Hefni Zain, S.Ag, MM
Muqaddimah
Secara sederhana keluarga sakinah dapat diartikan
sebagai keluarga yang tenteram, damai dan bahagia yang berdiri diatas bangunan
cinta kasih sejati, hal ini didasarkan pada Qs. 30 : 21 “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Kendati demikian keluarga sakinah
sesungguhnya bukan keluarga yang tanpa konflik dan percekcokan tetapi yang
mampu memanej konflik dan percekcokan menjadi sarana dalam meningkatkan
kwalitas cinta kasih dalam keluarga. Memasuki perkawinan mirip dengan orang
yang menaiki perahu untuk berlayar ditengah samudera, ketika pelayaran baru
dimulai kondisi air memang masih tenang, tetapi tatkala semakin jauh perahu
menyusuri samudera, bisa saja ombak besar dan badai kencang akan segera datang,
untuk itu perbekalan yang lengkap dan pertahanan yang kokoh sangat diperlukan
sebagai antisipasi terhadap gelombang
badai yang mungkin menerjang, maka kemampuan kerjasama suami istri dalam
mengatasi setiap badai yang menghatam merupakan salah satu indikator dari
keluarga sakinah, jadi sekali lagi keluarga sakinah bukan keluarga yang nihil prahara,
melainkan yang mampu mengatasi prahara yang menimpanya, bukan yang tidak pernah
tergoda tetapi yang mampu mengatasi godaan, karena itulah keluarga sakinah juga
diartikan sebagai kelaurga yang harmonis, dinamis dan mampu mengatasi berbagai
persoalan yang dihadapinya.
Kiat mewujudkan keluarga sakinah
Terdapat beberapa kiat praktis yang dapat
dilakukan pasangan suami istri dalam mewujudkan keluarga sakinah,, antara lain
:
Pertama, Masing-masing pihak hendaknya memahami
dan menjalankan hak dan kewajibannya secara proporsional.
Dalam sebuah hadits
disebutkan “Seorang sahabat bertanya kepada nabi saw, Apa saja kewajiban suami
atas istrinya ? Nabi saw menjawab :
Memberinya makan bila kamu makan, memberinya pakaian bila kamu
berpakaian, jangan memukul wajahnya, tidak boleh menjelek jelekkannya dan
jangan menjauhinya kecuali di lingkungan rumahnya “(Hr Abu Daud). Sementara tentang kewajiban istri atas suami
ialah tidak menjauhi tempat tidur suaminya dan Memperlakukan suaminya
dengan benar dan jujur, menta’ati perintahnya dan tidak meninggalkan rumah kecuali dengan ijin
suaminya., dan tidak memasukkan orang-orang yang tidak disukai suaminya “ (Hr.
At Tabrani)
Percekcokan keluarga
sering terjadi karena salah satu pihak hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan
kewajibannya, tetapi bila masing masing pihak menjalankan kewajibannya secara
konsisten serta mendapatkan hak-haknya secara proporsional, maka biduk keluarga
itu akan berjalan konstan dan harmonis
Kedua, Relasi suami istri hendaknya dibangun
diatas landasan mu’asyarah bil ma’ruf.
Islam menegaskan dalam konteks relasi rumah tangga hendaknya para suami
memperlakukan istri mereka dangan baik, dan demikian juga sebaliknya. Bahkan
dalam hadits nabi yang diriwayatkan Abu Asyakir, dikatakan : Sebaik baik kamu adalah yang terbaik terhadap
keluarganya, orang yang memuliakan istrinya hanyalah suami yang mulia dan orang
yang menghina istrinya hanyalah suami
yang hina.
Dari
teks suci diatas, jelas sekali bahwa sikap mu’asyarah bil ma’ruf,
perlakuan yang baik, komonikasi yang santun dan penuh kejujuran yang diterapkan
oleh semua pihak dalam keluarga yang ditopang oleh sikap saling pengertian,
saling menghormati dan saling mempercayai bahkan saling mengalah satu sama
lainnya, merupakan salah satu kunci bagi terwujudnya harmonisasi dalam sebuah
keluarga.
Ketiga, Masing masing pihak hendaknya terus
menjaga dan merawat mawaddah wa rahmah yang telah tertanam di awal pernikahan.
Sebuah pernikahan
tidak hanya berhenti pada proses aqad nikah lalu hidup serumah, melainkan pasca
pernikahan masih ada amanah yang harus dilaksanakan secara serius, yakni
kometmen untuk saling menjaga, merawat dan menyirami mawaddah wa rahmah yang
telah tertanam di awal awal pernikahan, bila hal tersebut hilang dari salah
satu pihak, maka kehancuran rumah tangga sangat sulit dihindari.
Memang membangun cinta kasih tidak terlalu
sulit, tetapi memelihara dan mempertahankan cinta kasih berjalan konstan
sebagaimana masa-masa awal –terutama ditengah berbagai tarikan yang datang dari
multi penjuru- tidaklah semudah membicarakannya, karena itu potensi mawaddataw warahmah harus terus
diperkokoh tidak saja dimasa masa awal
pernikahan tetapi juga pada masa masa selanjutnya hingga usia tua bahkan hingga
datang kematian, maka sejak awal harus kokoh kometmennya misalnya bagi suami
hanya istrinyalah yang paling cantik di
dunia ini dan demikian juga sebaliknya.
Keempat, Relasi suami istri hendaknya berjalan
diatas azas saling menutupi, melengkapi dan menguatkan satu sama lain.
Ketika Alqur’an menyebut “Ar rijaalu
qowwamuuna ‘ala an-nisa’” (laki laki adalah peminpin bagi wanita) memang
seakan akan laki laki lebih kuat dari wanita, tetapi ketika ayat tersebut
dilanjutkan pada “bimaa faddalalloohu ba’duhum ‘ala ba’din”, maka antara laki laki dan wanita sama sama
memiliki kelebihan tertentu dan juga kekurangan tertentu.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa setiap
manusia pasti memiliki kelebihan disamping kelemahan. Demikian juga antara
suami dan istri satu sama lain sama sama
punya kelebihan dan kelemahan, tujuan pembentukan sebuah keluarga adalah agar
satu sama lain saling melengkapi dan menguatkan. Karena itu dikatakan oleh
alqur’an “Hunna libatsul lakum wa antum libatsul luhun” (Istrimu ibarat
pakaian bagimu dan kamu ibarat pakaian bagi istrimu). Fungsi pakaian adalah
untuk menghangatkan, melindungi badan dari ancaman luar atau membentengi dari
berbagai penyakit serta untuk menutup
aurat. Artinya antara suami dan istri hendaknya saling take and give,
saling mengisi dengan tetap berpijak pada keistimewaan dan kekurangan masing
masing.
Kelima, Suami istri hendaknya memfungsikan rumah
tidak sekedar sebagai tempat istirahat tetapi sebagai pusat kebajikan .
Islam memandang rumah tangga tidak saja
sebagai tempat ketentraman, cinta dan kasih sayang sebagaimana dilukiskan Qs .
30 : 21, tetapi lebih jauh juga sebagai perjanjian sakral yang akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Bagi
Islam proses pernikahan merupakan mitsaqon ghalidza (perjanjian yang
berat, Qs. 4 : 21) yang menuntut setiap orang yang terkait didalamnya
memenuhi hak dan kewajibannya. Dalam perspektif Islam hak agama merupakan hak
yang paling utama dalam keluarga, sebab pernikahan adalah ikatan suci yang
berdimensi duniawi uhrawi, dari hak agama lalu muncul hak mendidik, hak
melindungi dan hak kasih sayang.
Alhasil tujuan yang paling ideal dari
pembentukan keluarga muslim adalah lilmuttaqina imama. Maka setiap rumah
tangga adalah “masjid” yang memberikan pengalaman beragama bagi segenap
anggotanya, sebuah “madrasah” yang mengajarkan norma norma Islam, sebuah
“benteng” yang melindungi para anggota
keluarga dari berbagai macam ancaman dan gangguan, sebagai “rumah sakit” yang
merawat kesehatan jasmani rohani para angotanya, juga sebagai sebuah “kompi”
dalam hizbulloh yang berjuang menyebarkan rahmat bagi sekalian alam. Jika lima kiat diatas betul-betul
diimplementasikan oleh sebuah keluarga, maka insyaAllah akan terwujud sebuah
rumah tangga sakinah yang selain berfungsi sebagai pusat terapi atas pelbagai kepenatan yang terjadi diluar rumah juga sarat akan kedamaian dan
kebagaiaan yang endingnya akan menjelma menjadi sebuah sorga, Baiti jannati.
Implikasi keluaga sakinah terhadap proses
pendidikan
Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara orang tua, sekolah dan masyarakat, keberadaan keluarga sebagai
lingkungan pendidikan paling awal bagi anak merupakan titik strategis dan fase
kunci dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian anak dimasa
selanjutnya, nuansa kehidupan pendidikan di keluarga sangat berpengaruh besar
dalam pewarnaan dan jalan cerita seorang anak pada episode berikutnya, karena
itu lingkungan keluarga yang sakinah, harmonis dan kondusif bukan saja berperan
sebagai media penunjang kesuksesan pendidikan tetapi mutlak merupakan basis
utama yang menentukan kesuksesan proses pendidikan.
Perkembangan kepribadian anak selalu
dipengaruhi dua faktor, yakni faktor pembawaan (hereditet) dan faktor
lingkungan (melliue). Setiap manusia dilahirkan dengan potensi-potensi
tertentu, bahkan para ahli menyebutkan setiap anak mempunyai potensi jenius,
tetapi acapkali keluarganya yang menghanguskan potensi tersebut dalam enam
tahun pertama, Anak sering sekali meniru prilaku orang tuanya di lingkungan
keluarga, maka bila dalam keluarga anak dibesarkan dengan celaan , ia akan belajar memaki, bila anak dibesarkan
dengan permusuhan, ia akan menjadi tukang kelahi, bila anak dibesarkan dengan
cemooh, ia akan menjadi sosok yang selalu rendah diri, bila anak dibesarkan
dengan motivasi, ia akan menjadi sosok yang percaya diri dan bila anak
dibesarkan dengan pujian, maka kelak ia
akan pandai menghargai orang lain. Demikian juga jika individu tersebut berasal
dari keluarga yang baik, maka kemungkinan besar ia akan menjadi individu yang
baik pula. Dan hal tersebut akan dibawa oleh anak kepada lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat, baik terhadap sesama teman maupun terhadap dewan guru.
Dengan demikian tugas orang tua adalah
bagaimana menjaga dan mengoptimalkan potensi dasar tersebut dalam berkembang
secara optimal. Tanpa lingkungan keluarga, tanpa orang tua, anak-anak akan
seperti domba tanpa gembala, bingung hendak kemana, dan bak air mengalir tanpa muara.
Oleh karena itu fungsi orang tua bagi
anak-anaknya adalah pertama sebagai desainer, ia berfungsi sebagai perancang dan pengelola proses pembelajaran
dan masa depan pendidikan anak, kedua, sebagai moderator, ia diharapkan
bukan saja sebagai penyampai materi semata tetapi juga sebagai pengatur lalu
lintas proses pembelajaran anak, ketiga, sebagai motivator, ia
berkewajiban memberikan motivasi agar perkembangan psikologi anak berjalam
optimal, keempat, sebagai fasilitator, ia harus selalu memberikan
kemudahan bagi anak-anaknya dan tidak memberikan beban bila tidak sesuai kemampuanya, dan kelima, sebagai
evaluator, ia merupakan orang yang paling tahu dan bertanggung jawab tentang
terjadinya proses pembelajaran dan kelebihan
serta kelemahan si anak, maka kebaikannya dipertahankan dan kelemahannya
diperbaiki.
Para gurupun demikian, jika kondisi
keluarganya sakinah, maka ketenteraman itu juga akan terbawa saat dirinya
mengajar dikelas, sehingga ia memperlakukan para siswanya sebagaimana
menghadapi anak-anaknya sendiri , paradigma yang digunakan guru berbasis
keluarga sakinah dalam mendidik para siswanya adalah paradigma cinta. Bila dikatakan bahwa guru
yang baik adalah mereka yang disamping mampu menguasai materi ajar secara total juga mampu
mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para siswanya, dan jangan lupa
semua itu harus didukung oleh suasana
hati yang tenteram dan damai.
Ketenteraman hati yang dimiliki guru dan
murid akan berimplikasi positif terhadap ketentraman proses belajar mengajar di
kelas. Kelas sebagai lingkungan belajar akan menjadi tempat yang dapat
memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan belajar, bernuansa
kondusif dan sejuk sehingga semua komponen akan betah didalamnya, ia jauh dari
kebosanan, ketidak teraturan dan ketidak nyamanan yang dapat megganggu
kondusifnya proses pembelajaran. Guru yang berbasis keluarga sakinah dalam
proses belajar mengajar akan menerapkan strategi pembelajaran aktif kreatif efektif
dan menyenangkan, sehingga disamping pola
pembelajaran akan berlangsung secara partisipatif, intraktif, komonikatif dan
kolegial juga agar suasana kelas menjadi dinamis dan menyenangkan, yang
endingnya potensi kreatif peserta didik dapat berkembang secara optimal.
Dari uaraian diatas jelas sekali bahwa
keluarga sakinah bukan saja berperan sebagai media penunjang kesuksesan
pendidikan tetapi mutlak merupakan basis utama yang menentukan kesuksesan
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar