Ust.Hefni Zain,
S.Ag, MM
Katakanlah, akankah Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?" Yaitu
orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka
menyangka bahwa diri mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya." (QS
al-Kahfi:103-104).
Muqoddimah
Hudzaifah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw
"Wahai Rasulullah, apakah sesudah kebaikan ini akan ada masa keburukan? Ya...,
Jawab Rasulullah, yaitu munculnya kaum yang mengajak orang lain ke neraka
jahannam. Terangkanlah ciri-ciri mereka itu, wahai Rasulullah pinta
Hudzaifah. Kulit mereka sama dengan
kulit kita dan mereka bicara dengan bahasa kita, Jawab Rasulullah " (HR. Bukhari, Muslim & Tarmidzi)
Kutipan potongan hadits diatas pernah dijadikan landasan
oleh Prof. Muhammad Jamal, seorang guru besar kebudayaan Islam di Universitas
Ummul Qura Makkah dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Muftaroyaat 'alal
Islam (Kebohongan-kebohongan terhadap Islam). Beliau mengemukakan hadits
tersebut, karena prihatin dan sangat menyesalkan munculnya banyak orang yang
gemar melakukan pembusukan atas Islam justru dari kalangan umat Islam sendiri,
warna kulitnya sejenis dengan kita, bahasanya sama dengan kita, bahkan
semboyannyapun seperti semboyan kita. Namun mereka menohok Islam dengan cara
mengaburkan yang haq dan yang bathil seperti yang diperbuat para orientalis. Prilaku
dan pemikiran yang semacam itu dengan mudah menyusup dan merambah peta kognisi sebagian umat Islam lantaran
beberapa hal, pertama, kurangnya ilmu pengetahuan tentang apa yang seharusnya
diketahui, kedua, mereka salah faham atas Islam, dan ketiga faham yang mereka
anut memang salah.
Pikiran
dan faham yang keliru atas berbagai atau sebagian konsep Islam jelas merupakan
problem serius yang akan berimplikasi serius pula, sebab dapat meracuni dan menimbulkan rasa antipati terhadap
Islam, sejarah banyak
mencatat bahwa kerancuan dan kekeliruan
dalam memahami ilmu, dapat menjadi pangkal kerancuan dan kehancuran sebuah
peradaban. Ironisnya tidak sedikit diantara kita yang membiarkan tokoh-tokoh
kita menyebarkan pemikiran yang keliru tentang Islam, orang-orang yang
seharusnya menjaga Islam malah justru ikut menyerang Islam, orang-orang yang
belajar dan mengajar ushuluddin malah justru menyelipkan pandangan dan
pemahaman yang meragukan kebenaran Islam. Lembaga-lembaga perguruan tinggi
Islam yang seharusnya mengawal kekuatan Islam malah justru membiakkan
orang-orang yang melemahkan Islam.
Kooptasi
framework orientalis
Sulit
dibantah bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh
para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada metodologi kajiannya, tetapi
lebih mendasar lagi, sampai pada framework dan cara pandangnya terhadap filsafat
Islam. Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara
sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafat Islam hanyalah copi paste dari
Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Mengambil contoh
Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat yang digunakan dibeberapa PTAI, yang
menyebutkan bahwa “pemikiran filsafat Islam yang awal” adalah dimulai sejak
masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat
Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Jika
framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan
framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis.
Padahal, sangat
berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat
Islam bersumberkan pada wahyu. Filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari
pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran
dan Sunnah. Para ulama memand`ng bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir
filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Dan sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang
berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Bahwa ada
sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam,
tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam
masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep
mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Dalam
sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi
yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam. Sejumlah ilmuwan
seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan
berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam
ajaran Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih
sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan
Islam. Ibn Taymiyah juga hanya menerima jenis filsafat tertentu, yang
disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah
al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Bagi seorang
Muslim mencari ilmu adalah kewajiban dan merupakan ibadah, karena itu, yang
diharapkan adalah ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang menghasilkan amal soleh dan
memperkuat keimanan, bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta
semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah. Metode studi agama cara Islam
ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih
diarahkan untuk hanya menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’.
Para
orientalis sejak awal memang bermaksud memisahkan umat Islam dari eksistensi
dan kehidupannya yang Islami dangan cara menghembuskan dan menyelipkan pemikiran-pemikiran
yang membuat umat Islam ragu akan ajarannya sendiri. Pastor Takly berkata: "Kita harus intens
memasukkan pemikiran-pemikiran ala barat yang sekuler ke dalam komunitas kaum
muslimin, sebab ternyata banyak orang Islam yang goyah aqidahnya setelah
mempelajari pemikiran-pemikiran tersebut.
Samuel Zwemer dalam konferensi Al Quds untuk para pastor
pada tahun 1935 mengatakan: "Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan
orang-orang Islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi
menjauhkan mereka dari agamanya (Al Qur'an dan Sunnah). Sehingga mereka menjadi
orang-orang yang putus hubungan dan tidak punya kometmen dengan ajaran dan
tradisinya sendiri. Dengan demikian kalian telah menyiapkan generasi-generasi
baru yang akan mendukung dan memenangkan tujuan kalian ". Para orientalis
faham betul bahwa untuk dapat menguasai kaum muslimin, terlebih dahulu mereka
harus mengubah pemikiran-pemikiran kaum Muslimin dengan cara merancukan dan
mengkaburkan ajaran orisinil Islam, memasukkan berbagai macam kuman dan
virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam sehingga mereka ragu terhadap
ajarannya sendiri. Selama umat Islam konsisten memegang ajarannya sendiri
sangat sulit bagi siapapun untuk menguasainya.
Fenomena
inilah yang dilihat Thoha Jabir Fayyadh yang
menyebutkan bahwa kondisi sebagian umat Irlam saat ini sudah terinfeksi virus
orientalis sehingga kehilangan unsur-unsur kekuatan hakiki, aqidahnya rapuh dan
tidak jelas arahnya, imannya lemah, akhlaknya merosot, komitmennya terhadap
Islam dan kaum muslimin menipis dan kefaqihannya hilang, sampai-sampai yang
namanya umat tidak seperti umat lagi. Maka semakin mudah para orientalis menghabisi
sisa-sisa unsur kekuatan pribadi umat sampai keadaannya seperti apa yang kita
rasakan sekarang, tidak memiliki wibawa dan segala urusan kita ditentukan oleh
mereka, Akhirnya kita minta bantuan kepada mereka untuk menyelesaikan segala
problem yang timbulnya dari pribadi kita sendiri.
Perlu
evaluasi diri
Perguruan-perguruan
tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama
Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus
ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah.
Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis
kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji,
diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’. Cita-cita mulia itu
tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa
membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan
mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini,
bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya
secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Tugas kita saat ini
adalah merestorasi pemahaman ummat
dengan menanamkan aqidah shahihah, dengan cara
menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang
telah menggenangi, maka harus ditawa, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi
pola pikir menyimpang itu harus dikikis habis.
Kecuali
itu, Islam mainstream sepatutnya juga melakukan introspeksi atas pemahaman dan praktek
kegamaan yang selama ini kurang mampu
menarik audien yang lebih luas, Ketika sebagian umat Islam lebih enjoy masuk ke perangkap orientalis dan bukan ke
Islam mainstream, hal itu menjadi indikasi awal
bahwa Islam mainstream tidak cukup mampu memenuhi dan memuaskan -baik secara argumentatif maupun emosional-
kebutuhan pemikiran keagamaan mereka yang nuansanya super dinamik, akibatnya
terbukalah ruang yang lebar bagi lahirnya penafsiran-peanfsiran agama yang
mandiri dan terlepas dari mainstream.
Bila
kita anggap pemikiran menyimpang itu sebagai virus berbahaya, maka sebagai
antisipasinya tentu bukan dengan hanya mengutuk virus itu, yang lebih bijaksana
adalah melakukan langkah-langkah radikal dan akurat dalam memberikan anti virus
pada kaum muslimin dengan jalan menginjeksi nilai-nilai ajaran Islam orisinil secara
sistematis dan metodologis. Proteksi dan
vaksinasi komonal berbasis ajaran orisinil kepada kaum muslimin jauh lebih
elegan dari sekedar menyalahkan virusnya atau mencari kambing hitam. Atas dasar itulah ketimbang sibuk mengutuk
para orientalis dan pengikutnya, lebih baik fokus pada pemberian anti virus
terutama kepada para generasi muda Islam Wallohu A’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar