Jumat, 12 Oktober 2012

MEMBENTENGI UMAT DARI PEMIKIRAN FILSAFAT MENYIMPANG




Ust.Hefni Zain, S.Ag, MM

Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa diri mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya." (QS al-Kahfi:103-104).

Muqoddimah
Hudzaifah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw "Wahai Rasulullah, apakah sesudah kebaikan ini akan ada masa keburukan? Ya..., Jawab Rasulullah, yaitu munculnya kaum yang mengajak orang lain ke neraka jahannam. Terangkanlah ciri-ciri mereka itu, wahai Rasulullah pinta Hudzaifah.   Kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka bicara dengan bahasa kita, Jawab Rasulullah " (HR. Bukhari, Muslim & Tarmidzi)
Kutipan potongan hadits diatas pernah dijadikan landasan oleh Prof. Muhammad Jamal, seorang guru besar kebudayaan Islam di Universitas Ummul Qura Makkah dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Muftaroyaat 'alal Islam (Kebohongan-kebohongan terhadap Islam). Beliau mengemukakan hadits tersebut, karena prihatin dan sangat menyesalkan munculnya banyak orang yang gemar melakukan pembusukan atas Islam justru dari kalangan umat Islam sendiri, warna kulitnya sejenis dengan kita, bahasanya sama dengan kita, bahkan semboyannyapun seperti semboyan kita. Namun mereka menohok Islam dengan cara mengaburkan yang haq dan yang bathil seperti yang diperbuat para orientalis. Prilaku dan pemikiran yang semacam itu dengan mudah menyusup dan merambah  peta kognisi sebagian umat Islam lantaran beberapa hal, pertama, kurangnya ilmu pengetahuan tentang apa yang seharusnya diketahui, kedua, mereka salah faham atas Islam, dan ketiga faham yang mereka anut memang salah.
Pikiran dan faham yang keliru atas berbagai atau sebagian konsep Islam jelas merupakan problem serius yang akan berimplikasi serius pula, sebab dapat meracuni dan menimbulkan rasa antipati terhadap Islam,  sejarah banyak mencatat bahwa  kerancuan dan kekeliruan dalam memahami ilmu, dapat menjadi pangkal kerancuan dan kehancuran sebuah peradaban. Ironisnya tidak sedikit diantara kita yang membiarkan tokoh-tokoh kita menyebarkan pemikiran yang keliru tentang Islam, orang-orang yang seharusnya menjaga Islam malah justru ikut menyerang Islam, orang-orang yang belajar dan mengajar ushuluddin malah justru menyelipkan pandangan dan pemahaman yang meragukan kebenaran Islam. Lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam yang seharusnya mengawal kekuatan Islam malah justru membiakkan orang-orang yang melemahkan Islam.

Kooptasi framework orientalis
Sulit dibantah bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada metodologi kajiannya, tetapi lebih mendasar lagi, sampai pada framework dan cara pandangnya terhadap filsafat Islam. Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafat Islam hanyalah copi paste dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat yang digunakan dibeberapa PTAI, yang menyebutkan bahwa “pemikiran filsafat Islam yang awal” adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis.
Padahal, sangat berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah. Para ulama memand`ng bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.  Dan sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam. Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam. Ibn Taymiyah juga hanya menerima jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Bagi seorang Muslim mencari ilmu adalah kewajiban dan merupakan ibadah, karena itu, yang diharapkan adalah ilmu yang bermanfaat, yakni  ilmu yang menghasilkan amal soleh dan memperkuat keimanan, bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah. Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk hanya menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’.
Para orientalis sejak awal memang bermaksud memisahkan umat Islam dari eksistensi dan kehidupannya yang Islami dangan cara menghembuskan dan menyelipkan pemikiran-pemikiran yang membuat umat Islam ragu akan ajarannya sendiri.  Pastor Takly berkata: "Kita harus intens memasukkan pemikiran-pemikiran ala barat yang sekuler ke dalam komunitas kaum muslimin, sebab ternyata banyak orang Islam yang goyah aqidahnya setelah mempelajari pemikiran-pemikiran tersebut.  Samuel Zwemer dalam konferensi Al Quds untuk para pastor pada tahun 1935 mengatakan: "Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang Islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi menjauhkan mereka dari agamanya (Al Qur'an dan Sunnah). Sehingga mereka menjadi orang-orang yang putus hubungan dan tidak punya kometmen dengan ajaran dan tradisinya sendiri. Dengan demikian kalian telah menyiapkan generasi-generasi baru yang akan mendukung dan memenangkan tujuan kalian ". Para orientalis faham betul bahwa untuk dapat menguasai kaum muslimin, terlebih dahulu mereka harus mengubah pemikiran-pemikiran kaum Muslimin dengan cara merancukan dan mengkaburkan ajaran orisinil Islam, memasukkan berbagai macam kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam sehingga mereka ragu terhadap ajarannya sendiri. Selama umat Islam konsisten memegang ajarannya sendiri sangat sulit bagi siapapun untuk menguasainya.
Fenomena inilah yang dilihat  Thoha Jabir Fayyadh yang menyebutkan bahwa kondisi sebagian umat Irlam saat ini sudah terinfeksi virus orientalis sehingga kehilangan unsur-unsur kekuatan hakiki, aqidahnya rapuh dan tidak jelas arahnya, imannya lemah, akhlaknya merosot, komitmennya terhadap Islam dan kaum muslimin menipis dan kefaqihannya hilang, sampai-sampai yang namanya umat tidak seperti umat lagi.  Maka semakin mudah para orientalis menghabisi sisa-sisa unsur kekuatan pribadi umat sampai keadaannya seperti apa yang kita rasakan sekarang, tidak memiliki wibawa dan segala urusan kita ditentukan oleh mereka, Akhirnya kita minta bantuan kepada mereka untuk menyelesaikan segala problem yang timbulnya dari pribadi kita sendiri.

Perlu evaluasi diri
Perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’. Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Tugas kita saat ini adalah merestorasi pemahaman ummat dengan menanamkan aqidah shahihah, dengan cara menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang telah menggenangi, maka harus ditawa, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi pola pikir menyimpang itu harus dikikis habis.

Kecuali itu, Islam mainstream sepatutnya juga melakukan introspeksi atas pemahaman dan praktek kegamaan yang selama ini  kurang mampu menarik audien yang lebih luas, Ketika sebagian umat Islam lebih enjoy  masuk ke perangkap orientalis dan bukan ke Islam mainstream, hal itu menjadi indikasi awal  bahwa Islam mainstream tidak cukup mampu memenuhi dan memuaskan  -baik secara argumentatif maupun emosional- kebutuhan pemikiran keagamaan mereka yang nuansanya super dinamik, akibatnya terbukalah ruang yang lebar bagi lahirnya penafsiran-peanfsiran agama yang mandiri dan terlepas dari mainstream.
Bila kita anggap pemikiran menyimpang itu sebagai virus berbahaya, maka sebagai antisipasinya tentu bukan dengan hanya mengutuk virus itu, yang lebih bijaksana adalah melakukan langkah-langkah radikal dan akurat dalam memberikan anti virus pada kaum muslimin dengan jalan menginjeksi nilai-nilai ajaran Islam orisinil secara sistematis dan metodologis.  Proteksi dan vaksinasi komonal berbasis ajaran orisinil kepada kaum muslimin jauh lebih elegan dari sekedar menyalahkan virusnya atau mencari kambing hitam.  Atas dasar itulah ketimbang sibuk mengutuk para orientalis dan pengikutnya, lebih baik fokus pada pemberian anti virus terutama kepada para generasi muda Islam   Wallohu A’lam bisshowab. 

Tidak ada komentar: