Ust.Ach.Hefni Zain
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Islam,
laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang patuh,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang tunduk
hatinya, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, dan laki-laki dan
perempuan yang selalu ingat (berdzikir) kepada Tuhan-nya, bagi mereka itu telah
disiapkan Tuhan ampunan dan pahala yang besar”(Qs. al-Ahzab :35)
Muqoddimah
Di pentas sejarah, keberadaan kaum perempuan dalam mengambil peran
intelektual diantara kaum laki-laki adalah benar-benar nyata adanya,
keterlibatan mereka dalam khazanah intelektual Islam, terutama dalam bidang
hadits, fiqh dan tasawuf adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka telah
berjasa besar dan memainkan peran penting dalam pengembangan keilmuan Islam.
Tidak itu saja, dalam konteks sosialpun, ulama perempuan sebagaimana juga ulama
pria telah ikut berkontribusi yang tidak sedikit dalam proses pemberdayaan
masyarakat terutama dari problem kebodohan dan keterbelakangan.
Ketika
Nabi saw masih hidup, perempuan dan laki-laki berjalan setara. Kaum perempuan
biasa keluar masuk rumah dan masjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi saw
sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculan ulama-ulama perempuan,
seperti Siti Aisyah ra yang tidak kalah hebatnya dibanding ulama laki-laki.
Pernah suatu saat beberapa sahabat Muslimah menemui Nabi saw,
mereka “memprotes” banyaknya kesempatan akses bagi Muslim laki-laki untuk bisa
beribadah dan berprestasi. Mendapat pertanyaan seperti itu, Allah swt
menurunkan wahyunya kepada Nabi saw sebagaimana tertuang dalam surat al-Ahzab
ayat 35 yang mensejajarkan peluang dan akses antara kaum perempuan dan
laki-laki.
Tidak
berhenti disitu, saat Nabi saw melaksanakan ibadah haji wada’ pada tahun ke-9
H, dengan tegas beliau mengumandangkan pesan-pesan kesetaraanya. Beliau
bersabda “Wahai manusia sesungguhnya perempuan memiliki hak terhadap laki-laki
dan juga laki-laki memiliki hak yang sama dengan perempuan, Sesungguhnya
perempuan itu adalah kawan bagi kaum laki-laki, sekali-kali tidaklah kaum
laki-laki memiliki hak sedikitpun terhadap kaum perempuan, (kecuali) jika
kalian meminta mereka dengan amanah Allah (nikah). Setelah berpesan seperti
itu, Nabi saw kemudian melanjutkan pesannya bahwa kaum Muslim Laki-laki dan
Perempuan adalah bersaudara, dan Nabi secara tegas menyatakan bahwa
sesungguhnya umat manusia dihadapan Allah swt adalah sama, yang membedakan
hanyalah kadar ketaqwaannya.
Urgensi Pemberdayaan Kaum Perempuan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan
bahwa : Sesungguhnya wanita itu adalah tiang negara, apabila wanitanya baik
maka baik pula negara itu, dan bila wanitanya rusak, maka rusak pula negara
itu. Dari hadits ini jelas tergambar bahwa kaum perempuan menempati posisi
sentral dalam kehidupan. Eksistensi
dan perannya diklaim dapat menentukan baik dan buruknya sebuah negara.
Karena itu
pantas jika konvensi PBB tahun 1979 menegaskan pentingnya persamaan hak bagi
laki-laki dan perempuan dengan cara menghilangkan diskrimininasi terhadap kaum
perempuan disemua bidang kehidupan demi tercapainya kesejahteraan negara dan
perdamaian dunia, yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi
undang- undang nomor 7 tahun 1984
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dengan
demikian sesungguhnya urgensi perempuan dalam proses pembangunan tidak saja
mendapat legitimasi lokal, tapi juga regional dan internasional. Hal tersebut
dapat dilihat pada sidang umum PBB tahun 1979 yang mengeluarkan resolusi
tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan internasional, ini
juga tercermin dalam strategi pembangunan internasional PBB baik yang pertama
tahun 1961-1970, kedua tahun 1971-1980
maupun yang ketiga tahun 1981-1990 .
Mengingat
posisi dan peranan perempuan sangat sentral dalam kehidupan, maka upaya-upaya
peningkatan kualitas mereka perlu mendapat dukungan semua pihak sebagai sebuah keniscayaan.
Namun demikian, upaya pemberdayaan kaum perempuan jangan hanya bertolak dari
pandangan bahwa kaum perempuan hanya korban dari kaum laki-laki sehingga perlu
membela diri, yang lebih penting adalah antara laki-laki dan perempuan merasa
terpanggil dan bertanggung jawab untuk bersama-sama memberdayakan kaum
perempuan. Pemberdayaan perempuan, pertama-tama harus dimulai dari paradigma
yang memandang perempuan sebagai pribadi mandiri dan sumber insani yang
mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk
mengembangkan potensinya melalui partisipasi aktif disemua bidang pembangunan
mulai dari tingkat pelaksana sampai tingkat pengambilan keputusan. Paradigma
ini memuat beberapa esensi, bahwa pertama kaum perempuan mempunyai hak,
kewajiban dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki disemua bidang kehidupan. Kedua, pengakuan
terhadap kodrat dan harkat kaum
perempuan yang perlu dijunjung tinggi. Ketiga, perlunya peningkatan
kualitas kompetensi kaum perempuan, Dan Keempat, perlunya pengembangan
iklim sosial budaya yang menopang kemajuan kaum perempuan.
Pemberdayaan perempuan setidaknya bertolak dari dua prinsip dasar, yakni : Pertama,
bahwa kaum perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang
mempunyai potensi untuk berkembang, Kedua, Stigma bahwa perempuan adalah
mahluk lemah, emosional, tidak kompeten, tidak mandiri dan nigatif lainnya
sesungguhnya hanyalah konstruk budaya yang tidak adil dan perlu dimbangi oleh
gambaran tentang perempuan yang cerdas, mandiri, sukses dan ciri lain yang
positif.
Sebuah Ironi
Kendati secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya
kedudukan kaum perempuan, namun secara defacto
masih ditemukan berbagai kenyataan
tentang kaum perempuan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Dalam prakteknya perempuan masih diposisikan
minor dan dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan peradaban. Mereka
didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun fsikis, citra
tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Dari
proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat memberikan lebel dan
perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya merugikan kaum
perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek negatifnya
tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam sejarah
manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih
ditempatkan sebagai second class, sehingga acapkali termarjinalkan,
terutama untuk memegang posisi sebagai penafsir agama. Hal ini pada gilirannya
berimplikasi pada pengakuan publik terhadap ketokohan mereka menjadi setengah
hati. Padahal secara empirik ditengah komunitas masyarakat terdapat sejumlah
perempuan yang dikenal keilmuan, ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas
oleh publik akan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan
secara individu sebagai pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai
aktivitas organisasi sosial keagamaan.
Dalam
dunia Islam, surutnya kemitrasejajaran antara laki-laki
dan perempuan terjadi setelah Nabi saw wafat, ditambah lagi dengan peristiwa
keterlibatan Siti Aisyah dalam perang onta melawan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik ini kemudian
disebut sebagai salah satu embrio terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini
semakin kuat di kalangan ulama, sehingga dijadikan justifikasi untuk membatasi
kiprah perempuan di ranah publik. Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi
perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Pada
masa kepemimpinan Daulah Umayyah (743-744 M), perempuan diposisikan dalam
sistem harem dan tidak punya andil dalam pentas publik. Sistem harem ini
semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan daulah Abbasiyah, yaitu
pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir
Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa
dipungkiri akan adanya tafsir misoginis yang melemahkan kaum perempuan.
Tidak salah bahwa dalam kurun
waktu yang sangat lama, dunia kita adalah dunia laki-laki, kamus ilmiyah
menyebutnya patriarkhi. Budaya kita sejak dulu hingga kini selalu didominasi
oleh para pejantan, sehingga jadilah kaum laki-laki sebagai “penguasa”
di kehidupan ini. Budaya telah sedemikian rupa di setting untuk membuktikan
suprioritas laki-laki atas wanita, dan hingga kini spisies wanita masih diposisikan
sebagai subordinat di bawah kaum laki-laki. Jadi stigma nigatif terhadap kaum perempuan sesungguhnya merupakan korban
dari tafsir budaya, kuasa dan agama
yang tidak adil.
Hingga kini, kendati dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan peran bagi kaum perempuan
belum sepenuhnya terwujud. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah
domestik dan publik. Banyak pula perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah
tangga, seperti cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Sekali lagi, kesetaraan
gender belum terjadi. Hal ini dapat
ditelusuri dari : (1) angka partisipasi perempuan dalam ranah publik masih
sangat minim terutama bila dibandingkan dengan populasi mereka. (2)
Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari sumber-sumber informasi.(3)Terjadinya
sub ordinasi yakni menempatkan kaum perempuan sebagai second choice. (4)
Terjadinya Streotyping Burden yaitu pembelaan terhadap perempuan hanya
menyangkut soal-soal domistik, dan (5) Terjadinya veolence dalam
berbagai bentuknya. Atas dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu
kesepakatan sosial baru untuk menegaskan kembali konstruk kedudukan perempuan ditengah dunia
laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum perempuan, tugas dan tanggung jawab perempuan dalam
kajian dan gerakan keislaman serta
peranan perempuan dalam pembangunan.
Catatan Penutup
Di era technoscience seperti
saat ini, sudah waktunya kaum perempuan memikirkan hal yang besar. Bukankah
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa secara kuantitas, perempuan adalah separuh dari
umat, namun pengaruhnya dalam kehidupan manusia di sekitarnya bisa lebih dari
jumlahnya. Bagi semua yang merasa perempuan, saatnya membuktikan pernyataan diatas,
bahwa perempuan bisa mendulang prestasi dalam segala hal sesuai minatnya. Kaum perempuan
harus meyakini bahwa mereka mampu memainkan peranannya masing-masing sesuai
minat dan skill
yang dimilikinya tanpa adanya sex barier. Keyakinan akan hal tersebut akan
membentuk menset kehidupan mereka untuk tidak merasa memiliki keterbatasan
gerak, sehingga dapat memainkan peran dengan optimal.
”......Yang kamu kerjakan ini adalah pekerjaan-Nya. Dia
akan mengkaruniai kami tenaga untuk melakukan pekerjaan itu. Kami bersedia, bersedia berbuat apapun. Bersedia
memberikan diri kami sendiri. Bersedia menerima luka hati. Air mata, darah,
akan mengalir. Banyak, banyak, tetapi tidak apalah. Itu semuanya akan menuju
kemenangan. Tidak ada cahaya yang tidak didahului gelap gulita. Hari fajar
lahir daripada hari malam”. Rangkaian
kata dalam surat Ibu Kartini ini ditulis untuk teman korespondensinya Tuan E.C.
Abendanon. Ibu Kartini memang bukan satu-satunya perempuan yang dengan
perjuangannya telah menorehkan makna mendalam bagi perempuan. Bahkan ratusan
tahun sebelumnya juga telah banyak pejuang perempuan dalam berbagai bidang.
Benang
merah yang dapat ditarik dari sosok-sosok tersebut (mulai dari Khadijah , Siti
Aisyah sampai Kartini) bahwa mereka adalah perempuan-perempuan pemberani
yang rela bekerja keras, pantang menyerah, tegar, dan kuat. Last but not least,
mereka adalah sosok-sosok yang cerdas, memiliki cara berpikir yang brilian. Kaum
Perempuan masa kini perlu merestrukturisasi cara berpikir, yakni membangun
pikiran kritis dan selektif, konstruktif, dan independen., darinya akan
lahir karya-karya inovatif, Sebaliknya jika selalu bergantung pada pemikiran
orang lain maka kaum perempuan selamanya hanya dijadikan robot-robot kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar