Islam
adalah agama yang mengajarkan keseimbangan. Seimbang dalam dzikir dan fikir,
antara urusan duniawi dan ukhrowi, antara kesolehan individu dan kesolehan
sosial, juga seimbang antara ilmu dan amal, karena itu dalam Islam, motivasi
beramal tidak cukup bermodal niat dan semangat, tapi perlu bukti yang tepat dan
akurat. Begitu juga niat untuk mencapai ghoyat (tujuan) yang suci tetapi
dilakukan dengan kaifiat (cara) yang keji diklaim sebagai tindakan tak
terpuji, sebab bukan saja tidak melahirkan kemaslahatan tetapi malah
memunculkan kekacauan, pada gilirannya maksud yang vital justru mendatangkan
hasil yang fatal.
Pengingkaran terhadap konsep kesimbangan akan melahirkan
kemalangan. Berbagai kasus seperti banyaknya orang pintar yang terlantar,
banyaknya para pemikir yang tersingkir
dan banyaknya tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli adalah sederet
bukti bahwa ketidak seimbangan hanya akan melahirkan berbagai kemalangan.
Mereka hanya meraksasa dalam tehnik tetapi tetap merayap dalam etik, pongah
dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu mencapai pucuk
popularitas tetapi sekaligus mengalami krisis identitas.
Dalam
konteks relasi kerja, Islam menganjurkan harmoni dan
kesetaraan, bagi islam hubungan kerja antara kelompok mapan dan kelompok
tertekan adalah mitra, bukan hubungan raja dan hamba. Mitra berarti setara,
dimana masing- masing pihak sama-sama memiliki kewajiban dan hak, bukan
diskriminasi dan memaksakan kehendak. Dengan kesetaraan muncul kemesraan, dengan saling
memahami muncul harmoni juga saling menyayangi. Tetapi
dengan kecurangan akan terjadi kericuhan
dan kekisruhan bahkan kerusuhan dan permusuhan.
Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita yakni kehidupan
bahagia sampai akhir masa. Setiap insan tentu
memiliki harapan, yakni kehidupan yang mapan baik sekarang maupun dimasa yang
akan datang. Karena itu, orang yang
bekerja siang malam, yang memeras keringat banting tulang, termasuk yang rela merantau untuk mengais
rejeki di negeri orang, tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kehidupan
bahagia dan mapan. Dan ciri dari
kebahagiaan hidup sejatinya adalah ketentraman, kesejahteraan, rasa aman dan
ketenangan.
Apalah arti harta melimpah, kalau hatinya selalu resah
dan gelisah, apalah arti popularitas, kalau batinnya selalu dijajah rasa cemas,
menjadi kurang bermakna harta dan tahta, kalau setiap saat dirinya tersiksa dan
menderita, Sungguh kurang berarti kekayaan dan kekuasaan kalau hari-harinya
selalu dipenuhi kegelisahan dan ketidak tenangan.
Dari sini terlihat jelas bahwa ajaran dan anjuran Islam sangat tegas dan lugas bahwa
antara ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu.
Islam menolak dzikir tanpa fikir, atau fikir tanpa dzikir, juga dzikir fikir tanpa amal sholeh. Islam juga menolak ilmu tanpa amal,
juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Yang dianjurkan Islam adalah “berilmu
amaliyah dan beramal ilmiyah”, berdzikir, berfikir dan beramal sholeh. Itulah
salah satu karakteristik dari sosok ulul albab.
Dalam ranah empirik banyak orang memposisikan
dzikir,
fikir dan amal sholeh secara diametral, misalnya ada yang berperan sebagai
pengamal saja ada pula yang hanya berperan sebagai pengamat saja. Padahal antara pengamat dan pengamal
sejatinya berbeda, bila kita mendengar pepatah “seberat mata memandang masih
lebih berat bahu memikul” menunjukkan bahwa sangat jauh berbeda antara orang
membayangkan dengan orang yang melakukan, tidak sama antara orang yang faham
makna lapar dengan orang yang sedang kelaparan.
Pengamal adalah pelaku, yakni pihak yang mau atau merasa mampu melakukan
sesuatu. Mereka berani tampil walau belum tentu trampil atau mungkin belum
tentu berhasil. Boleh jadi karena rintangan internal yang belum mereka kenal
atau karena tantangan lain yang sulit dan rumit diprediksi apalagi
diantisipasi. Akan tetapi karena tekad
dan i’tikad sudah kuat dan bulat, mereka tetap maju walau banyak yang tak
setuju. Bagi mereka lebih baik bergerak salah dari pada diam kalah.
Sedangkan
pengamat adalah pemerhati, penilai atau
pengkritik. Yakni pihak yang pandai menganalisis dan mengdiagnosis berbagai
kemungkinan walau kadang jauh dari kenyataan. Pada “batas-batas tertentu”,
kelompok ini lebih pandai berkhayal dari pada berkarya, lebih suka berdebat
daripada berbuat, lebih banyak mengeluh daripada mengalah, mereka senang bila
menang tapi bila kalah mereka sibuk berkilah dengan berbagai dalih dan dalil
disertai setumpuk ulasan dan alasan, mereka umumnya lebih pintar memperdayakan
daripada memberdayakan, lebih pandai mempecundangi daripada menunjangi, lebih
ahli menggagahi daripada menggugahi, lebih sering memanfaatkan daripada berbuat
yang bermanfaat. Kelompok ini lebih suka
meruwetkan masalah sederhana daripada menyederhanakan masalah ruwet, mereka
lebih sering mengomelkan daripada mengamalkan, amat pandai dalam cita cita
tetapi sulit membuktikan dalam realita.
Bila pengamat hanya
berputar pada bayang bayang dalam angan maka pengamal langsung turun
tangan terjun dilapangan, karena itu bagi pengamal, lebih baik makan singkong
dalam fakta dari pada makan hamburger dalam cita, lebih baik jadi ketua RT
dalam bukti dari pada jadi presiden dalam mimpi.
Ulul albab adalah figur
yang memadukan dzikir fikir dan amal soleh secara harmoni dan sinergis,
hatinya sufi, otaknya filusuf dan amalnya fuqaha. Mereka mampu hening ditengah gelombang bising, bersikap tulus ditengan
gelombang palsu, mampu menangis ditengah gelombang tawa, mereka menempatkan
jasadnya secara wajar di dunia ini sebagaimana manusia yang lain, tetapi
hatinya terus fokus kepada Allah. Mereka memang memiliki sesuatu tetapi tidak meletakkan
kebahagiannya pada apa yang dimiliki, melainkan pada pemanfaatannya, mereka
memang ada di dunia tetapi tidak mendunia “kanuu qauman min ahlid dun ya
walaisu min ahliha”.
Dalam
memperoleh pengetahuan, kecuali menggunakan teleskop akal, rasio dan nalar juga menggunakan qalb, tashfiyah, dan takmilun
nafs, karena bagi mereka kesempurnaan fitroh bukan saja terletak pada pemahaman
dan pengetahuan yang tidak terbantahkan karena terdapat dalil –dalil pasti, tetapi
juga terletak pada wushul (sampai pada tujuan). Melalui SLI (sambungan
langsung ilahiyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar