Senin, 22 Oktober 2012

MENUNGGU KETELADANAN PARA HUJJAJ




Ust. A. Hefni Zain
Barang siapa berhajji ke Baitulloh lalu tiada berbuat buruk dan tidak berbuat fasik, maka keluarlah dia dari semua dosanya seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya. (Al-Hadits)

Pendahuluan
Ibadah haji dalam Islam merupakan rukun Islam yang terakhir, sebagai penyempurna kemusliman seseorang. Disebut demikian, karena  haji  merupakan gerakan hijratun nafs  “Warruj’a fahjur” yakni gerakan hijrah dari kebatilan menuju kebaikan, karena itu gelar haji yang diperolehnya mesti digunakan sebagai alat ukur untuk menunjukkan bahwa kemuslimannya betul-betul telah sempurna dengan segala karakteristiknya yang khas sehingga dapat menjadi teladan bagi orang lain yang belum berangkat haji.  Karakteristik yang khas itu misalnya : ia bersih dari segala bentuk kemaksiatan dan beristiqomah dengan itu, ia  menjadikan gelar hajinya sebagai benteng yang mengendalikan dirinya  dari berbagai bentuk akhlaq tercela, ia bertekad menjadikan dirinya lebih baik dari sebelumnya dalam semua aspeknya. Inilah yang kemudian disebut haji mabrur, yakni haji (yang pelakukanya) menjadi lebih baik dari sebelumnya,  baik dari sisi kesholehan spiritual maupun kesholehan sosial.
Menurut keterangan resmi pemerintah Arab Saudi, Indonesia adalah negara ranking pertama sedunia yang paling banyak memberangkatkan jamaah haji setiap tahunnya, itu artinya Indonesia adalah negara yang penduduknya  mayoritas bergelar haji. Dapat kita pastikan sebagian besar para pejabat negara yang beragama Islam sudah menunaikan ibadah haji, bahkan berkali-kali, mulai presiden, wakil presiden, para menteri berikut staf khususnya, pimpinan dan anggota DPR baik pusat maupun daerah, juga para gubenur, bupati, pejabat di lingkungan kehakiman, kejaksaan, kepolisian, perpajakan sampai kepala dinas-kepala dinas.
Dari fakta ini mestinya tambah tahun Indonesia tambah bersih, bersih dari koruptor, mafia pajak,  mafia hukum dan peradilan, bersih dari berbagai bentuk praktek suap menyuap, dan semacamnya, sebab  logikanya tambah tahun  Indonesia dihuni dan didominasi oleh semakin banyak manusia haji, termasuk di hampir semua lingkungan kepemerintahan, baik ekskutif, legislatif maupun yudikatif.
Tetapi yang mengejutkan sekaligus ironi adalah publikasi hasil survei dari salah satu lembaga survei terkemuka nasional yang menemukan fakta bahwa pejabat yang diduga terlibat dalam pelanggaran hukum kelas kakap, mulai soal korupsi, gratifikasi, sampai penjahat kelamin, mulai soal harta, tahta dan wanita adalah didominasi oleh mereka yang sudah bertitel haji. Pertanyaannya kini, kenapa perjalanan haji yang mereka lakukan tidak membawa implikasi positif bagi perubahan prilakunya ?. Apakah betul dugaan sebagian orang yang menyebutkan bahwa mereka menunaikan haji hanya secara fisik bahkan hanya nama. Mestinya secara teoritik orang yang berangkat haji setelah kembali ke tanah air yang bersangkutan mengganti kebiasaan menggunakan pakaian kotor dengan pakaian akhlakul karimah, membersihkan hatinya dari berbagai bentuk penyakit batin, mengganti kesombongan dan jiwa kebinatangannya dengan keikhlasan dan tawadu’, merubah hidupnya yang semula bermahkotakan dunia kepalsuan dengan mahkota kesucian yang hasanah, jujur dan istiqomah. Al hasil ala kulli hal  yang bersangkutan berkepribadian lebih baik dari sebelum berangkat haji.

Perlu muhasabah
Mengingat ibadah haji merupakan safar ruhani menuju Allah, juga merupakan gerakan hijratun nafs  “Warruj’a fahjur”  dari kebatilan menuju kebaikan, maka untuk memperoleh keutamaan diatas tentu saja diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk tidak sekedar memahami formalitas ibadah tersebut, tetapi juga menyerap pesan moral dan makna rahasia batinnya.
Tatkala As Syibli bersama rombongan baru kembali dari menunaikan haji untuk yang kesebelas kalinya, Imam Zainal Abidin berkhotbah, wahai saudara-saudaraku, barang siapa yang melakukan hal berikut, berarti ia betul-betul telah menunaikan haji,  tetapi bila tidak, ia hanya buang-buang waktu dan tenaga  saja :
Ketika berniat haji, ia juga menata niatnya bahwa dalam seluruh sisa hidunya hanya akan menghadiri panggilan Allah dan  bukan panggilan selainNya. Ketika menaggalkan pakaian berjahit di miqot, dia juga  menanggalkan seluruh pakaian riya’ dan kemunafikan dan mulai menggantinya dengan busana ketaatan  untuk selamanya.  Ketika ber ihram, ia mulai mengharamkan atas dirinya semua yang diharamkan Allah selama sisa hidupnya, Ketika menuju rumah Allah (baitulloh), dia juga berniat menanggalkan rumah-rumah yang selama ini mengungkungnya menuju rumah Allah.
Ketika memasuki masjidil haram, ia juga berniat membuat aman orang lain dari bahaya mulut dan tangannya. sebab menurut Rasul saw “man dakholahu kaana amina”   siapa yang yang memasuki masjidil haram, maka  ia aman. Ketika tawaf, ia berjanji untuk selanjutnya ia hanya akan mengitari kosmologi ilahi, bukan mengitari hawa nafsu dan pernik-pernik duniawi, kita berasal dari Allah, hidup bersama Allah dan akan kembali pada Allah. Ketika  sa’i, ia juga berniat menggunakan seluruh sisa hidupnya untuk terus berlari  dan merapat menuju Allah diantara cemas dan harap.  Ketika wukuf di Arafah, ia akui segala dosanya, ia bertawakkal secara total kepada Allah, ia menyadari betapa dirinya sangat kecil dihadapan kebesaran Allah, ia tidak mempunyai kekuatan apa-apa kecuali atas pertolongan Allah.
Ketika ia melempar jumrah, ia juga melemparkan sahwat dan berbagai keinginan-keinginan duniawi serta sifat-sifat tercelanya, dan konsisten  memerangi syetan dalam segala bentuknya.  Tatkala keluar dari Mina, ia berkometmen untuk selanjutnya akan keluar dari segala dosa dan kesalahannya. Ia sembelih sifat-sifat kebinatangannya yang masih bercokol dalam dirinya tatkala ia menyembelih binatang qurban, ia bersegera melakukan qurban sebelum dirinya menjadi korban dari nafsu keserakahan dan kebakhilannya. Ketika  ia  mencukur rambutnya, ia juga mencukur aib-aibnya dengan cara bertobat kepada Allah. Ia menyampaikan kata perpisahan untuk selamanya kepada semua bentuk kemaksiatan ketika ia  melakukan tawaf wada’, Ia tinggalkan apa saja yang tidak mendekatkannya kepada Allah bersamaan ketika ia meninggalkan haramain.
Asy syibli menangis sedih, ia merasa belum sekalipun menunaikan ibadah haji kendati sudah sebelas kali melakukan perjalanan haji. Dia mulai sadar bahwa yang mendasar dalam menunaikan haji ternyata bukan soal kemampuan menyiapkan ongkos haji, tetapi kesanggupan meninggalkan kecintaan kepada rumah-rumah mereka yang kotor untuk menuju dan beristirahat di rumah Allah yang suci. Bukan soal berpegang teguh pada formalitas haji, tetapi  kemampuan menyerap pesan moral ibadah haji, kemampuan memberi banyak bukan mengambil banyak, kemampuan berkorban diri untuk kepentingan orang lain, bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya, kemampuan hijrah dari perhatian kepada dirinya menuju perhatian sepenuhnya kepada Allah, dari keterikatan pada materi kepada ketergantungan pada Allah swt.
Jika semua itu dilakukan secara konsisten, maka terjaminlah yang bersangkutan dari sindiran Nabi saw bahwa  diakhir zaman  manusia yang berangkat haji terdiri dari empat macam,  para pejabat haji untuk pesiar, pedagang haji untuk berniaga, orang miskin haji untuk mengemis dan ulama’ haji untuk kebanggaan.
Rakyat awam menunggu keteladanan para hujjaj, buktikan amal dan akhlakmu, tunjukkan pada semua orang bahwa keislamanmu betul-betul telah disempurnakan ! yakinkan pada kami bahwa engkau betul-betul telah menunaikan ibadah haji di baitulloh, dan berziarah kepada Rasululloh saw bukan sekedar buang-buang dana untuk wisata  ke makam Abu Jahal.

Tidak ada komentar: