Ust. Ach Hefni Zain
I
Di era
revolusi industri saat ini, pola hidup manusia telah mengalami berbagai
perubahan radikal, khususnya di kota-kota besar yang merupakan jantung dari
proses revolusi tersebut. Revolusi industri dengan segala tuntutannya yang
tinggi, seperti pengaturan tata kehidupan yang ketat dan kompetitif, bahkan
bersifat indifidualistik dan kejam, ditambah lagi dengan digantikannya sumber
energi mahluk hidup (manusia dan hewan) oleh energi mekanik (uap, minyak dan
atom) dalam proses produksi, atau ditantikannya fikiran manusia (human tought)
oleh fikiran mesin (the tingking of machines), ternyata telah menyebabkan
sistem sosial mengalami hegemonisasi, dimana masyarakat berfungsi seolah olah
sebagai mesin besar dan individu didalamnya bagai sikrup-sikrup kecil yang dependen.
Maka tak ayal secara perlahan tapi pasti, manusia disamping tidak dapat
menikmati nilai kemajuan itu sendiri, juga akan kehilangan identitas diri dan
mengalami krisis kemanusiaan, inilah yang oleh Hosein Nasr disebut sebagai
nistapa umat manusia.
Tidak
dapat dibantah bahwa disamping ada sisi positifnya, perubahan radikal seperti
diatas ternyata juga telah mengusung sejumlah virus nigatif berupa
materialisme, individualisme dan dehumanisasi, ujung-ujungnya manusia yang
terinfeksi virus ini tidak saja kehilangan pegangan dan kasih sayang tetapi
yang lebih dahsyat adalah kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya, maka tidak
heran bila di jaman ini telah bermunculan manusia yang tidak lagi manusiawi.
Manusia
disebut manusia karena tiga hal, pertama berakal, kedua, punya hati nurani dan
ketiga punya rasa malu, bila ketiganya tidak berfungsi atau hilang dari
seseorang maka ia tidak lagi disebut manusia kendati secara fisik masih berupa
manusia, orang yang seperti itu menurut kaum sufi hakikinya adalah lebih hina
dari binatang sekalipun. Al-Qur’an menegaskan “Mereka punya hati tetapi tidak
digunakannya, mereka punya mata tetapi tidak melihat, mereka punya telinga
tetapi tidak mendengar, mereka itu seperti binatang bahkan lebih sesat”. Perbedaan manusia dan binatang secara
sederhana hanya terletak pada tiga hal, yakni ketika berjalan ia tegak, ketika
berbicara ia fasih dan mampu menutupi tubuhnya dengan bermacam pakaian,
meskipun belakangan ada trend baru, banyak monyet yang senang di kasih pakaian,
sementara tidak sedikit manusia yang malah bangga berfoto bugil.
Biasanya
seseorang yang telah terinfeksi virus nigatif diatas, karakternya hanya
berfikir tentang makan, minum dan kesenangan biologis semata, ia juga selalu
berfikir individualistik dan tidak mau berbagi dengan yang lain, yang penting
dirinya kenyang dan tak peduli dengan orang lain yang kelaparan. Dalam Qs. 7 : 176 disebutkan : …mereka cenderung
kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, perumpamaan mereka seperti
anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
juga. Oleh karena itu seseorang dalam hidup ini boleh menjadi apa saja, tetapi
yang paling penting adalah menjadi manusia yang betul betul manusia !, tidak
ada gunanya seseorang menjadi apapun bila ia masih berada dalam derajat
binatang.
II
Salah
satu indikator komunitas masyarakat yang terinfeksi virus revolusi
industrialisasi adalah membudayanya pola relasi manusia hampa cinta, sehingga
semangat marhamah dan budaya mengasihi menjadi tidak lagi populer, sebagai
gantinya berkembanglah sikap kasar, egois dan agresif, setiap saat mereka siap
menerkam siapa saja sebagai mangsa demi mempertahankan gaya hidup , yang
berlaku adalah hukum rimba siapa yang
kuat dia yang dapat, mereka menjadi materialistis dan oportunis, mereka tidak
jarang mengorbankan perasaan kemanusiaan yang paling luhung sekalipun untuk
memperoleh keuntungan pribadi dan material sebanyak banyaknya.
Sebagai
antisipasi agar masyarakat tidak tertular virus berbahaya tersebut diperlukan
langkah-langkah cermat yang milankolis dan berbasis cinta. Masyarakat perlu
mendapatkan proteksi dan vaksinasi komonal berbasis marhamah, salah satunya
adalah dengan memberikan antibodi pada mereka dengan jalan menginjeksi
nilai-nilai cinta secara sistematis dan metodologis. Sebab telah disepakati
bahwa hanya nilai-nilai itu yang dapat membantu manusia menumbuhkan kembali
semangat saling mengasihi, mereka harus dibiasakan hijrah dari semangat
memiliki yang material kepada kekeluargaan yang spiritual, hijrah dari kebiasan
meminta, berebut dan merampas (taking) kepada kebiasaan mengasihi, mengalah dan
memberi (giving).
Budaya
relasi kaya cinta kiranya telah menjadi alternatif sulutif dan terapitius
sebagai balance dalam masyarakat yang gersang dan garang. Dengan cinta,
seseorang yang telah kehilangan dirinya dalam hiruk pikuk sport jantung
kompetitif akan menemukan kembali nilainya yang lugu, mereka yang selama ini hanya dihitung sabagai
angka angka akan kembali diperlakukan sebagai manusia, mereka yang selama ini
hanya berkutat dengan tegur sapa basa basi penuh kepalsuan akan kembali
menikmati senyum ramah penuh ketulusan, mereka yang selama ini menjadi orang
asing yang seakan tidak saling kenal kendati dekat, kini kembali menjalin kasih
yang suci. Inilah implikasi relasi kaya
cinta dalam persaudaraan sejati. Dengan cinta, mereka akan belajar saling
menyapa dan saling mengasihi, setelah sebelumnya saling bersaing, saling
menuntut, saling merampas dan saling mengalahkan. Saya kira pada titik inilah -secara sosiologis dan psikologis- budaya
saling mengasihi kembali menemukan makna signifikannya.
III
Masyarakat
Islami adalah masyarakat yang patuh dan salamah serta memberikan keselamatan
dan kedamaian bagi sekalian alam, masyarakat Islami adalah masyarakat yang
ditata diatas dasar akhlakul karimah, persaudaraan, persamaan, keadilan dan
kemerdekaan, karena itu Islam mendorong para pemeluknya untuk memahami secara
sempurna hakekat kehidupan yang
melampaui sekat sekat perbedaan dan tidak terkungkung oleh berbagai
macam formalitas, sebab dalam perspektif Islam perbedaan dan keberagaman
bukanlah yang utama, karena dibalik itu ada yang lebih utama yaitu Allah swt.
Imam syafi’i menyebutkan semua relitas kehidupan adalah syarah bagi assunnah,
sedangkan semua sunnah merupakan syarah bagi alqur’an, dan semua isi alqur’an
adalah syarah bagi asmaul husna, sedangkan semua asmaul husna merupakan syarah
bagi al ism al a’dzam Allah Azza wajalla.
Dalam
Islam yang disebut ibadah bukan sekedar ritus personal melainkan juga
kemanfaatan sosial bagi sesama manusia seperti menyantuni fakir miskin dan
membuat gembira mereka yang hidup sengsara, dalam Islam ibadah yang utama
adalah ibadah spiritual yang inkludid pembebasan sosial, iman dan amal sholeh,
ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiyah, tauhidul ibadah menuju tauhidul
ummah, seperti ibadah sholat yang tanha ’anil faksya’i wal munkar, seperti
ibadah puasa yang mengajak orang kaya merasakan lapar sebagaimana orang miskin,
juga seperti ibadah qurban yang mengajak kaum miskin merasakan kenyang
sebagaimana orang yang berkecukupan.
Bagi
Islam, seseorang hanya dapat taqorrub dengan Allah swt bila sebelumnya ia telah
dekat dengan saudara saudaranya yang kekurangan, bila Allah swt menyuruh orang
mendekatkan diri kepadanya dengan mengisi masjid-masjid dan rumah- rumah ibadah
yang hening, maka Allah swt juga menyuruh manusia mendekatkan diri kepadaNya
dengan mengisi perut-perut yang kosong. Rasul saw dengan tegas mengatakan :
Perumpamaan kaum muslimin dalam hal jalinan kasih mengasihi ibarat satu tubuh,
bila salah satu anggota tubuhnya sakit,
maka yang lainpun ikut juga merasakannya, ibarat satu bangunan, yang satu harus
menguatkan yang lainnya. Maka Rasulpun menegaskan, barang siapa diantara kaum
muslimin yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin yang lain, maka mereka
bukan termasuk golongan umat ku.
Salah satu
implikasi dari semangat saling mengasihi adalah munculnya semangat toleransi
kepada semua pihak, dari toleransi akan muncul persatuan, dengan persatuan akan tercipta kekuatan dan
dengan kekuatan akan diraih kemenangan. Tidak pernah ada kemenangan tanpa
kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan, tidak ada persatuan tanpa
toleransi dan tidak ada toleransi tanpa semangat saling mengasihi. Saya kira sudah saatnya umat Islam
menghidupkan kembali budaya mengasihi sebagai ciri masyarakat Islami yang tidak
hanya mentereng di ranah konsep tetapi mesti dibumikan dalam praktek yang
nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar