Hefni Zain
Adalah realitas yang sulit dibantah bahwa saat ini
disiplin epistimologis tengah mengalami kerusakan yang cukup parah, kalau ada
seseorang dari peradaban ini mengatakan sesuatu, maka jangan langsung difahami
secara normatif sesuai artikulasi epistimologisnya, tapi mesti dicari tafsir
interesnya. Peradaban modern memang telah menganggap ketidak jujuran sebagai kewajaran, ketika dua
buah bom menewaskan puluhan orang di WTC USA, masyarakat internasional
menyebutnya sebagai tindakan teroris yang harus dikutuk keras, tetapi ribuan
bom yang menewaskan ribuan manusia tak berdosa dan meluluh lantakkan berbagai
tempat suci bersejarah kaum muslimin, di Gaza, Baghdad dan Pakistan tidak ada
seorangpun yang menyebutnya sebagai tindakan teroris.
Contoh lain yang lebih sederhana misalnya apa yang oleh peradaban modern disebut universitas, sebuah
institusi pendidikan tinggi yang gagah dan penuh gengsi, kalau sudah lulus
darinya, orang disebut sarjana, padahal realitasnya yang diproduk oleh lembaga
ini bukan manusia universal melainkan tidak lebih dari manusia fakultatif. Kalau mahasiswa
berangkat pergi ke universitas, ngakunya pergi kuliah, padahal kenyatannya
hanya berangkat juz’iyyah. Kuliyah diambil dari bahasa arab yang artinya
keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju taraf
kosmopolitanisme, sementara juz’iyyah
hanyalah memahami sesuatu secara sektoral, fakultatif dan parsial.
Yang
lebih lucu lagi para pembesar dari lembaga itu menunjukkan eksistensi mereka
dengan pakaian nicis berdasi dan bersepatu, padahal dasi adalah benda yang
benar benar sulit difahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau
sewaktu waktu pemakainya ingin bunuh diri dengan cara menggantung diri atau
menjerat leher. Semua orang faham bahwa eksistensi itu lebih merupakan soal
sofware, soal nilai batin yang bersifat rohaniyah, masak gengsi dan eksistensi
seseorang ditentukan oleh seutas kain yang diikatkan mengelilingi leher. Juga
sepatu, orang bilang pakailah sepatu agar kakimu terlindung dari duri atau
kerikil tajam dan sebelum memakai sepatu pakailah dulu kaos kaki untuk
melindungi kaki agar tidak lecet. Secara
faktual dilapangan, para pembesar yang memakai sepatu itu lebih sering berjalan
dilantai beralaskan karpet tebal dan empuk ketimbang dijalanan umum, disinilah
puncak lawakannya, sebenarnya sepatu itu melindungi kaki atau mengancam kaki ?
Termasuk dalam kelompok
ini adalah mereka yang sering tidak jujur dan mbanyoli Tuhan, mereka berdiri
dan bersendekap dengan khusu’, matanya konsentrasi ke sejadah, mulutnya
mengucapkan hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku mohon
pertolongan, realitasnya tiap hari tidak demikian, mereka lebih banyak minta
tolong pada penguasa lokal (penguasa politik / ekonomi) yang mereka jadikan
tuhan tuhan kecil, tiap hari mereka sholat dan berdoa pada Tuhan, ya
Rabb..tunjukilah aku pada jalan yang lurus, dan setelah Tuhan menunjukinya
mereka tidak pernah memakainya. Itu sama dengan orang yang minta segelas teh,
setelah dikasih tidak diminum, malah minta disuguhi lagi, lagi, lagi dan lagi
sampai meja penuh sesak oleh gelas gelas teh, tak satupun yang dia minum, tapi
ia minta lagi dan minta lagi. Prilaku seperti itu disebut apa kalau bukan
“mbanyoli Tuhan”.
Intinya,
hari hari ini kita semua sesungguhnya tengah hidup di sebuah komonitas
peradaban --yang rumus, teori dan logika normal-- sedang mengalami kerusakan. Jangan menyangka bahwa yang namanya intelek
pasti selalu mampu berfikir sehat, yang namanya departemen agama pasti bersih
dari kuroptor, maka jangan heran bila hari-hari ini masih terlihat banyak orang
pintar yang terlantar, banyak para pemikir yang tersingkir dan banyak tenaga ahli yang cara hidupnya
seperti kuli. Bisa jadi demokrasi malah
lebih otoriter meskipun tetap disebut demokrasi, orde reformasi sangat tidak
kalah pembohongnya dibanding orde lama atau orde baru, otoda tidak dijamin
merupakan wujud distribusi kekuasaan dan perluasan pemerataan otoritas hidup,
bisa jadi malah berarti memperbanyak kwantitas dan kwalitas maling,
penjilat dan koruptor.
Menurut rumus
kehidupan memang siapa yang menanam ia
pasti menuai, tapi dalam kehidupan sosial politik saat ini tidak mesti
demikian, yang menanam tidak mesti menuai, bahkan banyak yang tidak ikut
menanam malah pesta pora paling banyak menuai. Teorinya hidup ini memang
seperti roda berputar, silih berganti, kadang diatas dan kadang dibawah, tapi
ketahuilah realitas yang terjadi tidak selalu demikian, bukan tidak mungkin
seseorang bisa dibawah terus menerus dan tidak pernah diatas sampai datang saat
sekaratnya.
Berbagai spektrum inilah yang mendorong KH Mustafa
bisri bersenandung “Telah muncul berbagai kekaburan dalam peradaban ini, banyak orang pandai yang semakin
linglung, banyak orang bodoh yang
semakin bingung, banyak orang kaya yang
makin kekurangan dan banyak orang melarat yang makin kecurangan. Para pejuang
nurani mulai banyak terkaburkan oleh harakah yang tak murni, pihak=pihak yang kemarin hanya tidur kini mulai pandai mengatur dan kian makmur,
mereka yang perlu direformasi kini mulai fasih meneriakkan reformasi, mereka
yang kemarin terbelenggu kini mulai lepas kendali melampiaskan nafsu, mereka
yang kemarin giat mengingatkan yang lupa
kini menjadikan dirinnya pelupa”.
Dunia ini seringkali
dipakai sebagai ajang dan ladang perebutan antara golongan yang telah mapan
dengan golongan yang merasa kehilangan akan hari depan dalam menempuh dan
mengayuh kehidupan. Bagi golongan yang tertekan memang wajar bila terjadi
kekhawatiran, karena nafsu penguasa pada hakekatnya bila diberi kesempatan
bukan semakin puas akan tetapi semakin buas, Tak heran bila pada golongan tertekan
senantiasa memiliki sikap curiga,
praduga serta perasaan kurang lega
terhadap sikap dan sifat golongan yang telah mapan, lebih lebih jika kelompok
mapan menunjukkan sikap dan sifat “yang mengherankan” dan kurang transparan,
maka kecurigaan akan kian berkembang sebab mereka trauma terhadap berbagai
peristiwa yang telah sering melukainya.
Karena itu, bagi
orang yang kebetulan memegang posisi hendaknya menyadari, bahwa posisinya itu
adalah amanah, yang pada suatu saat akan hilang musnah, maka jangan takabur dan
sewenang wenang, demikian juga bagi yang memiliki kondisi lemah dan posisi di
bawah, bersabarlah! karena Tuhan akan bersama orang yang sabar, dengan sabar
semua bisa menjadi baik, sabar dalam musibah adalah pakaian nabi ayyub, sabar
dalam taat adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam menolak maksiat adalah
mahkota nabi yusuf, ketidak sabaran berakibat perpisahan antara Khidir dan
Musa, ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud, ketidak sabaran
membuat berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita.
Saya
kira sudah saatnya semuanya belajar
banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak, demikian juga kita mesti bertanya
apakah kita tidak sedang melawak ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar