Jumat, 12 Oktober 2012

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANPA BISING FEMINISME




Ust.Ach.Hefni Zain

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Islam, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang patuh, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang tunduk hatinya, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, dan laki-laki dan perempuan yang selalu ingat (berdzikir) kepada Tuhan-nya, bagi mereka itu telah disiapkan Tuhan ampunan dan pahala yang besar”(Qs. al-Ahzab :35)

Muqoddimah
Di pentas sejarah, keberadaan kaum perempuan dalam mengambil peran intelektual diantara kaum laki-laki adalah benar-benar nyata adanya, keterlibatan mereka dalam khazanah intelektual Islam, terutama dalam bidang hadits, fiqh dan tasawuf adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka telah berjasa besar dan memainkan peran penting dalam pengembangan keilmuan Islam. Tidak itu saja, dalam konteks sosialpun, ulama perempuan sebagaimana juga ulama pria telah ikut berkontribusi yang tidak sedikit dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama dari problem kebodohan dan keterbelakangan.
          Ketika Nabi saw masih hidup, perempuan dan laki-laki berjalan setara. Kaum perempuan biasa keluar masuk rumah dan masjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi saw sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculan ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah ra yang tidak kalah hebatnya dibanding ulama laki-laki. Pernah suatu saat beberapa sahabat Muslimah menemui Nabi saw, mereka “memprotes” banyaknya kesempatan akses bagi Muslim laki-laki untuk bisa beribadah dan berprestasi. Mendapat pertanyaan seperti itu, Allah swt menurunkan wahyunya kepada Nabi saw sebagaimana tertuang dalam surat al-Ahzab ayat 35 yang mensejajarkan peluang dan akses antara kaum perempuan dan laki-laki.
          Tidak berhenti disitu, saat Nabi saw melaksanakan ibadah haji wada’ pada tahun ke-9 H, dengan tegas beliau mengumandangkan pesan-pesan kesetaraanya. Beliau bersabda “Wahai manusia sesungguhnya perempuan memiliki hak terhadap laki-laki dan juga laki-laki memiliki hak yang sama dengan perempuan, Sesungguhnya perempuan itu adalah kawan bagi kaum laki-laki, sekali-kali tidaklah kaum laki-laki memiliki hak sedikitpun terhadap kaum perempuan, (kecuali) jika kalian meminta mereka dengan amanah Allah (nikah). Setelah berpesan seperti itu, Nabi saw kemudian melanjutkan pesannya bahwa kaum Muslim Laki-laki dan Perempuan adalah bersaudara, dan Nabi secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya umat manusia dihadapan Allah swt adalah sama, yang membedakan hanyalah kadar ketaqwaannya.

Urgensi Pemberdayaan Kaum Perempuan.
          Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan bahwa : Sesungguhnya wanita itu adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka baik pula negara itu, dan bila wanitanya rusak, maka rusak pula negara itu. Dari hadits ini jelas tergambar bahwa kaum perempuan menempati posisi sentral dalam kehidupan. Eksistensi dan perannya diklaim dapat menentukan baik dan buruknya sebuah negara.
          Karena itu pantas jika konvensi PBB tahun 1979 menegaskan pentingnya persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dengan cara menghilangkan diskrimininasi terhadap kaum perempuan disemua bidang kehidupan demi tercapainya kesejahteraan negara dan perdamaian dunia, yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi undang- undang  nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dengan demikian sesungguhnya urgensi perempuan dalam proses pembangunan tidak saja mendapat legitimasi lokal, tapi juga regional dan internasional. Hal tersebut dapat dilihat pada sidang umum PBB tahun 1979 yang mengeluarkan resolusi tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan internasional, ini juga tercermin dalam strategi pembangunan internasional PBB baik yang pertama tahun 1961-1970, kedua  tahun 1971-1980 maupun yang  ketiga tahun 1981-1990 .
          Mengingat posisi dan peranan perempuan sangat sentral dalam kehidupan, maka upaya-upaya peningkatan kualitas mereka perlu mendapat dukungan semua pihak sebagai sebuah keniscayaan. Namun demikian, upaya pemberdayaan kaum perempuan jangan hanya bertolak dari pandangan bahwa kaum perempuan hanya korban dari kaum laki-laki sehingga perlu membela diri, yang lebih penting adalah antara laki-laki dan perempuan merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk bersama-sama memberdayakan kaum perempuan. Pemberdayaan perempuan, pertama-tama harus dimulai dari paradigma yang memandang perempuan sebagai pribadi mandiri dan sumber insani yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan potensinya melalui partisipasi aktif disemua bidang pembangunan mulai dari tingkat pelaksana sampai tingkat pengambilan keputusan. Paradigma ini memuat beberapa esensi, bahwa pertama kaum perempuan mempunyai hak, kewajiban  dan kesempatan yang sama dengan laki-laki disemua bidang kehidupan. Kedua, pengakuan terhadap  kodrat dan harkat kaum perempuan yang perlu dijunjung tinggi. Ketiga, perlunya peningkatan kualitas kompetensi kaum perempuan, Dan Keempat, perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang menopang kemajuan kaum perempuan.
Pemberdayaan perempuan setidaknya bertolak dari dua prinsip dasar, yakni : Pertama, bahwa kaum perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang, Kedua, Stigma bahwa perempuan adalah mahluk lemah, emosional, tidak kompeten, tidak mandiri dan nigatif lainnya sesungguhnya hanyalah konstruk budaya yang tidak adil dan perlu dimbangi oleh gambaran tentang perempuan yang cerdas, mandiri, sukses dan ciri lain yang positif.

Sebuah Ironi
Kendati secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya kedudukan kaum perempuan, namun secara  defacto masih ditemukan berbagai kenyataan  tentang kaum perempuan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Dalam prakteknya perempuan masih diposisikan minor dan dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan peradaban. Mereka didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun fsikis, citra tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Dari proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat memberikan lebel dan perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya merugikan kaum perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek negatifnya tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam sejarah manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai second class, sehingga acapkali termarjinalkan, terutama untuk memegang posisi sebagai penafsir agama. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada pengakuan publik terhadap ketokohan mereka menjadi setengah hati. Padahal secara empirik ditengah komunitas masyarakat terdapat sejumlah perempuan yang dikenal keilmuan, ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas oleh publik akan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan secara individu sebagai pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai aktivitas organisasi sosial keagamaan.
          Dalam dunia Islam, surutnya kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan terjadi setelah Nabi saw wafat, ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam perang onta melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik ini kemudian disebut sebagai salah satu embrio terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan ulama, sehingga dijadikan justifikasi untuk membatasi kiprah perempuan di ranah publik. Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Daulah Umayyah (743-744 M), perempuan diposisikan dalam sistem harem dan tidak punya andil dalam pentas publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan daulah Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya tafsir misoginis yang melemahkan kaum perempuan.
Tidak salah bahwa dalam kurun waktu yang sangat lama, dunia kita adalah dunia laki-laki, kamus ilmiyah menyebutnya patriarkhi. Budaya kita sejak dulu hingga kini selalu didominasi oleh para pejantan, sehingga jadilah kaum laki-laki sebagai “penguasa” di kehidupan ini. Budaya telah sedemikian rupa di setting untuk membuktikan suprioritas laki-laki atas wanita, dan hingga kini spisies wanita masih  diposisikan  sebagai subordinat di bawah kaum laki-laki. Jadi stigma nigatif terhadap kaum perempuan sesungguhnya merupakan korban dari  tafsir budaya, kuasa dan agama  yang tidak adil.
Hingga kini, kendati dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan peran bagi kaum perempuan belum sepenuhnya terwujud. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah domestik dan publik. Banyak pula perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Sekali lagi, kesetaraan gender belum terjadi. Hal ini dapat ditelusuri dari : (1) angka partisipasi perempuan dalam ranah publik masih sangat minim terutama bila dibandingkan dengan populasi mereka. (2) Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari sumber-sumber informasi.(3)Terjadinya sub ordinasi yakni menempatkan kaum perempuan sebagai second choice. (4) Terjadinya Streotyping Burden yaitu pembelaan terhadap perempuan hanya menyangkut soal-soal domistik, dan (5) Terjadinya veolence dalam berbagai bentuknya. Atas dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu kesepakatan sosial baru untuk menegaskan kembali  konstruk kedudukan perempuan ditengah dunia laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum perempuan,  tugas dan tanggung jawab perempuan dalam kajian dan gerakan keislaman serta  peranan perempuan dalam pembangunan.

Catatan Penutup
Di era technoscience seperti saat ini, sudah waktunya kaum perempuan memikirkan hal yang besar. Bukankah Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa secara kuantitas, perempuan adalah separuh dari umat, namun pengaruhnya dalam kehidupan manusia di sekitarnya bisa lebih dari jumlahnya. Bagi semua yang merasa perempuan, saatnya membuktikan pernyataan diatas, bahwa perempuan bisa mendulang prestasi dalam segala hal sesuai minatnya. Kaum perempuan harus meyakini bahwa mereka mampu memainkan peranannya masing-masing sesuai minat dan skill yang dimilikinya tanpa adanya sex barier. Keyakinan akan hal tersebut akan membentuk menset kehidupan mereka untuk tidak merasa memiliki keterbatasan gerak, sehingga dapat memainkan peran dengan optimal.
”......Yang kamu kerjakan ini adalah pekerjaan-Nya. Dia akan mengkaruniai kami tenaga untuk melakukan pekerjaan itu. Kami bersedia, bersedia berbuat apapun. Bersedia memberikan diri kami sendiri. Bersedia menerima luka hati. Air mata, darah, akan mengalir. Banyak, banyak, tetapi tidak apalah. Itu semuanya akan menuju kemenangan. Tidak ada cahaya yang tidak didahului gelap gulita. Hari fajar lahir daripada hari malam”. Rangkaian kata dalam surat Ibu Kartini ini ditulis untuk teman korespondensinya Tuan E.C. Abendanon. Ibu Kartini memang bukan satu-satunya perempuan yang dengan perjuangannya telah menorehkan makna mendalam bagi perempuan. Bahkan ratusan tahun sebelumnya juga telah banyak pejuang perempuan dalam berbagai bidang.
Benang merah yang dapat ditarik dari sosok-sosok tersebut (mulai dari Khadijah , Siti Aisyah sampai Kartini) bahwa mereka  adalah perempuan-perempuan pemberani yang rela bekerja keras, pantang menyerah, tegar, dan kuat. Last but not least, mereka adalah sosok-sosok yang cerdas, memiliki cara berpikir yang brilian. Kaum Perempuan masa kini perlu merestrukturisasi cara berpikir, yakni membangun pikiran kritis dan selektif, konstruktif, dan independen., darinya akan lahir karya-karya inovatif, Sebaliknya jika selalu bergantung pada pemikiran orang lain maka kaum perempuan selamanya hanya dijadikan robot-robot kehidupan.

Tidak ada komentar: