Senin, 01 April 2013

APAKAH KITA TIDAK SEDANG MELAWAK



Hefni Zain
Adalah realitas yang sulit dibantah bahwa saat ini disiplin epistimologis tengah mengalami kerusakan yang cukup parah, kalau ada seseorang dari peradaban ini mengatakan sesuatu, maka jangan langsung difahami secara normatif sesuai artikulasi epistimologisnya, tapi mesti dicari tafsir interesnya. Peradaban modern memang telah menganggap  ketidak jujuran sebagai kewajaran, ketika dua buah bom menewaskan puluhan orang di WTC USA, masyarakat internasional menyebutnya sebagai tindakan teroris yang harus dikutuk keras, tetapi ribuan bom yang menewaskan ribuan manusia tak berdosa dan meluluh lantakkan berbagai tempat suci bersejarah kaum muslimin, di Gaza, Baghdad dan Pakistan tidak ada seorangpun yang menyebutnya sebagai tindakan teroris.
Contoh lain yang lebih sederhana misalnya apa yang  oleh peradaban modern disebut universitas, sebuah institusi pendidikan tinggi yang gagah dan penuh gengsi, kalau sudah lulus darinya, orang disebut sarjana, padahal realitasnya yang diproduk oleh lembaga ini bukan manusia universal melainkan tidak lebih dari manusia fakultatif. Kalau mahasiswa berangkat pergi ke universitas, ngakunya pergi kuliah, padahal kenyatannya hanya berangkat juz’iyyah. Kuliyah diambil dari bahasa arab yang artinya keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju taraf kosmopolitanisme, sementara juz’iyyah hanyalah memahami sesuatu secara sektoral, fakultatif dan parsial.
Yang lebih lucu lagi para pembesar dari lembaga itu menunjukkan eksistensi mereka dengan pakaian nicis berdasi dan bersepatu, padahal dasi adalah benda yang benar benar sulit difahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu waktu pemakainya ingin bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher. Semua orang faham bahwa eksistensi itu lebih merupakan soal sofware, soal nilai batin yang bersifat rohaniyah, masak gengsi dan eksistensi seseorang ditentukan oleh seutas kain yang diikatkan mengelilingi leher. Juga sepatu, orang bilang pakailah sepatu agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam dan sebelum memakai sepatu pakailah dulu kaos kaki untuk melindungi kaki agar tidak lecet.  Secara faktual dilapangan, para pembesar yang memakai sepatu itu lebih sering berjalan dilantai beralaskan karpet tebal dan empuk ketimbang dijalanan umum, disinilah puncak lawakannya, sebenarnya sepatu itu melindungi kaki atau mengancam kaki ?
Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang sering tidak jujur dan mbanyoli Tuhan, mereka berdiri dan bersendekap dengan khusu’, matanya konsentrasi ke sejadah, mulutnya mengucapkan hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku mohon pertolongan, realitasnya tiap hari tidak demikian, mereka lebih banyak minta tolong pada penguasa lokal (penguasa politik / ekonomi) yang mereka jadikan tuhan tuhan kecil, tiap hari mereka sholat dan berdoa pada Tuhan, ya Rabb..tunjukilah aku pada jalan yang lurus, dan setelah Tuhan menunjukinya mereka tidak pernah memakainya. Itu sama dengan orang yang minta segelas teh, setelah dikasih tidak diminum, malah minta disuguhi lagi, lagi, lagi dan lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas gelas teh, tak satupun yang dia minum, tapi ia minta lagi dan minta lagi. Prilaku seperti itu disebut apa kalau bukan “mbanyoli  Tuhan”.
Intinya, hari hari ini kita semua sesungguhnya tengah hidup di sebuah komonitas peradaban --yang rumus, teori dan logika normal-- sedang mengalami kerusakan.  Jangan menyangka bahwa yang namanya intelek pasti selalu mampu berfikir sehat, yang namanya departemen agama pasti bersih dari kuroptor, maka jangan heran bila hari-hari ini masih terlihat banyak orang pintar yang terlantar, banyak para pemikir yang tersingkir  dan banyak tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli. Bisa jadi demokrasi  malah lebih otoriter meskipun tetap disebut demokrasi, orde reformasi sangat tidak kalah pembohongnya dibanding orde lama atau orde baru, otoda tidak dijamin merupakan wujud distribusi kekuasaan dan perluasan pemerataan otoritas hidup, bisa jadi malah berarti memperbanyak kwantitas dan kwalitas maling, penjilat  dan koruptor.
Menurut rumus kehidupan  memang siapa yang menanam ia pasti menuai, tapi dalam kehidupan sosial politik saat ini tidak mesti demikian, yang menanam tidak mesti menuai, bahkan banyak yang tidak ikut menanam malah pesta pora paling banyak menuai. Teorinya hidup ini memang seperti roda berputar, silih berganti, kadang diatas dan kadang dibawah, tapi ketahuilah realitas yang terjadi tidak selalu demikian, bukan tidak mungkin seseorang bisa dibawah terus menerus dan tidak pernah diatas sampai datang saat sekaratnya.
Berbagai spektrum inilah yang mendorong KH Mustafa bisri bersenandung “Telah muncul berbagai kekaburan dalam peradaban ini,  banyak orang pandai yang semakin linglung,  banyak orang bodoh yang semakin bingung,  banyak orang kaya yang makin kekurangan dan banyak orang melarat yang makin kecurangan. Para pejuang nurani mulai banyak terkaburkan oleh harakah yang tak murni,  pihak=pihak yang kemarin hanya tidur  kini mulai pandai mengatur dan kian makmur, mereka yang perlu direformasi kini mulai fasih meneriakkan reformasi, mereka yang kemarin terbelenggu kini mulai lepas kendali melampiaskan nafsu, mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa  kini menjadikan dirinnya pelupa”.
Dunia ini seringkali dipakai sebagai ajang dan ladang perebutan antara golongan yang telah mapan dengan golongan yang merasa kehilangan akan hari depan dalam menempuh dan mengayuh kehidupan. Bagi golongan yang tertekan memang wajar bila terjadi kekhawatiran, karena nafsu penguasa pada hakekatnya bila diberi kesempatan bukan semakin puas akan tetapi semakin buas,  Tak heran bila pada golongan tertekan senantiasa memiliki sikap curiga, praduga serta perasaan kurang lega terhadap sikap dan sifat golongan yang telah mapan, lebih lebih jika kelompok mapan menunjukkan sikap dan sifat “yang mengherankan” dan kurang transparan, maka kecurigaan akan kian berkembang sebab mereka trauma terhadap berbagai peristiwa yang telah sering melukainya.
Karena itu, bagi orang yang kebetulan memegang posisi hendaknya menyadari, bahwa posisinya itu adalah amanah, yang pada suatu saat akan hilang musnah, maka jangan takabur dan sewenang wenang, demikian juga bagi yang memiliki kondisi lemah dan posisi di bawah, bersabarlah! karena Tuhan akan bersama orang yang sabar, dengan sabar semua bisa menjadi baik, sabar dalam musibah adalah pakaian nabi ayyub, sabar dalam taat adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam menolak maksiat adalah mahkota nabi yusuf, ketidak sabaran berakibat perpisahan antara Khidir dan Musa, ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud, ketidak sabaran membuat berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita.
Saya kira  sudah saatnya semuanya belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak, demikian juga kita mesti bertanya apakah kita tidak sedang melawak ?

Tidak ada komentar: