Minggu, 28 Oktober 2012

KITA BUTUH IBRAHIM-IBRAHIM BARU




Ust. Hefni Zain

Islam adalah agama yang banyak melanjutkan tradisi Nabiyulloh Ibrahim as, Ibadah haji dan qurban misalnya, adalah salah satu contoh dari napak tilas Ibrahim yang hingga kini tetap dilestarikan dalam Islam, Al-Qur’anpun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim, bukan tanpa maksud, melainkan untuk diteladani. Misalnya dalam surah At Takwir ayat 26 tatkala Allah swt  bertanya  kepada ibrahim “Fa ayna tadzhabun”   Maka kemanakah kamu akan pergi?, Ibrahim  menjawab dalam surat Assoffat ayat 99 “inni dzahibun ilaa rabbi sayahdin”  Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku (Qs. 37 : 99).
Pertanyaan “Fa ayna tadzhabun” bisa bermakna apa sebenarnya tujuan hidup kita ini ? Akan dibawa kemana  kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan popularitas kita ?, Ibrahim as mengajarkan sebuah jawaban  fundamental yakni  seluruh perjalanan hidup kita semestinya hanya ditujukan untuk  menuju Allah swt. Ibrahim as, Ismail as dan Siti Hajar adalah model hamba-hamba Allah yang mampu menempatkan kehendak Allah diatas segalanya, walaupun harus mengorbankan segalanya, tanpa sisa. Itulah yang ingin dipesankan dari makna simbolik ibadah haji dan idul qurban.
Mari sejenak, kita putar ulang perjalanan sang manusia pilihan Nabiyulloh Ibrahim as yang darinya kemudian banyak lahir para Nabi dan Rasul serta manusia-manusia agung sepanjang sejarah ini. Tatkala ia diperintah oleh Allah swt agar hijrah ke tempat yang kini dikenal dengan nama Mekkah. Ibrahim, Siti Hajar, dan putranya Isma'il yang saat itu masih bayi pergi menuju padang gersang yang tak berpenghuni, tiada penduduk, tiada rumah, tiada tanaman bahkan tidak ada air. Di tempat itulah atas perintah Allah, Ibrahim meninggalkan istri dan bayinya. Tak banyak bekal yang beliau tinggalkan, kecuali sedikit air dan sedikit makanan.
Ibnu Katsir menceritakan, saat  Ibrahim hendak pergi, sang istri bertanya "Apakah kanda akan meninggalkan kami di tempat tandus yang tiada air, tiada tanaman dan tak berpenghuni ini?" Ibrahim terdiam. Siti Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam, sampai akhirnya Siti Hajar mengganti pertanyaannya, "Apakah Allah memerintahkan kanda melakukan ini?" Benar, jawab Ibrahim. Lalu Siti Hajar menimpali, Jika demikian, Allah pasti tidak akan mempersulit kami."
Sungguh sebuah dialog yang mengiris hati, merefleksikan kedalaman iman. Tercermin ketundukan sekaligus pengorbanan yang tiada tara. Berhijrah meninggalkan kemapanan, kedudukan, kekayaan, kekuasaan, rumah, pekerjaan, dan sanak keluarga menuju tempat yang tandus tak bertuan, tak ada jaminan keamanan, tidak juga makanan dan minuman, apalagi sanak keluarga dan handai taulan. Sebuah sikap yang memancarkan tawakal dan iman tingkat tinggi, bahwa hanya Allah yang maha menghidupkan, maha mematikan, maha melindungi dan maha memberi  rizqi. Meyakini dan mewujudkan keyakinan tersebut dalam praktek, tentu tidak semudah meyakininya dalam teori. Ibrahim dan Siti Hajar tidak sedang berteori, melainkan tangah menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Sampai akhirnya terjadilah peristiwa bersejarah, perbekalan air dan makanan Siti Hajar habis. Isma'il yang masih bayi menangis kehausan, karena ibunya tak lagi dapat mengeluarkan ASI. Sang ibu kelabakan, perempuan suci itu berlari berusaha mencari air di antara bukit  Shofa dan Marwa yang jaraknya tidak dekat dan jalannya tidak beraspal. Usahanya tak menuai hasil, berkali-kali di coba, tapi gagal lagi dan gagal lagi, hingga akhirnya datanglah pertolongan Allah, terjadilah mukjizat, dari jejakan kaki sang bayi (Ismail) terpancarlah air. Siti Hajar berseru, "Zummi? zummi? (berkumpullah)." Sang air kemudian mengumpul, jadilah ia telaga zam-zam.
Selesaikah ujian? ternyata belum. Ketika Isma'il menginjak dewasa, Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih sang anak. Ibrahim berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya aku diperintah Allah untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu!" Sungguh sebuah perintah yang tiada terkira pengorbanannya baik bagi sang bapak maupun sang anak. Keimanan keduanya ditantang. Pernyataan Isma'il sungguh diluar dugaan, "Ia menjawab: Hai Bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar'." (Ash-Shaffat: 102).
Sampai disini banyak pelajaran yang dapat kita petik, bahwa kerja keras, ulet, kesabaran, dan terutama keyakinan serta tawakkal yang total kepada Allah pada akhirnya mendatangkan pertolongan Allah min haysu la yahtasib dengan jalan yang tidak disangka-sangka. fatawakkal alalloh fahuwa hasbuh. Maka kitapun bila ingin ditolong Allah, serahkan sepenuhnya kepadaNya, ridlo kepadaNya  dan sedikitpun jangan ragu, sebab keraguan hanya menunjukkan bahwa tekad kita belum maksimal, tak ada kebaikan dalam keraguan.. Yakinlah! tanpa keyakinan, kepastian menjadi sirna tapi dengan keyakinan yang mustahil bisa jadi kenyataan.
Bersabarlah! Karena dengan sabar semua bisa menjadi baik, sabar dalam musibah adalah pakaian nabi ayyub, sabar dalam taat adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam menolak maksiat adalah mahkota nabi yusuf, Dan ketidak sabaran hanya berakibat perpisahan antara Khidir dan Musa, ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud, ketidak sabaran membuat berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita. Tak ada yang sulit bagi orang yang yakin dan sabar, berbagai kemudahan terus menyertainya, bila Allah  berkehendak, tidak ada satupun kekuatan yang dapat menghalanginya. Allah berkuasa atas segala sesuatu, Allah mampu membuat yang tak mungkin menjadi mungkin, apa yang sulit bagi kita sangat gampang bagi Allah, bagi Allah semuanya adalah sahlun yasir
Bila tidak pesta yang tak berakhir, maka pasti tidak ada badai yang tidak berlalu, setiap tangisan akan berujung dengan senyuman dan setelah kesulitan pasti ada kemudahan, maka kabarkan pada malam bahwa sang fajar akan segera tiba, kabarkan juga pada orang orang yang dilanda kesusahan bahwa pertolongan Allah akan segera datang . Saratnya jangan pernah berputus asa dan terus berjuanglah, sesungguhnya hanya yang mengetuk pintu berkali kali yang akan dibukakan pintu hidayah,  kata Nabi sebaik baik ibadah adalah menyerahkan semuanya kepada Allah swt dan yakin sepenuhnya terhadap janji janjiNya, ridla atas segala yang terjadi, berprasangka baik kepadaNya dan menunggu dengan sabar pertolonganNya.
Disampaikan dalam Qs. 9 : 100 :Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.Tatkala Ibrahim bertekad menunaikan perintah Allah untuk menyembelih anak kesayangannya satu-satunya, setan datang menggoda, perintah macam apa itu Ibrahim, mana ada Tuhan menyuruh orang tua menyembelih anaknya sendiri, itu kejam dan tak ternalar oleh akal sehat. Ibrahim sadar setan berusaha merusak keimanannya, maka dilemparlah setan dengan batu, setan menggoda lagi hingga tiga kali, tetapi ibrahim selalu melemparnya dengan batu. Peristiwa ini diabadikan dalam syariat haji berupa "lempar jumrah".
Ketika mata pisau Ibrahim hendak menyentuh leher Isma'il, Allah menahan mata pisau itu dan menggantikannya dengan seekor domba. Kisah ini dikenang dalam syariat penyembelihan hewan kurban pada setiap musim haji.
Demikian, Ibrahim as sang suri tauladan. Penempatan kehendak Allah diatas yang lain menghantarkannya lulus ujian. Dan ketika Ibrahim diuji  Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: Dan saya mohon juga dari keturunanku. Allah berfirman: JanjiKu ini tidak mengenai orang yang zalim".
Kisah di atas hanya salah satu bentuk ujian baginya. Sebelumnya, Ibrahim juga menghadapi ujian-ujian yang luar biasa. Dan Ia selalu lulus. Bukan hanya Ibrahim, Istri dan anaknya juga demikian. Sungguh sebuah komposisi yang ideal, ada teladan seorang bapak, teladan seorang istri, dan teladan seorang anak. Ketiganya adalah pilar sebuah keluarga. Baik buruknya sebuah keluarga menjadi kunci utama baik buruknya sebuah masyarakat, sebab masyarakat terbangun atas sekumpulan keluarga, demikian seterusnya. Sungguh tak terbayang, betapa indah sebuah bangunan masyarakat jika unsur-unsur masyarakatnya adalah manusia terdidik seperti terdidiknya keluarga Ibrahim? Manusia-manusia bertauhid yang meletakkan kecintaan terhadap Allah di atas segala-galanya?
Dari sini masing-masing kita dapat bermuhasabah, dan mengukur diri sudahkah kecintaan kita terhadap Allah di atas segala-galanya, melebihi cinta kita terhadap pekerjaan, tempat tinggal dan harta? melebihi cinta kita terhadap anak, istri, bahkan kedua orang tua? melebihi cinta kita terhadap nyawa kita? sudahkah kita mendahulukan kehendak Allah diatas kehendak kita sendiri ?  sudahkah kita memberikan yang terbaik yang paling kita cintai  untuk Allah semata ? Jawabannya berpulang pada diri kita masing-masing.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan “Belumlah sekali kali kamu sampai kepada  kebajikan yang sempurna, sebelum engkau berikan  apa yang paling kamu cintai  Kepada Allah swt. Demikian juga dalam hadits  Qudsi : Barang siapa yang mendahulukan kehendakKu diatas kehendaknya, maka akan Aku pelihara dirinya, Aku atur urusan dunianya dan akan Aku  luaskan rizkinya. Tetapi barang siapa yang mendahulukan kehendaknya diatas kehendakKu, maka Aku akan porak porandakan segala urusannya.
Marilah kita belajar menempatkan kehendak Allah diatas segalanya, Marilah  momentum idhul ini  kita jadikan awal bagi munculnya semangat Ibrahim-ibrahim baru atau Ismail-Ismail baru yang siap berkorban dan mengorbankan segalanya termasuk yang paling dicintainya sekalipun demi memenuhi kehendak Allah swt atau melahirkan siti hajar-siti hajar baru yang punya etos mujahadah dan tawakkal tinggi untuk mencapai ridha Allah. Hanya dengan itu akan muncul zam zam – zam zam baru atau mata air kehidupan yang dapat menghantarkan kita pada kemakmuran sejati.

Tidak ada komentar: