek (effect analysis) (Abdulloh, 1998 : 47)

Signifikansi Studi Agama
Pengetahuan manusia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan  sejumlah kajian, penelitian dan penemua. Dengan penemuan baru itu manusia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu dan mengembangkannya kearah yang lebih baik.  Pemahaman seseorang terhadap agama adalah sangat menentukan kualitas seseorang akan agamanya. Agama tidak cukup difahami sebagai formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai, tetapi ia menyatu dalam hidup nyata para pemeluknya, dan ajaran  agama dapat hidup hanya sebanding dengan kematangan jiwa pemeluknya (Arkoen, 1997 : 33)
Dalam setiap agama, terutama Islam, terdapat prinsip taghyir, yakni kewajiban mencari dan mencari, menguji dan terus menguji keyakinan dan kebenaran secara tiada berkeputusan dalam etos mujahadah yang tak kenal henti. Garis  mujahadah ini, merupakan rentetan atau kontinom “penemuan demi penemuan” yang terus bertambah dan menumpuk dalam dimensi dinamis yang semakin baik. Sekalipun yang  terjadi adalah rentetan  pengalaman akan kebenaran relatif, namun karena ia bergerak dinamik akseleratif tiada henti menuju kebenaran mutlak, maka ia tetap punya suplementasi dan komplementasi yang tidak sedikit bagi khazanah keilmuan manusia. Karena itu dalam agama islam, misalnya, umatnya didorong untuk mencari kebenaran, bersikap kritis dan menanyakan kebenaran  yang sudah diterima dari nenek moyangnya (Qs . 2 : 170), selalu terbuka untuk dikoreksi atas keyakinan yang keliru (Qs. 43 : 22 – 24) , Dan senantiasa menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (Qs. 7 : 28 – 29 ).
Di era technoscience seperti saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama, dari yang dahulu terbatas pada “identitas” kearah “historitas”. Dari yang hanya berputar-putar pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus “essensi” kearah “eksistensi”.  Dalam pergaulan dunia yang makin transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk melihat fenomena agama  secara aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis normatif, dan memang disitulah letak “hard core” Dari pada keberagamaan  manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”. Sedang tradisi, sebagaimana maklum  adalah sulit dipisahkan dari faktor “human construction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih aspek teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan juga  melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong maraknya studi agama adalah terjadinya kesenjangan yang cukup parah antara  konsep ajaran agama dengan realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya ketika secara konseptual ajaran agama  diyakini dapat membawa manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas objektif umat beragama tidak demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya, maka berarti telah ada sesuatu yang salah,  faktor inilah yang memicu keinginan manusia untuk semakin intensif mengkaji dan meneliti agama, baik sebagai doktrin maupun sebagai produk sejarah. Sebab kalau hanya ajaran agama yang sempurna, tetapi  realitas masyarakat beragama masih tertinggal di banyak bidang, maka keberagamaan itu sesungguhnya mirip tripping yang melayang-layang di alam otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama pada aras konsepsional tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi yang riil, hanya akan berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Ajaran yang terbaik harusnya melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga mendorong maraknya studi agama adalah  tatkala sains dan teknologi mengalami kegagalan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi tertentu sains dan teknologi justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru. Sungguh sangat disayangkan, dibalik keberhasilan manusia modern -dengan IPTEK- menembus tata surya, membuat pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik, dll, ternyata disisi lain juga memunculkan nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi, kehilangan pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis. Dari sini lalu muncul kerinduan yang mendalam akan nilai-nilai spiritual dan agama yang diharapkan dapat  menyirami kegersangan psikologi mereka dan mengobati penyakit sindrom alienasi yang dideritanya. (Jones, 1997 : 182)
Pada titik inilah dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif justru labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat  yang dulunya menganggap agama hanyalah hayalan manusia terasing atau sublimasi dari keinginan manusia yang tak sampai.  Apalagi di era technoscience seperti sekarang ini yang menurut Jones (1997:187) ditandai  dengan fundamentalisme, revitalisme dan dekonstruksiisme ternyata kajian agama secara akademik semakin dibutuhkan manusia. Meski  cepat cepat harus dikatakan  bahwa  kajian  agama secara akademik  bukan dimaksudkan untuk membedah hal-hal  yang berada diluar jangkauan kapasitas nalar, tetapi lebih dimaksudkan agar  agama tidak saja relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan, way of  life, weltanschauung, dan falsafah al hayah.







DOSEN, PTAI DAN CITA RESEARCH UNIVERCITY



Oleh: Hefni Zain

            Dosen sejatinya adalah peneliti yang mengajar, dari sini tampak perbedaan antara dosen dan guru, bagi dosen kegiatan meneliti menjadi konsentrasi utama dalam mengembangkan kariernya, karena itu dosen harus memiliki komitmen bahkan karakter sebagai peneliti. Mereka tidak boleh ketinggalan  dalam mencermati perkembangan teori-teori baru yang berkaitan dengan kehliannya untuk dipertajam  melalui penelitian. Dengan profesi itu yang paling ditunggu oleh konsumen dari seorang dosen adalah  karya ilmiah mereka sebagai hasil penelitianya itu, karya ilmiah dimaksud dapat berupa makalah, artikel, buku ajar, laporan penelitian atau buku populer yang memuat gagasan, ide, konsep dan teori baru..
            Sebagai peneliti,  dosen betindak sebagai penjual ide dan konsep kepada pasar, mampukah ide ide itu menghasilkan bangunan wacana ilmiah yang akan dibedah diberbagai wilayah komunitas akademik? Inilah tantangan yang mesti direspon dosen. Berdasarkan tuntutan- tuntutan tersebut, parameter untuk menilai kualitas dosen, setidaknya melalui dua kreteria secara berkelanjutan, pertama dari produktivitas karya-karya ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya itu mampu memberi pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik, konsep cemerlang atau teori baru. Maka kehadian buku ilmiyah dalam segala jenisnya bagi dosen merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang tidak bisa ditawar lagi.
            Kelemahan masyarakat kita selama ini adalah kecenderungan mereka yang masih berada pada level budaya mendengarkan dan berbicara (listening speaking society) belum pada level membaca dan menulis (reading-writing society), akibatnya jargon bahwa masyarakat kampus sebagai agent of change, agent of innovation, dan agent of modernization hanyalah jargon kosong yang tidak dapat dipertanggung jawabkan  sepenuhnya, padahal sejak awal mereka telah memahami tausiah  “ kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan”

Tradisi ilmiah dikalangan umat Islam sebenarnya telah dilakukan dan dirintis oleh para mujtahid besar. Sebagai salafuna ash-sholeh, aktivitas mereka yang dapat menghasilkan karya besar patut dicermati sebagai buah ketekunanya. As-syuyuti dalam ilmu tafsir, Al-Gazali  dalam ilmu filsafat dan tasawuf, Ibnu Khaldun dalam Ilmu sejarah sosial merupakan bukti otentik bahwa dikalangan ulama’ terdahulu telah memiliki tradisi penelitian yang sangat kuat.
            PTAI sebagai pusat kajian ilmu keislaman, seyogyanya terus berupaya menghidupkan kembali tradisi keilmuan dan penelitian yang telah sirintis oleh para shalafuna ash-sholeh tersebut, kemudian dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Namun demikian, keberhasilan masa lalu hendaknya jangan sampai menenggelamkan kita kepada kebanggaan nostalgis. Betapa sering kita takjub dengan tokoh-tokoh Islam dimasa lalu, tapi sedikit sekali yang meniru kiprah mereka.
            Dinamika zaman yang terus berubah secara cepat dan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat menuntut perguruan tinggi  untuk selalu melakukan self evaluation dan menggagas berbagai terobosan strategik inovatif baik menyangkut visi, sistem nilai, standart mutu maupun pola manajemen dan pengembangan SDM, sebab saat ini tantangan  PTAI bukan sekedar mampu meluruskan mahasiswanya sesuai batas waktu yang ditentukan, tetapi yang lebih substansial adalah bagaimana mengoptimalkan target essensialnya, yakni; institutionalization and profesionalism building, bahkan dalam tataran ideal PTAI harus mulai bergerak dari posisi teaching university ke arah research univesity menuju otonomi university.
Misi utama penelitian adalah melakuan pengkajian, pengujian, pemecahan masalah dan penemuan-penemuan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, karena itu cita-cita ideal menjadikan lembaga perguruan tinggi dari teaching university kearah research university apalagi menuju otonomi university hanyalah imajinasi utopis jika atensi terhadap penelitian kurang mendapat fokus yang memadai.
Namun realitas yang terjadi selama ini, aplikasi tri dharma dari sebagian besar PTAI masih berlangsung timpang, Dalam hal pengembangan akademik, mereka masih terfakus pada aspek pendidikan dan pengajaran saja, sementara aspek penelitian dan pengabdian masyarakat acapkali terabaikan, akibatnya banyak muncul tenaga pengajar, tetapi sulit menjadi tenaga peneliti, padahal hanya dengan penelitian, temuan-temuan baru akan diperoleh sebagai acuan dan syarat utama bagi pengembangan upaya lebih lanjut
            Untuk mewujudkan teaching university menjadi research university, banyak hal yang harus dirubah. Seorang dosen yang biasanya hanya to teach knowlegde harus berubah menjadi to teach how to think critically, creativelly, and dinamically. Model pembelajaran yang seperti ini akan mampu menumbuhkan budaya meneliti. Jika semua mata kuliah yang diajarkan di PTAI memiliki nuansa penelitian dalam arti research and development, maka iklim reseach university dengan sendirinya akan terwujud. Iklim pembelajaran seperti ini biasanya populer disebut class room actian research. Artinya, keberadaan dosen di kelas bukan sebatas sebagai pengajar, tetapi pembimbing, pelatih, manajer dan peneliti. Jika iklim ini berkembang baik, maka mahasiswa tidak akan kesulitan menulis skripsi, tesis atau disertas Demikian juga para dosen tidak akan kesulitan memenuhi persyaratan kenaikan pangkat pada sub bidang penelitian.
            Disadari mengubah kebiasaan ini tentu tidak mudah, karena membutuhkan berbagai kesiapan. Untuk itu ikhtiar menggagas research university bagi PTAI harus diikuti oleh aktivitas warga civitas akademika PTAI untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang penelitian. Kemampuan penelitian ini dapat ditumbuhkan melalui: (a) peningkatan kemampuan tenaga peneliti melalui program pelatian dan pengayaan (enrichment program), (b) peningkatan kemampuan pengelolaan dan administrasi melalui perbaikan sistem alokasi pendanaan (budgeting system) dan (c) efektifitas serta efisiensi sistem imbalan atau reward kepada civitas akademika. Dengan iklim penelitian yang seperti ini, upaya mewujudkan research university  bukan sekedar mimpi.
       Dalam merealisasikan iklim seperti diatas, tentu masih banyak kendala,  diantarannya : (1) Tenaga peneliti yang terbatas, baik dari segi kuantitas, maupun kualitas, banyak dosen yang diharapkan mampu menjadi prime mover  penelitian, ternyata belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang memadai. (2) Banyak tenaga edukatif atau peneliti yang kurang memiliki waktu meneliti karena  berbagai kesibukan, sehingga penelitiannya semata-mata berorientasi pada KUM untuk kenaikan pangkatnya. (3) Alokasi dana penelitian yang relatif rendah. Bahkan masih banyak PTAI yang melihat penelitian sebagai kebutuhan sekunder, sehingga alokasi dana ditentukan secara “tentatif”. (4) Kurang gencarnya publikasi penelitian disatu pihak dan belum tumbuhnnya kelompok pembaca yang research mainded pada pihak lainnya. Dan (5) Belum tumbuhnya oganisasi-organiasi profesi serta lembaga-lembaga penelitian non perguruan tinggi yang profesional sebagai mitra sekaligus “kompetitor” PTAI.
            Untuk mendesain PTAI menuju “research university” ada beberap langkah prakondisi yang perlu dipersiapkan, yaitu : (1) Kemampuan SDM peneliti harus tetap menjadi prioritas pengembangan, karena ia merupakan investasi pengembangan SDM merupakan investasi jangka panjang, karena hasilnya baru akan dinikmati dalam tempo yang relatif lama. Namun demikian kemampuan menelti perlu terus ditingkatkan, perlu ada suasana refressing yang memungkinkan peneliti terus belajar dan mengembangkan diri, khususnya bagaimana membuat proposal dan design riset yang sesuai dengan selera funding dan sekaligus strategi pelaporan. (2) Perlunya ada upaya rekonstruksi pada sistem pembelajaran PTAI. Selama ini kita belajar hanya dari papan tulis. Kita belum membiasakan pengembangan tradisi pembelajaran yang lebih bermakna, seperti di laboratorium, di media-media praktikum, sehingga kompetensi yang selama ini dihasilkan PTAI belum memuaskan. (3) Secara internal perlu ada iklim yang kondusif berupa; kemampuan SDM peneliti, kultur penelitian, dana yang disediakan secara kompetitif, dan publikasi dari hasil penelitian sehingga peneliti- peneliti berbakat benar-benar ditumbuhkan dari dalam. (4) Secara eksternal perlu dikembangkan kultur yang kompetitif, melalui tersedianya informasi funding-funding penelitian yang menawarkan dana penelitian secara kompetitif. Informasi ini sangat penting dalam rangka menciptakan kultur berkompetensi secara sehat bagi mereka yang memang secara mandiri mampu melakukan penelitian..
            Sebagai bahan refleksi, relevan dikemukakan apresiasi Qomaruddin Hidayat bahwa “kampus bukan sekedar lembaga pelayanan pendidikan tetapi juga sebagai pusat pengembangan research, Alhasil seorang dosen mesti  membuktikan bahwa dirinya adalah betul betul seorang  dosen dan bukan sekedar seorang guru

Selasa, 26 Maret 2013

STUDI TEKS : DARI CONTENT ANALISYS HINGGA POS-MODERNISME



Ditengah dinamika perkembangan metodologi penelitian, studi teks (merujuk pada jenis atau model metode analisis penelitian kualitatif) belakangan ini menjadi marak dan populer dipakai oleh para ahli di bidang ilmu sosial dan humaniora sebagai bentuk dan jenis varian baru dalam penelitian. Semula studi teks hanya dipakai di bidang komunikasi, khususnya komunikasi politik, tetapi sekarang sudah berkembang ke banyak disiplin seperti sosiologi, geografi, sejarah, bahasa, seni, sastra, media dan bahkan perfilman. Tidak kalah dari penelitian lapangan yang menggunakan sumber-sumber primer untuk memperoleh data sebagai salah satu keunggulannya, studi teks memiliki keluasan tafsir dan otentisitas sebagai keunggulannya. Pengkaji teks fokus pada bagaimana teks dikonstruksi, bagaimana makna diproduksi, dan apa hakikat makna tersebut. Teks dianggap sebagai wilayah kajian yang menantang para peneliti karena senantiasa hidup dan dinamis.
Sejatinya studi teks merupakan analisis data yang mengkaji teks secara mendalam baik mengenai isi dan maknanya maupun struktur dan wacana. Teks yang dimaksudkan tidak saja berupa narasi tertulis yang diambil dari koran, majalah, acara TV, naskah pidato, tetapi apapun yang bisa ditafsir dapat diperlakukan sebagai teks, termasuk arsitektur, model pakaian, perabot rumah tangga, rumah makan perkantoran dan sarana lain  di ruang publik.(Lockyer dalam Given 2008: 865).
Terdapat beberapa jenis studi teks, antara lain :  Analisis Isi (Content Analysis), semiotika (semiotics), fenomenologi (phenomenology), dan  hermeneutika (hermeneutics). Untuk metode hermeneutika terdapat dua macam: hermeneutika intensionalisme dan Gadamerian. Metode yang dipakai untuk mengkaji struktur teks dan wacanapun ada beberapa macam, yaitu: 1) Analisis Gaya Teks, 2) Analisis Naratif, 3) Analisis Wacana, 4) Analisis Struktural, 5) Analisis Pos-struktural, dan 6) Analisis Pos-modernisme.  Analisis Wacana kemudian juga dikembangkan menjadi Analisis Wacana Kritis. Jika Analisis Wacana lebih menekankan secara murni pada aspek-aspek linguistik, maka Analisis Wacana Kritis atau sering disebut Critical Discourse Analysis (CDA) lebih memusatkan pada pertarungan kekuasaan (power struggle) melalui wacana, feminisme, dan dominasi kekuasaan (politik).
Ada banyak macam cara yang dapat digunakan untuk melakukan studi teks tergantung pada minat akademik masing-masing. Ada yang mengkaji teks dengan memusatkan perhatian pada relasi antara makna yang ada di dalam teks dengan keadaan di lapangan atau di luar teks.  Ada kesesuaian atau tidak. Sedangkan yang lain mengkaji konstruksi dan kekuatan mitos-mitos kultural di balik kehadiran teks.
 Mengingat setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan, termasuk masing-masing metode diatas, maka untuk mengurangi kelemahan tersebut,  para pengkaji teks  mencoba menggunakan metode konvergensi (gabungan). Misalnya, metode Analisis Isi dengan analisis semiotika. Yang pertama menekankan frekuensi penggunaan kata yang dipakai dalam teks dan berparadigma positivistik, dan yang kedua lebih menekankan simbol sebagai tempat tersimpannya makna. Sebagaimana diketahui paradigma positivistik memiliki kelemahan mendasar, yakni tidak mampu mengungkap hakikat makna yang lebih dalam karena bertumpu pada apa yang ada (tertulis) secara empirik. Sementara, semiotika juga memiliki kelemahan yakni terlalu dominannya subjektivitas pengkaji. Dengan menggabungkan keduanya diharapkan diperoleh makna yang lebih objektif. Para pengkaji teks juga mengembangkan wilayah pencariannya, tidak saja menggali makna teks  secara tesktual, tetapi juga memahami implikasi ideologis dari teks, baik teks riel maupun fiksi.
Semua teks pada dasarnya memiliki struktur naratif  dan kekuatan persuasif serta  dimaksudkan untuk menyampaikan makna tertentu sesuai maksud penulisnya. Yang penting diperhatian pengguna metode ini adalah studi teks tidak dimaksudkan untuk mencari interpretasi yang ‘benar’ mengenai teks, melainkan untuk mencari interpretasi macam apa yang digunakan. Sebab, kebenaran makna teks secara utuh mustahil dapat diperoleh. Maka, tak heran jika hasil interpretasi sering kali lebih luas daripada maksud pengarangnya. Dan, itu boleh-boleh saja dengan asumsi the author is dead  (teks yang sudah berada di ruang publik telah lepas dari pengarangnya).
Teks adalah bersifat polisemik, sehingga  membuka ruang untuk multimakna dan multitafsir. Jadi, makna teks tidak pernah tunggal. Namun demikian, tidak berarti penafsir teks bisa dengan sesuka hati  menafsir teks sesuai yang diinginkan. Sebab, makna dibawa oleh kode (kata), konvensi, dan yang lebih penting lagi oleh gaya (genre) bagaimana  teks ditulis, konteks sosial, kultural, historis, dan ideologis yang melingkupi teks tersebut. Semuanya menyatu mengantarkan makna teks secara utuh. Dengan demikian, pengkaji teks  tidak dapat dengan sebebas-bebasnya menafsir teks berdasarkan kemauan dan kepentingan pribadinya.
Ada juga pengkaji teks  yang  menitiberatkan kajiannya pada interkoneksi makna yang ada di dalam teks dan makna di luar teks. Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai konteks retorika teks, seperti (Siapa yang menulis teks?, Apa intensi atau maksud penulisnya?, Siapa pembaca yang diharapkan?, Topik atau isu apa yang diajukan?, Bagaimana pembaca disapa?, Apa tema dan klaim yang dibuat?, Apakah ada bukti atau penjelasan yang mendukung tema tersebut? Apa hakikat bukti tersebut?., dan pertanyaan yang lebih luas lagi menyangkut ‘Bagaimana kaitan teks  tersebut dengan teks-teks yang lain dengan gaya dan format yang sama?)’. Di sini pengkaji teks melakukan apa yang disebut dengan pembacaan intertekstualitas. Makna  dari sebuah teks bisa juga ditelusuri dengan membaca teks yang lain. Logikanya adalah teks tidak pernah muncul tiba-tiba dan hadir sendirian. Karena itu, co-texts dan intertextuality senantiasa ada.
 Terlepas dari kekurangan yang ada, analisis teks merupakan metodologi yang sangat menarik dan berkembang cepat seiring dengan perkembangan teks-teks sosial dan kemanusiaan.  Studi teks dapat dipakai untuk memahami konstruksi makna teks dari berbagai teks kultural. Melalui pengkajian yang mendalam, analisis teks bisa melahirkan lahan diskusi akademik yang hidup dan luas, karena luasnya cakupan makna yang dibawa oleh teks. Salah satu kelebihan studi teks adalah menyangkut ke’alamiah’an data. Teks lebih dulu ada di masyarakat sebelum peneliti teks memulai mengkajinya. Namun demikian, mampu memahami konstruksi makna teks dan implikasi ideologisnya tidak berarti pengkaji bisa lepas dari bias yang muncul. Bias tafsir sulit dihindari. Untuk itu, upaya yang dilakukan oleh setiap pengkaji teks ialah mengurangi sebanyak mungkin bias yang timbul pada saat analasis dan saat data dikumpulkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka para pengritik studi teks mempertanyakan validitas pendekatan studi teks. Alasannya adalah membaca teks memantulkan perspektif pengkajinya dan metode memahami teks sangat ideologis. Menyadari hal itu, para ahli studi teks, seperti  Paula Saukko menggaris bawahi bahwa sebuah teks sebenarnya tidak pernah bisa dipahami secara lengkap. Sebab, aktivitas membaca dan mengkaji teks sangat  ditentukan oleh kondisi sosial yang sedang terjadi baik pada saat teks dibuat maupun dikaji.Selanjutnya, pengkaji teks harus mampu secara kritis melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan, dengan melihat aspek-aspek politis dan sosial yang ada. Untuk mencapai hal itu, Saukko menyarankan pengkaji teks bisa menggunakan model analisis teks multiperspektif dengan cara menggabungkan beberapa pendekatan studi teks secara bersamaan. Misalnya, pendekatan semiotika dengan pos-modernisme, Analisis Wacana  dengan Hermeneutika, Analisis Isi (yang kuantitatif) dan mengkajinya secara kualitatif (Qualitative Content Analysis).
Yang menarik, jika selama ini Content Analysis dikenal sebagai metode studi teks berparadigma positivisme yang tentu menggunakan metode penelitian kuantitatif, maka dengan kelahiran Qualitative Content Analysis asumsi tersebut telah bergeser. Jika dalam penelitian lapangan belakangan ini dikenalkan metode campuran yang mencoba menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan - mengingat masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan - atau yang dikenal dengan istilah mixed method, maka studi teks pun tidak mau ketinggalan, yakni dengan menawarkan pendekatan sejenis yang disebut Qualitative Content Analysis.
Sebagai sebuah disiplin, metodologi penelitian - seperti halnya disiplin-disiplin  yang lain - senantiasa terus berkembang dan berubah. Metode yang sudah baku sekian lama pun bisa bergeser untuk mengikuti tuntutan dan tantangan jaman.

BEBERAPA KATA MOTIVASI UNTUK DIRENUNGKAN
                                                                                                                                                                         Oleh : Ust.. Hefni Zain

1. Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.
2.  Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil
3. Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan
4. Anda tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila anda berkeras untuk mempertahankan cara-cara lama anda. Anda akan disebut baru, hanya bila cara-cara anda baru
5. Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara kerjanya yang tidak lagi produktif, adalah sama dengan orang yang terus memeras jerami untuk mendapatkan santan
6. Mengapa Anda hanya dekat dengan mereka yang anda sukai dan seringkali anda menghindari orang yang tidak tidak anda sukai, padahal dari yang tidak anda sukai itulah Anda akan mengenal sudut pandang yang baru
7. Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan, telah menua sejak muda
8.    Bila anda belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat anda, bakatilah apapun pekerjaan anda sekarang. Maka Anda akan tampil secemerlang yang berbakat
9.    Bila anda mencari uang, anda akan dipaksa mengupayakan pelayanan yang terbaik. Tetapi jika anda mengutamakan pelayanan yang baik, maka andalah yang akan dicari uang.
10. Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu adalah sangat berharga. Memiliki waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan
11.  Pelaut ulung tidak pernah lahir dari laut yang tenang, karena itu orang yang meraih fajar hanyalah merka yang mau dan mampu melakukan perjalanan panjang di waktu malam. Maka jangan pernah berharap melihat indahnya bulan bila tidak berani melihat gelapnya malam, sebab tak mungkin disebut cahaya kalau tak ada gulita.
12. Penolong sejati adalah menolong dengan “sungguh-sungguh menolong”, yakni menolong tanpa tujuan apapun selain menolong itu sendiri, bukan menolong demi interess konsesif yang menyandera nasib orang yang ditolongnya, bukan mengutangi jasa orang lain untuk mengikat kebebasan orang yang diutangi tersebut, bukan membantu orang lain sambil merasa dirinya lebih tinggi derajatnya karena dia telah mambantu, sehingga sesungguhnya yang dia lakukan adalah merendahkan orang yang seakan akan dibantunya itu. (Bersambung)

Kamis, 21 Maret 2013

PENGEMBANGAN ITU BUTUH MANAJEMEN KREATIVITAS




Ust. Hefni Zain
Manajemen sebagai disiplin ilmu yang baru dikenal pada pertengahan abad ke 19, dewasa ini menjadi sangat popular, bahkan dianggap sebagai salah satu kunci keberhasilan pengelolaan berbagai organisasi,  termasuk lembaga pendidikan Islam. Karena itu penguasaan terhadap  teori dan praktek manajemen merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap lembaga dalam rangka mengembangkan lembaganya secara optimal, efektif dan efisien, lebih-lebih ditengah arus revolusi informasi dimana  berbagai lembaga pendidikan terus dihadapkan pada berbagai kompetisi dan  tantangan yang kian kompleks, maka untuk  mempertahankan eksistensi dan keunggulan daya saing lembaga tersebut, juga untuk menghasilkan out put yang bermutu tinggi, diperlukan trobosan manajemen yang dapat memobilisasi segala sumber daya yang tersedia secara optimal dan akurat, baik melalui pengembangan dan penataan SDM maupun peningkatan kompetensi dan penguatan institusi, dan semua itu mustahil tanpa pemahaman yang memadai mengenai teori dan praktek manajemen.
Namun yang paling mendesak diperlukan dalam rangka memajukan sebuah lembaga pendidikan adalah manajemen kreatifitas, sebab kunci kemajuan dari sebuah lembaga apapun sejatinya adalah jika terdapat kreativitas dari orang-orang yang berada di lembaga itu. Kreativitas merupakan kata kunci dan pintu masuk dari berkembangnya inovasi, pikiran-pikiran baru dan juga modernisasi. Namun kreativitas memerlukan iklim, ruang, atau space untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa itu, maka kreativitas akan mati membusuk, dan yang terjadi adalah kegiatan yang bersifat rutinitas yang bersifat teknis.
Akhir-akhir ini ada trend bahwa banyak pihak yang dalam menggerakkan lembaganya lebih memilih menggunakan pendekatan birokrasi mesin, dimana semua kegiatan dijalankan atas dasar aturan yang ketat dan saklek. Perencanaan yang telah disusun harus bisa dilaksanakan. Selain itu, pelaksanaannya harus sesuai dengan aturan yang ada. Menyimpang sedikit dari aturan yang ada dianggap salah dan melanggar, dan kalau perlu harus mendapat sanksi, sekalipun sebenarnya justru menguntungkan lembaga itu sendiri.
Model manajemen yang seperti itu sangat sulit dilakukan oleh perguruan tinggi. Pimpinan perguruan tinggi, harus mengikut saja apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sementara sehari-hari, pimpinan perguruan tinggi menghadapi orang kreatif dan bahkan juga keadaan yang selalu berubah. Menghadapi persoalan seperti itu, maka pimpinan perguruan tinggi dihadapkan pada situasi yang dilematis dan amat sulit. Tidak memenuhi aspirasi dosen dan mahasiswa dianggap jumud, sedangkan menyimpang dari aturan, akan dianggap salah dan bahkan dikenai sanksi.
Dalam keadaan seperti itu, maka yang sering terjadi adalah penyesuaian kebijakan dengan tuntutan birokrasi, sekalipun hal itu sebenarnya juga salah. Contoh yang paling mudah tentang adaptasi itu misalnya, ketika kampus memerlukan masjid, sedangkan dana untuk membangun tempat ibadah itu tidak mungkin disetujui, maka masjid itu dinamai saja laboratorium. Dana dari pemerintah hanya boleh digunakan untuk membangun laboratorium, tetapi tidak boleh untuk membangun masjid. Maka, jalan keluarnya masjid itu harus dinamai gedung labortatorium kajian Islam.
Itulah salah satu contoh adaptasi yang harus dilakukan. Selain itu masih banyak kegiatan yang diberi nama hanya untuk menyesuaikan dengan mata anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Hal demikian itu telah dipahami dan dilaksanakan di mana-mana, di kantor pemerintah. Dengan demikian, rekayasa-rekayasa seperti itu dianggap wajar dan atau hal biasa. Padahal sebenarnya, dengan cara itu secara otomatis, telah mengajari birokrat untuk tidak jujur.
Pada akhir-akhir ini, berbagai pihak mendorong tumbuhnya kaum entrepreneur. Ciri khas entrepreneur adalah keberanian, kebesan dan berani mengambil resiko. Tidak pernah ada entrepreneur sukses manakala harus dihadapkan pada berbagai aturan yang membelenggu. Entrepreneur selalu kreatif untuk melakukan ekprerimentasi atau uji coba dan uji coba. Kreatifitas itulah yang menjadikan entrepreneur menjadi maju. Sebaliknya, banyak usaha yang ditangani oleh pemerintah justru menjadi mandeg dan bahkan bangkrut. Hal itu dikarenakan dijalankan oleh birokrat pemerintah dengan aturan yang ketat.
Bangsa Indonesia sekarang ini, dirasakan banyak tertinggal dari bangsa lain. Akan tetapi anehnya yang dikerjakan sehari-hari adalah membuat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dirjen, dan seterusnya. Akibatnya, para birokrat terbelenggu dan sulit melakukan langkah-langkah cerdas dan stratagis. Cerdas dianggap menyimpang, dan menyimpang selalu berkonotasi salah.
Mestinya dalam suasana seperti ini, di kalangan pemerintah perlu ditumbuh-kembangkan manajemen yang berpihak pada kreativitas, atau mungkin cocok disebut entrepreneur birokrasi. Yaitu, birokrasi yang memberi ruang bagi para birokrat untuk mengambil langkah-langkah cerdas dan strategis guna mengakselerasi pertumbuhan dan sekaligus memperkokoh institusinya. Mungkin dalam kebijakan ini akan muncul kekhawatiran, yaitu terjadi penyelewengan terhadap aset dan kekayaan negara. Padahal sebaliknya, jika kreativitas diberi ruang, maka akan berpeluang menguntungkan negara. Saya pribadi lebih memilih untuk memberikan peluang berkreativitas.
Saya melihat bahwa berbagai penyimpangan yang terjadi di birokrasi selama ini, berupa korupsi, kolusi dan nepotisme, adalah justru dilahirkan dari manajemen yang kaku atau disebut manajemen mesin itu. Manusia tidak akan merasa nyaman jika berada di lingkungan yang sedemikian membelenggu. Oleh karena itu, mereka mencari peluang-peluang untuk menumbuh-kembangkan kreativitas itu. Kreativitas adalah kebutuhan bagi semua orang, sehingga harus disalurkan. Saya berpendapat bahwa, terjadinya kasus-kasus korupsi dan juga mental mendua selama ini, sebenarnya adalah bersumber dari birokrasi yang dikendalikan secara ketat seperti itu.
Oleh karena itu saya berpandangan bahwa untuk mengejar ketertinggalan dan sekaligus mempercepat pertumbuhan bangsa ini perlu dikembangkan entrepreneur birokrasi. Dengan cara itu maka para birokrat pemerintah akan merasa lebih dihargai, dipercaya, dan akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk mengejar prestasi masing-masing. Birokrasi pemerintah yang dirasakan membelenggu akan mengakibatkan lahirnya orang-orang yang tidak kreatif dan bahkan banyak berbuat semu atau seolah-olah. Buktinya, cukup banyak, di antaranya adalah keadaan yang kita lihat dan rasakan sekarang ini. (Tulisan diresensi dari ceramah Prof. Dr. Imam Suprayogo di S3 UIN Maliki Malang Jawa Timur)


Senin, 28 Januari 2013

REKONSTRUKSI NILAI-NILAI RISALAH SEBAGAI MOMENTUM MENAKAR DIRI



Ust. Hefni Zain

I
Jutaan bibir manusia di bumi ini menyebut namanya, jutaan huruf dan kalimat dirangkai oleh para ulama’, sastrawan, filosof dan sejarawan untuk mengungkap kekaguman yang tak pernah kering dari kepribadiannya.  Dialah Baginda Nabi besar Muhammad saw,  model tokoh paripurna yang kehadirannya tidak saja membawa pencerahan bagi seluruh umat manusia, tetapi juga sebagai rahmah bagi sekalian alam.  Karena itu, setiap kali bulan rabiul awal tiba, umat Islam dengan antusias menyambutnya dengan berbagai cara dan kegiatan, yang semua itu tidak bisa diartikan lain, kecuali sebagai ekspresi kecintaan dan penghormatan mereka kepada Rasululloh saw.
Sayyidina Abu Bakar Ash-Siddiq dawuh :  “Barang siapa yang memberikan infaq satu dirham untuk memperingati kelahiran Nabi Saw : akan menjadi temanku masuk surga” . Sementara Sayyidina  Umar Bin Khoththob dawuh :  “Barang siapa yang memuliakan kelahiran Nabi Saw, berarti telah menghidupkan Islam”  Sedangkan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib dawuh : Barang siapa yang memuliakan kelahiran Nabi Saw, tidak meninggalkan dunia kecuali membawa iman.
Memang merupakan obsesi setiap muslim untuk selalu mendapatkan syafaat Nabi Muhammad saw, selalu dekat dengan beliau, diakui sebagai pengikut setianya dan dikumpulkan bersamanya di akherat kelak, dan tidak ada seorangpun diantara kita yang menghendaki jauh dari beliau,  sebab sejatinya tidak ada yang dapat kita andalkan dari amal kita dihadapan Allah tanpa syafaat beliau, terlalu banyak dosa dan kelemahan kita  dan terlalu sedikit amal sholeh kita untuk dipamerkan di hadapan Allah swt, maka satu satunya harapan kita yang masih tersisa untuk memperoleh kehidupan yang baik adalah pertolongan dan kasih sayang Allah swt juga syafaat Rasululloh saw. 
Namun sulit dipungkiri bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad saw yang semula dimaksudkan untuk membangkitkan kecintaan kepada beliau dan meneladani pola hidup beliau, secara empiris perlahan mulai kehilangan nilai substansinya, bahkan tidak jarang Rasululloh saw tidak diikut sertakan dalam peringatan tersebut. Kegiatan-kegiatan itu acapkali  diisi dengan gelak tawa yang justru dapat menjauhkan kita dari dari syafaat  Rasululloh saw. Kita mau membayar mahal hanya untuk mengocok perut kita agar tertawa terpingkal-pingkal. Setelah peringatan itu usai tidak tampak efeknya bahwa kita baru saja memperingati maulid Nabi Muhammad saw.
Sayyidina Ali pernah mengingatkan para sahabat, “Demi Allah, janganlah kalian membuat Rasululloh kecewa, tidakkah kalian sadari bahwa prilaku kalian diperlihatkan kepadanya, jika beliau melihat prilaku tercela kalian, beliau sangat kecewa.  Di tegaskan dalam Al-Qur’an “Beramallah kalian, maka Allah akan melihat amal kalian, juga Rasululloh dan orang-orang yang beriman (Qs At-Tawbah : 105). Hari-hari ini tentu beliau sangat kecewa, tatkala diperlihatkan kepadanya prilaku umatnya yang keterlaluan, mengkomersilkan ayat-ayat Tuhan, mengkomoditaskan rakyat, , hati kita yang khianat, dan tubuh kita yang keasyikan dalam permainan dunia.  Dan kekecewaan itu semakin perih, ketika berbagai bentuk prilaku tak terpuji itu justru diatasnamakan membela ajaran beliau, laksana penyamun yang berjubah kesholehan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan bahwa nabi saw  pernah bersabda ”Akan datang suatu masa pada umatku, mereka mencintai lima hal dan melupakan lima hal lainnya. Mereka mencintai dunia tapi melupakan akherat. Mencintai kemewahan tapi melupakan siksa kubur, Mencintai harta benda tapi melupakan hisab Allah,  Mencintai keluarganya tapi melupakan kebenaran, Mencintai dirinya tapi  melupakan  Allah swt.  Kata Nabi mereka jauh dariku dan aku jauh dari mereka”.

II
Apa yang diprediksi Nabi saw kini benar-benar terjadi, tidak sedikit orang yang mengaku pengikut setia Rasul saw terus berburu harta dan kemewahan, padahal kemewahan hanya dikendalikan oleh logika hasrat (logic of desire), maka pemburunya berkecenderungan menderita maniak rakus, dengan kata lain, dalam pelukan kemewahan seseorang pasti mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”, dan bila kerakusan menguasai seseorang, maka yang bersangkutan akan memburunya kemanapun dan dengan cara apapun. Akibatnya kemewahan mengaburkan pandangan yang bersangkutan dari segala sesuatu yang ada disekelilingnya, ia akan menelan habis kesadaran yang bersangkutan membuatnya buta dan tuli terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup saudaranya yang lain. Inilah hal essensial yang dikhawatirkan Rasulululloh saw, dan mesti menjadi catatan penting bagi  semua pihak yang nuraninya masih normal.
Selama hidupnya, Rasululloh saw telah mengorbankan segalanya dalam membimbing kita ke jalan yang lurus dan selalu berharap agar kita menjadi orang yang baik, sebagai balasannya kita malah kecewakan dan khianati  hati beliau dengan menjadi pengikut manzhab kemewahan sambil mengaku pengikut Rasul.  Sejatinya pemuja kemewahan adalah para pecandu citra, simbol dan fantasi. Eksistensi mereka amat bergantung kepada seberapa banyak kepemilikan harta benda. Maka, bila para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak berguna dan tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu siapapun yang tidak percaya diri karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.  Kesadaran ini penting untuk mempertahankan keistiqomahan kita dalam mengikuti Rasul saw serta untuk memperkokoh tekad kita untuk tidak membiarkan diri kita dibuai oleh rumbai-rumbai kemewahan, kemegahan dan popularitas.
Islam mengajarkan umatnya hidup didunia tetapi tidak meletakkan hatinya didunia, bekerja di dunia tetapi semata mata untuk kepentingan akherat, dengan itu menjadikan  dirinya tidak mau ditipu dan diperbudak oleh permainan dunia sehingga hatinya menjadi merdeka, sebab dirinya tidak lagi hawatir atas apapun yang terjadi, ia tidak bersedih karena apa yang lepas dari tangannya dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadanya.
Dalam banyak riwayat disebutkan “Tiap sesuatu terdapat ujian dan ujian terhadap umatku ialah kecintaan terhadap harta benda” (Hr. Ibnu majah) “Cinta yang berlebihan terhadap harta dan kedudukan dapat mengikis agama seseorang (Hr. Tabrani) “Sesungguhnya kecintaan terhadap dinar dan dirham telah membinasakan orang orang sebelum kamu dan dimasa yang akan datangpun tetap akan membinasakan (Hr. Tabrani). Islam bukan mengajarkan umatnya menolak harta dan  tidak boleh  memilikinya, yang dianjurkan Islam adalah jangan sampai seseorang terlalu mencintainya sehingga menjadikan dirinya diperbudak oleh hartanya itu. Bagi Islam manusia yang baik  adalah seseorang yang tidak meletakkan kebahagiannya pada apa yang dimiliki melainkan pada pemanfaatannya.


III
Rasululloh pernah bermimpi mimbarnya dikrubuti kera, sejak mimpi itu Rasul saw begitu sedih, Rasul Bersabda nanti akan ada fitnah yang menggunung, waktu itu berada di perut bumi lebih baik daripada di punggung bumi,  Saat itu Rasul membayangkan suasana ketika kaum munafiq mencemari ajaran rasul, ketika sunnah rasul dirubah menjadi ajang kepentingan  politik, ketika agama dimainkan oleh orang yang memiliki kewenangan, Rasul saw sangat menyedihkan hal itu dan menangisi mimbar agama Rasul sepeninggal beiau.  Ternyata semua itu terjadi, kini ajaran beliau banyak diubah oleh kaum yang mengaku umat beliau, ungkapan cinta yang semestinya menjadi sunnah dan ungkapan tauhid tak jarang disebut bid’ah atau bahkan syirk.
Sejumlah ulama menyebutkan bahwa ciri-ciri pengikut Rasululloh saw antara lain adalah :
1.      Mereka yang berjuang di jalan Allah dan tidak peduli apakah maut menjemput mereka atau mereka menjemput maut.
2.      Mereka yang berakhlaq mulia dan mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan mereka sendiri, mencintai orang lain sama dengan mencintai diri mereka sendiri.
3.      Mereka yang memberikan apa yang dipandang baik dan menahan apa yang dipandang jelek, menampakkan akhlak terpuji dan bersegera melakukan hal hal mulia, tidak didapatkan dalam diri mereka prilaku yang dilarang Allah swt.
4.      Mereka yang banyak memberikan manfaat pada orang lain, walau dirinya sendiri harus menderita.
5.      Mereka yang lebih banyak memberikan uswatun hasanah daripada mau’idatun hasanah.
6.      Mereka yang membalas makian dengan doa keselamatan.
7.      Mereka yang mengayomi siapa saja terutama orang kecil, teraniaya dan tertindas.
8.      Mereka yang prinsip hidupnya tidak bisa ditukar dengan gemerlap duniawiyah.
9.      Mereka yang meletakkan ukuwah diatas segalanya.

Maka kalau kita ingin menjadi pengikut Rasul yang sesungguhnya, seseorang harus banyak memberikan manfaat pada orang lain walau dirinya harus menderita, tidak berhenti mengupayakan persatuan kaum muslimin walau berat resikonya, terus berpegang teguh kepada dua pusaka peninggalan beliau dan terus berjuang mempersatukan sesama mu’min dalam akidah, bertoleransi dalam khilafiyah dan berfastabiqul khoirat dalam amaliyah. 
Kini saatnya bercermin diri pantaskah kita mengaku sebagai pengikut Rasululloh padahal sedikitpun kita tidak berpegang teguh pada prinsip hidup yang diajarkan dicontohkan beliau,  pantaskan kita mengharapkan sorga Allah  padahal kita tak berhenti bermaksiat  kepadaNya.
Selama hidup beliau sangat jujur dan amanah, shg mendapat julukan al-amin (terpercaya), Memilih pola hidup sederhana, Mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi, Menghormati yang senior dan menyayangi yang yunior, Selalu bertaqwa, bertaubat, Sabar dalam segala hal, Selalu bersyukur & Bertawakkal kepada Allah dalam segala urusan, (As safaqah & An nasru) Belas kasihan & Suka memberi pertolongan kepada yang lain, (Al Ikhaa), Memiliki mental persaudaraan yang tinggi, (An nasihaah),Suka memberi nasehat), (Al afwu) Suka memaafkan kesalahan orang lain dan semacamnya.
Dalam pemimpin, beliau bukan hanya pandai memberi teladan tetapi juga menjadi teladan bagi uamatnya, bukan hanya memberi contoh tetapi menjadi contoh. Bukan hanya pandai bermai’idah hasanah, tetapi juga  beruswah hasanah
Sifat-sifat seperti inilah yang kian hari kian langka dalam kehidupan kita. Sebaliknya Justru yang tambah subur dalam kehidupan kita adalah prilaku dan sifat-sifat yang selama hidupnya sangat di jauhi Rasululloh, yakni : ketidak jujuran, hidup mewah, berlomba memperkaya diri dan mendahulukan kepentingan diri, keluarga, kerabat, dan kroni-kroninya