Senin, 22 Oktober 2012

POLIGAMI : UNTUK KEPENTINGAN KAUM WANITA




Oleh.  Ust. Hefni Zain

Sesunggunya wacana tentang poligami merupakan wacana klasik, tetapi karena soal yang satu ini dalam setiap episode zaman paling sering disalah fahami, selalu debatable bahkan tak jarang dijadikan sasaran empuk untuk menohok Islam sebagai telah melegalkan praktek diskriminasi, eksploitasi dan imprealisasi terhadap kaum wanita, maka kajian semacam ini selalu up to date dan urgen, lebih-lebih jika diperkaya oleh paradigma yang berbeda dari paradigma maenstrem yang ada selama ini.
Kajian mengenai poligami oleh sebagian besar kalangan termasuk aktivis gender dan kaum feminis  biasanya selalu bertolak dari apa yang sudah terjadi (kasuistik), bukan dari apa yang semestinya terjadi (maqosidus syar’e atau spirit of idea). Akibatnya kegoncangan psikologis (psycologycal suspence), kemarahan-kemarahan empirik dan emosi-emosi sosial sangat mewarnai -untuk tidak menyebut sangat mendominasi- kajian yang dilakukan, hasilnyapun mudah ditebak, ia sarat subjektifitas, kaya tendensius dan terpasung dalam kungkungan penjara bias. Berbeda sekali dengan kajian poligami yang paradigmanya bertolak dari spirit of idenya atau maksud substantifnya sebagaimana akan digambarkan dalam tulisan ini.

A. Pendahuluan
Bagi kaum theis yang rasional, keyakinan akan keberadaan dan keesaan Tuhan memberikan konsekwensi keyakinan akan kebenaran semua sifat-sifatNya. Diantara sifat Tuhan adalah maha bijaksana (Al-Hakim) dan sumber segala kebajikan (Al-Barru),. Keyakinan bahwa  Tuhan maha bijaksana dan sumber kebaikan akan melahirkan keyakinan lanjutan bahwa seluruh ketetapan Tuhan berupa syariat agama yang diturunkan kepada manusia pasti dimaksudkan untuk memberikan kemaslahatan, keselamatan, dan harmonisasi bagi para hambaNya. Dalam Qs. Al Hajj : 78 ditegaskan “ ....Dan Dia (Allah swt) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu sekalian dalam agama suatu kesengsaraan “ (Umar, 2006 : 211). Logikanya, bila ada satu saja ketetapan Tuhan yang dibuat untuk menyengsarakan atau berdampak nigatif terhadap kehidupan para hambaNya baik dalam konteks individu maupun sosial, maka tentu kredibelitas Tuhan akan diprotes banyak orang, dan hal tersebut bagi orang-orang yang berakal adalah imposible dilakukan  Tuhan.
Karena Tuhan maha bijaksana dan sumber segala kebajikan, maka tatkala Tuhan membuat ketetapan, -termasuk membolehkan poligami-, pastilah didasari oleh tujuan yang matang (Al-Bari’), sebab perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan, hakekatnya adalah kesia-siaan, dan kesia-siaan adalah ketidak bijaksanaan, ketidak bijaksanaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, sedangkan Tuhan adalah zat yang maha ada (Al-Wujud ). 
Karena penetapan bolehnya poligami dilandasi sebuah tujuan, maka tujuan itu pasti baik (Al-Barru), sebab Tuhan adalah sumber segala kebaikan, seandainya Tuhan membolehkan poligami dengan tujuan yang tidak baik, maka perbuatan itu selain bertentangan dengan sifat Tuhan sendiri (Al-Barru) juga berarti Tuhan telah bertindak tidak bijaksana, padahal ketidak bijaksanaan adalah kemustahilan bagi  Tuhan, sebab disamping sifat Tuhan  maha bijaksana (Al-Hakim), juga seperti maklum ketidak bijaksanaan adalah kekurangan, kekurangan adalah kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, sedangkan Tuhan adalah keberadaan yang mutlak . 
B. Pembahasan
Salah satu tujuan baik Tuhan membolehkan poligami adalah dalam rangka memberikan solusi atas sejumlah problem munakahah yang dihadapi manusia baik dalam konteks pribadi, keluarga maupun sosial. Sejumlah problem tersebut antara lain adalah :
1.      Populasi  laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang
Dalam  insklopedi hadits shoheh Bukhori disebutkan bahwa Nabi saw  bersabda :
ﺮﻤﺧﻠ ﺍ ﺍﻮﺑﺮﺸﻴ ﻮ ﻞﻬﺠﻟ ﺍ ﺖﺑﺜﻴﻭ  ﻡﻠﻌﻠ ﺍ  ﻊﻓﺭﻴ ﻥ ﺍ  ﺔﻋﺎﺴﻟ ﺍ ﻃ ﺍﺭﺷ ﺍ ﻥﻣ ﻦ ﺇ
ﺪﺣﺍﻭﻠﺍ ﻢﻴﻘﻠﺍ ﺔﺋﺭﻤ ﺍ ﺲﻣﺨﻠ  ﻥﻮﻜﻴ ﻰﺘﺤ ﻝ ﺎﺠﺭﻠﺍ ﻝﻗﻴﻮ ﺀﺎﺳﻧﻟﺍ ﺭﺛﻜﻴﻭ  ﻰﻧﺯﻠ ﺍﺮﻬﻇﻳﻮ 
Sesungguhnya diantara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah : ilmu terangkat, kejahilan dominan, minuman keras menjadi biasa, prostitusi dilakukan terang-terangan, kaum wanita membludak, kaum pria berkurang sehingga posisinya satu banding lima
Ketika populasi laki-laki dan perempuan jumlahnya tidak seimbang, seperti penduduk negeri ini yang menurut hasil sensus nasional tahun 2011 adalah satu banding empat, maka prinsip monogami (satu lawan satu) tentu tidak bisa diterapkan secara mutlaq, sebab bila dipaksakan, yang berpeluang mendapatkan laki-laki sebagai suaminya hanyalah satu saja diantara empat orang perempuan, dan tiga orang perempuan lainnya  akan tertutup peluangnya untuk mendapatkan haknya sebagai perempuan normal, padahal Tuhan menciptakan mereka dengan hak, peluang dan kesempatan yang sama.
Pada titik inilah kemudian akan muncul dampak yang “kurang baik” pada pola relasi komunitas perempuan, misalnya, persaingan yang tidak sehat diantara mereka untuk berebut mendapatkan pasangan yang jatahnya hanya satu. Disini hanya satu perempuan yang akan sukses, sedangkan yang tiga pasti terelemenasi. Bagi yang sukses akan meraih hak dasarnya dan dapat menikmati kebahagiannya, tetapi bagi yang gagal -dan itu mayoritas- tentu akan mengalami kekecewaan berkepanjangan. Nah, disinilah poligami disyariatkan sebagai  jalan keluar  bagi problematika yang dihadapi para perempuan yang mengalami kekecewaan akibat tereleminasi dalam kompetisi meraih hak-hak naluriyah dan insaniyah yang paling fundamental.
Karena itu sebagai solidaritas sesama perempuan, bagi perempuan yang telah sukses mendapatkan pasangan diharapkan bahkan dituntut melakukan pengorbanan “ego” untuk berbagi suami secara sah dengan perempuan lain yang tereleminasi dalam kompetisi tersebut, paradigmanya satu yakni bahagiamu adalah bahagiaku dan dukamu adalah dukaku, engkau dan aku adalah satu.  Disinilah spirit of idea poligami menemukan konsederasinya.
2.      Kelainan biologis (hiper seks)
            Dalam ranah empirik ternyata terdapat beberapa orang suami yang menderita kelainan biologis berupa hiper seks, yakni kemauan dan kemampuan coitus diatas normal,  Ini problem yang mesti diatasi, sebab kalau tidak dicarikan jalan keluar, yang akan menjadi korban adalah sang istri, dan sebagai langkah proteksi Islam terhadap kaum istri dari kekerasan dan pemaksaan seksual, maka poligami dibolehkan. Tidak itu saja, dalam konteks ini poligami sekaligus menjadi terapi bagi kelainan biologis (hiper seks) yang derita kaum suami.
   Fakta dilapangan dalam menghadapi problem ini, bagi para istri yang belum terbebaskan dari imprealisasi egonya acapkali merelakan suaminya  melakukan “jajan” di luaran, yang penting tidak melakukan poligami, tetapi bagi para istri yang telah tercerahkan, justru dirinya yang mengambil inisiatif dan bahkan menjadi lokomotif utama untuk menjadikan poligami sebagai jalan yang elegan dan suci bagi problem yang dihadapi suami dan dirinya.
3.      Kebutuhan seks dan  dekadensi moral.
            Seks bagi semua perempuan normal merupakan kebutuhan yang bersifat naluriyah, persoalannya adalah tatkala sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan pasangan sah (suami) yang dalam konsep monogami jatahnya memang terbatas, lalu kemana mereka mesti menyalurkan kebutuhan dan dorongan seksualitasnya tersebut ?
            Sementara disisi lain, budaya,  bacaan dan tontonan berbasis pornografi dan pornoaksi yang membangkitkan syahwat terus dipublikasikan dan ditawarkan secara gencar lewat berbagai media masa , seperti internet, TV, kaset, majalah, koran,  HP, dan sejenisnya, yang semua itu semakin mengobarkan dorongan seksual untuk segera ditumpahkan, bagi wanita yang memiliki  iman sekokoh karang, berbagai virus itu mungkin tidak menjadi masalah, sebab Al-Qur’an menegaskan : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.....(Qs. 24 : 30-31). Tetapi bagi mayoritas mereka yang imannya lemah, tentu dengan mudah akan terinfeksi oleh virus tersebut, gilirannya tidak sedikit dari mereka yang terperosok pada lembah nista dengan menjadi pereks dalam segala bentuk dan kelasnya.
            Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori, Nabi saw bersabda “diperlihatkan kepadaku kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita, sahabat bertanya, apakah mereka kufur pada Allah ? bukan, mereka mengkufuri pergaulan dan kebajikan “.Dalam haditsnya yang lain disebutkan “Aku tidak melihat fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria dari pada godaan kaum wanita”.  Mengingat resiko yang sangat besar inilah, maka sebagai jalan keluar, Islam menganjurkan agar mereka segera melangsungkan pernikahan, sebab dengan itu mereka dapat menjaga pandangan dan kehormatan dari hal-hal yang dilarang Allah swt,  dus karena pernikahan dalam arti monogami tidak cukup ruang menampung seluruh populasi perempuan, maka poligami menjadi solusi yang terapiotik dan edukatif.
4.      Problem psikologis.
                  Ketenangan, kebahagiaan dan mawaddah warahmah dalam rumah tangga adalah dambaan setiap perempuan,  akan tetapi ketika mereka tidak mampu bersaing dalam konteks monogami, maka harapan mereka akan kebahagiaan diatas hanyalah imajinasi otopis, sebagai dampaknya, mereka akan mudah terjangkit sindrom psikologis, misalnya : suka tersinggung, sangat sensitif, tidak percaya diri dan gampang iri hati.
5.      Problem ekonomi, sosial dan budaya.
            Setiap perempuan dicipta dalam hak yang sama, yakni hak mendapatkan perlindungan dan nafaqah lahir batin dari suami, hak mendapatkan status sosial sebagai ibu rumah tangga, dan hak fitrah mendapatkan kebahagiaan bersama putra-putri dan suami mereka. Tetapi bagi perempuan yang sendiri -karena tidak mampu bersaing dalam konteks monogami-, maka tanggung jawab dan beban mereka akan semakin berat, mereka mesti pontang-panting menghidupi diri sendiri, status sosialnya menjadi terpinggirkan, dan secara budaya dianggap tidak laku. Realitas ini tentu merupakan penderitaan yang tidak ringan bagi sosok perempuan yang secara  sosial budaya dinilai lebih lemah dari kaum pria. Maka untuk meringangkan beban sosial budaya, dalam persepktif budaya ada ungkapan  lebih baik berstatus janda ketimbang perawan tua.
6.      Problem dalam bidang  agama.
            Bagi perempuan yang tereleminasi dalam kompetisi monogami dan imannya lemah,  maka desakan libido seksualnya akan disalurkan secara haram ke lembah-lembah nista, ada yang kompul kebo dengan suami orang lain, ada yang menjadi simpanan haram, ada yang menjadi tante girang, dan semacamnya, perbuatan tersebut tentu akan menjadi dosa yang berdampak sosial luas, sebab efek adzab Allah swt karenanya tidak hanya mengenai para pelakuknya  saja, orang lain yang tidak tahu menahupun akan juga terkena imbasnya,, sebagaimana ditegaskan Nabi saw “Bila muncul perzinaan, judi dan riba di suatu kampung, maka berarti penduduk kampung itu sedang mempersilahkan adzab Allah bagi mereka.

C. Penutup
      Dari uraian diatas, kendati secara klasik dibolehkannya poligami bagi pria adil dimaksudkan (1) untuk memberi kesempatan bagi suami memperoleh keturunan dari istri keduanya jika istrinya yang pertama mandul (2) untuk menghindarkan pria dari perbuatan zina jika istri pertamanya tidak bisa dikumpuli karena terkena penyakit yang berkepanjangan. (3) untuk memberikan kesempatan kepada perempuan yang terlantar agar mendapatkan suami yang berfungsi melindunginya, menafkahi dan melayani kebutuhan biologisnya. Tetapi secara substansial poligami disyariatkan sesungguhnya dalam rangka memprotek dan menyelamatkan harkat dan martabat kaum perempuan agar tetap berada pada jalan yang lurus ditengah berbagai jalan simpang yang menyesatkan. Jadi poligami itu sejatinya adalah untuk kepentingan kaum perempuan. 

Tidak ada komentar: