Ust. Hefni Zain
Islam adalah agama yang
banyak melanjutkan tradisi Nabiyulloh Ibrahim as, Ibadah haji dan qurban
misalnya, adalah salah satu contoh dari napak tilas Ibrahim yang hingga kini
tetap dilestarikan dalam Islam, Al-Qur’anpun banyak menceritakan perjalanan
kehidupan Ibrahim, bukan tanpa maksud, melainkan untuk diteladani. Misalnya
dalam surah At Takwir ayat 26 tatkala Allah swt
bertanya kepada ibrahim “Fa ayna
tadzhabun” Maka kemanakah kamu akan
pergi?, Ibrahim menjawab dalam surat
Assoffat ayat 99 “inni dzahibun ilaa rabbi sayahdin” Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan
Dia akan memberi petunjuk kepadaku (Qs. 37 : 99).
Pertanyaan “Fa ayna tadzhabun”
bisa bermakna apa sebenarnya tujuan hidup kita ini ? Akan dibawa kemana kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan
popularitas kita ?, Ibrahim as mengajarkan sebuah jawaban fundamental yakni seluruh perjalanan hidup kita semestinya
hanya ditujukan untuk menuju Allah swt.
Ibrahim as, Ismail as dan Siti Hajar adalah model hamba-hamba Allah yang mampu
menempatkan kehendak Allah diatas segalanya, walaupun harus mengorbankan
segalanya, tanpa sisa. Itulah yang ingin dipesankan dari makna simbolik ibadah
haji dan idul qurban.
Mari sejenak, kita putar
ulang perjalanan sang manusia pilihan Nabiyulloh Ibrahim as yang darinya
kemudian banyak lahir para Nabi dan Rasul serta manusia-manusia agung sepanjang
sejarah ini. Tatkala ia diperintah oleh Allah swt agar hijrah ke tempat yang
kini dikenal dengan nama Mekkah. Ibrahim, Siti Hajar, dan putranya Isma'il yang
saat itu masih bayi pergi menuju padang gersang yang tak berpenghuni, tiada
penduduk, tiada rumah, tiada tanaman bahkan tidak ada air. Di tempat itulah
atas perintah Allah, Ibrahim meninggalkan istri dan bayinya. Tak banyak bekal
yang beliau tinggalkan, kecuali sedikit air dan sedikit makanan.
Ibnu Katsir
menceritakan, saat Ibrahim hendak pergi,
sang istri bertanya "Apakah kanda akan meninggalkan kami di tempat tandus
yang tiada air, tiada tanaman dan tak berpenghuni ini?" Ibrahim terdiam.
Siti Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim
diam, sampai akhirnya Siti Hajar mengganti pertanyaannya, "Apakah Allah
memerintahkan kanda melakukan ini?" Benar, jawab Ibrahim. Lalu Siti Hajar
menimpali, Jika demikian, Allah pasti tidak akan mempersulit kami."
Sungguh sebuah dialog
yang mengiris hati, merefleksikan kedalaman iman. Tercermin ketundukan
sekaligus pengorbanan yang tiada tara. Berhijrah meninggalkan kemapanan,
kedudukan, kekayaan, kekuasaan, rumah, pekerjaan, dan sanak keluarga menuju tempat
yang tandus tak bertuan, tak ada jaminan keamanan, tidak juga makanan dan
minuman, apalagi sanak keluarga dan handai taulan. Sebuah sikap yang
memancarkan tawakal dan iman tingkat tinggi, bahwa hanya Allah yang maha
menghidupkan, maha mematikan, maha melindungi dan maha memberi rizqi. Meyakini dan mewujudkan keyakinan
tersebut dalam praktek, tentu tidak semudah meyakininya dalam teori. Ibrahim
dan Siti Hajar tidak sedang berteori, melainkan tangah menerapkannya dalam
kehidupan nyata.
Sampai akhirnya terjadilah
peristiwa bersejarah, perbekalan air dan makanan Siti Hajar habis. Isma'il yang
masih bayi menangis kehausan, karena ibunya tak lagi dapat mengeluarkan ASI.
Sang ibu kelabakan, perempuan suci itu berlari berusaha mencari air di antara
bukit Shofa dan Marwa yang jaraknya
tidak dekat dan jalannya tidak beraspal. Usahanya tak menuai hasil,
berkali-kali di coba, tapi gagal lagi dan gagal lagi, hingga akhirnya datanglah
pertolongan Allah, terjadilah mukjizat, dari jejakan kaki sang bayi (Ismail) terpancarlah
air. Siti Hajar berseru, "Zummi? zummi? (berkumpullah)." Sang air
kemudian mengumpul, jadilah ia telaga zam-zam.
Selesaikah ujian?
ternyata belum. Ketika Isma'il menginjak dewasa, Ibrahim mendapat wahyu untuk
menyembelih sang anak. Ibrahim berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya aku
diperintah Allah untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu!" Sungguh
sebuah perintah yang tiada terkira pengorbanannya baik bagi sang bapak maupun
sang anak. Keimanan keduanya ditantang. Pernyataan Isma'il sungguh diluar dugaan,
"Ia menjawab: Hai Bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar'."
(Ash-Shaffat: 102).
Sampai disini banyak
pelajaran yang dapat kita petik, bahwa kerja keras, ulet, kesabaran, dan
terutama keyakinan serta tawakkal yang total kepada Allah pada akhirnya
mendatangkan pertolongan Allah min haysu la yahtasib dengan jalan yang tidak disangka-sangka.
fatawakkal alalloh fahuwa hasbuh. Maka kitapun bila ingin ditolong Allah,
serahkan sepenuhnya kepadaNya, ridlo kepadaNya
dan sedikitpun jangan ragu, sebab keraguan hanya menunjukkan bahwa tekad
kita belum maksimal, tak ada kebaikan dalam keraguan.. Yakinlah! tanpa
keyakinan, kepastian menjadi sirna tapi dengan keyakinan yang mustahil bisa jadi
kenyataan.
Bersabarlah! Karena dengan sabar semua bisa
menjadi baik, sabar dalam musibah adalah pakaian nabi ayyub, sabar dalam taat
adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam menolak maksiat adalah mahkota nabi
yusuf, Dan ketidak sabaran hanya berakibat perpisahan antara Khidir dan Musa,
ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud, ketidak sabaran membuat
berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita. Tak ada yang sulit bagi orang yang
yakin dan sabar, berbagai kemudahan terus menyertainya, bila Allah berkehendak, tidak ada satupun kekuatan yang
dapat menghalanginya. Allah berkuasa atas segala sesuatu, Allah mampu membuat
yang tak mungkin menjadi mungkin, apa yang sulit bagi kita sangat gampang bagi
Allah, bagi Allah semuanya adalah sahlun yasir
Bila tidak pesta yang tak
berakhir, maka pasti tidak ada badai yang tidak berlalu, setiap tangisan akan
berujung dengan senyuman dan setelah kesulitan pasti ada kemudahan, maka
kabarkan pada malam bahwa sang fajar akan segera tiba, kabarkan juga pada orang
orang yang dilanda kesusahan bahwa pertolongan Allah akan segera datang .
Saratnya jangan pernah berputus asa dan terus berjuanglah, sesungguhnya hanya
yang mengetuk pintu berkali kali yang akan dibukakan pintu hidayah, kata Nabi sebaik baik ibadah adalah
menyerahkan semuanya kepada Allah swt dan yakin sepenuhnya terhadap janji
janjiNya, ridla atas segala yang terjadi, berprasangka baik kepadaNya dan
menunggu dengan sabar pertolonganNya.
Disampaikan dalam Qs. 9 :
100 :Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.Tatkala
Ibrahim bertekad menunaikan perintah Allah untuk menyembelih anak kesayangannya
satu-satunya, setan datang menggoda, perintah macam apa itu Ibrahim, mana ada
Tuhan menyuruh orang tua menyembelih anaknya sendiri, itu kejam dan tak
ternalar oleh akal sehat. Ibrahim sadar setan berusaha merusak keimanannya,
maka dilemparlah setan dengan batu, setan menggoda lagi hingga tiga kali,
tetapi ibrahim selalu melemparnya dengan batu. Peristiwa ini diabadikan dalam
syariat haji berupa "lempar jumrah".
Ketika mata pisau
Ibrahim hendak menyentuh leher Isma'il, Allah menahan mata pisau itu dan
menggantikannya dengan seekor domba. Kisah
ini dikenang dalam syariat penyembelihan hewan kurban pada setiap musim haji.
Demikian, Ibrahim as
sang suri tauladan. Penempatan kehendak Allah diatas yang lain menghantarkannya
lulus ujian. Dan ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam
bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: Dan saya mohon juga dari
keturunanku. Allah berfirman: JanjiKu ini tidak mengenai orang yang
zalim".
Kisah di atas hanya
salah satu bentuk ujian baginya. Sebelumnya, Ibrahim juga menghadapi
ujian-ujian yang luar biasa. Dan Ia selalu lulus. Bukan hanya Ibrahim, Istri
dan anaknya juga demikian. Sungguh sebuah komposisi yang ideal, ada teladan
seorang bapak, teladan seorang istri, dan teladan seorang anak. Ketiganya
adalah pilar sebuah keluarga. Baik buruknya sebuah keluarga menjadi kunci utama
baik buruknya sebuah masyarakat, sebab masyarakat terbangun atas sekumpulan
keluarga, demikian seterusnya. Sungguh tak terbayang, betapa indah sebuah
bangunan masyarakat jika unsur-unsur masyarakatnya adalah manusia terdidik
seperti terdidiknya keluarga Ibrahim? Manusia-manusia bertauhid yang meletakkan
kecintaan terhadap Allah di atas segala-galanya?
Dari sini masing-masing
kita dapat bermuhasabah, dan mengukur diri sudahkah kecintaan kita terhadap
Allah di atas segala-galanya, melebihi cinta kita terhadap pekerjaan, tempat
tinggal dan harta? melebihi cinta kita terhadap anak, istri, bahkan kedua orang
tua? melebihi cinta kita terhadap nyawa kita? sudahkah kita mendahulukan
kehendak Allah diatas kehendak kita sendiri ?
sudahkah kita memberikan yang terbaik yang paling kita cintai untuk Allah semata ? Jawabannya berpulang
pada diri kita masing-masing.
Dalam Al-Qur’an
ditegaskan “Belumlah sekali kali kamu sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum engkau
berikan apa yang paling kamu cintai Kepada Allah swt. Demikian juga dalam
hadits Qudsi : Barang siapa yang
mendahulukan kehendakKu diatas kehendaknya, maka akan Aku pelihara dirinya, Aku
atur urusan dunianya dan akan Aku
luaskan rizkinya. Tetapi barang siapa yang mendahulukan kehendaknya
diatas kehendakKu, maka Aku akan porak porandakan segala urusannya.
Marilah kita belajar menempatkan kehendak Allah diatas segalanya,
Marilah momentum idhul ini kita jadikan awal bagi munculnya semangat
Ibrahim-ibrahim baru atau Ismail-Ismail baru yang siap berkorban dan
mengorbankan segalanya termasuk yang paling dicintainya sekalipun demi memenuhi
kehendak Allah swt atau melahirkan siti hajar-siti hajar baru yang punya etos
mujahadah dan tawakkal tinggi untuk mencapai ridha Allah. Hanya dengan itu akan
muncul zam zam – zam zam baru atau mata air kehidupan yang dapat menghantarkan
kita pada kemakmuran sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar