Selasa, 23 Oktober 2012

MENGHIDUPKAN KEMBALI BUDAYA MENGASIHI




Ust. Ach Hefni Zain
I
Di era revolusi industri saat ini, pola hidup manusia telah mengalami berbagai perubahan radikal, khususnya di kota-kota besar yang merupakan jantung dari proses revolusi tersebut. Revolusi industri dengan segala tuntutannya yang tinggi, seperti pengaturan tata kehidupan yang ketat dan kompetitif, bahkan bersifat indifidualistik dan kejam, ditambah lagi dengan digantikannya sumber energi mahluk hidup (manusia dan hewan) oleh energi mekanik (uap, minyak dan atom) dalam proses produksi, atau ditantikannya fikiran manusia (human tought) oleh fikiran mesin (the tingking of machines), ternyata telah menyebabkan sistem sosial mengalami hegemonisasi, dimana masyarakat berfungsi seolah olah sebagai mesin besar dan individu didalamnya bagai sikrup-sikrup kecil yang dependen. Maka tak ayal secara perlahan tapi pasti, manusia disamping tidak dapat menikmati nilai kemajuan itu sendiri, juga akan kehilangan identitas diri dan mengalami krisis kemanusiaan, inilah yang oleh Hosein Nasr disebut sebagai nistapa umat manusia.
Tidak dapat dibantah bahwa disamping ada sisi positifnya, perubahan radikal seperti diatas ternyata juga telah mengusung sejumlah virus nigatif berupa materialisme, individualisme dan dehumanisasi, ujung-ujungnya manusia yang terinfeksi virus ini tidak saja kehilangan pegangan dan kasih sayang tetapi yang lebih dahsyat adalah kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya, maka tidak heran bila di jaman ini telah bermunculan manusia yang tidak lagi manusiawi.
Manusia disebut manusia karena tiga hal, pertama berakal, kedua, punya hati nurani dan ketiga punya rasa malu, bila ketiganya tidak berfungsi atau hilang dari seseorang maka ia tidak lagi disebut manusia kendati secara fisik masih berupa manusia, orang yang seperti itu menurut kaum sufi hakikinya adalah lebih hina dari binatang sekalipun. Al-Qur’an menegaskan “Mereka punya hati tetapi tidak digunakannya, mereka punya mata tetapi tidak melihat, mereka punya telinga tetapi tidak mendengar, mereka itu seperti binatang bahkan lebih sesat”.  Perbedaan manusia dan binatang secara sederhana hanya terletak pada tiga hal, yakni ketika berjalan ia tegak, ketika berbicara ia fasih dan mampu menutupi tubuhnya dengan bermacam pakaian, meskipun belakangan ada trend baru, banyak monyet yang senang di kasih pakaian, sementara tidak sedikit manusia yang malah bangga berfoto bugil.
Biasanya seseorang yang telah terinfeksi virus nigatif diatas, karakternya hanya berfikir tentang makan, minum dan kesenangan biologis semata, ia juga selalu berfikir individualistik dan tidak mau berbagi dengan yang lain, yang penting dirinya kenyang dan tak peduli dengan orang lain yang kelaparan. Dalam  Qs. 7 : 176 disebutkan : …mereka cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, perumpamaan mereka seperti anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya  dia mengulurkan lidahnya juga. Oleh karena itu seseorang dalam hidup ini boleh menjadi apa saja, tetapi yang paling penting adalah menjadi manusia yang betul betul manusia !, tidak ada gunanya seseorang menjadi apapun bila ia masih berada dalam derajat binatang.
II
Salah satu indikator komunitas masyarakat yang terinfeksi virus revolusi industrialisasi adalah membudayanya pola relasi manusia hampa cinta, sehingga semangat marhamah dan budaya mengasihi menjadi tidak lagi populer, sebagai gantinya berkembanglah sikap kasar, egois dan agresif, setiap saat mereka siap menerkam siapa saja sebagai mangsa demi mempertahankan gaya hidup , yang berlaku adalah hukum rimba  siapa yang kuat dia yang dapat, mereka menjadi materialistis dan oportunis, mereka tidak jarang mengorbankan perasaan kemanusiaan yang paling luhung sekalipun untuk memperoleh keuntungan pribadi dan material sebanyak banyaknya.
Sebagai antisipasi agar masyarakat tidak tertular virus berbahaya tersebut diperlukan langkah-langkah cermat yang milankolis dan berbasis cinta. Masyarakat perlu mendapatkan proteksi dan vaksinasi komonal berbasis marhamah, salah satunya adalah dengan memberikan antibodi pada mereka dengan jalan menginjeksi nilai-nilai cinta secara sistematis dan metodologis. Sebab telah disepakati bahwa hanya nilai-nilai itu yang dapat membantu manusia menumbuhkan kembali semangat saling mengasihi, mereka harus dibiasakan hijrah dari semangat memiliki yang material kepada kekeluargaan yang spiritual, hijrah dari kebiasan meminta, berebut dan merampas (taking) kepada kebiasaan mengasihi, mengalah dan memberi (giving).
Budaya relasi kaya cinta kiranya telah menjadi alternatif sulutif dan terapitius sebagai balance dalam masyarakat yang gersang dan garang. Dengan cinta, seseorang yang telah kehilangan dirinya dalam hiruk pikuk sport jantung kompetitif akan menemukan kembali nilainya yang lugu,  mereka yang selama ini hanya dihitung sabagai angka angka akan kembali diperlakukan sebagai manusia, mereka yang selama ini hanya berkutat dengan tegur sapa basa basi penuh kepalsuan akan kembali menikmati senyum ramah penuh ketulusan, mereka yang selama ini menjadi orang asing yang seakan tidak saling kenal kendati dekat, kini kembali menjalin kasih yang suci.  Inilah implikasi relasi kaya cinta dalam persaudaraan sejati. Dengan cinta, mereka akan belajar saling menyapa dan saling mengasihi, setelah sebelumnya saling bersaing, saling menuntut, saling merampas dan saling mengalahkan. Saya kira pada titik inilah  -secara sosiologis dan psikologis- budaya saling mengasihi kembali menemukan makna signifikannya.
III
Masyarakat Islami adalah masyarakat yang patuh dan salamah serta memberikan keselamatan dan kedamaian bagi sekalian alam, masyarakat Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul karimah, persaudaraan, persamaan, keadilan dan kemerdekaan, karena itu Islam mendorong para pemeluknya untuk memahami secara sempurna hakekat kehidupan yang  melampaui sekat sekat perbedaan dan tidak terkungkung oleh berbagai macam formalitas, sebab dalam perspektif Islam perbedaan dan keberagaman bukanlah yang utama, karena dibalik itu ada yang lebih utama yaitu Allah swt. Imam syafi’i menyebutkan semua relitas kehidupan adalah syarah bagi assunnah, sedangkan semua sunnah merupakan syarah bagi alqur’an, dan semua isi alqur’an adalah syarah bagi asmaul husna, sedangkan semua asmaul husna merupakan syarah bagi al ism al a’dzam Allah Azza wajalla.
Dalam Islam yang disebut ibadah bukan sekedar ritus personal melainkan juga kemanfaatan sosial bagi sesama manusia seperti menyantuni fakir miskin dan membuat gembira mereka yang hidup sengsara, dalam Islam ibadah yang utama adalah ibadah spiritual yang inkludid pembebasan sosial, iman dan amal sholeh, ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiyah, tauhidul ibadah menuju tauhidul ummah, seperti ibadah sholat yang tanha ’anil faksya’i wal munkar, seperti ibadah puasa yang mengajak orang kaya merasakan lapar sebagaimana orang miskin, juga seperti ibadah qurban yang mengajak kaum miskin merasakan kenyang sebagaimana orang yang berkecukupan.
Bagi Islam, seseorang hanya dapat taqorrub dengan Allah swt bila sebelumnya ia telah dekat dengan saudara saudaranya yang kekurangan, bila Allah swt menyuruh orang mendekatkan diri kepadanya dengan mengisi masjid-masjid dan rumah- rumah ibadah yang hening, maka Allah swt juga menyuruh manusia mendekatkan diri kepadaNya dengan mengisi perut-perut yang kosong. Rasul saw dengan tegas mengatakan : Perumpamaan kaum muslimin dalam hal jalinan kasih mengasihi ibarat satu tubuh, bila salah satu anggota tubuhnya  sakit, maka yang lainpun ikut juga merasakannya, ibarat satu bangunan, yang satu harus menguatkan yang lainnya. Maka Rasulpun menegaskan, barang siapa diantara kaum muslimin yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin yang lain, maka mereka bukan termasuk golongan umat ku.
Salah satu implikasi dari semangat saling mengasihi adalah munculnya semangat toleransi kepada semua pihak, dari toleransi akan muncul persatuan,  dengan persatuan akan tercipta kekuatan dan dengan kekuatan akan diraih kemenangan. Tidak pernah ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan, tidak ada persatuan tanpa toleransi dan tidak ada toleransi tanpa semangat saling mengasihi.  Saya kira sudah saatnya umat Islam menghidupkan kembali budaya mengasihi sebagai ciri masyarakat Islami yang tidak hanya mentereng di ranah konsep tetapi mesti dibumikan dalam praktek yang nyata.

Tidak ada komentar: