Senin, 01 April 2013

TERPENJARA OLEH PIKIRANNYA SENDIRI



Sejatinya setiap orang memiliki potensi yang luar biasa, tetapi bila tidak didukung oleh lingkungan internal dan eksternal, maka potensi tersebut akan terhambat bahkan bisa sia-sia.
Anda tahu kekuatan sebenarnya gajah liar ?  sungguh sangat dahsyat, ia mampu berjalan lebih dari 40 km perhari, mampu merobohkan pohon, merusak kampung dan mampu mencari makan dalam jumlah berlimpah, tetapi suatu saat ada seorang pawang yang menjinakkan gajah liar dengan cara membaknya dengan obat bius hingga gajah itu pingsan, lalu diikatnya dengan rantai dan ditambatkan pada pohon besar, setelah siuman gajah berusaha lari, tapi karena kakinya terikat rantai, gajah itu terjatuh, kemudian ia bangun dan berusaha lari lagi, tetapi terjatuh lagi, begitu terus berulang-ulang, disaat gajah kehabisan tenaga ia diam dan lemas, lalu si pawang memberinya makan, tatkala gajah memiliki tenaga baru dia berusaha lari lagi, tetapi jatuh lagi, kejadian seperti itu terus berulang selama dua pekan.
Pada pekan ketiga si pawang mengganti rantai yang mengikat kaki gajah dengan tali plastik, ternyata si gajah tidak  berusaha lari lagi, nampaknya ia trauma, karena sebelumnya  mendapat pengalaman berkali-kali jatuh setiap kali berusaha lari. Kini kemampuan gajah berkurang drastis karena dibatasi oleh pikirannya sendiri, dalam kondisi seperti ini dia tidak mau lagi berjalan jauh atau berusaha keras mencari makanan, toh nanti ada orang yang makanan pikir si gajah.
Dalam diri manusia juga terdapat banyak rantai gajah, tak mungkin saya sukses, saya kan bukan sarjana, saya kan wong ndeso dan katro, bukan potongan saya kaya, bapak dan kakek serta buyut bungkalatan, garis keturunan saya adalah garis kere. Ngak mungkin saya sukses berwirausaha, saya kan tidak punya modal, skill saya juga terbatas, darah hanya cocok jadi bawahan, ini takdir Tuhan buat saya. Ini yang saya sebut terpenjara oleh pikirannya sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti ini dan sejenisnya adalah sederet rantai gajah dalam diri kita. Bila ingin memunculkan potensi yang sesungguhnya kita harus take action untuk membuang rantai gajah dalam pikiran kita. Kita harus berjuang untuk bebas dari penjara pikiran kita.
Keterbatasan fisik tidak boleh menjadi alasan yang memenjara kita, lihatlah Helen Keller, meski gagu, buta dan tuli, tapi ia mampu lulus dari Harvard University dengan prestasi memuaskan. Juga Hee Ah Lee meski hanya punya empat jari, 2 di kanan dan 2 di kiri, tapi ia mampu menjadi pianis hebat kelas dunia yang sudah sukses menggelar konser di berbagai negara. Keterbatasan pendidikan juga tidak boleh menjadi justifikasi kokohnya rantai gajah, Bill Gates hanya tamat SMK dan tidak sarjana, Tapi ia mampu menjadi raja komputer dan salah satu orang terkaya di dunia saat ini. Keterbatasan ekonomi pun tidak boleh menjadi legitimasi munculnya penjara dalam pikiran kita, Sugiharto (mantan Meneg BUMN) dulunya seorang tukang parkir, kuli pelabuhan dan pedagang asongan. Sylvester Stallone dulunya juga penghuni panti asuhan tapi ia mampu menjadi orang sukses sebagai bintang  Hollywood papan atas.
 Mari kita segera buang rantai gajah yang masih bercokol dalam pikiran kita, mari kita berjuang untuk membebaskan diri dari penjara pikiran kita,  agar kita mampu menembus berbagai keterbatasan.
Ketahuilah ...Insan-insan pengubah dunia adalah mereka yang  bisa  memetik pelajaran dari setiap kejadian. Mereka akan selalu belajar dari lingkungan yang positif, menjadikan setiap kesempatan sebagai sesuatu yang penuh makna.
Saudara...Hidup ini adalah pilihan, kita bisa diam dirumah bermalas-malasan, menyiapkan seribu alasan untuk tidak aktif di berbagai kegiatan, menyalahkan kondisi, bergantung pada orang lain, pesimis, pasrah dan mengharapkan keajaiban datang, kita bisa memilih itu semua tapi itu bentuk tidak bersyukur pada Tuhan, pilihan orang yang bersyukur adalah proaktif selalu mencari alternatif baru, kreatif dan selalu berpindah ke pekerjaan baru setelah menyelesaikan satu pekerjaan, selalu ingin berprestasi dan menjadi  serta memberi yang terbaik.

POSISI KERAGUAN DAN EPISTEMOLOGI ISLAM



Dalam merespon sebuah kebanaran, seseorang biasanya dihadapkan pada tiga sikap pilihan mendasar, yakni:  Yaqin atau percaya,  Ragu, dan Ingkar. Ragu adalah posisi berpindah-pindah (taraddud) atau ketidak gegasan dalam menentukan hukun benar atau salah mengenai sebuah premis. Penyebab timbulnya keraguan, salah satunya adalah ketidak tahuan seseorang tentang dalil atau argumentasi tertentu yang dapat dijadikan dasar untuk mengklaim dua kemungkinan hukum, benar atau salah.
Keraguan terkadang juga dijadikan sebagai sebuah metode dalam penelitian guna membenarkan atau menolak premis yang sedang diteliti. Metode ini dilakukan dengan menampilkan beberapa bantahan dan kemungkinan yang masih kabur dalam premis tersebut, lalu dilakukan observasi dan verifikasi empiris dengan penuh kecermatan dan akurasi, sebelum pada akhirnya menarik kesimpulan yang tegas. Metode ini dalam Islam dikenal dengan sebutan al-syak al manhaj” (keraguan metodis). Sejarah mencatat bahwa Descartes dan imam Al-Ghazali pernah menggunakan metode ini dan dianggap sukses dalam tahapannya menaiki tangga keyakinan kebenaran. Hal ini dapat kita lacak pada statemen filosofis Discrates yang menyatakan “Cogito, Ergo Sum” (Aku ragu, kemudian aku berpikir, maka bererti aku ada). Sementara Al-Ghazali terutama lewat bukunya  “Al-munqidz min ad-dhalal” sering memberikan pemahaman pada kita bahwa metode keraguan merupakan sesuatu yang penting dan bahkan dapat disebut sebagai tahapan yang mesti dilalui dalam mencapai keyakinan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa keraguan yang dia alami adalah muncul dalam upayanya mencari kepastian, yakni pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu “sebagaimana adanya” (haqaiq al-umur), yang dalam istilah Al-Ghazali lebih dikenal sebagai al ‘ilm al-yaqin, sebuah pengetahuan yang pasti yang didalamnya diketahui hal yang menjadi sedemikian nyata, dan tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuan sehingga dengan itu akal dan hati akan menemukan kepuasan penuh.

Keraguan Metodis Dan Keraguan Epistemologis
Yang harus ditegaskan disini adalah differensiasi mendasar antara keraguan yang difahami  Descartes dan keraguan yang dialami Al-Ghazali. Kalau keraguan yang difahami Discrates adalah keraguan epistemologis, yakni landasan sebuah aliran filsafat yang meragukan seluruh premis tanpa pengecualian. iltulah sebabnya mereka kemudian disebut dengan Al-la-adriyyun (agnosis). Kelompok ini dalam diskursus filsafat disebuat sebagai kaum skeptis yang bersepakat untuk menolak dasar-dasar ilmu pengetahuan rasional dan empirik.
Mereka berpendapat “selama segala sesuatu berubah dan tak satupun yang tetap, maka berarti tak satupun realitas mutlak yang ada”. Sedang apa yang kita sebut realitas (hakikat) adalah fenomena pada saat kita membicarakannya atau mendengarkan seseorang berbicara, mencari realitas adalah sama dengan membantah setiap realitas yang diduga sebagai realitas. Oleh kerana itu sesungguhnya tidak ada satupun entitas (maujud), seandainya ada, maka tak seorangpun dapat mengetahuinya, maka ia tidak akan pernah bisa mengenalkannya kepada orang lain. Lebih tegas mereka mengatakan bahwa realitas segala sesuatu tidak bisa diketahui, yang bisa diketahui hanyalah opini subjektif seseorang mengenai segala sesuatu, dan hal itu tentu saja bersifat relatif, dengan demikian sesungguhnya tidak ada tolok ukur atau standar tertentu bagi realitas yang dapat dipastikan dan dipercaya, oleh karena itu satu-satunya sikap yang bisa diambil adalah keraguan. (Al-falsafah al-yunaniyah wa tathawwaratuha).
Sementara keraguan yang dialami Al-Ghazali adalah keraguan metodis, yakni sebuah metode yang dikembangkan untuk mendapatkan kepastian segala sesuatu yang tak terbantahkan. Statemen Al-Ghazali yang dikutip pada uraian pendahuluan merupakan bukti bahwa skeptisme Al-Ghazali tidak dapat disamakan dengan skeptisme yang lumrah dalam filsafat Barat. Pikiran ragu Al-Ghazali tidak pernah tercerabut dari wahyu dan iman. Sementara pikiran ragu pada para skeptisme Barat adalah berbalik melawan grand design iman itu sendiri. Karena itu, sebagaimana dikatakan Guiseppe Furlani bahwa karaguan Al-Ghazali bukanlah keraguan seorang skeptis, tetapi keraguan seorang kritikus pengetahuan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa keraguan Al-Ghazali bukanlah tentang kebenaran itu sendiri, melaikan tentang cara untuk mengetahui dan cara untuk menerima kebenaran. Dalam konteks inilah dapat kita fahami ungkapannya yang menyebutkan “jika seorang mampu untuk ragu, maka itu pertanda akan mencapai kepastian”.

Urgensi Keraguan Metodis Dalam Wacama Aqidah
Dalam surat al-An’am 76-79 disebutkan “Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat bintang itu terbenam dia berkata: “inilah Tuhanku”, tetapi ketika bintang itu terbenam dia berkata: “saya tidak suka kepada yang terbenam. Kemudian tatkala dia melihat bulan tsabit dia berkata”inilah tuhanku”, tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang–orang yang sesat, kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata “Inilah Tuhanku”, ini yang lebih besar, maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata” hai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang meciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan bukanlaah termasuk orang  yang mempersekutukan Tuhan” (QS. 6:76-79).
Ayat diatas mendiskripsikan bahwa dalam proses mencapai pengetahuan akan Tuhan yang sebenarnya diperlukan keterlibatan secara aktif aksi kecerdasan akal untuk melakukan uji sholeh terhadap sesuatu yang direspon ataupun dianggap oleh indera kita sebagai tuhan. Disitu terdapat tahapan–tahapan keraguan yang kemudian mengantarkan kita kepada satu keyakinan dan kepastian yang sama sekali bersih dari titik-titik keraguan.
Seperti dimaklumi, dalam doktrin aqidah, Islam mendorong manusia untuk selalu mencari kebenaran dan menganjurkan manusia agar senantiasa bersikap kritis, cerdas dan menanyakan kebenarannya yang sudah diterima dari nenek moyangnya (QS. 2: 170), selalu terbuka terhadap koreksi atau keyakinan yang keliru (QS. 43:22-24), menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (QS. 7:28-29). Bahkan al-Qur’an malukiskan orang–orang yang tidak bersikap kritis terhadap nenek moyang mereka yang telah dianggap sebagai “pimpinan dan orang –orang besar”  akan kecewa dihari akhir “…. Ya tuhan,  kami telah taat (mengikuti tanpa tahapan keraguan dan sikap kritis)  kepada para pemimpin dan orang–orang besar kami. Lalu mereka sesatkan kami dari jalam-Mu yang lurus (QS. 33:67). Jadi, bagi pencari kebenaran sejati, keraguan metodis memiliki artikulasi signifikan sebagai tahapan untuk melakukan uji sholeh secara kontinu agar memperoleh horizon baru yang pada gilirannya dapat mengantarkannya pada satu keyakinan yang kokoh, mantap dan tak terbantahkan.

Yaqin Sebagai Sebuah Pengetahuan Emosional
Kata kerja lampau ”aqyana” dan pecehan-pecahannya digunakan dalam al-qur’an sebanyak 28 kali. Yaqin menempati peringkat tertinggi dari iman. Seorang disebut mu’min apabila dirinya telah meraih keyaqinan. Yaqin tidak muncul begitu saja, tapi ia harus dicari dan dituju. Setiap orang berpeluang menambah dan memperbesar rasa yaqin sesuai dengan potensinya. Pada awalnya seorang perlu meraih pengetahuan, melakukan jihad an-nafs (perlawanan terhadap ego) dan bertadarru’ kepada Allah. Jika semua itu dilakukan, niscaya seluruh galap yang menutup hati akan segera tersingkap, dan kita akan dibimbing atau dihantarkan pada satu pengetahuan (ilm al yaqin) yang didalamnya tidak dicemari oleh keraguan setitikpun.
Dalam realitasnya, term yaqin digunakan dalam identifikasi dua pengertian, pertama, yaqin digunakan untuk menyatakan ketiadaan keraguan, dalam arti bahwa pengetahuan atau kebenaran yang dicari berasal dari bukti yang tidak menyisakan tempat bagi kemungkinan keraguannya, sedangkan pada pengertian yang kedua, yaqin merujuk pada intensitas keimanan beragama atau kegairahan yang melibatkan penerimaan jiwa akan sesuatu yang merundung jiwa dan menguasainya.
Bagi kita, yaqin jenis kedua lebih punya nilai fundamental dan strategis, khususnya dalam diskursus aqidah. Karena tanpa keyaqinan yang demikian sebagai basis epistemologi bagi jenis  yaqin pertama,  maka keyaqinan itu akan dikatakan tidak memiliki nilai epistemik, lebih jauh lagi yaqin pada jenis kedua membantu pertumbuhan ketaatan religius dan spiritual. Dengan kata lain, kepastian filosofis tidak akan memiliki nilai apapun jika tidak disertai dengan ketundukan pada kebenaran yang diyaqininya.
Terdapat beberapa derajat keyaqinan dalam terminologi al-Qur’an, hal ini secara berturut-turut telah dibandingkan dengan diskripsi tentang api, melihat api dan terbakar api. Singkatnya terdapat perbedaan besar antara mengetahui definisi, sebab–sebab dan kondisi-kondisi sehat dan kenyang dengan menjadi sehat dan  kenyang, antara mengetahui difinisi mabuk dan menjadi mabuk,antara mengetahui kondisi esketisisme  dan mempraktekkan asketisisme yang sebenarnya.jadi kesimpulan akhirnya adalah cahaya yang dimaksuskan Tuhan ke dalam dada kita adalah kunci bagi seluruh pengetahuan. Inilah yang oleh Watt diterjamahkan sebgai kasyf dan dawq (fruitional experience atau immediate experience).  

KESIMBANGAN MELAHIRKAN HARMONI




Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan. Seimbang dalam dzikir dan fikir, antara urusan duniawi dan ukhrowi, antara kesolehan individu dan kesolehan sosial, juga seimbang antara ilmu dan amal, karena itu dalam Islam, motivasi beramal tidak cukup bermodal niat dan semangat, tapi perlu bukti yang tepat dan akurat. Begitu juga niat untuk mencapai ghoyat (tujuan) yang suci tetapi dilakukan dengan kaifiat (cara) yang keji diklaim sebagai tindakan tak terpuji, sebab bukan saja tidak melahirkan kemaslahatan tetapi malah memunculkan kekacauan, pada gilirannya maksud yang vital justru mendatangkan hasil yang fatal.
Pengingkaran terhadap konsep kesimbangan akan melahirkan kemalangan. Berbagai kasus seperti banyaknya orang pintar yang terlantar, banyaknya para pemikir yang tersingkir  dan banyaknya tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli adalah sederet bukti bahwa ketidak seimbangan hanya akan melahirkan berbagai kemalangan. Mereka hanya meraksasa dalam tehnik tetapi tetap merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu mencapai pucuk popularitas tetapi sekaligus mengalami krisis identitas.
Dalam konteks relasi kerja, Islam menganjurkan harmoni dan kesetaraan, bagi islam hubungan kerja antara kelompok mapan dan kelompok tertekan adalah mitra, bukan hubungan raja dan hamba. Mitra berarti setara, dimana masing- masing pihak sama-sama memiliki kewajiban dan hak, bukan diskriminasi dan memaksakan kehendak. Dengan kesetaraan muncul kemesraan, dengan saling memahami muncul harmoni juga saling menyayangi. Tetapi dengan kecurangan akan terjadi kericuhan dan kekisruhan bahkan kerusuhan dan permusuhan.
Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita yakni kehidupan bahagia sampai akhir masa. Setiap insan tentu memiliki harapan, yakni kehidupan yang mapan baik sekarang maupun dimasa yang akan datang.  Karena itu, orang yang bekerja siang malam, yang memeras keringat banting tulang,  termasuk yang rela merantau untuk mengais rejeki di negeri orang, tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kehidupan bahagia dan mapan.  Dan ciri dari kebahagiaan hidup sejatinya adalah ketentraman, kesejahteraan, rasa aman dan ketenangan.
Apalah arti harta melimpah, kalau hatinya selalu resah dan gelisah, apalah arti popularitas, kalau batinnya selalu dijajah rasa cemas, menjadi kurang bermakna harta dan tahta, kalau setiap saat dirinya tersiksa dan menderita, Sungguh kurang berarti kekayaan dan kekuasaan kalau hari-harinya selalu dipenuhi kegelisahan dan ketidak tenangan.
Dari sini terlihat jelas bahwa ajaran dan anjuran Islam sangat tegas dan lugas bahwa antara ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu. Islam menolak dzikir tanpa fikir, atau fikir tanpa dzikir, juga dzikir fikir tanpa amal sholeh. Islam juga menolak ilmu tanpa amal, juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Yang dianjurkan Islam adalah “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”, berdzikir, berfikir dan beramal sholeh. Itulah salah satu karakteristik dari sosok ulul albab.
Dalam ranah empirik banyak orang memposisikan dzikir, fikir dan amal sholeh secara diametral, misalnya ada yang berperan sebagai pengamal saja ada pula yang hanya berperan sebagai pengamat saja. Padahal antara pengamat dan pengamal sejatinya berbeda, bila kita mendengar pepatah “seberat mata memandang masih lebih berat bahu memikul” menunjukkan bahwa sangat jauh berbeda antara orang membayangkan dengan orang yang melakukan, tidak sama antara orang yang faham makna lapar dengan orang yang sedang kelaparan.
Pengamal adalah pelaku, yakni pihak yang mau atau merasa mampu melakukan sesuatu. Mereka berani tampil walau belum tentu trampil atau mungkin belum tentu berhasil. Boleh jadi karena rintangan internal yang belum mereka kenal atau karena tantangan lain yang sulit dan rumit diprediksi apalagi diantisipasi. Akan tetapi karena  tekad dan i’tikad sudah kuat dan bulat, mereka tetap maju walau banyak yang tak setuju. Bagi mereka lebih baik bergerak salah dari pada diam kalah.
Sedangkan pengamat  adalah pemerhati, penilai atau pengkritik. Yakni pihak yang pandai menganalisis dan mengdiagnosis berbagai kemungkinan walau kadang jauh dari kenyataan. Pada “batas-batas tertentu”, kelompok ini lebih pandai berkhayal dari pada berkarya, lebih suka berdebat daripada berbuat, lebih banyak mengeluh daripada mengalah, mereka senang bila menang tapi bila kalah mereka sibuk berkilah dengan berbagai dalih dan dalil disertai setumpuk ulasan dan alasan, mereka umumnya lebih pintar memperdayakan daripada memberdayakan, lebih pandai mempecundangi daripada menunjangi, lebih ahli menggagahi daripada menggugahi, lebih sering memanfaatkan daripada berbuat yang bermanfaat. Kelompok ini lebih suka meruwetkan masalah sederhana daripada menyederhanakan masalah ruwet, mereka lebih sering mengomelkan daripada mengamalkan, amat pandai dalam cita cita tetapi sulit membuktikan dalam realita.
Bila pengamat hanya  berputar pada bayang bayang dalam angan maka pengamal langsung turun tangan terjun dilapangan, karena itu bagi pengamal, lebih baik makan singkong dalam fakta dari pada makan hamburger dalam cita, lebih baik jadi ketua RT dalam bukti dari pada jadi presiden dalam mimpi.
Ulul albab adalah figur  yang memadukan dzikir fikir dan amal soleh secara harmoni dan sinergis, hatinya sufi, otaknya filusuf dan amalnya fuqaha. Mereka mampu hening ditengah gelombang bising, bersikap tulus ditengan gelombang palsu, mampu menangis ditengah gelombang tawa, mereka menempatkan jasadnya secara wajar di dunia ini sebagaimana manusia yang lain, tetapi hatinya terus fokus kepada Allah. Mereka memang memiliki sesuatu tetapi tidak meletakkan kebahagiannya pada apa yang dimiliki, melainkan pada pemanfaatannya, mereka memang ada di dunia tetapi tidak mendunia “kanuu qauman min ahlid dun ya walaisu min ahliha”.
Dalam memperoleh pengetahuan, kecuali menggunakan teleskop akal, rasio dan nalar  juga menggunakan qalb, tashfiyah, dan takmilun nafs, karena bagi mereka kesempurnaan fitroh bukan saja terletak pada pemahaman dan pengetahuan yang tidak terbantahkan karena terdapat dalil –dalil pasti, tetapi juga terletak pada wushul (sampai pada tujuan). Melalui SLI (sambungan langsung ilahiyah).

APAKAH KITA TIDAK SEDANG MELAWAK



Hefni Zain
Adalah realitas yang sulit dibantah bahwa saat ini disiplin epistimologis tengah mengalami kerusakan yang cukup parah, kalau ada seseorang dari peradaban ini mengatakan sesuatu, maka jangan langsung difahami secara normatif sesuai artikulasi epistimologisnya, tapi mesti dicari tafsir interesnya. Peradaban modern memang telah menganggap  ketidak jujuran sebagai kewajaran, ketika dua buah bom menewaskan puluhan orang di WTC USA, masyarakat internasional menyebutnya sebagai tindakan teroris yang harus dikutuk keras, tetapi ribuan bom yang menewaskan ribuan manusia tak berdosa dan meluluh lantakkan berbagai tempat suci bersejarah kaum muslimin, di Gaza, Baghdad dan Pakistan tidak ada seorangpun yang menyebutnya sebagai tindakan teroris.
Contoh lain yang lebih sederhana misalnya apa yang  oleh peradaban modern disebut universitas, sebuah institusi pendidikan tinggi yang gagah dan penuh gengsi, kalau sudah lulus darinya, orang disebut sarjana, padahal realitasnya yang diproduk oleh lembaga ini bukan manusia universal melainkan tidak lebih dari manusia fakultatif. Kalau mahasiswa berangkat pergi ke universitas, ngakunya pergi kuliah, padahal kenyatannya hanya berangkat juz’iyyah. Kuliyah diambil dari bahasa arab yang artinya keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju taraf kosmopolitanisme, sementara juz’iyyah hanyalah memahami sesuatu secara sektoral, fakultatif dan parsial.
Yang lebih lucu lagi para pembesar dari lembaga itu menunjukkan eksistensi mereka dengan pakaian nicis berdasi dan bersepatu, padahal dasi adalah benda yang benar benar sulit difahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu waktu pemakainya ingin bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher. Semua orang faham bahwa eksistensi itu lebih merupakan soal sofware, soal nilai batin yang bersifat rohaniyah, masak gengsi dan eksistensi seseorang ditentukan oleh seutas kain yang diikatkan mengelilingi leher. Juga sepatu, orang bilang pakailah sepatu agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam dan sebelum memakai sepatu pakailah dulu kaos kaki untuk melindungi kaki agar tidak lecet.  Secara faktual dilapangan, para pembesar yang memakai sepatu itu lebih sering berjalan dilantai beralaskan karpet tebal dan empuk ketimbang dijalanan umum, disinilah puncak lawakannya, sebenarnya sepatu itu melindungi kaki atau mengancam kaki ?
Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang sering tidak jujur dan mbanyoli Tuhan, mereka berdiri dan bersendekap dengan khusu’, matanya konsentrasi ke sejadah, mulutnya mengucapkan hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku mohon pertolongan, realitasnya tiap hari tidak demikian, mereka lebih banyak minta tolong pada penguasa lokal (penguasa politik / ekonomi) yang mereka jadikan tuhan tuhan kecil, tiap hari mereka sholat dan berdoa pada Tuhan, ya Rabb..tunjukilah aku pada jalan yang lurus, dan setelah Tuhan menunjukinya mereka tidak pernah memakainya. Itu sama dengan orang yang minta segelas teh, setelah dikasih tidak diminum, malah minta disuguhi lagi, lagi, lagi dan lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas gelas teh, tak satupun yang dia minum, tapi ia minta lagi dan minta lagi. Prilaku seperti itu disebut apa kalau bukan “mbanyoli  Tuhan”.
Intinya, hari hari ini kita semua sesungguhnya tengah hidup di sebuah komonitas peradaban --yang rumus, teori dan logika normal-- sedang mengalami kerusakan.  Jangan menyangka bahwa yang namanya intelek pasti selalu mampu berfikir sehat, yang namanya departemen agama pasti bersih dari kuroptor, maka jangan heran bila hari-hari ini masih terlihat banyak orang pintar yang terlantar, banyak para pemikir yang tersingkir  dan banyak tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli. Bisa jadi demokrasi  malah lebih otoriter meskipun tetap disebut demokrasi, orde reformasi sangat tidak kalah pembohongnya dibanding orde lama atau orde baru, otoda tidak dijamin merupakan wujud distribusi kekuasaan dan perluasan pemerataan otoritas hidup, bisa jadi malah berarti memperbanyak kwantitas dan kwalitas maling, penjilat  dan koruptor.
Menurut rumus kehidupan  memang siapa yang menanam ia pasti menuai, tapi dalam kehidupan sosial politik saat ini tidak mesti demikian, yang menanam tidak mesti menuai, bahkan banyak yang tidak ikut menanam malah pesta pora paling banyak menuai. Teorinya hidup ini memang seperti roda berputar, silih berganti, kadang diatas dan kadang dibawah, tapi ketahuilah realitas yang terjadi tidak selalu demikian, bukan tidak mungkin seseorang bisa dibawah terus menerus dan tidak pernah diatas sampai datang saat sekaratnya.
Berbagai spektrum inilah yang mendorong KH Mustafa bisri bersenandung “Telah muncul berbagai kekaburan dalam peradaban ini,  banyak orang pandai yang semakin linglung,  banyak orang bodoh yang semakin bingung,  banyak orang kaya yang makin kekurangan dan banyak orang melarat yang makin kecurangan. Para pejuang nurani mulai banyak terkaburkan oleh harakah yang tak murni,  pihak=pihak yang kemarin hanya tidur  kini mulai pandai mengatur dan kian makmur, mereka yang perlu direformasi kini mulai fasih meneriakkan reformasi, mereka yang kemarin terbelenggu kini mulai lepas kendali melampiaskan nafsu, mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa  kini menjadikan dirinnya pelupa”.
Dunia ini seringkali dipakai sebagai ajang dan ladang perebutan antara golongan yang telah mapan dengan golongan yang merasa kehilangan akan hari depan dalam menempuh dan mengayuh kehidupan. Bagi golongan yang tertekan memang wajar bila terjadi kekhawatiran, karena nafsu penguasa pada hakekatnya bila diberi kesempatan bukan semakin puas akan tetapi semakin buas,  Tak heran bila pada golongan tertekan senantiasa memiliki sikap curiga, praduga serta perasaan kurang lega terhadap sikap dan sifat golongan yang telah mapan, lebih lebih jika kelompok mapan menunjukkan sikap dan sifat “yang mengherankan” dan kurang transparan, maka kecurigaan akan kian berkembang sebab mereka trauma terhadap berbagai peristiwa yang telah sering melukainya.
Karena itu, bagi orang yang kebetulan memegang posisi hendaknya menyadari, bahwa posisinya itu adalah amanah, yang pada suatu saat akan hilang musnah, maka jangan takabur dan sewenang wenang, demikian juga bagi yang memiliki kondisi lemah dan posisi di bawah, bersabarlah! karena Tuhan akan bersama orang yang sabar, dengan sabar semua bisa menjadi baik, sabar dalam musibah adalah pakaian nabi ayyub, sabar dalam taat adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam menolak maksiat adalah mahkota nabi yusuf, ketidak sabaran berakibat perpisahan antara Khidir dan Musa, ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud, ketidak sabaran membuat berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita.
Saya kira  sudah saatnya semuanya belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak, demikian juga kita mesti bertanya apakah kita tidak sedang melawak ?

YANG PALING KUTAKUTKAN ADALAH KEADILAN TUHAN




Seorang santri  bertanya  kepada Gus (putra kiai) yang kebetulan baru pulang dari S3 nya di luar negeri,  konon Gus tersebut disana adalah seorang aktivis hukum dan HAM serta pejuang keadilan. Menurut pandangan Gus, apa yang paling penting dilakukan untuk mengantarkan masyarakat negeri ini pada kesejahteraan ?, dengan mantap sang Gus menjawab : menegakkan supremasi hukum  dan  keadilan untuk semua pihak tanpa pandang bulu, hanya dengan keadilan negara ini akan dikasihi Tuhan.
Tetapi menurut Kiai sepuh (ayah anda) dalam pengajian tadi malam tidak begitu, potong si santri kebingungan.  Gimana dawuh Abi, tanya Gus penasaran ?
 Menurut  beliau justru  yang paling kita takutkan dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila Tuhan betul-betul menerapkan keadilanNya, rasanya sedikit sekali manusia yang bisa masuk sorga. Ada hadits yang menyatakan “ tidak akan  pernah masuk  sorga seseorang yang dalam hatinya ada  takabbur walau sebesar debu”, Realitasnya takabbur kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung, padahal sebesar debu saja diharamkan masuk sorga. Ada pula hadits yang menyebutkan “ Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”. Bila sesuap saja akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa hari jika yang masuk ke perutnya  dua milyar suap ? Jika memperhatikan hadits-hadits itu, rasanya kita semua akan masuk neraka.
Jika Allah dengan keadilannya membalas kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua amal kita, maka celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita, tentu sangat tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya, seperti riya’ dan ujub.  Dalam hadits qudsi disebutkan jika seluruh hidup manusia digunakan seluruhnya untuk berbakti dan beramal kepada Allah niscaya itu belum sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah pada mahluknya. Dalam riwayat yang lain ditegaskan “Seorang masuk sorga bukan karena amalnya,tetapi karena kasih sayang (rahmat) Allah ta’ala. (Hr. Muslim)
Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu.

Jumat, 29 Maret 2013

TUHAN YANG SEBENARNYA



Ust.Hefni Zain

Seorang Kyai menjelaskan bahwa Tuhan adalah maha pengasih, maha penyayang, mempunyai 20 sifat wajib dan mempunyai 99 nama.
Santrinya yang cerdas mengkritik, pak Kyai, katanya Tuhan itu absolut dan tidak terbatas, bagaimana mungkin yang tak terbatas didefinisikan sebagai begini dan begitu ? bagaimana mungkin yang tak terbatas digambarkan dengan kata kata manusia yang sangat terbatas ? bukankah setiap pendefinisian berarti reduksi dan simplifikasi ?
Ketahuilah pak Kyai, bahwa Tuhan dalam konsep, ide atau gagasan kita sesungguhnya bukan Tuhan yang sebenarnya, Sebab Tuhan yang sebenarnya berada diluar konsep dan ide manusia. Tuhan dalam konsep dan ide adalah Tuhan yang kita ciptakan sendiri dalam benak dan krangkeng fikir kita, Tuhan yang sebenarnya sesungguhnya tidak dapat diungkap dengan kata kata, sebab tidak ada satu bahasa atau kata apapun yang representatif menggambarkan Tuhan yang sebenarnya.
Dari mana kamu  tahu itu semua,  rasanya aku tak pernah mengajarkan yang seperti itu padamu….guman sang kyai, heran…


KEKUASAAN BAGI KAUM  SUFI

Suatu saat Kholifah al Mantsur bermaksud mengangkat seorang Qodi, Lalu diincarlah empat  ulama’ besar yang hidup dimasa tersebut,  yakni : Abu Hanifah,  Sofyan Tsauri, Mis’ar bin Qidam dan Syuraih. Merekapun dipanggil ke istana.  Sebelum berangkat, keempat ulama’ tersebut  sepakat untuk menolak permintaan kholifah, tetapi mesti dengan cara yang tidak menyinggung perasaan Beliau, sebab  bila sampai menyinggung perasaan Kholifah, pasti resikonya akan sangat besar. Memang Kholifah Al Mantsur terkenal sebagai penguasa yang sangat keras. Lalu  keempat ulama’  itu menyusun cara masing masing  guna menghindari kekuasaan yang ditawarkan sang Kholifah.
Sofyan Tsauri memilih melarikan diri ke luar negeri, berangkat diam diam di malam buta meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk  dapat menghindari sebuah jabatan.  Mis’ar  bin  Qidam berpura pura gila, dengan pakaian dan sikap yang aneh ia tampil kemuka menyalami Kholifah  seraya berkata : Wahai  Kholifah.... Bagaimana kabarmu dan kabar anak anakmu serta hewan ternak piaraanmu? Mis’ar mengatakan hal itu tanpa sopan santun sedikitpun, ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan diluar kesadarannya. “Keluarkan orang ini !  ia tidak waras”,  kata Kholifah.
Lalu  al Mantsur berkata pada Abu Hanifah, Karena Sofyan Tsauri melarikan diri dan Mi’tsar mengalami gangguan jiwa, maka Engkaulah yang harus menjadi qodi,! Abu hanifah menjawab.  Wahai Amirul Mukminin…, Aku hanya orang Persi  bukan  orang Arab. Peminpin arab tidak akan menerima keputusan qodi seperti Aku. Karena itu jangan Aku. 
Kholifah berkata, jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan atau etnis,  yang  dibutuhkan  adalah keahlian  dan  profesionalitasmu. Engkaulah Ulama’ paling terkemuka di wilayah kekuasaanku saat ini.  Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya  dan mengatakan bahwa dirinya tidak pantas untuk jabatan yang agung itu.  Kholifah dengan nada kesal berkata : alasanmu hanyalah kebohonan untuk menutupi ketidak sediaanmu. Abu Hanifah berkata, jika Engkau menganggapku pembohong, maka tidak dibenarkan jabatan qodi dipercayakan kepada seseorang pembohong atau seseorang yang engkau anggap pembohong. Al hasil Abu hanifah berhasil mengelak dari jabatan tersebut dan dengan cepat segera pergi dari tempat itu.
Kini tinggal  Syuraih. Jika demikian kata Kholifah, tidak ada alternatif Iain, Syuraih harus mau menduduki jabatan tersebut. Syuraih menyampaikan beberapa alasan keberatan, sambil berharap ia dapat keluar dari jabatan kekuasaan yang ditawarkan Kholifah. Tetapi Kholifah mulai hilang kesabaran, lalu menggunakan kekerasan, dia memaksa Syuraih .
Engkau hanya ada dua pilihan : bersedia menjadi qadi atau kupenggal kepalamu. Syuraih dihadapkan pada dua pilihan yang sangat dilematis. Dengan sangat terpaksa Syuraih bersedia menerima jabatan tinggi tersebut. Sejak itu,  Abu Hanifah, Sofyan Tsauri dan Mis’ar bin qidam tidak pernah lagi berbicara kepada Syuraih sepatah katapun dan tak pernah mengunjunginya hingga kematian mereka.
Demikianlah, bagaimana para ulama’ besar  terdahulu berusaha menolak jabatan tinggi di pusat kekuasaan. Mereka bersedia melakukan apa saja demi menjauhi kekuasaan dan pemerintahan.  Kok beda ya dengan ulama sekarang ? Iya sih sufinya juga beda, sekarang SUFI itu adalah Suka Film India...

CARA EFEKTIF MENGHALAU SYETAN.
Suatu hari Fariduddin Attar ditanya orang tua tak dikenal, hai Attar bagaimana cara anda menghalau syetan? Saya akan melawan setiap bujuk rayunya, jawab Attar singkat. Jika kawanan syetan turus menbujukmu dari segala arah, apa yang akan kau lakukan? Aku akan tetap melawannya hingga titik darah yang penghabisan.
Lalu kapan kau beribadah kepada Allah dan berbakti untuk kemanusiaan bila waktumu dihabiskan untuk terus melawan syetan yang menggodamu dari segala arah dan segala waktu?  Attar bingung, menurutmu apa yang harus aku lakukan . tanya Attar ?
Orang tua berkata, bila kau seorang gembala dengan domba yang banyak, lalu datang seringala ganas menyerang dombamu dari segenap arah, dengan caramu yang tadi, selain engkau akan kehabisan waktu, juga kau tidak akan mempu menghalau semua srigala itu. Cara yang paling efektif adalah : engkau mohon kepada pemilik srigala itu agar segera memerintahkan srigala piaraannya tidak menyerang dombamu. beres kan !

SUMBANGAN IBLIS

Para Malaikat bertanya kepada kawanan iblis, kenapa kalian tidak mematuhi perintah Tuhan untuk sujud kepada adam ? kami melakukannya untuk  memelihara hukum alam Tuhan, jawab mereka.. Maksudnya gimana selidik malaikat ? Iblis yang paling senior menjelaskan: Tuhan telah menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan, itu hukum alam Tuhan, Artinya, bila ada kebaikan pasti ada keburukan, sama seperti bila ada sorga pasti ada neraka, ada malaikat ridwan juga ada malaikat malik, ada siang ada malam, ada pria ada wanita, ada tinggi ada rendah dan begitu seterusnya.
Seandainya kami bersujud pada Adam, maka pasti yang ada hanya kebaikan, ini bisa merusak hukum alam Tuhan. Lalu apa tugas  dan keberadaan malaikat malik, bila tak ada satupun mahluk yang  menghuni neraka ? singkatnya, sesuatu disebut baik karena ada perbandingan yang disebut buruk. Bila salah satu tiada maka berarti semuanya tiada.  Itulah sumbangan terbesar kami, kami rela dijadikan tumbal sebagai simbol nigatif, demi mempertahankan metabolesme hukum alam Tuhan.

SYETAN   IKUT   ZIKIR

Suatu saat seorang murid mengeluh pada  gurunya, wahai guruku, berilah saya nasehat,  saya sudah sholat malam sekian lama, tetapi tidak berhasil khusu’, saya sudah lima kali naik haji tetapi tak kuasa menahan godaan syetan untuk berbuat mungkarat,  saya juga telah banyak membaca dzikir, tetapi syetan tetap saja menggodaku ? 
Sang guru berkata bila kamu  di pinggir jalan, lalu ada anjing  mengganggumu dan kamu  membentaknya, mungkin anjing itu akan lari.  Tetapi bila disekitar kamu terdapat  banyak  tulang tulang makanan anjing, maka anjing itu tidak akan pergi walau kamu telah membentaknya. Kalaupun dia pergi, paling hanya sebentar dan kemudian mengintai lagi menunggu kamu lengah.
Artinya, dzikir kamu itu seperti sebuah gertakan terhadap syetan, zikir baru efektif bila hati kamu bersih dari makanan syetan, tetapi jika hati kamu masih penuh dari berbagai jenis makanan syetan, zikir sebanyak apapun tidak akan sanggup mengatasirnya, bahkan bisa bisa syetan akan ikut berzikir dalam hati kamu.
Karena itu jika  ingin dzikirmu mempunyai daya dan kekuatan, sebelumnya kamu harus membersihkan hatimu dari berbagai jenis makanan syetan.

JELEK TAPI PINTAR

Al kisah disebuah dusun terpencil hidup seorang filosuf bernama Tauhidi, ia berwajah jelek tetapi pintar, ia tidak memiliki keindahan lahiriyah  tetapi kaya keindahan bathiniyah.
Suatu hari seorang cewek cantik  tetapi bodoh takjub dan tergila gila kepadanya, tetapi Tauhidi tidak takjub kepada kecantikan cewek itu. Memang ketika selera seseorang  sudah sampai pada keindahan bathiniyah, keindahan lahiriyah menjadi tidak menarik.
Cewek itu datang kepada Tauhidi menawarkan dirinya dengan mengatakan “ Mas…I have a very good idea, bagaimana kalau kita menikah ? dengan bersatunya saya dan kamu,  kelak akan lahir anak kita  secantik saya dan sepintar kamu, mari kita gabungkan dua jenis keindahan kita, ucap si cewek penuh harap !
Tanpa diduga, si Tauhidi menolaknya dengan mengatakan “tidak, saya malah takut kelak anak kita akan sejelek saya dan sebodoh kamu”.




MODEL PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN



Hefni Zain
      
Kendati telah dirintis berbagai upaya dan langkah reformasi pendidikan Islam, namun sulit dipungkiri ia belum mampu keluar secara signifikan dari berbagai kelemahan mendasar yang melilitinya sehingga kondisinya hingga detik ini belum juga membanggakan.
Seperti diketahui  alqur’an  hadits yang notabene merupakan landasan dan dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya, hal ini diakibatkan oleh  minimnya pakar --di Indonesia-- yang secara khusus mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam perspektif pendidikan Islam, akibatnya proses pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Dalam ranah konseptual tidak sulit kita melihat bahwa visi, misi  dan tujuan pendidikan Islam seringkali hanya diorientasikan untuk menghasilkan manusia – manusia siap pakai  dan menguasai ilmu Islam saja, belum siap hidup dan berkarekter Islami, sehingga lulusan pendidikan Islam acapkali  terpinggirkan dalam ranah kompetisi global dan konteks ruang yang lebih kompleks.
Problema ini kian diperparah oleh belum tersedianya tenaga pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu yang diajarkannya secara baik dan benar, juga mampu mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para  peserta didik. Mesti diakui saat ini para pendidik muslim secara umum belum dapat dikatakan profesional, hal ini dikarenakan sumber daya pendidik muslim yang ada tidak berasal dari lembaga-lembaga keguruan, mereka  direkrut menjadi tenaga pendidik karena alasan kebutuhan atau alasan-alasan lain yang sifatnya jauh dari pertimbangan akademik dan kompetensi profesional. Demikian juga berbagai upaya untuk meningkatkan kompetensi profesionalitas pendidik melalui diklat, work shop, penataran dan sebagainya belum menunjukkan hasil yang diharapkan, mengingat dalam aras riil berbagai kegiatan tersebut sering lebih  “bersemangat proyek“ sehingga tak jarang melenceng dari tujuan dan sasaran yang diharapkan.

ISU- ISU STRATEGIS 
Bertolak dari realitas tersebut, dewasa ini terdapat berbagai isu strategis yang perlu dikembangkan dalam pendidikan Islam, antara lain :
Pertama, penataan aspek fondasional, (a) perlu keberanian untuk melakukan berbagai rekonstruksi paradigmatik oleh para pakar pendidikan Islam yang secara khusus mendalami alquran hadits dalam perspektif pendidikan Islam, sehingga proses pendidikan Islam betul betul berjalan diatas landasan ajaran Islam orisinil. (b) perlu perubahan paradigma, bahwa pendidikan Islam bukan sekedar transformasi  materi dan  informasi keIslaman dari guru ke peserta didik, tetapi bagaimana  menghidupkan ghirah Islam dalam setiap jiwa peserta didik. (b) perlu dikembangkan pendidikan model yang tidak hanya berorientasi pada pemaparan teori melainkan pada contoh teladan yang kongkrit. (c) perlu dikembangkan aplikasi pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, dan idealistik. (d) perlu dikembangkan model pendidikan Islam yang menerapkan trio cerdas bagi peserta didik secara sinergis, yakni kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ)  dan kecerdasan spiritual (SQ). 
Kedua, penataan aspek operasional, meliputi (a) kontektualisasi kurikulum, artinya  kurikulum harus didesain berdasarkan kebutuhan stakeholder melalui serap aspirasi, (b) pengembangan strategi pembelajaran selain harus dioreientasikan pada konsep pembelajaran aktif, kreatif, Inovatif, efektif dan menyenangkan (PAKIEM), juga harus berbasis cinta, sehingga peserta didik diposisikan seperti anaknya sendiri . (c) perlu diupayakan secara terus menerus peningkatan profesionalitas dan kompetensi guru yang betul betul berbasis keguruan. (d) rekrutmen peserta didik mesti dilakukan secara selektif sehingga terjaring bibit unggul potensial, dan (e) kelengkapan sarana prasarana serta fasilitas pembelajaran mesti terpenuhi agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal.
Ketiga, penataan aspek menejerial, yang mendesak dikembangkan adalah meliputi (a) implementasi organisasi yang efektif dan efisien, (b) perencanaan pendidikan yang visioner dan marketable, dan (c) upaya  pengembangan net working yang luas  serta bersifat sibiosis mutualistik.

TAWARAN MODEL PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN 
Dalam upaya mengejar ketertinggalan pendidikan Islam di segala bidang, terdapat beberapa tawaran model pendidikan Islam masa depan, antara lain :
Model pendidikan Islam berbasis humanistik demokratik.
Proses informatisasi yang begitu cepat sebagai konsekwensi dari revolusi tehnologi telah membuat horizon kehidupan di planit bumi ini semakin meluas sekaligus mengerut, hal ini berarti masalah masalah  kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak tidaknya  tidak dapat dilepaskan dari  pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain.  Rontoknya sistem otoriter yang menindas nilai nilai hakiki manusia dewasa ini menunjukkan keinginan umat manusia untuk memperoleh kehidupan kemerdekaan yang sejati, usaha ini dalam pendidikan telah melahirkan kembali pendekatan yang mementingkan pengembangan kreatifitas dan kepribadian anak.
Gerakan humanisasi ini menuntut reformasi mendasar ranah pendidikan di segala bidang, kecenderungan demokratisasi global juga telah memaksa perubahan konsep pendidikan Islam yang sebelumnya sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah  demokratik transparan berbasis partisipatoris, model ini berorientasi dan menjadikan “manusia” sebagai titik pusat dan titik tolaknya, inilah yang kemudian dikenal dengan pendidikan humanistik demokratik, yakni model pendidikan dari, oleh dan untuk peserta didik, yang dimaksudkan mencegah terjadinya dehumanisasi. Konsederasi yang dapat digunakan bagi model ini adalah bahwa setiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka, karena itu  kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan kemerdekaan sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari berbagai bentuk ketidak berdayaan disegala bidang.
Sifat dari pendidikan model ini  antara lain :  Fleksibel, open minded, menolak berbagai bentuk otoritarian dan absolutisme, liberal (Bahwa manusia sejak awal memiliki kebebasan & kemampuan untuk eksis dalam setiap perubahan), maka tugas utama  pendidikan jenis ini adalah mengoptiimalkan keberlangsungan dan kontinoitas perkembangan potensi awal  (fitrah) manusia tersebut. Bagi model ini, pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai esensi humanisme yang  memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan   kestabilan dan arah yang jelas. Model  ini merupakan reaksi terhadap gaya hidup yang mengarah pada hal hal materialistik, positivistik dan duniawiyah semata.
Proses pendidikan Islam dapat disebut humanistik demokratis apabila memenuhi beberapa karakter dasar sebagai berikut :  (a) Ia bertolak dari, oleh dan untuk peserta didik, ia ditopang oleh prinsip dasar bahwa setiap menentukan sesuatu harus atas dasar musyawarah mufakat secara bebas, wajar, terbuka dan bertanggung jawab, (b) Menekankan pengakuan kesederajatan paedagogis dan  menempatkan peserta didik sebagai individu yang unik, hidup dan memiliki bakat, minat, kecerdasan, skill dan sikap yang berbeda satu sama lainnya, karenanya ia mesti menggunakan tratmen yang berbeda pula sesuai dengan karakter mereka masing masing. (c) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam semua proses pedidikan serta mengacu pada continous progress dalam meningkatkan percepatan achievement dan pemberian kebebesan bagi akselerasi kreatifitas para peserta didik. (d) Mencerminkan bahwa belajar adalah prakarsa peserta didik, pengakuan akan hak hak peserta didik untuk memperoleh sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkannya. Dan (e) Berupaya membebaskan peserta didik dari berbagai bentuk penindasan, dehumanisasi, budaya verbal, mikanik dan dangkal, serta membebaskan peserta didik dari berbagai problem kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Maka itu, strategi tehnis yang perlu dilakukan dalam spirit model ini antara lain adalah : (1) Melaksanakan reformasi, redefinisi dan reorientasi landasan teorik konseptual proses pendidikan Islam yang mampu menumbuh kembangkan totalitas jati diri peserta didik. (2) Menciptakan pluralisme dan variasi pendidikan, terutama menyangkut strategi pembelajaran. (3) Menyediakan lingkungan belajar  yang bebas untuk melakukan pilihan pilihan tindakan belajar yang mendorong peserta didik terlibat secara emosinal, rasional dan fisikal guna memunculkan kegiatan yang kreatif dan produktif. (4) Adanya kesepakatan bersama melalui kontrak pembelajaran tentang model, strategi, materi , tujuan serta evaluasi pembelajaran.
Model pendidikan humanistik demokratik dalam tata kerjanya memiliki beberapa indikator konkrit, antara lain : (a) Teacher pupil planning, bahwa proses pendidikan dipilih  dan ditentukan bersama oleh peserta didik dan guru, (b)  Cooperative learning, belajar bersama antar peserta didik, saling memberi dan menerima dengan tujuan saling melengkapi satu sama lain, (c), Individual learning dan independent learning,  adanya kebebasan individu untuk mengaktualisir diri  dengan memilih cara , bahan dan tujuan yang dibutuhkan, (d) Group discussion,  memecahkan masalah bersama, mengambil kesepakatan bersama dengan saling mendengarkan dan menghargai pikiran semua anggota kelompok, dan (e) Teacher is fasilitator, Guru bertindak sebagai fasilitator yang berposisi sebagai salah satui sumber informasi dan bukan satu satunya sumber informasi.
Dengan demikian maka maksud  primer pendidikan Islam humanistik demokratik ini  adalah:  (a) sebagai penguatan (empowering) peserta didik melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan efektif menuju perbaikan kondisi kehidupan mereka. (b) bersama peserta didik menemukan dan memahami masalah riil dan kritis yang dihadapinya sekaligus mencari solusi pemecahannya. (c) mewujudkan partisipasi pembangunan peserta didik  dalam menangani
 persoalan-persoalan aktual yang dihadapi mereka

 akibat globalisasi Internasional. (d) mewujudkan peserta didik yang sejahtera, berdaulat, cerdas, terorganisir, memiliki kemampuan mengelola sumberdaya mereka secara bertanggung jawab serta memanfaatkannya secara bijaksana untuk melawan ketidak adilan budaya, politik, pendidikan dan ekonomi global. Tujuan paling utama dari pendidikan humanistik adalah terwujudnya manusia yang manusiawi.
Ali Syariati ketika  memberi nasihat kepada putra putranya mengatakan “Wahai putra putraku! Kalian boleh menjadi insinyur, guru besar, ulama’, pedagang, atau apa saja. Tapi yang paling mendasar dan jangan sampai kalian lupa, Jadilah kalian manusia!.  Menjadi manusia adalah hal yang paling penting, tidak ada gunanya seseorang menjadi profesor, ulama, birokrat atau konglomerat, bila ia masih berada dalam derajat binatang.
Model pendidikan Islam integralistik.
Pendidikan integralistik adalah model pendidikan yang  memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh, kesatuan jasmani, sukmawi dan rohani, kesatuan intelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pribadi dan sosial . Oleh karena itu pendidikan masa depan tidak boleh hanya focus pada education for the brain, tetapi juga pada education for the heart, sebab faktanya pengembangan kreatifiats rasional semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional terbukti menyeret manusia pada jurang demartabatisasi yang membuat mereka kehilangan identitas serta mengalami kegersangan psikologis, mereka hanya meraksasa dalam tehnik tapi terus merayap dalam etik. Tujuan pendidikan model ini adalah untuk menghindari split personality pada diri manusia, juga disintegrasi personal , sosial, kultural dan spiritual dalam kehidupan manusia.
Globalisasi, disatu sisi memang telah berhasil mengantarkan manusia pada puncak kebangkitan tehnologi, tetapi disisi lain --disadari atau tidak-- telah menyeret manusia pada pelbagai kegelisahan psikologis, syndrom aleinasi dan kecemasan yang tak kunjung usai, karena itulah, ia disamping disebut sebagai the age of tehnology  juga dikenal sebagai the age of anxiety . Adalah hukum alam, bahwa pembangunan yang berkembang begitu cepat akan selalu seiring dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan, berdirinya real estate dan departemen store dipelbagai tempat akan seiring dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona zona kejahatan, bila konglomerat bertambah maka demikian juga dengan orang melarat dan orang jahat. Perkembangan daya nalar yang tidak seimbang dengan daya spiritual hanya akan melahirkan manusia yang split personality, kian banyak sosok pandai tapi kian langka sosok jujur, kian membludak sosok yang pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu merekayasa kosmik tetapi tidak mampu mengendalikan diri sendiri, alhasil  globalisasi telah mengantarkan manusia pada pucuk popularitas tetapi sekaligus menjadikannya mengalami krisis kemanusiaan yang kronis.
Disaat banyak manusia mengalami kecemasan dan keresahan yang tak berkesudahan, maka reoreintasi pola hidup perlu segera dilakukan,  jalan hidup yang tidak “melulu ngakal” perlu segera dicari, sebab secara empirik dalam kehidupan yang terus menua, dunia tidak saja memerlukan manusia pinter, tapi yang lebih penting adalah munculnya manusia suci dan benar, maka dalam konteks yang seperti itu “pola hidup ngati” adalah sesuatu yang niscaya. Pola hidup ngati kiranya menjadi alternatif solutif sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi pihak pihak yang mengalami kegoncangan psikologis dan kegersangan spiritual juga dalam rangka membentuk prilaku zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup serakah, materialistik dan hedonistik.
Maka tidak heran, di barat sendiri dalam beberapa dekakde terakhir ini  jalan hidup ngati (baca : jalan hidup sufi ) mengalami kebangkitan yang luar biasa, Hakim Chisthi dalam risetnya menemukan bahwa di barat tatkala kemajuan IPTEK kian dipacu, justru semakin bermunculan tarekat tarekat sufi, terutama di kawasan Manhattan seperti tarekat bookstore, halvatiye Jarrahi dan semacamnya, bahkan di New york tarekat silmani yang dipelopori Javad Nourbakhsh, dengan super aktif menerbitkan karya karya sufistik kedalam berbagai bahasa, semua itu menandakan bahwa sejumlah masyarakat di barat sendiri sudah masuk pada “tahap muak” dengan pola hidup hipokrit hedonis yang justru memperbesar munculnya kekacauan dihampir semua aspek kehidupan.
         
Model pendidikan Islam Pragmatik.
Sejatinya pendidikan  berfungsi sebaga alat untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya dimasa yang akan datang. Sedangkan kehidupan mendatang akan ditandai oleh perubahan-perubahan yang amat dahsyat sebagai konsekwensi logis dari perkembangan nalar manusia. Maka pendidikan mesti mampu mempersiapkan peserta didik yang mempunyai kemampuan beradaptasi, berelevasi dengan kemungkinan-kemungkinan masa depan tersebut sehingga tetap survive
Pendidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai mahluk hidup yang membutuhkan sesutu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik yang bersifat biologis (makan minum, seks, tempat tinggal, dsb), psikis (berfikir, olah rasa, mengekspresikan dirinya dalam karya seni, kebutuhan untuk mencapai sesuatu, self achievement, fulfillment, actualization), maupun sukmawi (kebutuhan untuk berhubungan dengan yang adi kodrati).
Keberhasilan pendidikan dalam konteks ini mesti diukur dari kegunaan nilai praktisnya, artinya hasil pendidikan harus digunakan untuk memecahkan masalah masalah praktis keseharian guna memenuhi kepentingan-kepentingan subjektif individu. Maka menurut pendidikan jenis ini, kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman hidup yang riil. Dengen pendidikan pragmatik diharapkan dapat memacu kreatifitas, inovasi dan produktifitas juga dapat menghindari bahaya berfikir terpola dan konsumtif serta hidup dependen.

Model pendidikan Islam idealistik.
Pendidikan idealistik adalah model pendidikan yang mamandang manusia sebagai mahluk yang paling mulia dibanding mahluk lainnya dan  berusaha membina sebuah konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, model ini merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup dan kebudayaan yang sama sekali baru, artinya guna memenuhi hasrat manusia yg selalu berkembang, diperlukan usaha perombakan yang terus menerus .
Tujuan utama dari pendidikan model ini adalah untuk membentuk manusia berguna, dan diharapkan dapat mengobati berbagai kekacauan , kegagalan hidup serta kehancuran hidup yang dialami manusia.