Senin, 22 Oktober 2012

KELUARGA SAKINAH SEBAGAI BASIS UTAMA KESUKSESAN PENDIDIKAN




Hefni Zain, S.Ag, MM

Muqaddimah
Secara sederhana keluarga sakinah dapat diartikan sebagai keluarga yang tenteram, damai dan bahagia yang berdiri diatas bangunan cinta kasih sejati, hal ini didasarkan pada Qs. 30 : 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Kendati demikian keluarga sakinah sesungguhnya bukan keluarga yang tanpa konflik dan percekcokan tetapi yang mampu memanej konflik dan percekcokan menjadi sarana dalam meningkatkan kwalitas cinta kasih dalam keluarga. Memasuki perkawinan mirip dengan orang yang menaiki perahu untuk berlayar ditengah samudera, ketika pelayaran baru dimulai kondisi air memang masih tenang, tetapi tatkala semakin jauh perahu menyusuri samudera, bisa saja ombak besar dan badai kencang akan segera datang, untuk itu perbekalan yang lengkap dan pertahanan yang kokoh sangat diperlukan sebagai antisipasi  terhadap gelombang badai yang mungkin menerjang, maka kemampuan kerjasama suami istri dalam mengatasi setiap badai yang menghatam merupakan salah satu indikator dari keluarga sakinah, jadi sekali lagi keluarga sakinah bukan keluarga yang nihil prahara, melainkan yang mampu mengatasi prahara yang menimpanya, bukan yang tidak pernah tergoda tetapi yang mampu mengatasi godaan, karena itulah keluarga sakinah juga diartikan sebagai kelaurga yang harmonis, dinamis dan mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. 

Kiat mewujudkan keluarga sakinah
Terdapat beberapa kiat praktis yang dapat dilakukan pasangan suami istri dalam mewujudkan keluarga sakinah,, antara lain :

Pertama, Masing-masing pihak hendaknya memahami dan menjalankan hak dan kewajibannya secara proporsional.
Dalam sebuah hadits disebutkan “Seorang sahabat bertanya kepada nabi saw, Apa saja kewajiban suami atas istrinya ? Nabi saw menjawab :  Memberinya makan bila kamu makan, memberinya pakaian bila kamu berpakaian, jangan memukul wajahnya, tidak boleh menjelek jelekkannya dan jangan menjauhinya kecuali di lingkungan rumahnya “(Hr Abu Daud).  Sementara tentang kewajiban istri atas suami ialah tidak menjauhi  tempat  tidur suaminya dan Memperlakukan suaminya dengan benar dan jujur, menta’ati perintahnya dan tidak  meninggalkan rumah kecuali dengan ijin suaminya., dan tidak memasukkan orang-orang yang tidak disukai suaminya “ (Hr. At Tabrani)
Percekcokan keluarga sering terjadi karena salah satu pihak hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya, tetapi bila masing masing pihak menjalankan kewajibannya secara konsisten serta mendapatkan hak-haknya secara proporsional, maka biduk keluarga itu akan berjalan konstan dan harmonis
Kedua, Relasi suami istri hendaknya dibangun diatas landasan mu’asyarah bil ma’ruf.
Islam menegaskan dalam konteks  relasi rumah tangga hendaknya para suami memperlakukan istri mereka dangan baik, dan demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam hadits nabi yang diriwayatkan Abu Asyakir, dikatakan :  Sebaik baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, orang yang memuliakan istrinya hanyalah suami yang mulia dan orang yang menghina istrinya  hanyalah suami yang hina.
Dari  teks suci diatas, jelas sekali bahwa sikap mu’asyarah bil ma’ruf, perlakuan yang baik, komonikasi yang santun dan penuh kejujuran yang diterapkan oleh semua pihak dalam keluarga yang ditopang oleh sikap saling pengertian, saling menghormati dan saling mempercayai bahkan saling mengalah satu sama lainnya, merupakan salah satu kunci bagi terwujudnya harmonisasi dalam sebuah keluarga.

Ketiga, Masing masing pihak hendaknya terus menjaga dan merawat mawaddah wa rahmah yang telah tertanam di awal pernikahan.
Sebuah pernikahan tidak hanya berhenti pada proses aqad nikah lalu hidup serumah, melainkan pasca pernikahan masih ada amanah yang harus dilaksanakan secara serius, yakni kometmen untuk saling menjaga, merawat dan menyirami mawaddah wa rahmah yang telah tertanam di awal awal pernikahan, bila hal tersebut hilang dari salah satu pihak, maka kehancuran rumah tangga sangat sulit dihindari.
Memang membangun cinta kasih tidak terlalu sulit, tetapi memelihara dan mempertahankan cinta kasih berjalan konstan sebagaimana masa-masa awal –terutama ditengah berbagai tarikan yang datang dari multi penjuru- tidaklah semudah membicarakannya, karena itu potensi  mawaddataw warahmah harus terus diperkokoh tidak saja dimasa  masa awal pernikahan tetapi juga pada masa masa selanjutnya hingga usia tua bahkan hingga datang kematian, maka sejak awal harus kokoh kometmennya misalnya bagi suami hanya istrinyalah yang paling cantik  di dunia ini dan demikian juga sebaliknya.

Keempat, Relasi suami istri hendaknya berjalan diatas azas saling menutupi, melengkapi dan menguatkan satu sama lain.
Ketika Alqur’an menyebut “Ar rijaalu qowwamuuna ‘ala an-nisa’” (laki laki adalah peminpin bagi wanita) memang seakan akan laki laki lebih kuat dari wanita, tetapi ketika ayat tersebut dilanjutkan pada “bimaa faddalalloohu ba’duhum  ‘ala ba’din”,  maka antara laki laki dan wanita sama sama memiliki kelebihan tertentu dan juga kekurangan tertentu.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan disamping kelemahan. Demikian juga antara suami dan istri  satu sama lain sama sama punya kelebihan dan kelemahan, tujuan pembentukan sebuah keluarga adalah agar satu sama lain saling melengkapi dan menguatkan. Karena itu dikatakan oleh alqur’an “Hunna libatsul lakum wa antum libatsul luhun” (Istrimu ibarat pakaian bagimu dan kamu ibarat pakaian bagi istrimu). Fungsi pakaian adalah untuk menghangatkan, melindungi badan dari ancaman luar atau membentengi dari berbagai penyakit serta untuk  menutup aurat. Artinya antara suami dan istri hendaknya saling take and give, saling mengisi dengan tetap berpijak pada keistimewaan dan kekurangan masing masing.

Kelima, Suami istri hendaknya memfungsikan rumah tidak sekedar sebagai tempat istirahat tetapi sebagai pusat kebajikan .
Islam memandang rumah tangga tidak saja sebagai tempat ketentraman, cinta dan kasih sayang sebagaimana dilukiskan Qs . 30 : 21, tetapi lebih jauh juga sebagai perjanjian sakral yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah.  Bagi Islam proses pernikahan merupakan mitsaqon ghalidza (perjanjian yang berat, Qs. 4 : 21) yang menuntut setiap orang yang terkait didalamnya memenuhi hak dan kewajibannya. Dalam perspektif Islam hak agama merupakan hak yang paling utama dalam keluarga, sebab pernikahan adalah ikatan suci yang berdimensi duniawi uhrawi, dari hak agama lalu muncul hak mendidik, hak melindungi dan hak kasih sayang.
Alhasil tujuan yang paling ideal dari pembentukan keluarga muslim adalah lilmuttaqina imama. Maka setiap rumah tangga adalah “masjid” yang memberikan pengalaman beragama bagi segenap anggotanya, sebuah “madrasah” yang mengajarkan norma norma Islam, sebuah “benteng” yang melindungi  para anggota keluarga dari berbagai macam ancaman dan gangguan, sebagai “rumah sakit” yang merawat kesehatan jasmani rohani para angotanya, juga sebagai sebuah “kompi” dalam hizbulloh yang berjuang menyebarkan rahmat bagi sekalian alam.   Jika lima kiat diatas betul-betul diimplementasikan oleh sebuah keluarga, maka insyaAllah akan terwujud sebuah rumah tangga sakinah yang selain berfungsi sebagai pusat terapi  atas pelbagai kepenatan yang terjadi  diluar rumah juga sarat akan kedamaian dan kebagaiaan yang endingnya akan menjelma menjadi sebuah sorga, Baiti jannati.

Implikasi keluaga sakinah terhadap proses pendidikan
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah dan masyarakat, keberadaan keluarga sebagai lingkungan pendidikan paling awal bagi anak merupakan titik strategis dan fase kunci dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian anak dimasa selanjutnya, nuansa kehidupan pendidikan di keluarga sangat berpengaruh besar dalam pewarnaan dan jalan cerita seorang anak pada episode berikutnya, karena itu lingkungan keluarga yang sakinah, harmonis dan kondusif bukan saja berperan sebagai media penunjang kesuksesan pendidikan tetapi mutlak merupakan basis utama yang menentukan kesuksesan proses pendidikan.
Perkembangan kepribadian anak selalu dipengaruhi dua faktor, yakni faktor pembawaan (hereditet) dan faktor lingkungan (melliue). Setiap manusia dilahirkan dengan potensi-potensi tertentu, bahkan para ahli menyebutkan setiap anak mempunyai potensi jenius, tetapi acapkali keluarganya yang menghanguskan potensi tersebut dalam enam tahun pertama, Anak sering sekali meniru prilaku orang tuanya di lingkungan keluarga, maka bila dalam keluarga anak dibesarkan dengan celaan ,  ia akan belajar memaki, bila anak dibesarkan dengan permusuhan, ia akan menjadi tukang kelahi, bila anak dibesarkan dengan cemooh, ia akan menjadi sosok yang selalu rendah diri, bila anak dibesarkan dengan motivasi, ia akan menjadi sosok yang percaya diri dan bila anak dibesarkan dengan  pujian, maka kelak ia akan pandai menghargai orang lain. Demikian juga jika individu tersebut berasal dari keluarga yang baik, maka kemungkinan besar ia akan menjadi individu yang baik pula. Dan hal tersebut akan dibawa oleh anak kepada lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, baik terhadap sesama teman maupun terhadap dewan guru.
Dengan demikian tugas orang tua adalah bagaimana menjaga dan mengoptimalkan potensi dasar tersebut dalam berkembang secara optimal. Tanpa lingkungan keluarga, tanpa orang tua, anak-anak akan seperti domba tanpa gembala, bingung hendak kemana, dan  bak air mengalir tanpa muara.
Oleh karena itu fungsi orang tua bagi anak-anaknya adalah pertama sebagai desainer,  ia berfungsi sebagai  perancang dan pengelola proses pembelajaran dan masa depan pendidikan anak, kedua, sebagai moderator, ia diharapkan bukan saja sebagai penyampai materi semata tetapi juga sebagai pengatur lalu lintas proses pembelajaran anak, ketiga, sebagai motivator, ia berkewajiban memberikan motivasi agar perkembangan psikologi anak berjalam optimal, keempat, sebagai fasilitator, ia harus selalu memberikan kemudahan bagi anak-anaknya dan tidak memberikan beban bila tidak sesuai  kemampuanya, dan kelima, sebagai evaluator, ia merupakan orang yang paling tahu dan bertanggung jawab tentang terjadinya proses pembelajaran  dan kelebihan serta kelemahan si anak, maka kebaikannya dipertahankan dan kelemahannya diperbaiki.
Para gurupun demikian, jika kondisi keluarganya sakinah, maka ketenteraman itu juga akan terbawa saat dirinya mengajar dikelas, sehingga ia memperlakukan para siswanya sebagaimana menghadapi anak-anaknya sendiri , paradigma yang digunakan guru berbasis keluarga sakinah dalam mendidik para siswanya  adalah paradigma cinta. Bila dikatakan bahwa guru yang baik adalah mereka yang disamping mampu menguasai materi ajar secara total juga mampu mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para siswanya, dan jangan lupa semua itu harus didukung oleh  suasana hati yang tenteram dan damai.
Ketenteraman hati yang dimiliki guru dan murid akan berimplikasi positif terhadap ketentraman proses belajar mengajar di kelas. Kelas sebagai lingkungan belajar akan menjadi tempat yang dapat memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan belajar, bernuansa kondusif dan sejuk sehingga semua komponen akan betah didalamnya, ia jauh dari kebosanan, ketidak teraturan dan ketidak nyamanan yang dapat megganggu kondusifnya proses pembelajaran. Guru yang berbasis keluarga sakinah dalam proses belajar mengajar akan menerapkan strategi pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan, sehingga  disamping pola pembelajaran akan berlangsung secara partisipatif, intraktif, komonikatif dan kolegial juga agar suasana kelas menjadi dinamis dan menyenangkan, yang endingnya potensi kreatif peserta didik dapat berkembang secara optimal.
Dari uaraian diatas jelas sekali bahwa keluarga sakinah bukan saja berperan sebagai media penunjang kesuksesan pendidikan tetapi mutlak merupakan basis utama yang menentukan kesuksesan pendidikan.


Tidak ada komentar: