Ust. A.
Hefni zain
I
Dalam alqur’an disebutkan “Qulid’ulloha
awid’urrahman ayyama tad’u falahul asmaul husna“ berdoalah kalian dengan
memanggil nama Allah atau memanggil ar rahman, karena bagiNya ada nama nama
yang baik”. ( Qs. 17 : 10 ).Memperhatikan nama nama Allah dalam
alqur’an, akan didapati dua klasifikasi besar, Pertama yang berkaitan
dengan dimensi jalaliyah (agung), yaitu nama yang menunjukkan keagunganNya dan
kemaha perkasaanNya seperti : Al mutakkabir (yang mempunyai kebesaran), Al
jabbar (yang maha perkasa), juga syadidul iqab (yang sangat berat
siksaannya dalam mengadzab) dan sejenisnya.
Semua nama itu membuat kita takut padaNya. Kedua yang berkaitan dengan dimensi
jamaliyah (indah) yaitu nama yang menunjukkan keindahanNya, kasih sayangNya,
ampunanNya, karuniaNya dan pemeliharaanNya, seperti : Ar rahman (maha pengasih), Ar
rahiem (maha penyayang), Al ghafur (maha mengampuni.), Al ‘afuwwu
(maha memaafkan), Al muhaimin
(maha memelihara) dan sejenisnya. Semua nama itu membuat kita cinta
padaNya.
Yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah
fakta bahwa dalam alqur’an jumlah asma Allah dalam dimensi jamaliyah
ditampilkan jauh lebih banyak dari
dimensi jalaliyahNya. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar
dari kemurkanNya, ampunan Allah jauh
lebih besar dari adzabNya. Dalam Qs. 6 :
12 disebutkan “Kataba ala nafsih ar rahmah“ (Allah telah mewajibkan atas
dirinya memiliki sifat cinta kasih) Dalam Qs. 7 : 156 “Warahmati wasiat
kulla sya’ (dan kasih sayangKu
meliputi segala sesuatu).
II
Aspek jalaliyah adalah berkaitan zat
Allah, karena itu relasi kita denganNya adalah relasi yang jauh, sebab Allah
adalah zat yang tidak dapat dibayangkan, betapapun kita mencoba menggambarkan
Allah, Dia tetap berada di luar apa yang kita gambarkan, karena itu dalam Qs.
37 : 159 dinyatakan “subhanallohi ta’ala
amma yasifun” (maha suci Allah ta’ala dari apa yang mereka sifatkan
atau mereka bayangkan).
Jika seseorang membayangkan Allah dari
segi zatNya, maka yang harus dilakakukan adalah tanzih yakni pembersihan
diri dari segala gambaran tentang Allah,
sebab Dia tidak mungkin dapat digambarkan, “laisa kamislihi syaiun”
tiada sesuatupun yang serupa denganNya. (Qs. 42 : 11) . Dalam ayat lain disebutkan “wa lam yakun
lahu kufuwan ahad” tiada seorangpun
yang setara dengan Dia (Qs.112: 4).
Sebagai sesuatu yang transenden, sisi
jalaliyah Allah melintasi ruang dan waktu, ia berada jauh (al bu’du)
diluar nalar mansuia, dan dalam diminsi jalaliyah, posisi kita terhadap Allah
adalah sebagai “hamba”, yang takut
kepadaNya. karenanya dalam Qs. 1 : 5
disebut iyyaka na’budu (kepadaMu kami menghamba).
Sementara aspek jamaliyah adalah
berkaitan dengan sifat Allah. Bila kata jamal di terjemahkan sebagai His
majesty, maka kata jalal diterjemahkan dengan his beauty. bila jamal berhubungan dengan zat
Allah, maka jalal berhubungan dengan sifat sifat Allah. Bila kita tidak
dapat mengenal zat Allah kerena ia jauh di luar jangkauan nalar kita, maka kita
dapat mengenal Allah dari sifat sifatnya, sebab sifat sifat Allah dekat dengan
kita, serupa atau dimengerti oleh kita.
Jika dalam dimensi jalaliyah kita harus bersikap tanzih (membersihkan diri dari semua gambaran
tentangNya), maka dalam dimensi jamaliyah
kita harus bersikap tasybih (mencontoh, meneladani dan menyerap
sifat sifat Allah yang indah itu) sebuah hadits menyebutkan “Attakhallaqu bi
khuluqillah” ( berakhlaqlah dengan akhlaq Allah).
Jika dalam dimensi jalaliyah yang
timbul di hati kita perasaan takut (khauf) akan kemaha agunganNya,
pembalasanNya, dan adzabNya, maka dalam
dimensi jamaliyah yang timbul di hati
kita adalah perasaan cinta (mahabbah) akan kasih sayangNya, ampunanNya,
karuniaNya dan pemeliharaanNya . Dalam penciptaan manusia, Allah lebih
menunjuk kepada deminsi jamaliyahnya seperti terlukis dalam Qs. 55 : 1-3 “Ar
rahman ‘allamal qur’an khalaqal insan” (Dialah sang maha pengasih yang
mengajarkan alqur’an yang menciptakan manusia). Karena penciptaan
manusia lahir dari sifat jamaliyah dan kasih sayangnya, maka Tuhan ketika
berkata kepada malaikat menggunakan istilah “inni ja’ilun fil ardi kholifah” Aku akan jadikan di
bumi seorang kholifah (Qs. 2:30), dan bukan “aku akan ciptakan seorang hamba di
muka bumi”.
Karena penciptaan manusia didasari
sifat kasih sayang Tuhan, maka yang timbul adalah perasaan cinta (mahabbah),
sehingga posisi kita terhadap Tuhan dalam dimensi ini bukan lagi sebagai
seorang hamba, melainkan sebagai seorang kholifah (wakil Tuhan). Itu artinya
hanya manusialah satu satunya diantara seluruh mahluk di alam semesta yang
mendapat kepercayaan Tuhan mengenakan jubah kehormatan sebagai wakilnya di
bumi. Kenapa mesti manusia yang dipilih
sebagai Wakil Tuhan dengan amanat (jubah kehormatan)?, sebab pada diri manusia
dimensi jalaliyah dan jamaliyah Tuhan dapat berkolaborasi secara apik. Dalam
posisnya sebagai abdi, manusia adalah sama seperti mahluk mahluk yang lain,
tetapi dalam posisinya sebagai kholifah, manusia lebih menonjol dibanding
mahluk mahluk lainnya.
III
Dalam ilmu ilmu islam, yang mengambil
dan memposisikan Tuhan dalam dimensi jalaliyah adalah ilmu fiqh. Pada ilmu fiqh
Tuhan muncul dalam sosok seorang hakim
dengan palu di tangannya, jika anda lakukan ini anda masuk sorga, jika tidak, anda masuk
neraka, bila begini halal dan bila begitu haram, ini boleh dan itu tidak boleh,
ini haq dan itu bathil, ini hitam dan itu putih. Dalam dunia fiqh Tuhan
mempunyai dua tangan, pada satu tangan tersimpan pahala dan pada tangan yang
lain tersimpan siksa, Tuhan menjadi hakim yang sangat adil.
Sesungguhnya yang paling kita takutkan
dari Tuhan adalah keadilanNya, sebab bila Tuhan betul betul menerapkan
keadilanNya, rasanya sedikit sekali mantsia yang bakal masuk sorga. Hasan basri
menegaskan jika memperhatikan prilaku
manusia sehari hari sepertinya semua manusia akan masuk neraka, misalnya ada
hadits yang menyatakan “tidak akan
pernah masuk sorga seseorang yang
dalam hatinya ada rasa takabbur walau sebesar debu”, realitasnya takabbur
kita bukan sebesar debu tapi sebesar gunung, padahal sebesar debu saja
dihararamkan masuk sorga. Ada
pula hadits yang menyebutkan “Barang siapa memasukkan sesuap makanan haram
ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari”.
Bila sesuap saja akan tertolak amal kebaikannya selama 40 hari, lalu berapa
hari jika yang masuk ke perutnya dua
milyar suap ? Jika memperhatikan hadits hadits itu, rasanya kita semua akan
masuk neraka.
Jika Allah dengan keadilannya --dalam
arti per se-- membalas kita dengan balasan setimpal atau mempertimbangkan semua
amal kita, maka celakalah kita, sebab kalau kita mengandalkan amal baik kita,
tentu sangat tidak cukup, amal kita amat sedikit, itupun masih banyak virusnya,
seperti riya’ dan ujub. Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu
lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika
dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku
tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku,
sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu.
Keluasan kasih sayang Allah
digambarkan secara manis dalam Qs. 39 :
53 Ya ibadiya al ladzina asrafu ala
anfusihim la taqnathu min rahmatillah, (Wahai hamba hambaku yang
keterlaluan dalam berbuat dosa, Wahai hamba hambaKu yang keterlaluan menganiaya
diri sendiri, janganlah berputus asa akan rahmat Allah) ayat ini menunjukkan
kasih sayang Allah yang luar biasa, Perhatikan, Allah tidak menggunakan kata
kata wahai hamba hambaku yang taat, yang bertaubat, atau yang taqwa, tetapi
Allah memakai kata kata wahai hamba hambaKu yang melampaui batas, yang
keterlaluan berbuat dosa.
Bila kepada para pendosa saja Allah
masih memanggilnya dengan panggilan mesra, apalagi kepada orang orang yang
bukan pendosa, sungguh menakjubkan, Allah memang maha sabar (al shabur),
meskipun dirinya ditentang, dimaksiati, dikhianati, dia tetap memanggil dengan
panggilan ya ibadi (wahai hamba hambaKu). Allah memang memiliki sifat marah,
tetapi sabarnya jauh melampaui marahnya, Allah bisa saja murka, tetapi maafnya
jauh lebih luas dari murkanya.
Ketika Nabi
Musa bermaksud menemui Tuhannya, ditengah jalan bertemu dengan orang shaleh dan
seorang pendosa, mereka meminta nabi musa menanyakan kepada Tuhan apa yang
dipersiapkan untuk mereka, nabi musa menyanggupi keduanya, setelah kembali nabi Musa menyampaikan
jawaban Tuhan kepada keduanya. Untuk engkau
si shaleh, Tuhan telah menyiapkan
bagimu pahala besar yang indah indah, orang shaleh itu berkata “Aku sudah menduganya”, sebab amal
saya memang banyak. Kepada si pendosa, Musa berkata “Tuhan mempersiapkan bagimu
tempat yang paling buruk”, mendengar itu si pendosa bangkit riang gembira menari nari, Musa heran, mengapa anda
gembira ? Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan untukku,
aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku, aku pendosa yang hina, aku kira
tidak seorangpun yang mengenalku, nyatanya Tuhan masih mengenalku, ucap pendosa
itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya nasib keduanya disisi Allah
berubah, mereka bertukar tempat, orang shaleh di neraka dan si pendosa
ditempatkan di sorga.
Nabi Musa heran, ia bertanya mengapa
demikian ? Tuhan menjawab, ketahuilah olehmu, orang yang pertama itu
dengan segala amal salehnya tidak layak
memperoleh anugerahKu, karena anugerahKu tidak dapat dibeli oleh amal shaleh,
sedangkan orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apapun
yang menjadi keputusanKu terhadap dirinya. Kesenangannya terhadap berbagai
macam pemberianKu menyebabkan Aku senang
kepadanya, bila dia ridlo padaKu, maka Aku ridlo padanya. Orang pertama hanya
menyentuh kemaha besaran dan keadilanKu, sementara orang kedua menyentuh cinta
kasihKu.
Maka bila kita ingin mendapat
kecintaan Allah, hendaklah kita berakhlaq sebagaimana akhlaknya, bila Allah
maha sabar, kita juga harus jadi penyabar, bila Allah maha berterimakasih, kita
harus pandai bersyukur, bila Allah maha pemaaf, kita juga mesti jadi
pemaaf, bila Allah maha penyayang,
pengasih dan dermawan, maka kita juga
jangan kikir, demikian seterusnya.
IV
Tetapi sekiranya kita hanya berpegang pada aspek jamaliyahnya
saja, kita akan menjadi orang yang sangat longgar, kita akan seenaknya
bermaksiat, kepada Allah karena kita beranggapan toh Allah maha pengampun dan
maha penerima taubat, kita akan mudah melanggar aturannya karena kita
menganggap ampunan Allah lebih luas dari adzabnya.
Imam Malik berkata “barang siapa
bertasawwuf saja tanpa berfiqh maka dia akan sindiq, sebaliknya orang yang
berfiqh saja tanpa bertasawwuf dia akan
fasik, siapa yang menggabung keduanya itulah orang yang haq. Artinya tarekat
tanpa syareat adalah bathil (sesat) dan syareat tanpa tarekat
adalah ‘athil (kosong).
Islam adalah agama yang mengajarkan
keseimbangan dan kaffah, seimbang dalam soal duniawi dan ukhrowi, dzikir dan
fikir juga seimbang antara ilmu dan amal, ajaran islam sudah jelas bahwa antara
ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu. Islam
menolak ilmu tanpa amal, juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Intinya, yang
benar menurut islam adalah “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”. Wallohu
a’lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar