Oleh. Ust. Hefni Zain
Sesunggunya wacana tentang poligami merupakan wacana
klasik, tetapi karena soal yang satu ini dalam setiap episode zaman paling
sering disalah fahami, selalu debatable bahkan tak jarang dijadikan
sasaran empuk untuk menohok Islam sebagai telah melegalkan praktek
diskriminasi, eksploitasi dan imprealisasi terhadap kaum wanita, maka kajian
semacam ini selalu up to date dan
urgen, lebih-lebih jika diperkaya oleh paradigma yang berbeda dari paradigma
maenstrem yang ada selama ini.
Kajian mengenai poligami oleh sebagian besar kalangan
termasuk aktivis gender dan kaum feminis
biasanya selalu bertolak dari apa yang sudah terjadi (kasuistik), bukan
dari apa yang semestinya terjadi (maqosidus syar’e atau spirit of
idea). Akibatnya kegoncangan psikologis (psycologycal suspence), kemarahan-kemarahan empirik dan emosi-emosi
sosial sangat mewarnai -untuk tidak menyebut sangat mendominasi- kajian yang
dilakukan, hasilnyapun mudah ditebak, ia sarat subjektifitas, kaya tendensius
dan terpasung dalam kungkungan penjara bias. Berbeda sekali dengan kajian
poligami yang paradigmanya bertolak dari spirit of idenya atau maksud
substantifnya sebagaimana akan digambarkan dalam tulisan ini.
A.
Pendahuluan
Bagi kaum theis yang rasional, keyakinan akan
keberadaan dan keesaan Tuhan memberikan konsekwensi keyakinan akan kebenaran
semua sifat-sifatNya. Diantara sifat Tuhan adalah maha bijaksana (Al-Hakim)
dan sumber segala kebajikan (Al-Barru),. Keyakinan bahwa Tuhan maha bijaksana dan sumber kebaikan akan
melahirkan keyakinan lanjutan bahwa seluruh ketetapan Tuhan berupa syariat
agama yang diturunkan kepada manusia pasti dimaksudkan untuk memberikan
kemaslahatan, keselamatan, dan harmonisasi bagi para hambaNya. Dalam Qs. Al
Hajj : 78 ditegaskan “ ....Dan Dia (Allah
swt) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu sekalian dalam agama suatu
kesengsaraan “ (Umar, 2006 : 211).
Logikanya, bila ada satu saja ketetapan Tuhan yang dibuat untuk menyengsarakan
atau berdampak nigatif terhadap kehidupan para hambaNya baik dalam konteks
individu maupun sosial, maka tentu kredibelitas Tuhan akan diprotes banyak
orang, dan hal tersebut bagi orang-orang yang berakal adalah imposible dilakukan Tuhan.
Karena Tuhan maha bijaksana dan sumber segala
kebajikan, maka tatkala Tuhan membuat ketetapan, -termasuk membolehkan
poligami-, pastilah didasari oleh tujuan yang matang (Al-Bari’),
sebab perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan, hakekatnya adalah kesia-siaan, dan
kesia-siaan adalah ketidak bijaksanaan, ketidak bijaksanaan adalah kekurangan,
kekurangan adalah kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, sedangkan
Tuhan adalah zat yang maha ada (Al-Wujud ).
Karena penetapan bolehnya poligami dilandasi
sebuah tujuan, maka tujuan itu pasti baik (Al-Barru), sebab
Tuhan adalah sumber segala kebaikan, seandainya Tuhan membolehkan poligami
dengan tujuan yang tidak baik, maka perbuatan itu selain bertentangan
dengan sifat Tuhan sendiri (Al-Barru) juga berarti Tuhan telah bertindak tidak
bijaksana, padahal ketidak bijaksanaan adalah kemustahilan bagi Tuhan, sebab disamping sifat Tuhan maha bijaksana (Al-Hakim), juga
seperti maklum ketidak bijaksanaan adalah kekurangan, kekurangan adalah
kekosongan dan kekosongan adalah ketidak beradaan, sedangkan Tuhan adalah
keberadaan yang mutlak .
B.
Pembahasan
Salah satu tujuan baik Tuhan membolehkan
poligami adalah dalam rangka memberikan solusi atas sejumlah problem munakahah
yang dihadapi manusia baik dalam konteks pribadi, keluarga maupun sosial.
Sejumlah problem tersebut antara lain adalah :
1.
Populasi laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang
Dalam insklopedi hadits shoheh Bukhori disebutkan
bahwa Nabi saw bersabda :
ﺮﻤﺧﻠ ﺍ ﺍﻮﺑﺮﺸﻴ ﻮ ﻞﻬﺠﻟ ﺍ ﺖﺑﺜﻴﻭ ﻡﻠﻌﻠ ﺍ
ﻊﻓﺭﻴ ﻥ ﺍ ﺔﻋﺎﺴﻟ ﺍ ﻃ ﺍﺭﺷ ﺍ ﻥﻣ ﻦ ﺇ
ﺪﺣﺍﻭﻠﺍ ﻢﻴﻘﻠﺍ ﺔﺋﺭﻤ ﺍ ﺲﻣﺨﻠ ﻥﻮﻜﻴ ﻰﺘﺤ ﻝ ﺎﺠﺭﻠﺍ ﻝﻗﻴﻮ ﺀﺎﺳﻧﻟﺍ ﺭﺛﻜﻴﻭ ﻰﻧﺯﻠ ﺍﺮﻬﻇﻳﻮ
Sesungguhnya
diantara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah : ilmu terangkat, kejahilan
dominan, minuman keras menjadi biasa, prostitusi dilakukan terang-terangan,
kaum wanita membludak, kaum pria berkurang sehingga posisinya satu banding lima
Ketika populasi laki-laki dan perempuan
jumlahnya tidak seimbang, seperti penduduk negeri ini yang menurut hasil sensus
nasional tahun 2011 adalah satu banding empat, maka prinsip monogami (satu
lawan satu) tentu tidak bisa diterapkan secara mutlaq, sebab bila dipaksakan,
yang berpeluang mendapatkan laki-laki sebagai suaminya hanyalah satu saja
diantara empat orang perempuan, dan tiga orang perempuan lainnya akan tertutup peluangnya untuk mendapatkan
haknya sebagai perempuan normal, padahal Tuhan menciptakan mereka dengan hak,
peluang dan kesempatan yang sama.
Pada titik inilah kemudian akan muncul dampak
yang “kurang baik” pada pola relasi komunitas perempuan, misalnya, persaingan
yang tidak sehat diantara mereka untuk berebut mendapatkan pasangan yang jatahnya
hanya satu. Disini hanya satu perempuan yang akan sukses, sedangkan yang tiga
pasti terelemenasi. Bagi yang sukses akan meraih hak dasarnya dan dapat
menikmati kebahagiannya, tetapi bagi yang gagal -dan itu mayoritas- tentu akan
mengalami kekecewaan berkepanjangan. Nah, disinilah poligami disyariatkan
sebagai jalan keluar bagi problematika yang dihadapi para
perempuan yang mengalami kekecewaan akibat tereleminasi dalam kompetisi meraih
hak-hak naluriyah dan insaniyah yang paling fundamental.
Karena itu sebagai solidaritas sesama
perempuan, bagi perempuan yang telah sukses mendapatkan pasangan diharapkan
bahkan dituntut melakukan pengorbanan “ego” untuk berbagi suami secara sah
dengan perempuan lain yang tereleminasi dalam kompetisi tersebut, paradigmanya
satu yakni bahagiamu adalah bahagiaku dan dukamu adalah dukaku, engkau dan aku
adalah satu. Disinilah spirit of idea poligami menemukan
konsederasinya.
2. Kelainan
biologis (hiper seks)
Dalam ranah empirik ternyata
terdapat beberapa orang suami yang menderita kelainan biologis berupa hiper seks, yakni kemauan dan kemampuan coitus diatas normal, Ini problem yang mesti diatasi, sebab kalau
tidak dicarikan jalan keluar, yang akan menjadi korban adalah sang istri, dan
sebagai langkah proteksi Islam terhadap kaum istri dari kekerasan dan pemaksaan
seksual, maka poligami dibolehkan. Tidak itu saja, dalam konteks ini poligami
sekaligus menjadi terapi bagi kelainan biologis (hiper seks) yang derita kaum suami.
Fakta
dilapangan dalam menghadapi problem ini, bagi para istri yang belum terbebaskan
dari imprealisasi egonya acapkali merelakan suaminya melakukan “jajan” di luaran, yang penting
tidak melakukan poligami, tetapi bagi para istri yang telah tercerahkan, justru
dirinya yang mengambil inisiatif dan bahkan menjadi lokomotif utama untuk
menjadikan poligami sebagai jalan yang elegan dan suci bagi problem yang
dihadapi suami dan dirinya.
3.
Kebutuhan seks dan dekadensi moral.
Seks
bagi semua perempuan normal merupakan kebutuhan yang bersifat naluriyah,
persoalannya adalah tatkala sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan
pasangan sah (suami) yang dalam konsep monogami jatahnya memang terbatas, lalu
kemana mereka mesti menyalurkan kebutuhan dan dorongan seksualitasnya tersebut
?
Sementara
disisi lain, budaya, bacaan dan tontonan
berbasis pornografi dan pornoaksi yang membangkitkan syahwat terus
dipublikasikan dan ditawarkan secara gencar lewat berbagai media masa , seperti
internet, TV, kaset, majalah, koran, HP,
dan sejenisnya, yang semua itu semakin mengobarkan dorongan seksual untuk
segera ditumpahkan, bagi wanita yang memiliki
iman sekokoh karang, berbagai virus itu mungkin tidak menjadi masalah,
sebab Al-Qur’an menegaskan : Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.....(Qs. 24 : 30-31). Tetapi bagi
mayoritas mereka yang imannya lemah, tentu dengan mudah akan terinfeksi oleh
virus tersebut, gilirannya tidak sedikit dari mereka yang terperosok pada
lembah nista dengan menjadi pereks dalam segala bentuk dan kelasnya.
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori, Nabi saw bersabda “diperlihatkan kepadaku kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita,
sahabat bertanya, apakah mereka kufur pada Allah ? bukan, mereka mengkufuri
pergaulan dan kebajikan “.Dalam haditsnya yang lain disebutkan “Aku tidak melihat fitnah yang lebih
berbahaya terhadap kaum pria dari pada godaan kaum wanita”. Mengingat resiko yang sangat besar inilah,
maka sebagai jalan keluar, Islam menganjurkan agar mereka segera melangsungkan
pernikahan, sebab dengan itu mereka dapat menjaga pandangan dan kehormatan dari
hal-hal yang dilarang Allah swt, dus
karena pernikahan dalam arti monogami tidak cukup ruang menampung seluruh
populasi perempuan, maka poligami menjadi solusi yang terapiotik dan edukatif.
4. Problem
psikologis.
Ketenangan,
kebahagiaan dan mawaddah warahmah dalam rumah tangga adalah dambaan setiap
perempuan, akan tetapi ketika mereka
tidak mampu bersaing dalam konteks monogami, maka harapan mereka akan
kebahagiaan diatas hanyalah imajinasi otopis, sebagai dampaknya, mereka akan
mudah terjangkit sindrom psikologis, misalnya : suka tersinggung, sangat
sensitif, tidak percaya diri dan gampang iri hati.
5.
Problem ekonomi, sosial
dan budaya.
Setiap
perempuan dicipta dalam hak yang sama, yakni hak mendapatkan perlindungan dan
nafaqah lahir batin dari suami, hak mendapatkan status sosial sebagai ibu rumah
tangga, dan hak fitrah mendapatkan kebahagiaan bersama putra-putri dan suami
mereka. Tetapi bagi perempuan yang sendiri -karena tidak mampu bersaing dalam
konteks monogami-, maka tanggung jawab dan beban mereka akan semakin berat,
mereka mesti pontang-panting menghidupi diri sendiri, status sosialnya menjadi
terpinggirkan, dan secara budaya dianggap tidak laku. Realitas ini tentu
merupakan penderitaan yang tidak ringan bagi sosok perempuan yang secara sosial budaya dinilai lebih lemah dari kaum
pria. Maka untuk meringangkan beban sosial budaya, dalam persepktif budaya ada
ungkapan lebih baik berstatus janda
ketimbang perawan tua.
6. Problem
dalam bidang agama.
Bagi perempuan yang tereleminasi
dalam kompetisi monogami dan imannya lemah,
maka desakan libido seksualnya akan disalurkan secara haram ke
lembah-lembah nista, ada yang kompul kebo dengan suami orang lain, ada yang
menjadi simpanan haram, ada yang menjadi tante girang, dan semacamnya,
perbuatan tersebut tentu akan menjadi dosa yang berdampak sosial luas, sebab
efek adzab Allah swt karenanya tidak hanya mengenai para pelakuknya saja, orang lain yang tidak tahu menahupun
akan juga terkena imbasnya,, sebagaimana ditegaskan Nabi saw “Bila muncul perzinaan, judi dan riba di suatu
kampung, maka berarti penduduk kampung itu sedang mempersilahkan adzab Allah
bagi mereka.
C.
Penutup
Dari
uraian diatas, kendati secara klasik dibolehkannya poligami bagi pria adil
dimaksudkan (1) untuk memberi kesempatan bagi suami memperoleh keturunan dari
istri keduanya jika istrinya yang pertama mandul (2) untuk menghindarkan pria
dari perbuatan zina jika istri pertamanya tidak bisa dikumpuli karena terkena
penyakit yang berkepanjangan. (3) untuk memberikan kesempatan kepada perempuan
yang terlantar agar mendapatkan suami yang berfungsi melindunginya, menafkahi
dan melayani kebutuhan biologisnya. Tetapi secara substansial poligami
disyariatkan sesungguhnya dalam rangka memprotek dan menyelamatkan harkat dan
martabat kaum perempuan agar tetap berada pada jalan yang lurus ditengah
berbagai jalan simpang yang menyesatkan. Jadi poligami itu sejatinya adalah
untuk kepentingan kaum perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar