Minggu, 07 Oktober 2012

REKONSTRUKSI PETA KEBANGKITAN ISLAM




Oleh : Ust. Hefni Zain, S.Ag, MM
Seorang mahasiswa muslim, aktivis dan penggiat Islam bernama Jadul Maulana tatkala baru pulang dari memunaikan ibadah haji menyebutkan bahwa “momentum wuquf di arafah merupakan potret nyata dari kekuatan potensial kaum muslimin yang sebenarnya”. Saat itu, ditempat yang sama, dengan pakaian yang sama, jutaan kaum muslimin dari berbagai tempat, berbagai etnis, berbagai paham dan berbagai karakter melakukan dan mengucapkan hal yang sama dengan tujuan dan misi yang sama dibawah panji agung tauhid. Sebuah pemandangan yang menakjubkan, menggambarkan potensi dasar umat Islam yang luar biasa yang hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Sebagai seorang yang masih idealis, Jadul mengaku bahwa pemandangan tersebut merekonstruksi psikologis dirinya,memberikan kekuatan pada jiwanya, memulihkan kemauannya, memantabkan ketetapan hatinya, membangkitkan percaya dirinya untuk menyatukan ikhwah dan membangkitkan persatuan demi tegaknya Islam dan kaum muslimin.
Pembacaan Jadul diatas mengingatkan kita pada Paul Schmidt seorang ilmuan berkebangsaan Jerman yang pada tahun 1963 menulis sebuah buku berjudul Al Islam Quwwatul Ghad (Islam kekuatan masa depan). Dalam tulisannya tersebut ia memetakan bahwa terdapat tiga komponen utama kekuatan Islam timur, yang apabila berkembang optimal dapat menjadi kekuatan masa depan dunia :
1.   Keteguhan keyakinan, idealisme dan kekuatan dalam mempersaudarakan berbagai suku bangsa, ras, dan tsaqofah.
2.   Sumber kekayaan alam yang melimpah di tanah Islam yang terbentang dari samudera atlantik sampai lautan teduh, yang dibatasi oleh negeri Maroko sebelah barat dan batas-batas teritorial Indonesia untuk bagian timur. Jika potensi alam ini dikelola dan dieksploitasi dengan baik untuk pengembangan perekonomian demi memenuhi kebutuhan sendiri, dan mereka bersatu dan saling menolong satu sama lain, maka sesungguhnya umat Islam tidak butuh pada barat, eropa dan negara lainnya.
3.   Fertilitas (kesuburan kelahiran) bagi kaum muslimin adalah komponen ketiga yang dapat memperkokoh kekuatan yang ada.
Lebih jauh Paul Schmidt menganalisis "Bila ketiga kekuatan diatas berhimpun menjadi satu, dan kaum muslimin menjalankan ukhuwah dalam satu kesatuan aqidah dengan mengenyampingkan keragaman faham, lantas sumber daya alamnya dipergunakan secara efektif untuk memenuhi kebutuhannya, niscaya kekuatan Islam amat potensial mengungguli Barat dan membahayakan supremasi globalnya di sebuah negeri yang merupakan pusat dunia seluruhnya."
Penelitian yang dilakukan Schmidt adalah sama dengan para orientalis lainnya yang berupaya memetakan potensi dan kelemahan lawan, kemudian mengukur kemampuan diri sendiri untuk mengalahkan lawannya, dan itulah yang dilakukan oleh barat terhadap Islam dan kaum muslimin selama ini. Penelitian yang dilakukan oleh para orientalis seperti Schmidt inilah yang kemudian dijadikan rujukan oleh para otoritas barat. Masih segar dalam ingatan kita bahwa politik yang dijalankan Belanda selama menjajah Indonesia adalah berpegangan kepada penelitian Dr.Snouck Horgroenye (seorang orientalis yang sempat menimba ilmu di Mekkah kemudian mengganti namanya menjadi H.Abdul Gafur), begitu juga Amerika Serikat yang menjadikan S.Huntington sebagai penasehat pemerintahnya selama dekade tahun 90-an. (S.Huntington pernah menulis buku Clash Civilization yang menyebutkan pasca perang dingin Amerika dan Uni soviet, musuh utama barat adalah Islam).
Kendati penelitian yang dilakukan Schmidt dan para orientalis lainnya “sarat bias” karena disemangati motif subjektif terhadap Islam, tetapi temuan mereka kiranya dapat membuka kesadaran kaum muslimin untuk merapatkan barisan dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, ketakutan barat terhadap kebangkitan Islam sebagaimana diakui HAR Gibb haruslah menjadi sebuah optimisme bagi kaum muslimin untuk kembali tampil menyelamatkan dunia, menyebarkan kasih sayang kepada seluruh umat manusia, menegakkan keadilan sejati, menjadi teladan bagi semuanya sekaligus menegaskan bahwa Islam adalah ya’lu wala yu’la alaih dalam menata dunia dan memberikan rahmat bagi sekalian alam.
Sebenarnya, disamping tiga hal yang ditemukan Schmidt dalam penelitiannya, terdapat dua potensi penting lain yang menjadi dasar optimisme kebangkitan Islam, lebih-lebih di tengah keterpurukan kaum muslimin di berbagai bidang. Pertama, potensi warisan kekayaan sejarah, di mana umat Islam pada masa itu berjaya mengendalikan peradaban lebih dari 7 abad lamanya, dan hingga kini belum pernah ada satu ideologipun termasuk barat yang mampu menyamai pencapaian itu. Peradaban barat hari ini baru berumur 450 tahun. Jika kaum muslimin mampu menggali warisan sejarah itu dan secara cerdas menerapkannya secara modivikatif dan relevan, maka pasti Islam akan memperoleh kembali masa kejayaannya. Kedua, Janji Allah yang tidak pernah diingkari. Bahwa Allah akan memberikan kekhilafahan di muka bumi kepada orang-orang yang beriman (Q.S. 24:55).
Merubah mental kaum muslimin yang terjangkit inferioritas merupakan pekerjaan yang tidak ringan. Jatuhnya mental kaum muslimin setelah penjajahan bangsa barat di era kolonialisme yang membonsai potensi umat Islam kala itu dan mengeksploitasi semua kekayaan alamnya, mengharuskan umat Islam menata ulang peta dan pola kebangkitannya serta merajutnya kembali menjadi sebuah kekuatan. Dengan menggali kembali warisan kejayaan umat Islam serta mengokohkan keyakinan akan janji Allah, maka penyakit inferior akan berubah menjadi gelora optimisme. Jika himmah ini diracik dengan vitalitas dan dedikasi, maka akan memutar jarum jam sejarah pada janji Allah. Itulah yang Allah ajarkan pada Nabi Musa ketika diutus kepada bangsa Isra'il yang menjadi budak Fir'aun. Dengan memanfaatkan warisan sejarah kejayaan masa lalu sebagai salah satu sarana meraih masa depan gemilang disertai keyakinan yang full akan janji Allah, telah mengantarkan Nabi Musa pada kejayaan. Begitu juga yang Allah ajarkan pada Nabi Muhammad Saw, ketika beliau ditimpa kesedihan, bimbang dalam melangkah, Allah kuatkan dengan sejarah kenabian. Ditegaskan dalam Al-Qur’an ”Dan semua kisah dari Rasul-rasul itu, Kami ceritakan kepadamu, agar dengannya Kami teguhkan hatimu." (Q.S. Hud:120).
Inilah mata rantai yang hilang dari kaum muslimin, kebodohan mereka terhadap sejarah kejayaan Islam telah membutakan mereka hingga terjerembab pada jurang keterlenaan kelemahan, penindasan dan kehinaan. Kekurang yakinan mereka akan janji Allah menghilangkan optimisme mereka yang akan merubahnya menjadi energi kebangkitan, padahal Allah tidak akan merubah nasib suatu umat sampai mereka sendiri merubah sikap mental mereka. 

Tidak ada komentar: