Oleh : Ust. Hefni Zain,
S.Ag, MM
Seorang
mahasiswa muslim, aktivis dan penggiat Islam bernama Jadul Maulana tatkala baru
pulang dari memunaikan ibadah haji menyebutkan bahwa “momentum wuquf di arafah merupakan
potret nyata dari kekuatan potensial kaum muslimin yang sebenarnya”. Saat itu, ditempat
yang sama, dengan pakaian yang sama, jutaan kaum muslimin dari berbagai tempat,
berbagai etnis, berbagai paham dan berbagai karakter melakukan dan mengucapkan
hal yang sama dengan tujuan dan misi yang sama dibawah panji agung tauhid. Sebuah
pemandangan yang menakjubkan, menggambarkan potensi dasar umat Islam yang luar
biasa yang hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Sebagai
seorang yang masih idealis, Jadul mengaku bahwa pemandangan tersebut merekonstruksi
psikologis dirinya,memberikan kekuatan pada jiwanya, memulihkan kemauannya,
memantabkan ketetapan hatinya, membangkitkan percaya dirinya untuk menyatukan ikhwah
dan membangkitkan persatuan demi tegaknya Islam dan kaum muslimin.
Pembacaan
Jadul diatas mengingatkan kita pada Paul Schmidt seorang ilmuan berkebangsaan
Jerman yang pada tahun 1963 menulis sebuah buku berjudul Al Islam Quwwatul Ghad
(Islam kekuatan masa depan). Dalam tulisannya tersebut ia memetakan bahwa terdapat
tiga komponen utama kekuatan Islam timur, yang apabila berkembang optimal dapat
menjadi kekuatan masa depan dunia :
1.
Keteguhan keyakinan, idealisme dan kekuatan dalam mempersaudarakan
berbagai suku bangsa, ras, dan tsaqofah.
2.
Sumber kekayaan alam yang melimpah di tanah Islam yang
terbentang dari samudera atlantik sampai lautan teduh, yang dibatasi oleh
negeri Maroko sebelah barat dan batas-batas teritorial Indonesia untuk bagian
timur. Jika potensi alam ini dikelola dan dieksploitasi dengan baik untuk pengembangan
perekonomian demi memenuhi kebutuhan sendiri, dan mereka bersatu dan saling
menolong satu sama lain, maka sesungguhnya umat Islam tidak butuh pada barat, eropa
dan negara lainnya.
3.
Fertilitas (kesuburan kelahiran) bagi kaum muslimin adalah
komponen ketiga yang dapat memperkokoh kekuatan yang ada.
Lebih jauh
Paul Schmidt menganalisis "Bila ketiga kekuatan diatas berhimpun menjadi
satu, dan kaum muslimin menjalankan ukhuwah dalam satu kesatuan aqidah dengan
mengenyampingkan keragaman faham, lantas sumber daya alamnya dipergunakan
secara efektif untuk memenuhi kebutuhannya, niscaya kekuatan Islam amat
potensial mengungguli Barat dan membahayakan supremasi globalnya di sebuah
negeri yang merupakan pusat dunia seluruhnya."
Penelitian
yang dilakukan Schmidt adalah sama dengan para orientalis lainnya yang berupaya
memetakan potensi dan kelemahan lawan, kemudian mengukur kemampuan diri sendiri
untuk mengalahkan lawannya, dan itulah yang dilakukan oleh barat terhadap Islam
dan kaum muslimin selama ini. Penelitian yang dilakukan oleh para orientalis
seperti Schmidt inilah yang kemudian dijadikan rujukan oleh para otoritas
barat. Masih segar dalam ingatan kita bahwa politik yang dijalankan Belanda
selama menjajah Indonesia adalah berpegangan kepada penelitian Dr.Snouck
Horgroenye (seorang orientalis yang sempat menimba ilmu di Mekkah kemudian
mengganti namanya menjadi H.Abdul Gafur), begitu juga Amerika Serikat yang menjadikan
S.Huntington sebagai penasehat pemerintahnya selama dekade tahun 90-an. (S.Huntington
pernah menulis buku Clash Civilization yang menyebutkan pasca perang dingin
Amerika dan Uni soviet, musuh utama barat adalah Islam).
Kendati
penelitian yang dilakukan Schmidt dan para orientalis lainnya “sarat bias”
karena disemangati motif subjektif terhadap Islam, tetapi temuan mereka kiranya
dapat membuka kesadaran kaum muslimin untuk merapatkan barisan dalam
mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, ketakutan barat
terhadap kebangkitan Islam sebagaimana diakui HAR Gibb haruslah menjadi sebuah
optimisme bagi kaum muslimin untuk kembali tampil menyelamatkan dunia,
menyebarkan kasih sayang kepada seluruh umat manusia, menegakkan keadilan sejati,
menjadi teladan bagi semuanya sekaligus menegaskan bahwa Islam adalah ya’lu
wala yu’la alaih dalam menata dunia dan memberikan rahmat bagi sekalian
alam.
Sebenarnya,
disamping tiga hal yang ditemukan Schmidt dalam penelitiannya, terdapat dua
potensi penting lain yang menjadi dasar optimisme kebangkitan Islam,
lebih-lebih di tengah keterpurukan kaum muslimin di berbagai bidang. Pertama,
potensi warisan kekayaan sejarah, di mana umat Islam pada masa itu berjaya mengendalikan
peradaban lebih dari 7 abad lamanya, dan hingga kini belum pernah ada satu
ideologipun termasuk barat yang mampu menyamai pencapaian itu. Peradaban barat
hari ini baru berumur 450 tahun. Jika kaum muslimin mampu menggali warisan
sejarah itu dan secara cerdas menerapkannya secara modivikatif dan relevan,
maka pasti Islam akan memperoleh kembali masa kejayaannya. Kedua, Janji
Allah yang tidak pernah diingkari. Bahwa Allah akan memberikan
kekhilafahan di muka bumi kepada orang-orang yang beriman (Q.S. 24:55).
Merubah
mental kaum muslimin yang terjangkit inferioritas merupakan pekerjaan yang
tidak ringan. Jatuhnya mental kaum muslimin setelah penjajahan bangsa barat di
era kolonialisme yang membonsai potensi umat Islam kala itu dan mengeksploitasi
semua kekayaan alamnya, mengharuskan umat Islam menata ulang peta dan pola
kebangkitannya serta merajutnya kembali menjadi sebuah kekuatan. Dengan menggali
kembali warisan kejayaan umat Islam serta mengokohkan keyakinan akan janji
Allah, maka penyakit inferior akan berubah menjadi gelora optimisme. Jika
himmah ini diracik dengan vitalitas dan dedikasi, maka akan memutar jarum jam
sejarah pada janji Allah. Itulah yang Allah ajarkan pada Nabi Musa ketika
diutus kepada bangsa Isra'il yang menjadi budak Fir'aun. Dengan memanfaatkan warisan
sejarah kejayaan masa lalu sebagai salah satu sarana meraih masa depan gemilang
disertai keyakinan yang full akan janji Allah, telah mengantarkan Nabi Musa pada
kejayaan. Begitu juga yang Allah ajarkan pada Nabi Muhammad Saw, ketika beliau
ditimpa kesedihan, bimbang dalam melangkah, Allah kuatkan dengan sejarah
kenabian. Ditegaskan dalam Al-Qur’an ”Dan semua kisah dari Rasul-rasul itu,
Kami ceritakan kepadamu, agar dengannya Kami teguhkan hatimu." (Q.S. Hud:120).
Inilah mata rantai
yang hilang dari kaum muslimin, kebodohan mereka terhadap sejarah kejayaan
Islam telah membutakan mereka hingga terjerembab pada jurang keterlenaan
kelemahan, penindasan dan kehinaan. Kekurang yakinan mereka akan janji Allah
menghilangkan optimisme mereka yang akan merubahnya menjadi energi kebangkitan,
padahal Allah tidak akan merubah nasib suatu umat sampai mereka sendiri merubah
sikap mental mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar