Dalam
merespon sebuah kebanaran, seseorang biasanya dihadapkan pada tiga sikap
pilihan mendasar, yakni: Yaqin atau
percaya, Ragu, dan Ingkar. Ragu adalah
posisi berpindah-pindah (taraddud) atau ketidak gegasan dalam menentukan hukun
benar atau salah mengenai sebuah premis. Penyebab timbulnya keraguan, salah
satunya adalah ketidak tahuan seseorang tentang dalil atau argumentasi tertentu
yang dapat dijadikan dasar untuk mengklaim dua kemungkinan hukum, benar atau
salah.
Keraguan
terkadang juga dijadikan sebagai sebuah metode dalam penelitian guna
membenarkan atau menolak premis yang sedang diteliti. Metode ini dilakukan
dengan menampilkan beberapa bantahan dan kemungkinan yang masih kabur dalam
premis tersebut, lalu dilakukan observasi dan verifikasi empiris dengan penuh
kecermatan dan akurasi, sebelum pada akhirnya menarik kesimpulan yang tegas.
Metode ini dalam Islam dikenal dengan sebutan al-syak al manhaj” (keraguan metodis). Sejarah
mencatat bahwa Descartes dan imam Al-Ghazali pernah menggunakan metode ini dan dianggap
sukses dalam tahapannya menaiki tangga keyakinan kebenaran. Hal ini dapat kita
lacak pada statemen filosofis Discrates yang menyatakan “Cogito, Ergo Sum” (Aku
ragu, kemudian aku berpikir, maka bererti aku ada). Sementara Al-Ghazali
terutama lewat bukunya “Al-munqidz min ad-dhalal”
sering memberikan pemahaman pada kita bahwa metode keraguan merupakan sesuatu
yang penting dan bahkan dapat disebut sebagai tahapan yang mesti dilalui dalam
mencapai keyakinan.
Al-Ghazali
mengatakan bahwa keraguan yang dia alami adalah muncul dalam upayanya mencari
kepastian, yakni pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu “sebagaimana
adanya” (haqaiq al-umur),
yang dalam istilah Al-Ghazali lebih dikenal sebagai al ‘ilm al-yaqin, sebuah pengetahuan yang
pasti yang didalamnya diketahui hal yang menjadi sedemikian nyata, dan tidak
pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuan sehingga dengan itu
akal dan hati akan menemukan kepuasan penuh.
Keraguan Metodis Dan
Keraguan Epistemologis
Yang
harus ditegaskan disini adalah differensiasi mendasar antara keraguan yang
difahami Descartes dan keraguan yang
dialami Al-Ghazali. Kalau keraguan yang difahami Discrates adalah keraguan
epistemologis, yakni landasan sebuah aliran filsafat yang meragukan seluruh
premis tanpa pengecualian. iltulah sebabnya mereka kemudian disebut dengan Al-la-adriyyun
(agnosis). Kelompok ini dalam diskursus filsafat disebuat sebagai kaum skeptis yang
bersepakat untuk menolak dasar-dasar ilmu pengetahuan rasional dan empirik.
Mereka
berpendapat “selama segala sesuatu berubah dan tak satupun yang tetap, maka
berarti tak satupun realitas mutlak yang ada”. Sedang apa yang kita sebut
realitas (hakikat) adalah fenomena pada saat kita membicarakannya atau
mendengarkan seseorang berbicara, mencari realitas adalah sama dengan membantah
setiap realitas yang diduga sebagai realitas. Oleh kerana itu sesungguhnya
tidak ada satupun entitas (maujud), seandainya ada, maka tak seorangpun dapat
mengetahuinya, maka ia tidak akan pernah bisa mengenalkannya kepada orang lain.
Lebih tegas mereka mengatakan bahwa realitas segala sesuatu tidak bisa
diketahui, yang bisa diketahui hanyalah opini subjektif seseorang mengenai
segala sesuatu, dan hal itu tentu saja bersifat relatif, dengan demikian sesungguhnya
tidak ada tolok ukur atau standar tertentu bagi realitas yang dapat dipastikan
dan dipercaya, oleh karena itu satu-satunya sikap yang bisa diambil adalah
keraguan. (Al-falsafah
al-yunaniyah wa tathawwaratuha).
Sementara
keraguan yang dialami Al-Ghazali adalah keraguan metodis, yakni sebuah metode yang
dikembangkan untuk mendapatkan kepastian segala sesuatu yang tak terbantahkan.
Statemen Al-Ghazali yang dikutip pada uraian pendahuluan merupakan bukti bahwa
skeptisme Al-Ghazali tidak dapat disamakan dengan skeptisme yang lumrah dalam
filsafat Barat. Pikiran ragu Al-Ghazali tidak pernah tercerabut dari wahyu dan
iman. Sementara pikiran ragu pada para skeptisme Barat adalah berbalik melawan grand design
iman itu sendiri. Karena itu, sebagaimana dikatakan Guiseppe Furlani bahwa
karaguan Al-Ghazali bukanlah keraguan seorang skeptis, tetapi keraguan seorang
kritikus pengetahuan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa keraguan Al-Ghazali
bukanlah tentang kebenaran itu sendiri, melaikan tentang cara untuk mengetahui
dan cara untuk menerima kebenaran. Dalam konteks inilah dapat kita fahami
ungkapannya yang menyebutkan “jika seorang mampu untuk ragu, maka itu pertanda akan
mencapai kepastian”.
Urgensi Keraguan
Metodis Dalam Wacama Aqidah
Dalam
surat al-An’am 76-79 disebutkan “Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim
melihat bintang itu terbenam dia berkata: “inilah Tuhanku”, tetapi ketika
bintang itu terbenam dia berkata: “saya tidak suka kepada yang terbenam. Kemudian
tatkala dia melihat bulan tsabit dia berkata”inilah tuhanku”, tetapi setelah
bulan itu terbenam dia berkata “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang–orang yang sesat, kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata “Inilah Tuhanku”, ini yang
lebih besar, maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata” hai kaumku
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang meciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan bukanlaah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. 6:76-79).
Ayat
diatas mendiskripsikan bahwa dalam proses mencapai pengetahuan akan Tuhan yang
sebenarnya diperlukan keterlibatan secara aktif aksi kecerdasan akal untuk
melakukan uji sholeh terhadap sesuatu yang direspon ataupun dianggap oleh
indera kita sebagai tuhan. Disitu terdapat tahapan–tahapan keraguan yang
kemudian mengantarkan kita kepada satu keyakinan dan kepastian yang sama sekali
bersih dari titik-titik keraguan.
Seperti
dimaklumi, dalam doktrin aqidah, Islam mendorong manusia untuk selalu mencari
kebenaran dan menganjurkan manusia agar senantiasa bersikap kritis, cerdas dan
menanyakan kebenarannya yang sudah diterima dari nenek moyangnya (QS. 2: 170),
selalu terbuka terhadap koreksi atau keyakinan yang keliru (QS. 43:22-24),
menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (QS. 7:28-29).
Bahkan al-Qur’an malukiskan orang–orang yang tidak bersikap kritis terhadap
nenek moyang mereka yang telah dianggap sebagai “pimpinan dan orang –orang
besar” akan kecewa dihari akhir “…. Ya
tuhan, kami telah taat (mengikuti tanpa
tahapan keraguan dan sikap kritis)
kepada para pemimpin dan orang–orang besar kami. Lalu mereka sesatkan
kami dari jalam-Mu yang lurus (QS. 33:67). Jadi, bagi pencari kebenaran sejati,
keraguan metodis memiliki artikulasi signifikan sebagai tahapan untuk melakukan
uji sholeh secara kontinu agar memperoleh horizon baru yang pada gilirannya
dapat mengantarkannya pada satu keyakinan yang kokoh, mantap dan tak
terbantahkan.
Yaqin Sebagai Sebuah
Pengetahuan Emosional
Kata
kerja lampau ”aqyana”
dan pecehan-pecahannya digunakan dalam al-qur’an sebanyak 28 kali. Yaqin
menempati peringkat tertinggi dari iman. Seorang disebut mu’min apabila dirinya
telah meraih keyaqinan. Yaqin tidak muncul begitu saja, tapi ia harus dicari
dan dituju. Setiap orang berpeluang menambah dan memperbesar rasa yaqin sesuai
dengan potensinya. Pada awalnya seorang perlu meraih pengetahuan, melakukan jihad an-nafs
(perlawanan terhadap ego) dan bertadarru’ kepada Allah. Jika semua itu dilakukan, niscaya
seluruh galap yang menutup hati akan segera tersingkap, dan kita akan dibimbing
atau dihantarkan pada satu pengetahuan (ilm al yaqin) yang didalamnya tidak
dicemari oleh keraguan setitikpun.
Dalam
realitasnya, term yaqin digunakan dalam identifikasi dua pengertian, pertama,
yaqin digunakan untuk menyatakan ketiadaan keraguan, dalam arti bahwa
pengetahuan atau kebenaran yang dicari berasal dari bukti yang tidak menyisakan
tempat bagi kemungkinan keraguannya, sedangkan pada pengertian yang kedua, yaqin
merujuk pada intensitas keimanan beragama atau kegairahan yang melibatkan
penerimaan jiwa akan sesuatu yang merundung jiwa dan menguasainya.
Bagi
kita, yaqin jenis kedua lebih punya nilai fundamental dan strategis, khususnya
dalam diskursus aqidah. Karena tanpa keyaqinan yang demikian sebagai basis
epistemologi bagi jenis yaqin
pertama, maka keyaqinan itu akan
dikatakan tidak memiliki nilai epistemik, lebih jauh lagi yaqin pada jenis
kedua membantu pertumbuhan ketaatan religius dan spiritual. Dengan kata lain,
kepastian filosofis tidak akan memiliki nilai apapun jika tidak disertai dengan
ketundukan pada kebenaran yang diyaqininya.
Terdapat
beberapa derajat keyaqinan dalam terminologi al-Qur’an, hal ini secara
berturut-turut telah dibandingkan dengan diskripsi tentang api, melihat api dan
terbakar api. Singkatnya terdapat perbedaan besar antara mengetahui definisi,
sebab–sebab dan kondisi-kondisi sehat dan kenyang dengan menjadi sehat dan kenyang, antara mengetahui difinisi mabuk dan
menjadi mabuk,antara mengetahui kondisi esketisisme dan mempraktekkan asketisisme yang
sebenarnya.jadi kesimpulan akhirnya adalah cahaya yang dimaksuskan Tuhan ke dalam
dada kita adalah kunci bagi seluruh pengetahuan. Inilah yang oleh Watt
diterjamahkan sebgai kasyf dan dawq (fruitional experience atau immediate
experience).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar