Ust. A.
Hefni Zain
Barang siapa berhajji ke Baitulloh lalu tiada
berbuat buruk dan tidak berbuat fasik, maka keluarlah dia dari semua dosanya
seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya. (Al-Hadits)
Pendahuluan
Ibadah
haji dalam Islam merupakan rukun Islam yang terakhir, sebagai penyempurna
kemusliman seseorang. Disebut demikian, karena
haji merupakan gerakan hijratun
nafs “Warruj’a fahjur” yakni
gerakan hijrah dari kebatilan menuju kebaikan, karena itu gelar haji yang diperolehnya
mesti digunakan sebagai alat ukur untuk menunjukkan bahwa kemuslimannya betul-betul
telah sempurna dengan segala karakteristiknya yang khas sehingga dapat menjadi
teladan bagi orang lain yang belum berangkat haji. Karakteristik yang khas itu misalnya : ia bersih
dari segala bentuk kemaksiatan dan beristiqomah dengan itu, ia menjadikan gelar hajinya sebagai benteng yang
mengendalikan dirinya dari berbagai
bentuk akhlaq tercela, ia bertekad menjadikan dirinya lebih baik dari
sebelumnya dalam semua aspeknya. Inilah yang kemudian disebut haji mabrur,
yakni haji (yang pelakukanya) menjadi lebih baik dari sebelumnya, baik dari sisi kesholehan spiritual maupun kesholehan
sosial.
Menurut keterangan resmi pemerintah Arab Saudi, Indonesia
adalah negara ranking pertama sedunia yang paling banyak memberangkatkan jamaah
haji setiap tahunnya, itu artinya Indonesia adalah negara yang penduduknya mayoritas bergelar haji. Dapat kita pastikan
sebagian besar para pejabat negara yang beragama Islam sudah menunaikan ibadah
haji, bahkan berkali-kali, mulai presiden, wakil presiden, para menteri berikut
staf khususnya, pimpinan dan anggota DPR baik pusat maupun daerah, juga para
gubenur, bupati, pejabat di lingkungan kehakiman, kejaksaan, kepolisian,
perpajakan sampai kepala dinas-kepala dinas.
Dari fakta ini mestinya tambah tahun Indonesia tambah
bersih, bersih dari koruptor, mafia pajak,
mafia hukum dan peradilan, bersih dari berbagai bentuk praktek suap
menyuap, dan semacamnya, sebab logikanya
tambah tahun Indonesia dihuni dan
didominasi oleh semakin banyak manusia haji, termasuk di hampir semua
lingkungan kepemerintahan, baik ekskutif, legislatif maupun yudikatif.
Tetapi yang mengejutkan sekaligus ironi adalah publikasi hasil
survei dari salah satu lembaga survei terkemuka nasional yang menemukan fakta
bahwa pejabat yang diduga terlibat dalam pelanggaran hukum kelas kakap, mulai
soal korupsi, gratifikasi, sampai penjahat kelamin, mulai soal harta, tahta dan
wanita adalah didominasi oleh mereka yang sudah bertitel haji. Pertanyaannya
kini, kenapa perjalanan haji yang mereka lakukan tidak membawa implikasi
positif bagi perubahan prilakunya ?. Apakah betul dugaan sebagian orang yang
menyebutkan bahwa mereka menunaikan haji hanya secara fisik bahkan hanya nama. Mestinya
secara teoritik orang yang berangkat haji setelah kembali
ke tanah air yang bersangkutan mengganti kebiasaan menggunakan pakaian kotor
dengan pakaian akhlakul karimah, membersihkan hatinya dari berbagai bentuk
penyakit batin, mengganti kesombongan dan jiwa kebinatangannya dengan
keikhlasan dan tawadu’, merubah hidupnya yang semula bermahkotakan dunia
kepalsuan dengan mahkota kesucian yang hasanah, jujur dan istiqomah. Al
hasil ala kulli hal yang
bersangkutan berkepribadian lebih baik dari sebelum berangkat haji.
Perlu muhasabah
Mengingat ibadah haji merupakan safar ruhani menuju Allah, juga merupakan
gerakan hijratun nafs “Warruj’a
fahjur” dari kebatilan menuju
kebaikan, maka untuk memperoleh keutamaan diatas tentu saja diperlukan usaha
yang sungguh-sungguh untuk tidak sekedar memahami formalitas ibadah tersebut,
tetapi juga menyerap pesan moral dan makna rahasia batinnya.
Tatkala As Syibli bersama rombongan baru kembali dari menunaikan haji untuk
yang kesebelas kalinya, Imam Zainal Abidin berkhotbah, wahai saudara-saudaraku,
barang siapa yang melakukan hal berikut, berarti ia betul-betul telah
menunaikan haji, tetapi bila tidak, ia
hanya buang-buang waktu dan tenaga saja
:
Ketika berniat haji, ia juga menata niatnya bahwa dalam seluruh sisa
hidunya hanya akan menghadiri panggilan Allah dan bukan panggilan selainNya. Ketika menaggalkan
pakaian berjahit di miqot, dia juga
menanggalkan seluruh pakaian riya’ dan kemunafikan dan mulai
menggantinya dengan busana ketaatan
untuk selamanya. Ketika ber
ihram, ia mulai mengharamkan atas dirinya semua yang diharamkan Allah selama
sisa hidupnya, Ketika menuju rumah Allah (baitulloh), dia juga berniat
menanggalkan rumah-rumah yang selama ini mengungkungnya menuju rumah Allah.
Ketika memasuki masjidil haram, ia juga berniat membuat aman orang lain
dari bahaya mulut dan tangannya. sebab menurut Rasul saw “man dakholahu kaana
amina” siapa yang yang memasuki
masjidil haram, maka ia aman. Ketika
tawaf, ia berjanji untuk selanjutnya ia hanya akan mengitari kosmologi ilahi,
bukan mengitari hawa nafsu dan pernik-pernik duniawi, kita berasal dari Allah,
hidup bersama Allah dan akan kembali pada Allah. Ketika sa’i, ia juga berniat menggunakan seluruh
sisa hidupnya untuk terus berlari dan
merapat menuju Allah diantara cemas dan harap.
Ketika wukuf di Arafah, ia akui segala dosanya, ia bertawakkal secara
total kepada Allah, ia menyadari betapa dirinya sangat kecil dihadapan
kebesaran Allah, ia tidak mempunyai kekuatan apa-apa kecuali atas pertolongan
Allah.
Ketika ia melempar jumrah, ia juga melemparkan sahwat dan berbagai
keinginan-keinginan duniawi serta sifat-sifat tercelanya, dan konsisten memerangi syetan dalam segala bentuknya. Tatkala keluar dari Mina, ia berkometmen
untuk selanjutnya akan keluar dari segala dosa dan kesalahannya. Ia sembelih
sifat-sifat kebinatangannya yang masih bercokol dalam dirinya tatkala ia
menyembelih binatang qurban, ia bersegera melakukan qurban sebelum dirinya
menjadi korban dari nafsu keserakahan dan kebakhilannya. Ketika ia
mencukur rambutnya, ia juga mencukur aib-aibnya dengan cara bertobat
kepada Allah. Ia menyampaikan kata perpisahan untuk selamanya kepada semua
bentuk kemaksiatan ketika ia melakukan
tawaf wada’, Ia tinggalkan apa saja yang tidak mendekatkannya kepada Allah
bersamaan ketika ia meninggalkan haramain.
Asy syibli menangis sedih, ia merasa belum sekalipun menunaikan ibadah haji
kendati sudah sebelas kali melakukan perjalanan haji. Dia mulai sadar bahwa
yang mendasar dalam menunaikan haji ternyata bukan soal kemampuan menyiapkan
ongkos haji, tetapi kesanggupan meninggalkan kecintaan kepada rumah-rumah
mereka yang kotor untuk menuju dan beristirahat di rumah Allah yang suci. Bukan
soal berpegang teguh pada formalitas haji, tetapi kemampuan menyerap pesan moral ibadah haji,
kemampuan memberi banyak bukan mengambil banyak, kemampuan berkorban diri untuk
kepentingan orang lain, bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan
dirinya, kemampuan hijrah dari perhatian kepada dirinya menuju perhatian
sepenuhnya kepada Allah, dari keterikatan pada materi kepada ketergantungan
pada Allah swt.
Jika semua itu dilakukan secara konsisten, maka
terjaminlah yang bersangkutan dari sindiran Nabi saw bahwa diakhir zaman
manusia yang berangkat haji terdiri dari empat macam, para pejabat haji untuk pesiar, pedagang haji
untuk berniaga, orang miskin haji untuk mengemis dan ulama’ haji untuk
kebanggaan.
Rakyat awam
menunggu keteladanan para hujjaj, buktikan amal dan akhlakmu, tunjukkan pada
semua orang bahwa keislamanmu betul-betul telah disempurnakan ! yakinkan pada kami
bahwa engkau betul-betul telah menunaikan ibadah haji di baitulloh, dan
berziarah kepada Rasululloh saw bukan sekedar buang-buang dana untuk
wisata ke makam Abu Jahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar