Jumat, 12 Oktober 2012

DIMENSI CINTA DALAM SIFAT TUHAN




Ust. A. Hefni zain

I
              Dalam alqur’an disebutkan “Qulid’ulloha awid’urrahman ayyama tad’u falahul asmaul husna“ berdoalah kalian dengan memanggil nama Allah atau memanggil ar rahman, karena bagiNya ada nama nama yang baik”. ( Qs. 17 : 10 ).Memperhatikan nama nama Allah dalam alqur’an, akan didapati dua klasifikasi besar, Pertama yang berkaitan dengan dimensi jalaliyah (agung), yaitu nama yang menunjukkan keagunganNya dan kemaha perkasaanNya seperti : Al mutakkabir (yang mempunyai kebesaran), Al jabbar (yang maha perkasa), juga syadidul iqab (yang sangat berat siksaannya dalam mengadzab) dan sejenisnya.  Semua nama itu membuat kita takut padaNya.  Kedua yang berkaitan dengan dimensi jamaliyah (indah) yaitu nama yang menunjukkan keindahanNya, kasih sayangNya, ampunanNya, karuniaNya dan pemeliharaanNya, seperti :  Ar rahman (maha pengasih), Ar rahiem (maha penyayang), Al ghafur (maha mengampuni.), Al ‘afuwwu (maha memaafkan), Al muhaimin  (maha memelihara) dan sejenisnya. Semua nama itu membuat kita cinta padaNya.
               Yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah fakta bahwa dalam alqur’an jumlah asma Allah dalam dimensi jamaliyah ditampilkan jauh lebih banyak  dari dimensi jalaliyahNya. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar dari  kemurkanNya, ampunan Allah jauh lebih  besar dari adzabNya. Dalam Qs. 6 : 12 disebutkan “Kataba ala nafsih ar rahmah“ (Allah telah mewajibkan atas dirinya memiliki sifat cinta kasih) Dalam Qs. 7 : 156 “Warahmati wasiat kulla sya’  (dan kasih sayangKu meliputi segala sesuatu).

II
          Aspek jalaliyah adalah berkaitan zat Allah, karena itu relasi kita denganNya adalah relasi yang jauh, sebab Allah adalah zat yang tidak dapat dibayangkan, betapapun kita mencoba menggambarkan Allah, Dia tetap berada di luar apa yang kita gambarkan, karena itu dalam Qs. 37 : 159 dinyatakan “subhanallohi ta’ala  amma yasifun” (maha suci Allah ta’ala dari apa yang mereka sifatkan atau mereka bayangkan).
Jika seseorang membayangkan Allah dari segi zatNya, maka yang harus dilakakukan adalah tanzih yakni pembersihan diri dari segala gambaran tentang  Allah, sebab Dia tidak mungkin dapat digambarkan, “laisa kamislihi syaiun” tiada sesuatupun yang serupa denganNya. (Qs. 42 : 11)  . Dalam ayat lain disebutkan “wa lam yakun lahu kufuwan ahad”  tiada seorangpun yang setara dengan Dia (Qs.112: 4).
           Sebagai sesuatu yang transenden, sisi jalaliyah Allah melintasi ruang dan waktu, ia berada jauh (al bu’du) diluar nalar mansuia, dan dalam diminsi jalaliyah, posisi kita terhadap Allah adalah  sebagai “hamba”, yang takut kepadaNya. karenanya dalam Qs. 1 : 5  disebut iyyaka na’budu (kepadaMu kami menghamba).
          Sementara aspek jamaliyah adalah berkaitan dengan sifat Allah. Bila kata jamal di terjemahkan sebagai His majesty, maka kata jalal diterjemahkan dengan his beauty.  bila jamal berhubungan dengan zat Allah, maka jalal berhubungan dengan sifat sifat Allah. Bila kita tidak dapat mengenal zat Allah kerena ia jauh di luar jangkauan nalar kita, maka kita dapat mengenal Allah dari sifat sifatnya, sebab sifat sifat Allah dekat dengan kita, serupa atau dimengerti oleh kita.  Jika dalam dimensi jalaliyah kita harus bersikap tanzih  (membersihkan diri dari semua gambaran tentangNya), maka dalam dimensi jamaliyah  kita harus bersikap tasybih (mencontoh, meneladani dan menyerap sifat sifat Allah yang indah itu) sebuah hadits menyebutkan “Attakhallaqu bi khuluqillah” ( berakhlaqlah dengan akhlaq Allah).
            Jika dalam dimensi jalaliyah yang timbul di hati kita perasaan takut (khauf) akan kemaha agunganNya, pembalasanNya, dan adzabNya,  maka dalam dimensi jamaliyah  yang timbul di hati kita adalah perasaan cinta (mahabbah) akan kasih sayangNya, ampunanNya, karuniaNya dan pemeliharaanNya . Dalam penciptaan manusia, Allah lebih menunjuk kepada deminsi jamaliyahnya seperti terlukis dalam Qs. 55 : 1-3 “Ar rahman ‘allamal qur’an khalaqal insan” (Dialah  sang maha pengasih  yang  mengajarkan alqur’an yang menciptakan manusia). Karena penciptaan manusia lahir dari sifat jamaliyah dan kasih sayangnya, maka Tuhan ketika berkata kepada malaikat menggunakan istilah “inni ja’ilun  fil ardi kholifah” Aku akan jadikan di bumi seorang kholifah (Qs. 2:30), dan bukan “aku akan ciptakan seorang hamba di muka bumi”.
              Karena penciptaan manusia didasari sifat kasih sayang Tuhan, maka yang timbul adalah perasaan cinta (mahabbah), sehingga posisi kita terhadap Tuhan dalam dimensi ini bukan lagi sebagai seorang hamba, melainkan sebagai seorang kholifah (wakil Tuhan). Itu artinya hanya manusialah satu satunya diantara seluruh mahluk di alam semesta yang mendapat kepercayaan Tuhan mengenakan jubah kehormatan sebagai wakilnya di bumi.  Kenapa mesti manusia yang dipilih sebagai Wakil Tuhan dengan amanat (jubah kehormatan)?, sebab pada diri manusia dimensi jalaliyah dan jamaliyah Tuhan dapat berkolaborasi secara apik. Dalam posisnya sebagai abdi, manusia adalah sama seperti mahluk mahluk yang lain, tetapi dalam posisinya sebagai kholifah, manusia lebih menonjol dibanding mahluk mahluk  lainnya.

III
         Dalam ilmu ilmu islam, yang mengambil dan memposisikan Tuhan dalam dimensi jalaliyah adalah ilmu fiqh. Pada ilmu fiqh Tuhan muncul dalam sosok seorang hakim  dengan palu di tangannya, jika anda lakukan ini  anda masuk sorga, jika tidak, anda masuk neraka, bila begini halal dan bila begitu haram, ini boleh dan itu tidak boleh, ini haq dan itu bathil, ini hitam dan itu putih. Dalam dunia fiqh Tuhan mempunyai dua tangan, pada satu tangan tersimpan pahala dan pada tangan yang lain tersimpan siksa, Tuhan menjadi hakim yang sangat adil.
         Sesungguhnya yang paling kita takutkan dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila Tuhan betul betul menerapkan keadilanNya, rasanya sedikit sekali mantsia yang bakal masuk sorga. Hasan basri menegaskan jika memperhatikan  prilaku manusia sehari hari  sepertinya  semua manusia akan masuk neraka, misalnya ada hadits yang menyatakan “tidak akan  pernah masuk  sorga seseorang yang dalam hatinya ada rasa takabbur walau sebesar debu”, realitasnya takabbur kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung, padahal sebesar debu saja dihararamkan masuk sorga. Ada pula hadits yang menyebutkan “Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”. Bila sesuap saja akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa hari jika yang masuk ke perutnya  dua milyar suap ? Jika memperhatikan hadits hadits itu, rasanya kita semua akan masuk neraka.
        Jika Allah dengan keadilannya --dalam arti per se-- membalas kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua amal kita, maka celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita, tentu sangat tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya, seperti riya’ dan ujub. Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu.
         Keluasan kasih sayang Allah digambarkan secara  manis dalam Qs. 39 : 53  Ya ibadiya al ladzina asrafu ala anfusihim la taqnathu min rahmatillah, (Wahai hamba hambaku yang keterlaluan dalam berbuat dosa, Wahai hamba hambaKu yang keterlaluan menganiaya diri sendiri, janganlah berputus asa akan rahmat Allah) ayat ini menunjukkan kasih sayang Allah yang luar biasa, Perhatikan, Allah tidak menggunakan kata kata wahai hamba hambaku yang taat, yang bertaubat, atau yang taqwa, tetapi Allah memakai kata kata wahai hamba hambaKu yang melampaui batas, yang keterlaluan berbuat dosa.
Bila kepada para pendosa saja Allah masih memanggilnya dengan panggilan mesra, apalagi kepada orang orang yang bukan pendosa, sungguh menakjubkan, Allah memang maha sabar (al shabur), meskipun dirinya ditentang, dimaksiati, dikhianati, dia tetap memanggil dengan panggilan ya ibadi (wahai hamba hambaKu). Allah memang memiliki sifat marah, tetapi sabarnya jauh melampaui marahnya, Allah bisa saja murka, tetapi maafnya jauh lebih luas dari murkanya.
        Ketika Nabi Musa bermaksud menemui Tuhannya, ditengah jalan bertemu dengan orang shaleh dan seorang pendosa, mereka meminta nabi musa menanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan untuk mereka, nabi musa menyanggupi keduanya,    setelah kembali nabi Musa menyampaikan jawaban Tuhan  kepada keduanya.  Untuk engkau  si  shaleh, Tuhan telah menyiapkan bagimu pahala besar yang indah indah, orang shaleh itu  berkata “Aku sudah menduganya”, sebab amal saya memang banyak. Kepada si pendosa, Musa berkata “Tuhan mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk”, mendengar itu si pendosa bangkit riang  gembira menari nari, Musa heran, mengapa anda gembira ? Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan untukku, aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku, aku pendosa yang hina, aku kira tidak seorangpun yang mengenalku, nyatanya Tuhan masih mengenalku, ucap pendosa itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya nasib keduanya disisi Allah berubah, mereka bertukar tempat, orang shaleh di neraka dan si pendosa ditempatkan di sorga.
Nabi Musa heran, ia bertanya mengapa demikian ? Tuhan menjawab, ketahuilah olehmu, orang yang pertama itu dengan  segala amal salehnya tidak layak memperoleh anugerahKu, karena anugerahKu tidak dapat dibeli oleh amal shaleh, sedangkan orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apapun yang menjadi keputusanKu terhadap dirinya. Kesenangannya terhadap berbagai macam pemberianKu menyebabkan  Aku senang kepadanya, bila dia ridlo padaKu, maka Aku ridlo padanya. Orang pertama hanya menyentuh kemaha besaran dan keadilanKu, sementara orang kedua menyentuh cinta kasihKu.
         Maka bila kita ingin mendapat kecintaan Allah, hendaklah kita berakhlaq sebagaimana akhlaknya, bila Allah maha sabar, kita juga harus jadi penyabar, bila Allah maha berterimakasih, kita harus pandai bersyukur, bila Allah maha pemaaf, kita juga mesti jadi pemaaf,  bila Allah maha penyayang, pengasih  dan dermawan, maka kita juga jangan kikir, demikian seterusnya.
 
IV
          Tetapi sekiranya  kita hanya berpegang pada aspek jamaliyahnya saja, kita akan menjadi orang yang sangat longgar, kita akan seenaknya bermaksiat, kepada Allah karena kita beranggapan toh Allah maha pengampun dan maha penerima taubat, kita akan mudah melanggar aturannya karena kita menganggap ampunan Allah lebih luas dari adzabnya.
Imam Malik berkata “barang siapa bertasawwuf saja tanpa berfiqh maka dia akan sindiq, sebaliknya orang yang berfiqh saja tanpa bertasawwuf   dia akan fasik, siapa yang menggabung keduanya itulah orang yang haq. Artinya tarekat tanpa syareat adalah bathil (sesat) dan syareat tanpa  tarekat  adalah ‘athil (kosong).
            Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan kaffah, seimbang dalam soal duniawi dan ukhrowi, dzikir dan fikir juga seimbang antara ilmu dan amal, ajaran islam sudah jelas bahwa antara ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu. Islam menolak ilmu tanpa amal, juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Intinya, yang benar menurut islam adalah “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”. Wallohu a’lam bis showab.

Tidak ada komentar: