Senin, 01 April 2013

POSISI KERAGUAN DAN EPISTEMOLOGI ISLAM



Dalam merespon sebuah kebanaran, seseorang biasanya dihadapkan pada tiga sikap pilihan mendasar, yakni:  Yaqin atau percaya,  Ragu, dan Ingkar. Ragu adalah posisi berpindah-pindah (taraddud) atau ketidak gegasan dalam menentukan hukun benar atau salah mengenai sebuah premis. Penyebab timbulnya keraguan, salah satunya adalah ketidak tahuan seseorang tentang dalil atau argumentasi tertentu yang dapat dijadikan dasar untuk mengklaim dua kemungkinan hukum, benar atau salah.
Keraguan terkadang juga dijadikan sebagai sebuah metode dalam penelitian guna membenarkan atau menolak premis yang sedang diteliti. Metode ini dilakukan dengan menampilkan beberapa bantahan dan kemungkinan yang masih kabur dalam premis tersebut, lalu dilakukan observasi dan verifikasi empiris dengan penuh kecermatan dan akurasi, sebelum pada akhirnya menarik kesimpulan yang tegas. Metode ini dalam Islam dikenal dengan sebutan al-syak al manhaj” (keraguan metodis). Sejarah mencatat bahwa Descartes dan imam Al-Ghazali pernah menggunakan metode ini dan dianggap sukses dalam tahapannya menaiki tangga keyakinan kebenaran. Hal ini dapat kita lacak pada statemen filosofis Discrates yang menyatakan “Cogito, Ergo Sum” (Aku ragu, kemudian aku berpikir, maka bererti aku ada). Sementara Al-Ghazali terutama lewat bukunya  “Al-munqidz min ad-dhalal” sering memberikan pemahaman pada kita bahwa metode keraguan merupakan sesuatu yang penting dan bahkan dapat disebut sebagai tahapan yang mesti dilalui dalam mencapai keyakinan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa keraguan yang dia alami adalah muncul dalam upayanya mencari kepastian, yakni pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu “sebagaimana adanya” (haqaiq al-umur), yang dalam istilah Al-Ghazali lebih dikenal sebagai al ‘ilm al-yaqin, sebuah pengetahuan yang pasti yang didalamnya diketahui hal yang menjadi sedemikian nyata, dan tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuan sehingga dengan itu akal dan hati akan menemukan kepuasan penuh.

Keraguan Metodis Dan Keraguan Epistemologis
Yang harus ditegaskan disini adalah differensiasi mendasar antara keraguan yang difahami  Descartes dan keraguan yang dialami Al-Ghazali. Kalau keraguan yang difahami Discrates adalah keraguan epistemologis, yakni landasan sebuah aliran filsafat yang meragukan seluruh premis tanpa pengecualian. iltulah sebabnya mereka kemudian disebut dengan Al-la-adriyyun (agnosis). Kelompok ini dalam diskursus filsafat disebuat sebagai kaum skeptis yang bersepakat untuk menolak dasar-dasar ilmu pengetahuan rasional dan empirik.
Mereka berpendapat “selama segala sesuatu berubah dan tak satupun yang tetap, maka berarti tak satupun realitas mutlak yang ada”. Sedang apa yang kita sebut realitas (hakikat) adalah fenomena pada saat kita membicarakannya atau mendengarkan seseorang berbicara, mencari realitas adalah sama dengan membantah setiap realitas yang diduga sebagai realitas. Oleh kerana itu sesungguhnya tidak ada satupun entitas (maujud), seandainya ada, maka tak seorangpun dapat mengetahuinya, maka ia tidak akan pernah bisa mengenalkannya kepada orang lain. Lebih tegas mereka mengatakan bahwa realitas segala sesuatu tidak bisa diketahui, yang bisa diketahui hanyalah opini subjektif seseorang mengenai segala sesuatu, dan hal itu tentu saja bersifat relatif, dengan demikian sesungguhnya tidak ada tolok ukur atau standar tertentu bagi realitas yang dapat dipastikan dan dipercaya, oleh karena itu satu-satunya sikap yang bisa diambil adalah keraguan. (Al-falsafah al-yunaniyah wa tathawwaratuha).
Sementara keraguan yang dialami Al-Ghazali adalah keraguan metodis, yakni sebuah metode yang dikembangkan untuk mendapatkan kepastian segala sesuatu yang tak terbantahkan. Statemen Al-Ghazali yang dikutip pada uraian pendahuluan merupakan bukti bahwa skeptisme Al-Ghazali tidak dapat disamakan dengan skeptisme yang lumrah dalam filsafat Barat. Pikiran ragu Al-Ghazali tidak pernah tercerabut dari wahyu dan iman. Sementara pikiran ragu pada para skeptisme Barat adalah berbalik melawan grand design iman itu sendiri. Karena itu, sebagaimana dikatakan Guiseppe Furlani bahwa karaguan Al-Ghazali bukanlah keraguan seorang skeptis, tetapi keraguan seorang kritikus pengetahuan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa keraguan Al-Ghazali bukanlah tentang kebenaran itu sendiri, melaikan tentang cara untuk mengetahui dan cara untuk menerima kebenaran. Dalam konteks inilah dapat kita fahami ungkapannya yang menyebutkan “jika seorang mampu untuk ragu, maka itu pertanda akan mencapai kepastian”.

Urgensi Keraguan Metodis Dalam Wacama Aqidah
Dalam surat al-An’am 76-79 disebutkan “Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat bintang itu terbenam dia berkata: “inilah Tuhanku”, tetapi ketika bintang itu terbenam dia berkata: “saya tidak suka kepada yang terbenam. Kemudian tatkala dia melihat bulan tsabit dia berkata”inilah tuhanku”, tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang–orang yang sesat, kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata “Inilah Tuhanku”, ini yang lebih besar, maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata” hai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang meciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan bukanlaah termasuk orang  yang mempersekutukan Tuhan” (QS. 6:76-79).
Ayat diatas mendiskripsikan bahwa dalam proses mencapai pengetahuan akan Tuhan yang sebenarnya diperlukan keterlibatan secara aktif aksi kecerdasan akal untuk melakukan uji sholeh terhadap sesuatu yang direspon ataupun dianggap oleh indera kita sebagai tuhan. Disitu terdapat tahapan–tahapan keraguan yang kemudian mengantarkan kita kepada satu keyakinan dan kepastian yang sama sekali bersih dari titik-titik keraguan.
Seperti dimaklumi, dalam doktrin aqidah, Islam mendorong manusia untuk selalu mencari kebenaran dan menganjurkan manusia agar senantiasa bersikap kritis, cerdas dan menanyakan kebenarannya yang sudah diterima dari nenek moyangnya (QS. 2: 170), selalu terbuka terhadap koreksi atau keyakinan yang keliru (QS. 43:22-24), menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (QS. 7:28-29). Bahkan al-Qur’an malukiskan orang–orang yang tidak bersikap kritis terhadap nenek moyang mereka yang telah dianggap sebagai “pimpinan dan orang –orang besar”  akan kecewa dihari akhir “…. Ya tuhan,  kami telah taat (mengikuti tanpa tahapan keraguan dan sikap kritis)  kepada para pemimpin dan orang–orang besar kami. Lalu mereka sesatkan kami dari jalam-Mu yang lurus (QS. 33:67). Jadi, bagi pencari kebenaran sejati, keraguan metodis memiliki artikulasi signifikan sebagai tahapan untuk melakukan uji sholeh secara kontinu agar memperoleh horizon baru yang pada gilirannya dapat mengantarkannya pada satu keyakinan yang kokoh, mantap dan tak terbantahkan.

Yaqin Sebagai Sebuah Pengetahuan Emosional
Kata kerja lampau ”aqyana” dan pecehan-pecahannya digunakan dalam al-qur’an sebanyak 28 kali. Yaqin menempati peringkat tertinggi dari iman. Seorang disebut mu’min apabila dirinya telah meraih keyaqinan. Yaqin tidak muncul begitu saja, tapi ia harus dicari dan dituju. Setiap orang berpeluang menambah dan memperbesar rasa yaqin sesuai dengan potensinya. Pada awalnya seorang perlu meraih pengetahuan, melakukan jihad an-nafs (perlawanan terhadap ego) dan bertadarru’ kepada Allah. Jika semua itu dilakukan, niscaya seluruh galap yang menutup hati akan segera tersingkap, dan kita akan dibimbing atau dihantarkan pada satu pengetahuan (ilm al yaqin) yang didalamnya tidak dicemari oleh keraguan setitikpun.
Dalam realitasnya, term yaqin digunakan dalam identifikasi dua pengertian, pertama, yaqin digunakan untuk menyatakan ketiadaan keraguan, dalam arti bahwa pengetahuan atau kebenaran yang dicari berasal dari bukti yang tidak menyisakan tempat bagi kemungkinan keraguannya, sedangkan pada pengertian yang kedua, yaqin merujuk pada intensitas keimanan beragama atau kegairahan yang melibatkan penerimaan jiwa akan sesuatu yang merundung jiwa dan menguasainya.
Bagi kita, yaqin jenis kedua lebih punya nilai fundamental dan strategis, khususnya dalam diskursus aqidah. Karena tanpa keyaqinan yang demikian sebagai basis epistemologi bagi jenis  yaqin pertama,  maka keyaqinan itu akan dikatakan tidak memiliki nilai epistemik, lebih jauh lagi yaqin pada jenis kedua membantu pertumbuhan ketaatan religius dan spiritual. Dengan kata lain, kepastian filosofis tidak akan memiliki nilai apapun jika tidak disertai dengan ketundukan pada kebenaran yang diyaqininya.
Terdapat beberapa derajat keyaqinan dalam terminologi al-Qur’an, hal ini secara berturut-turut telah dibandingkan dengan diskripsi tentang api, melihat api dan terbakar api. Singkatnya terdapat perbedaan besar antara mengetahui definisi, sebab–sebab dan kondisi-kondisi sehat dan kenyang dengan menjadi sehat dan  kenyang, antara mengetahui difinisi mabuk dan menjadi mabuk,antara mengetahui kondisi esketisisme  dan mempraktekkan asketisisme yang sebenarnya.jadi kesimpulan akhirnya adalah cahaya yang dimaksuskan Tuhan ke dalam dada kita adalah kunci bagi seluruh pengetahuan. Inilah yang oleh Watt diterjamahkan sebgai kasyf dan dawq (fruitional experience atau immediate experience).  

Tidak ada komentar: