Senin, 01 April 2013

KESIMBANGAN MELAHIRKAN HARMONI




Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan. Seimbang dalam dzikir dan fikir, antara urusan duniawi dan ukhrowi, antara kesolehan individu dan kesolehan sosial, juga seimbang antara ilmu dan amal, karena itu dalam Islam, motivasi beramal tidak cukup bermodal niat dan semangat, tapi perlu bukti yang tepat dan akurat. Begitu juga niat untuk mencapai ghoyat (tujuan) yang suci tetapi dilakukan dengan kaifiat (cara) yang keji diklaim sebagai tindakan tak terpuji, sebab bukan saja tidak melahirkan kemaslahatan tetapi malah memunculkan kekacauan, pada gilirannya maksud yang vital justru mendatangkan hasil yang fatal.
Pengingkaran terhadap konsep kesimbangan akan melahirkan kemalangan. Berbagai kasus seperti banyaknya orang pintar yang terlantar, banyaknya para pemikir yang tersingkir  dan banyaknya tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli adalah sederet bukti bahwa ketidak seimbangan hanya akan melahirkan berbagai kemalangan. Mereka hanya meraksasa dalam tehnik tetapi tetap merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu mencapai pucuk popularitas tetapi sekaligus mengalami krisis identitas.
Dalam konteks relasi kerja, Islam menganjurkan harmoni dan kesetaraan, bagi islam hubungan kerja antara kelompok mapan dan kelompok tertekan adalah mitra, bukan hubungan raja dan hamba. Mitra berarti setara, dimana masing- masing pihak sama-sama memiliki kewajiban dan hak, bukan diskriminasi dan memaksakan kehendak. Dengan kesetaraan muncul kemesraan, dengan saling memahami muncul harmoni juga saling menyayangi. Tetapi dengan kecurangan akan terjadi kericuhan dan kekisruhan bahkan kerusuhan dan permusuhan.
Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita yakni kehidupan bahagia sampai akhir masa. Setiap insan tentu memiliki harapan, yakni kehidupan yang mapan baik sekarang maupun dimasa yang akan datang.  Karena itu, orang yang bekerja siang malam, yang memeras keringat banting tulang,  termasuk yang rela merantau untuk mengais rejeki di negeri orang, tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kehidupan bahagia dan mapan.  Dan ciri dari kebahagiaan hidup sejatinya adalah ketentraman, kesejahteraan, rasa aman dan ketenangan.
Apalah arti harta melimpah, kalau hatinya selalu resah dan gelisah, apalah arti popularitas, kalau batinnya selalu dijajah rasa cemas, menjadi kurang bermakna harta dan tahta, kalau setiap saat dirinya tersiksa dan menderita, Sungguh kurang berarti kekayaan dan kekuasaan kalau hari-harinya selalu dipenuhi kegelisahan dan ketidak tenangan.
Dari sini terlihat jelas bahwa ajaran dan anjuran Islam sangat tegas dan lugas bahwa antara ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu. Islam menolak dzikir tanpa fikir, atau fikir tanpa dzikir, juga dzikir fikir tanpa amal sholeh. Islam juga menolak ilmu tanpa amal, juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Yang dianjurkan Islam adalah “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”, berdzikir, berfikir dan beramal sholeh. Itulah salah satu karakteristik dari sosok ulul albab.
Dalam ranah empirik banyak orang memposisikan dzikir, fikir dan amal sholeh secara diametral, misalnya ada yang berperan sebagai pengamal saja ada pula yang hanya berperan sebagai pengamat saja. Padahal antara pengamat dan pengamal sejatinya berbeda, bila kita mendengar pepatah “seberat mata memandang masih lebih berat bahu memikul” menunjukkan bahwa sangat jauh berbeda antara orang membayangkan dengan orang yang melakukan, tidak sama antara orang yang faham makna lapar dengan orang yang sedang kelaparan.
Pengamal adalah pelaku, yakni pihak yang mau atau merasa mampu melakukan sesuatu. Mereka berani tampil walau belum tentu trampil atau mungkin belum tentu berhasil. Boleh jadi karena rintangan internal yang belum mereka kenal atau karena tantangan lain yang sulit dan rumit diprediksi apalagi diantisipasi. Akan tetapi karena  tekad dan i’tikad sudah kuat dan bulat, mereka tetap maju walau banyak yang tak setuju. Bagi mereka lebih baik bergerak salah dari pada diam kalah.
Sedangkan pengamat  adalah pemerhati, penilai atau pengkritik. Yakni pihak yang pandai menganalisis dan mengdiagnosis berbagai kemungkinan walau kadang jauh dari kenyataan. Pada “batas-batas tertentu”, kelompok ini lebih pandai berkhayal dari pada berkarya, lebih suka berdebat daripada berbuat, lebih banyak mengeluh daripada mengalah, mereka senang bila menang tapi bila kalah mereka sibuk berkilah dengan berbagai dalih dan dalil disertai setumpuk ulasan dan alasan, mereka umumnya lebih pintar memperdayakan daripada memberdayakan, lebih pandai mempecundangi daripada menunjangi, lebih ahli menggagahi daripada menggugahi, lebih sering memanfaatkan daripada berbuat yang bermanfaat. Kelompok ini lebih suka meruwetkan masalah sederhana daripada menyederhanakan masalah ruwet, mereka lebih sering mengomelkan daripada mengamalkan, amat pandai dalam cita cita tetapi sulit membuktikan dalam realita.
Bila pengamat hanya  berputar pada bayang bayang dalam angan maka pengamal langsung turun tangan terjun dilapangan, karena itu bagi pengamal, lebih baik makan singkong dalam fakta dari pada makan hamburger dalam cita, lebih baik jadi ketua RT dalam bukti dari pada jadi presiden dalam mimpi.
Ulul albab adalah figur  yang memadukan dzikir fikir dan amal soleh secara harmoni dan sinergis, hatinya sufi, otaknya filusuf dan amalnya fuqaha. Mereka mampu hening ditengah gelombang bising, bersikap tulus ditengan gelombang palsu, mampu menangis ditengah gelombang tawa, mereka menempatkan jasadnya secara wajar di dunia ini sebagaimana manusia yang lain, tetapi hatinya terus fokus kepada Allah. Mereka memang memiliki sesuatu tetapi tidak meletakkan kebahagiannya pada apa yang dimiliki, melainkan pada pemanfaatannya, mereka memang ada di dunia tetapi tidak mendunia “kanuu qauman min ahlid dun ya walaisu min ahliha”.
Dalam memperoleh pengetahuan, kecuali menggunakan teleskop akal, rasio dan nalar  juga menggunakan qalb, tashfiyah, dan takmilun nafs, karena bagi mereka kesempurnaan fitroh bukan saja terletak pada pemahaman dan pengetahuan yang tidak terbantahkan karena terdapat dalil –dalil pasti, tetapi juga terletak pada wushul (sampai pada tujuan). Melalui SLI (sambungan langsung ilahiyah).

Tidak ada komentar: